NovelToon NovelToon

Takdir Cinta Maira

Pernikahan

Siang itu disebuah hotel yang berada disebuah kota kecil terlihat ramai oleh para tamu undangan yang hilir mudik keluar masuk untuk menghadiri acara pernikahan seorang gadis cantik dengan seorang dokter tampan.

Papan papan bunga dan berbagai macam karangan bunga terlihat menghiasi sepanjang jalan masuk menuju hotel.

Dekorasi pernikahan itu terlihat sederhana namun tetap indah dan sejuk dipandang mata karena mengusung tema white garden. Dimana hiasan bunga mawar putih dipadukan dengan bunga tulip, menambah suasana sakral itu tampak lebih kekeluargaan.

Namun fokus tamu bukanlah pada tempat dan dekorasi pesta itu, melainkan kearah kedua mempelai yang kini bersanding bagai raja dan ratu diatas pelaminan. Jika dilihat, kedua mempelai itu terlihat begitu serasi, karena sama sama tampan dan cantik meski sang mempelai wanita masih terlihat begitu muda. Mempelai pria tampak begitu gagah dengan pakaian pengantin nya yang bewarna putih, sedangkan mempelai wanita tampak begitu cantik dengan gaun putih yang menghiasi tubuh nya.

Namun satu yang tidak disadari oleh tamu undangan, yaitu raut wajah mempelai wanita yang sangat begitu tertekan, dia hanya memberikan senyum terpaksa dan seadanya pada para tamu yang mengucapkan selamat untuknya.

"Kamu lelah?" tanya sang mempelai laki laki. Namun mempelai wanita hanya menggeleng dengan wajah datar nya, dia masih menatap datar kumpulan orang orang yang tengah berbincang dimeja tamu.

Mempelai wanita itu adalah Maira Anindita Suseno. Seorang gadis cantik yang masih berusia sembilan belas tahun dan masih berkuliah disebuah universitas ternama dia ibukota dengan jurusan bisnis manajemen. Gadis yang memiliki paras ayu dan menarik, bertubuh tinggi, langsing dan berkulit putih.

Pernikahan yang seharusnya menjadi moment paling membahagiakan bagi seorang gadis ternyata tidak dirasakan oleh Maira. Dia terpaksa memenuhi keinginan ayah nya untuk menikah dengan anak dari sahabat ayah nya hanya karena alasan balas Budi.

Tidak ada alasan bagi Maira untuk menolaknya, banyak hal yang harus dia fikirkan jika menolak pernikahan ini. Maira adalah anak broken home, dia memilih untuk tinggal bersama ayah dan adik ya, sedangkan ibu Maira sudah menikah lagi dua tahun yang lalu.

Ayah Maira menderita paru paru basah stadium akhir dan memerlukan banyak biaya untuk pengobatan nya. Maira juga memiliki seorang adik laki laki yang masih bersekolah dijenjang SMA dan juga memerlukan biaya.

Semua harta ayahnya sudah habis untuk biaya pengobatan rumah sakit diibu kota.

Selain kuliah, Maira juga bekerja sebagai penulis novel online dan itu juga hanya cukup untuk membiayai kuliah nya sendiri.

Dan karena itulah Maira terpaksa menerima permintaan ayahnya, dia tidak ingin membuat ayahnya kecewa disisa akhir hidupnya. Karena sekarang kondisi kesehatan ayah Maira sudah benar benar parah. Bahkan untuk duduk saja ayah Maira sudah tidak bisa terlalu lama.

Maira harus bisa rela membunuh hatinya dan melepaskan cinta yang telah lama dia jalin selama tiga tahun ini. Merelakan meninggalkan orang yang menjadi cinta pertama nya demi untuk menikah dengan seorang dokter yang baru dikenal nya satu bulan terakhir.

Lelaki itu adalah dokter Danar. Danar Pramudya Pangestu. Seorang dokter spesialis yang berusia tiga puluh satu tahun. Memiliki perawakan tinggi, gagah dan tampan. Dokter Danar adalah dokter yang banyak disukai oleh kaum hawa karena sifat nya yang ramah dan juga murah senyum. Namun itu tidak berlaku untuk Maira, karena dia sama sekali tidak tertarik dengan dokter tampan yang kini telah sah menjadi suami nya itu. Maira hanya menganggap dokter Danar adalah sebuah ujian hidup untuk nya, dan dia benci itu.

"Bertahanlah sebentar lagi. Setidak nya meskipun terpaksa tapi senyum mu sangat diperlukan saat ini" kata dokter Danar. Dia sedikit mendekat kearah Maira

Maira melirik tidak suka pada dokter Danar yang tetap selalu tersenyum menatap nya, dia tahu jika Maira tidak menginginkan pernikahan ini, tapi inilah takdir mereka, suka tidak suka, mereka harus melaluinya.

"Saya tahu, saya bukan anak kecil yang tidak mengerti keadaan" balas Maira dengan begitu ketus

Dokter Danar hanya tersenyum mendengar nya, pandangan mata nya masih fokus pada tamu undangan

Maira menarik nafas nya perlahan, mencoba menetralkan perasaan nya yang entah kenapa masih begitu sulit untuk menerima kenyataan ini.

Maira menoleh kearah orang tua dokter Danar yang sedang menyambut tamu tamu mereka, dan kembali menoleh kesegala arah mencari keberadaan adiknya. Karena tadi Maira masih melihat adiknya duduk didekat meja makanan sembari memainkan ponselnya, tapi sekarang sudah tidak kelihatan lagi.

"Rio pergi melihat ayah didalam" ucap dokter Danar yang mengerti apa yang dicari Maira.

Maira hanya terdiam dan menundukkan sedikit kepalanya. Hari pernikahan yang benar benar membuat hatinya remuk dan tidak berbentuk lagi.

Menikah bukan dengan orang yang dicintainya, Ibu yang tidak ada disampingnya, dan ayahnya yang kini tengah berada diantara hidup dan mati.

Sungguh miris jalan hidup Maira, dia hanya berharap, semoga dia mampu melewati ini. Jika tidak, maka dia pasrahkan pada yang mempunyai takdir.

...

Acara berlanjut tidak sampai malam hari karena mengingat keadaan ayah Maira yang benar benar lemah. Dan saat ini pesta telah berakhir, mereka semua telah berada dikamar ayah Maira. Bahkan Maira masih mengenakan gaun pengantin nya.

Maira duduk disamping ayahnya sembari mengusap lembut lengan lemah itu. Dokter Danar baru saja memeriksa keadaan ayah Maira.

"Apa tidak sebaiknya kita kerumah sakit ayah?" tanya dokter Danar pada ayah mertua nya

Ayah Maira, pak Seno, hanya tersenyum dan menggeleng lemah menatap menantu dan putri nya bergantian.

"Enggak, rasa nya ayah sudah enggak kuat lagi. Ayah sudah cukup bahagia melihat kalian menikah" jawab pak Seno

"Tolong jaga putri ayah dengan baik ya nak. Bimbing dia agar menjadi istri yang Solehah" pinta pak Seno dengan wajah penuh harap pada dokter Danar

"Insha Allah ayah" jawab dokter Danar dengan senyum tulusnya.

Kini pak Seno menoleh pada Maira yang mata nya sudah mengembun ingin menangis

"Maira ingat pesan ayah ya nak. Jadi istri yang baik untuk suami kamu, dan jaga Rio kalau ayah sudah enggak ada" pinta pak Seno pada Maira yang hanya mampu mengangguk menahan Isak tangisnya.

Pak Seno kembali menoleh pada tuan Beni, besan nya.

"Terimakasih untuk semuanya ya Ben, aku berhutang budi padamu. Aku titip anak anakku" kata pak Seno

"Jangan berkata begitu, jasamu pada keluarga kami lebih dari apa yang sudah aku lakukan. Aku pasti akan menjaga Maira dan Rio dengan baik. Kamu hanya perlu fokus pada kesehatanmu saja" jawab tuan Beni. Namun pak Seno hanya tersenyum menanggapi nya. Mata nya melirik pada Rio yang berdiri disudut pojokan dan hanya memperhatikan mereka semua.

"Ayah istirahat dulu ya, jangan banyak gerak, nanti ayah lelah" kata Maira sembari mengusap air matanya.

"Iya nak, ayah memang mau istirahat. Kalian juga istirahat. Ayah ingin tidur." jawab pak Seno

"Baiklah, ayo kita keluar, biarkan besan istirahat dulu" ajak tuan Beni

"Maira mau menemani ayah disini" kata Maira, namun pak Seno langsung menggeleng

"Pergilah nak, ini malam pernikahan kalian, ayah ingin tidur sendiri malam ini" sahut pak Seno

"Tapi ayah" rengek Maira tidak setuju. Dia benar benar begitu berat untuk meninggalkan ayahnya. Begitu pula dengan Rio, tapi apa mau dikata, ayah mereka tidak ingin ditemani oleh siapapun.

"Ayo Mai" ajak tuan Beni. Dan mau tidak mau dengan berat hati Maira melepaskan genggaman tangannya

"Maira keluar dulu ayah, jika ayah butuh sesuatu ayah bisa menelepon Maira seperti biasa." ucap Maira. Pak Seno hanya mengangguk dan tersenyum menatap anak anak nya bergantian.

Dokter Danar membawa keluar Maira dan Rio, diikuti oleh tuan Beni dan istrinya yang sedari tadi hanya diam dengan wajah yang terlihat tidak suka dan terkesan dingin.

...

Didalam kamar, Maira duduk disofa dengan wajah datar terkesan dingin. Hatinya benar benar gelisah tidak menentu. Kekhawatiran nya akan keadaan ayahnya membuat dia benar benar tidak tenang saat ini. Rasa nya semua perasaan berkecamuk dihati kecilnya. Dia sebenar nya tidak ingin ada pesta mengingat keadaan ayahnya, tapi pak Seno dan tuan Beni ingin mereka mengadakan acara sebagai kenang kenangan. Mereka mengadakan pernikahan dikota tempat tinggal tuan Beni, karena Maira tidak ingin ada yang mengetahui tentang pernikahan nya dengan dokter Danar, terutama Ervan, mantan kekasih nya.

Maira sedikit terkesiap saat sebuah suara mengejutkan lamunannya. Dokter Danar yang baru saja keluar dari kamar mandi sudah tampak begitu segar dengan pakaian santai nya. Dia terlihat begitu tampan saat ini, namun tidak dipandangan Maira.

"Mandilah, air hangatnya sudah saya siapkan" ucap dokter Danar sembari berjalan mendekati Maira. Maira hanya diam dan langsung beranjak dan berjalan meninggalkan dokter Danar yang memandangnya dengan helaan nafas pelan. Sama sekali Maira tidak ada menoleh kearahnya, dan tentu saja itu membuat dokter Danar terusik hatinya.

"semoga suatu saat kamu bisa menerimaku Maira "gumamnya penuh harap

Kehilangan

Maira baru selesai membersihkan dirinya setelah hampir satu jam dia berada didalam kamar mandi hotel itu. Dia keluar dengan sudah memakai piama tidurnya dengan kepala yang masih terlilit sebuah handuk kecil. Pandangan mata Maira langsung tertuju pada dokter Danar yang sedang menggelar sajadah disamping tempat tidur mereka. Pria yang sudah resmi berstatus sebagai suaminya itu terlihat begitu bersih dan sejuk dipandang dengan pakaian muslim yang dia kenakan.

"Sudah selesai, ayo kita berjamaah dulu" ajak dokter Danar menatap Maira yang hanya terdiam dan menatap ragu padanya. Berjamaah? apa itu harus. Batin Maira.

"Saya bisa shalat sendiri. Dokter bisa duluan saja" kata Maira terkesan datar dan dingin.

Dokter Danar hanya tersenyum dan berjalan kearah lemari kecil dimana disana terdapat sebuah mukenah yang sudah disiapkannya untuk Maira.

"Pakailah, tidak ada salahnya kita berjamaah. Setelah ini kamu bisa langsung beristirahat" ucap dokter Danar sembari meletakkan mukenah itu diatas sajadah milik Maira.

Tidak ada pilihan lain, sepertinya dokter ini tidak akan mendengarkan perkataan Maira. Dan mau tidak mau Maira kembali kekamar mandi untuk berwudhu dan setelah itu dia langsung mengenakan mukena nya dan berdiri dibelakang dokter Danar yang kini telah menjadi imamnya. Hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Maira selama ini bisa secepat ini memiliki seorang imam yang bahkan dia tidak tahu siapa sebenarnya suaminya ini.

Ada sesuatu yang terasa membuat hati Maira tersentuh saat mendengar suara dokter Danar melantunkan ayat ayat suci Al Quran. Suara nya begitu merdu dan begitu lembut mendayu membuat hati Maira seketika merasa lebih tenang. Dokter Danar begitu khusyuk dalam shalatnya seakan akan dia dan Tuhan nya memang sudah begitu dekat. Dan Maira dapat merasakan itu.

Empat rakaat shalat yang mereka kerjakan tidak begitu terasa bagi Maira yang awalnya meragu, dia benar benar menikmati suara dokter Danar yang dengan khusyuk mengimaminya.

Setelah mengucapkan salam, dokter Danar terlihat membalikkan tubuh nya kearah Maira yang menatap nya bingung. Dokter Danar menjulurkan tangan nya dan Maira malah hanya menatap tangan itu dengan bingung.

"Salim dulu" kata dokter Danar. Maira yang berwajah datar itu kembali menatap tangan dokter Danar. Terlihat enggan, namun entah kenapa tangan nya malah meraih tangan dokter Danar dan di arahkan kewajah nya.

Dokter Danar tersenyum tipis, dia tahu Maira enggan namun dia tidak perduli akan hal itu.

Maira sedikit terkesiap saat dokter Danar menahan tangannya dan meletakkan tangan kiri nya diatas kepala Maira. Ada sebuah ucapan atau sebuah doa yang diucapkan oleh dokter tampan itu , dan Maira tidak tahu apa, karena dokter Danar seperti membisikkan sesuatu diatas kepalanya.

Dokter Danar mengusap lembut kepala Maira dan melepaskan tangan nya membuat Maira langsung menatap wajah teduh yang selalu tersenyum itu.

"Mulai hari ini biasakan untuk shalat berjamaah dengan saya" ucap dokter Danar. Namun Maira malah melengos dan beranjak dari atas sajadah nya.

"Anda ingin mengatur hidup saya?"  tanya Maira dengan sinis. Dia membuka mukenah nya dan melipatnya dengan asal. Sungguh rasanya setan didalam hatinya seketika keluar lagi padahal ketika shalat tadi dia sudah merasa tenang.

"Kamu istri saya, dan kamu tanggung jawab saya sekarang" jawab dokter Danar

"Saya memang istri anda, tapi saya tidak ingin diatur. Anda harus ingat itu!" kecam Maira yang langsung pergi ketempat tidur dan mengambil bantal dan selimut dari sana. Dia tidak ingin tidur satu ranjang dengan dokter itu, apalagi harus melakukan malam pertama seperti difilm film yang pernah ditonton nya dulu.

Maira tahu dokter Danar terus memperhatikan nya sembari masih membereskan sajadah mereka, tapi Maira tidak ambil perduli akan hal itu.

Didalam hati Maira, dia hanya ingin membuat dokter Danar kesal dan menceraikan nya sehingga dia tidak akan lagi terjebak didalam pernikahan yang sangat tidak diinginkan nya ini.

Maira langsung merebahkan dirinya diatas sofa dan menutup nya dengan selimut sampai keseluruh tubuh. Namun dia langsung terkesiap saat tiba tiba selimutnya ditarik oleh seseorang.

Maira menatap kesal dokter Danar yang menatap nya dengan wajah datar namun masih terlihat begitu teduh.

"Kamu tidak ingin tidur satu ranjang dengan saya?" tanya dokter Danar

"Seharusnya dokter tahu itu" jawab Maira dengan kesal, tangan nya ingin merebut kembali selimut nya namun dokter Danar langsung mengelak dan menyembunyikan selimut itu dibelakang tubuh nya

"Baiklah, saya yang disini, dan kamu yang diranjang. Tubuh kamu bisa sakit jika tidur disini" ujar dokter Danar. Maira terdiam sejenak dan langsung mendengus gerah

"Tidak usah sok perhatian pada saya" ketus Maira, namun dokter Danar malah menggeleng dan tersenyum tipis

"Tidak, saya hanya mengingatkan saja. Jika kamu sakit maka saya yang repot karena harus memeriksamu" jawab dokter Danar yang terlihat menjengkelkan dimata Maria

Maira langsung beranjak dan berjalan kearah tempat tidur dengan kaki yang dihentakkan nya kelantai, dan dokter Danar hanya tersenyum saja melihat kelakuan istri kecilnya itu.

Dokter Danar merebahkan tubuh nya yang lelah diatas sofa yang berukuran kecil itu, bahkan kaki nya harus dia tekuk agar tubuhnya bisa berbaring dengan baik. Ya, sungguh menyedihkan.

Dan Maira hanya menatap nya dengan sinis dari tempat tidurnya. Mungkin jika mertuanya tahu, Maira pasti akan dicaci maki oleh mereka, apalagi oleh ibu dokter Danar yang memang tidak menyukai nya, tapi apa perduli Maira. Dia rasa dia sudah cukup baik dengan mengorbankan masa depan dan hatinya untuk dokter Danar.

Maira mulai memejamkan matanya ketika rasa lelah dan kantuk yang kini menghadangkan nya, meskipun hatinya kini begitu gelisah dengan keadaan ayahnya yang tidak ingin ditemani.

Maira memang jarang berkumpul dengan ayahnya karena dia kuliah diibukota, dia terbiasa hidup sendiri tanpa diatur atau dikekang oleh siapapun termasuk ayahnya. Sehingga dia tumbuh menjadi gadis yang sedikit keras kepala.

....

Hari sudah beranjak subuh, dan Maira baru saja selesai melaksanakan kewajiban subuhnya. Ya, meskipun dia harus kesal karena dokter Danar mengganggu tidurnya yang rasanya baru terlelap sebentar.

Saat baru selesai melipat mukenah nya, mereka dikejutkan oleh suara ketukan pintu yang terdengar tergesa. Dokter Danar segera beranjak dan membuka pintu kamar mereka. Dan ternyata pelayan hotel yang mengetuk pintu, wajah nya terlihat sedikit panik.

"Maaf mas, mas dan mbak ditunggu dikamar sebelah" ucap pelayan itu membuat Maira yang tadi nya tampak tidak perduli kini langsung menoleh kearah pintu.

"Ada apa?" tanya dokter Danar, namun belum lagi pelayan itu berkata apa apa, Maira sudah berlari menerobos mereka untuk menuju kekamar ayahnya. Dia tampak benar benar panik, entah apa yang terjadi pada ayahnya.

"Ayah mbak Maira sudah meninggal mas" ungkap pelayan itu dengan wajah iba. Dokter Danar langsung terkesiap mendengar nya

"Ya Allah, Innalillahi wainnailaihi rajiun" gumam nya

"Yasudah mbak, terimakasih" kata dokter Danar. Dia langsung menutup pintu dan berlari menyusul Maira yang telah lebih dulu tiba dikamar ayahnya.

Maira langsung menerobos masuk kedalam kamar. Dapat dia lihat adiknya sudah menangis meraung disamping ayahnya yang sudah terbujur kaku dan pucat pasih. Sedangkan tuan Beni yang berdiri disamping nya tampak tertunduk sedih.

Kaki Maira seketika lemas tidak bertulang, dia berjalan tertatih dan begitu linglung menuju tempat tidur ayahnya diikuti oleh dokter Danar yang baru tiba dikamar itu.

Dokter Danar langsung mengecek kembali keadaan ayah mertua nya yang terlihat kaku dan menguning.

Dan dia langsung menggeleng pelan pada Maira yang menatap nya penuh harap.

Seketika saja, air mata Maira langsung mengalir deras meratapi kepergian ayahnya

"Ayah!!!!!!" panggil Maira dengan perasaan yang begitu hancur. Dia memeluk tubuh ayahnya yang sudah tidak akan mungkin lagi untuk bergerak

"Ayah bangun ayah"

"Kenapa ayah tega ninggalin kami. Kenapa ayah tega!! huuuuuu....... Ayah" isak tangis Maira begitu pilu. Dia menangis meraung dan mengguncang kuat tubuh ayahnya

"Bangun ayah bangun! Maira udah nurutin kemauan ayah, tapi kenapa ayah malah ninggalin Maira" ungkap nya lagi. Maira benar benar tidak menyangka jika ayahnya akan begitu cepat pergi, padahal malam tadi ayahnya masih bisa berbicara pada nya

"Bangun ayah!!" teriak Maira begitu pilu. Dia menciumi wajah ayahnya dan memeluknya dengan erat seakan tidak ingin membiarkan ayahnya pergi secepat ini

"Ikhlaskan Maira" kata dokter Danar sembari mengusap lembut pundak Maira, namun Maira tidak mendengarkan nya. Dia masih terus menangis meratapi kepergian ayahnya. Kenapa harus secepat ini ayahnya pergi. Maira tahu ini akan terjadi, tapi tidak secepat ini, dia benar benar belum siap kehilangan.

"Sabar nak, ikhlaskan. Ayah mu sudah tenang sekarang" kata tuan Beni yang mencoba menenangkan Maira

Maira masih menangis dengan wajah hancurnya. Dia kini menatap Rio adiknya yang juga tidak kalah hancur, bahkan Maira tahu jika rasa kehilangan Rio lebih besar dari pada dia karena Rio yang selama ini tinggal dan hidup bersama ayahnya lebih lama. Dia langsung beralih dan memeluk adiknya yang menangis terisak. Mereka saling memeluk dan berusaha untuk menguatkan satu sama lain. Sementara dokter Danar langsung menutup tubuh pak Seno dengan sebuah selimut.

"Ikhlaskan dan relakan nak. Ayah kalian sudah tenang disurga nya Allah, tidak baik jika meratapinya terus. Kita harus segera mengurus pemakaman nya sekarang" ujar tuan Beni sembari mengusap lembut bahu Rio yang langsung mengangguk dan melepaskan pelukan Maira.

"Kita pulang duluan atau mau menunggu ambulan datang kemari?" tanya dokter Danar pada Maira dan Rio

"Rio mau nunggu ayah saja mas" jawab Rio

"Yasudah, yang sabar ya. Harus kuat, kamu anak laki laki" kata dokter Danar lagi, dan Rio hanya mengangguk sembari mengusap air matanya

Maira mengusap air mata yang tidak ingin berhenti mengalir dari matanya. Perasaan nya sungguh tidak menentu saat ini. Dia belum bisa menjadi anak yang baik untuk ayahnya, tapi ayahnya sudah pergi secepat ini. Dan lagi apa yang harus dia lakukan setelah ini pun Maira tidak tahu.

Fikiran nya benar benar kacau, rasanya dia seperti tidak bisa berfikir dengan jernih sekarang. Yang ada didalam hatinya adalah kenapa takdir hidupnya harus setragis ini. Apa belum cukup dia kehilangan ibunya? cintanya? masa depan nya? dan sekarang ayahnya????

Bingung Dan Gelisah

Sore itu hari terlihat mendung diarea pemakaman umum, bahkan gerimis sejak tadi mengiringi acara pemakaman pak Seno, ayah Maira.

Suasana duka begitu terasa ditempat itu, dimana mereka harus melepaskan sahabat dan orang tua yang begitu baik bagi mereka.

Lantunan doa terdengar menghiasi setiap langkah terakhir pak Seno menuju tempat peristirahatan nya. Pakaian serba hitam yang mereka kenakan seolah memang menandakan suasana duka yang mendalam, ditambah dengan hari yang memang sengaja mencurahkan airnya agar air mata kesedihan mereka tidak akan terlihat oleh siapapun.

Maira dan Rio berjongkok disisi pusara ayah mereka, tangan mereka terulur menabur bunga untuk menghiasi tempat peristirahatan ayah kebanggaan mereka. Pandangan mata mereka begitu sayu dan penuh kesedihan, bagaimana tidak mereka harus dipaksa untuk kehilangan orang yang mereka sayangi dengan begitu cepat.

Dokter Danar dan tuan Beni juga ikut menabur bunga dimakam pak Seno, bahkan tadi dokter Danar sendiri yang turun kedalam kubur mengantarkan jenazah ayah mertuanya dan mengazankannya. Dia juga merasa kehilangan dengan kepergian mertua nya itu, bukan hanya sebagai mertua, namun dokter Danar lah yang merawat pak Seno selama satu bulan terakhir ini dirumah sakit tempat nya bekerja.

Para pelayat yang datang kepemakaman pak Seno terlihat mulai membubarkan diri. Dan kini yang tersisa hanya tinggal Maira, dokter Danar, Rio, tuan Beni dan istrinya yang tidak banyak berbunyi sejak meninggalnya ayah Maira pagi tadi.

"Kita pulang?" ajak dokter Danar pada Maira dan Rio

Rio menatap kakaknya yang tersenyum da mengusap pundak nya dengan lembut

"Pulanglah lebih dulu, nanti kakak nyusul" ucap Maira. Rio hanya mengangguk patuh dengan wajah sendu nya. Maira tahu Rio benar benar kehilangan kini.

"Jangan lama lama nak, hujan semakin deras" kata tuan Beni. Dan Maira hanya mengangguk saja

Ibu dokter Danar langsung pergi tanpa berkata apapun. Wajahnya datar dan terkesan begitu dingin, entah apa yang ada difikiran wanita itu, Maira tidak ingin perduli.

Rio pulang bersama tuan Beni yang merangkul pundaknya, dan kini tinggalah dokter Danar dan Maira dipemakaman itu. Dokter Danar berdiri dibelakang Maira dengan tangan yang memegang payung. Sedangkan Maira berjongkok dengan pandangan mata yang begitu nanar dan tampak kosong.

"Dokter bisa pulang, saya ingin sendiri saat ini" ucap Maira tanpa menoleh pada dokter Danar dibelakang nya

"Hari sudah mau maghrib dan saya tidak bisa meninggalkan kamu sendiri disini" jawab dokter Danar

"Saya bukan anak kecil yang perlu dikhawatirkan" sahut Maira

"Saya tidak mengkhawatirkan diri kamu, saya hanya mengkhawatirkan diri saya sendiri. Jika ayah tahu saya pulang sendiri, pasti saya yang akan disalahkan" jawab dokter Danar.

Maira begitu kesal mendengar nya. Dia menoleh sadis pada dokter Danar yang berwajah tenang itu, sungguh menjengkelkan

"Saya tidak perduli" dengus Maira yang melengos kesal

Dokter Danar hanya tersenyum tipis, dan Maira kembali menatap pusara ayahnya. Mereka terdiam begitu lama, hanya gemerisik air hujan yang mengisi suara disenja hari dipemakaman itu.

Maira mengusap penuh perasaan pada batu nisan ayahnya, bahkan air hujan yang mulai membasahi tubuhnya tidak lagi dirasakan nya. Dia malah merasa lebih tenang karena terkena tetesan air hujan, seolah semua perasaan nya ikut meluruh bersama air yang membasahi tubuhnya, ya walaupun tidak langsung terkena air karena dokter Danar yang memayungi nya.

'ayah, apa yang harus Maira lakukan sekarang' batin Maira begitu pedih

'bagaimana dengan pernikahan ini, apa Maira harus berpisah? atau bertahan?' batinnya lagi

'lalu bagaimana dengan Rio'

'Maira bingung ayah'

Maira tertunduk pedih, dan kembali terisak, dia benar benar bingung apa yang harus dilakukan nya. Terus meneruskan pernikahan ini? apa itu baik. Tapi jika bercerai, apa ayahnya tidak akan kecewa pada Maira. Melihat Maira menikah dengan dokter Danar adalah keinginan terakhir ayah nya yang memang tidak pernah menuntut apapun dari Maira selama ini. Tapi untuk melanjutkan pernikahan ini apa dia sanggup. Selain usia nya yang masih begitu muda, Maira masih mempunyai impian yang ingin dicapainya.

Dan lagi Rio, bagaimana dengan adiknya itu jika dia tetap melanjutkan pernikahan nya. Dengan siapa adiknya itu akan tinggal, Maira kuliah diibukota sedangkan Rio bersekolah disini. Ya, Maira benar benar bingung, dia sampai menangis dan terisak dengan pilu karena hatinya yang benar benar tidak tentu arah sekarang.

Dokter Danar terlihat menghela nafas nya melihat Maira yang menangis kembali, bahkan dapat dokter Danar lihat punggung Maira yang bergetar hebat. Maira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya berusaha sekuat mungkin untuk meredam tangis sedihnya, namun terasa percuma.

Maira sedikit terkesiap saat dokter Danar berjongkok disampingnya dan mengusap punggung nya dengan lembut.

"Ayah pasti sedih melihat kamu seperti ini" ucap dokter Danar

"Anda mana tahu rasanya kehilangan" sahut Maira sembari mengusap kasar wajahnya. Suara nya begitu serak dan terdengar penuh.

Maira menatap kesal dokter Danar yang malah tersenyum begitu teduh menatap pusara ayahnya

"Ya, kamu benar" ucap dokter Danar

"Saya memang tidak tahu rasanya kehilangan. Tapi sedikit banyak nya saya tahu arti dari kehilangan itu. Ayah tidak pergi meninggalkan kamu, dia hanya berpindah tempat saat ini, pindah ketempat yang lebih baik lagi. Tempat dimana dia tidak akan merasakan sakit lagi, dan tempat dimana dia menunggu kamu untuk menyusulnya suatu hari nanti"

"Dia ada ditempat itu dan memperhatikan kamu dari sana, dia selalu ada meski tidak lagi terlihat. Dia tahu kegundahan hati kamu, dia tahu apa yang kamu lakukan. Dia mengharapkan doa doa kamu Maira, bukan tangis mu" ungkap dokter Danar dengan suara nya yang begitu tenang yang mampu membuat Maira terdiam sesaat

"Kamu jangan menumpahkan kegelisahanmu disini. Jangan menambah beban nya lagi, kamu tidak tahu seberapa keras dia menghadap Tuhan nya. Kamu hanya cukup duduk diatas sajadah sampai kapanpun kamu mau, adukan semua pada Tuhanmu, maka kamu akan mendapatkan jawaban dari apa yang kamu pertanyakan" tambah dokter Danar lagi

Maira masih terdiam dan menatap pusara ayahnya, benarkah yang dikatakan dokter Danar?

Meski kesal, namun entah kenapa kata kata nya memang mampu masuk kedalam hati Maira.

"Sekarang kita pulang. Ada Rio yang menunggu dirumah" Dokter Danar berdiri dan menatap Maira yang berjongkok ditempatnya

Ya, ada Rio. Maira harus kuat, Maira harus menjadi kakak sekaligus orang tua untuk adiknya itu. Dia tidak boleh lemah, bukankah sedari dulu dia sudah terbiasa hidup mandiri?

....

Tidak terasa seminggu berlalu dengan begitu cepat. Malam ini Maira duduk bersama Rio diteras rumah tuan Beni. Dia sedang mendengarkan keinginan adiknya yang begitu mengejutkan nya

"Jadi kamu ingin tetap tinggal dikota ini?" tanya Maira sekali lagi

Rio mengangguk yakin dan menatap Maira

"Iya kak. Rio ingin sekolah dipondok pesantren saja, selagi baru semester satu" jawab Rio

"Kenapa tidak ikut kakak saja tinggal diJakarta dek, kakak gak bakalan tenang ninggalin kamu sendiri disini" kata Maira begitu keberatan. Bagaimana mungkin dia membiarkan Rio disini

"Kak, Rio udah besar, udah kelas satu SMA, Rio pengen mandiri, sekaligus mewujudkan keinginan ayah dulu yang pengen Rio mondok dipesantren" ungkap Rio dengan wajah sendunya

Maira langsung mengusap pundak adik lelaki semata wayangnya itu dengan lembut. Dia benar benar bingung sekarang.

"Tidak apa apa Maira, kan ada ayah disini. Sesekali ayah pasti jenguk Rio disekolahnya. Ayah juga sudah mencari pondok pesantren yang cocok untuk Rio" ungkap tuan Beni tiba tiba. Maira dan Rio langsung menoleh kearah tuan Beni yang baru keluar dari dalam rumah dengan segelas kopi ditangannya. Rio segera beranjak dan mempersilahkan tuan Beni duduk dikursinya, sedangkan dia beralih kekursi rotan yang ada disebelah Maira.

"Tapi..." ungkapan Maira tertahan karena dia bingung, biaya sekolah dipesantren pasti lebih mahal dari pada sekolah umum lainnya. Apa dia sanggup? Maira sungguh tidak ingin menerima pemberian dari keluarga tuan Beni lebih banyak lagi.

"Jangan khawatir. Rio anak baik, dia pasti bertanggung jawab atas pilihan nya" kata tuan Beni. Maira menoleh pada Rio yang mengangguk dan tersenyum penuh keyakinan.

Maira menarik nafas nya perlahan dan tersenyum dengan terpaksa

"Baiklah, tapi kamu harus janji untuk akan baik baik saja dan tidak akan mengecewakan kakak" pinta Maira

"Iya kak, Rio janji" jawab Rio dengan yakin

"Untuk soal biaya kamu tidak usah khawatir Maira. Ayah kalian sudah mempersiapkan semuanya dengan baik, dia tidak mungkin menelantarkan anak anak nya" ungkap tuan Beni, dan Maira langsung mengernyit bingung mendengarnya

"Maksud ayah? Bukankah semua harta ayah kami sudah habis untuk pengobatan nya dulu?" tanya Maira. Tapi tuan Beni langsung menggeleng dan tersenyum

"Tidak nak, harta yang terlihat memang sudah habis kalian jual, tapi sebenarnya sejak dulu ayah kalian sudah menginvestasikan sebagian harta nya pada bisnis ayah. Dia mempercayakan ayah yang mengelolanya. Dan asal kamu tahu, jika bisnis perhotelan yang ayah miliki adalah hasil dari bantuan ayah kamu. Dia memberikan modal yang cukup besar dulu pada ayah yang belum punya apa apa, dan alhamdulillah bisnis itu berkembang pesat hingga sekarang"

"Ayah kalian tidak ingin ayah mengembalikan modal yang ayah pinjam, dan dia berkata jika uang itu dia serahkan pada ayah sebagai bentuk investasi untuk tabungan masa depan kalian"

"Bukan kalian yang berhutang budi pada ayah, tapi ayah lah yang berhutang budi pada ayah kalian" ungkap tuan Beni panjang lebar.

Maira tertegun dan langsung terdiam. Apa apaan ini? Kenapa seperti ini? Siapa yang bisa menjelaskan padanya sekarang. Maira sungguh bingung

"Hotel tempat kalian menikah adalah hotel atas namamu nak" ungkap tuan Beni lagi. Dan kembali , Maira melebarkan matanya dan terkesiap kaget mengetahui hal itu

"Yang benar saja" gumam nya tak percaya

"Ya, itulah hasil investasi ayah kalian untukmu. Dan untuk Rio, sebuah showroom mobil yang akan menjadi bagian nya nanti. Semua berkas sudah ayah siapkan, semua nya sudah ada dan tinggal tanda tangan dari kalian saja" kata tuan Beni lagi

Maira benar benar dibuat seperti mimpi, kenapa ayah nya tidak pernah bercerita pada nya dulu. Bahkan karena takut menyusahkan ayah nya, Maira sampai harus rela bekerja sampingan demi untuk menutupi kebutuhan hidupnya diibukota. Astaga, dia ingin berteriak frustasi saat ini

"Hei, kenapa kamu melamun?" tanya Tuan Beni pada Maira yang menatapnya dengan wajah bingung

"Jangan terlalu banyak berfikir, jika ayah kalian memberitahu kalian tentang ini sejak lama, kamu tidak akan tahu bagaimana rasanya untuk mensyukuri sesuatu bukan" goda tuan Beni membuat Rio tertawa dan Maira langsung memalingkan wajahnya yang tersipu malu.

Ya, itu benar. Tapi pernikahan nya, Maira sudah berfikir jika dia menerima tawaran pernikahan itu sebagai bentuk balas budi, tapi yang terjadi malah sebaliknya, dan sekarang dia benar benar membenci dokter Danar. Lihat saja apa yang akan dilakukan nya nanti.

....

Sementara didalam kamar tuan Beni, dokter Danar terlihat duduk dikursi rias ibunya. Dokter Danar menatap ibunya yang duduk disisi tempat tidur dengan pandangan tidak suka.

"Lihatlah, seminggu sudah dia menjadi istri kamu, apa yang sudah dilakukannya. Hanya mengurung diri dikamar, itu yang disebut sebagai istri?"  ucap ibu dokter Danar dengan kesal

Dokter Danar hanya tersenyum menanggapinya

"Ibu, Maira sedang berduka saat ini. Mungkin dia juga belum bisa menyesuaikan diri dengan keluarga kita" ungkap dokter Danar begitu lembut. Sungguh dia tidak ingin menyakiti hati ibunya.

"Danar, kamu anak laki laki ibu satu satunya, ibu ingin kamu mendapatkan jodoh yang tulus menyayangi kamu, bukan gadis seperti Maira yang tidak ada sama sekali menghormati kamu sebagai suami" kata ibu dokter Danar lagi

Dokter Danar langsung beranjak dan berpindah duduk disamping ibunya. Dia mengambil tangan ibunya dan menggenggam nya dengan lembut

"Danar minta maaf ya bu, tapi tolong beri Danar waktu untuk mengubah Maira menjadi seperti yang ibu inginkan, hanya butuh waktu bu" pinta dokter Danar

"Tiga bulan Danar, tiga bulan. Jika dalam waktu tiga bulan dia tidak juga berubah, maka ceraikan dia" kata Ibu begitu tajam membuat dokter Danar langsung terdiam memandang ibunya.

Tiga bulan?

Apa bisa???

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!