Namanya Qailula Suha Damanik. Gadis berusia sembilan belas tahun itu terlihat anggun saat menggenakan gaun warna broken white, sedikit di atas lutut.
High heels warna perunggu terlihat serasi dengan jepit yang tersemat di rambutnya, begitu mencolok mata, khas penampilan Lula kesehariannya.
Dan yang lebih spesial, dada Lula terlihat lebih membusung saat ini, memamerkan asetnya yang terlihat sedikit beda dari biasanya. Perlu diketahui, sejujurnya milik Lula mempunyai ukuran kecil. Tapi karena ingin menyempurnakan penampilannya, dia terpaksa menggunakan push up bra berbusa tebal.
"Ai ... panggil putri kita, Frans bisa mengomel kalau kita terlambat hadir." Senyum Lula tersungging mendengar gerutuan sang ayah.
Pagi ini, keluarga Rainer Abiyasa Damanik hendak menghadiri acara akad nikah Frans Agung Pagara. Acara pernikahan akan diadakan satu jam lagi. Tapi, mengingat Frans adalah sahabat terbaik Rainer, pria itu tidak ingin melewatkan hari bersejarah sahabatnya.
"Aku di sini, Yah!"
Dua orang yang menghadap mobil seketika berbalik menatap Lula. Keduanya tercenung melihat penampilan putri pertamanya itu. "Are you okay, Lula?!" Alis Rainer nyaris menyatu, melihat penampilan sang putri tampak begitu feminim.
"Apa aku tidak pantas mengenakan ini, Yah?" Lula membalas dengan pertanyaan. Lalu menelisik kembali penampilannya.
"Aish, bukan begitu?" Telapak tangan pria itu mendarat di kening Lula. "Apa kamu membawa masuk seseorang ke kamar?"
"Why!" sentak Lula, dia justru merasa bersalah karena membuat kedua orang tuanya kebingungan.
"Siapa yang ngajarin kamu make up?"
"Ow ...." Lula tertawa riang, ketika mengerti ke mana arah pembicaraan Daddy nya itu. "Chanel YouTube! Tahu nggak, Yah, semalam suntuk aku belajar make up?" adunya penuh semangat.
Rainer yang mendengar itu hanya geleng kepala. Untuk apa coba dia melakukan itu? Jangan bilang Lula mulai jatuh cinta! TIDAK, dia belum siap melihat putri kecilnya tumbuh menjadi dewasa. lalu kehilangan Lula karena dipinang oleh laki-laki.
"Buruan! Katanya takut terlambat!" sela Zahira, memprotes suami dan putrinya. "Ngobrolnya dilanjutin di dalam mobil saja! Emang nggak bisa?" sambungnya, menyindir.
Seperti diingatkan, Rainer buru-buru membukakan pintu mobil untuk putrinya. Dia segera melajukan mobilnya ke rumah Frans.
Perasaan lega kini tengah dirasakan oleh Rainer. Mengingat sahabatnya yang kini telah berusia 39 tahun itu akhirnya menikah juga. Menikahi Priscilla yang notabene adalah seorang janda tanpa anak.
Rainer sendiri heran, bisa-bisanya karena merasa bersalah pada Priscilla, Frans menunggu status wanita itu menjadi janda. Dulu mereka memang satu sekolah ketika duduk di bangku SMA, Frans sempat membeli keperawanan Priscilla, sungguh masa muda pria itu kelam, nakal berbeda jauh dengan dirinya. Dan saat ini, Frans sudah tobat, dia adalah saksi bagaimana Frans memenangkan kembali hati Priscilla.
Senyum Rainer mengembang ketika mendapati putrinya dari kaca kecil yang ada di depannya. "Kado untuk Daddy kamu sudah siap, Sayang?"
"Udah, dong. Kata Bunda suruh bawain baju."
Rainer mengernyit. "Baju?"
"Ya. Kata Bunda ini baju dinas malam."
Rainer melirik ke arah sang istri, mendapati Zahira tersenyum cerah ia pun paham apa yang dikatakan putrinya.
Rainer mengangguk pelan. "Lula ... apapun yang kamu ketahui tentang Daddy Frans di masa lalu. Kamu cukup diam saja! Kamu jangan jauh-jauh dari Ayah, Okay?"
"Jangan terlalu serius, Yah!" Lula tersenyum masam. "Lula bukan gadis 10 tahun! Lula bisa pulang sekalipun kehilangan jejak kalian."
Gadis itu berusaha menikmati perjalanan yang cukup membosankan. Singkat cerita, Lula lah yang menjadi penyebab kandasnya hubungan Frans dan Priscilla. Berakhir Priscilla menikah dengan pria lain pilihan orang tuanya.
Dan hari ini, melihat daddy Frans hendak menikahi wanita itu, Lula pun merasa lega. Rasa bersalahnya sedikit sirna karena akhirnya sang Daddy bisa mendapatkan wanita yang dicintainya. Itulah yang Lula ketahui tentang sosok Frans.
"Ayah! Apa opung akan membawa Ben ke akad?"
"Tidak. Mungkin akan datang saat resepsi nanti malam!"
Kehidupan Lula terasa sempurna, dia memiliki orang tua lengkap dan hermonis. Dia juga memiliki satu adik laki-laki bernama Ben Sagara.
Lula memiliki kasih sayang yang melimpah ruah. Dia gadis istimewa. Memiliki tiga kakek, dan dua nenek. Mereka terlalu memanjakan Lula, sempat hari itu kakek Ken berniat membawanya tinggal bersama. Tapi kedua kakek yang lain tidak menyetujui. Mereka suka sekali memperebutkan dirinya.
Jadi demi keadilan, Lula memutuskan kembali ke rumah sang Ayah. Dia menyayangi ketiga kakeknya, tidak menginginkan permusuhan di antara mereka.
Berbeda jauh dengan kehidupan Lula saat berada di sekolah. Karena nilai akademiknya rendah Lula jadi kesulitan mendapatkan teman. Hanya satu pria penyuka drakor itulah yang mau berteman dengannya.
"Sayang ayo keluar!" Suara sang Bunda membuyarkan lamunan Lula. Gadis itu buru-buru membuka pintu, bersiap untuk menyaksikan sang Daddy menikah dengan wanita yang dicintainya.
"Hari ini kamu tampak lesuh sayang?" Tanya Zahira, turut prihatin. "Harusnya kamu ceria dong!"
"Bun, aku ceria! Coba lihat senyumku!" Lula menunjukan kedua lesung pipinya.
Zahira ikut tersenyum melihat bagaimana Lula memamerkan senyumnya. Dia tidak lagi khawatir dengan suasana hati sang putri.
"Bun, aku akan menemui Tante Priscilla dulu. Bunda cari tempat duduk dulu nanti Lula menyusul."
"Buruan ya, Sayang! Jangan lama-lama!" Pesan Zahira pada Lula, kemudian berjalan menghampiri sang suami yang sudah berlalu meninggalkannya. Pria itu terlihat sudah bergabung dengan teman masa SMA-nya dulu.
"Anak kamu berapa sekarang, Rain?" tanya seorang pria pada Rainer.
Sepertinya acara itu bukan lagi pesta perkawinan Frans dan Priscilla, melainkan acara temu kangen SMA Baracuda.
"Kamu nanyee?" balas Rainer, matanya memicing sembari menahan tawa.
"Astaganaga! Pengabdi cem-mek lu, ya! Dokter kandungan bisa gila juga!"
"Ye, dokter juga manusia! Aku cuma ngikutin anakku dia sering bilang gitu ke aku! Kamu sendiri sudah berapa anakmu?" jelas Rainer, tak ingin disalahkan, karena terbawa arus anak laki-lakinya.
"Kamu nanyee ... Kamu nanyaee!" pria itu menahan tawa saat melihat ekspresi Rainer. "Aku ngikutin Lo! Jangan marah, istriku hamil nih, besok aku bawa pasien ke rumah sakitmu! Lumayan kan, Lo jadi dapat bonus! nanti aku sekalian promo ke komunitas bumil di komplek! Yaelah, mereka sepertinya janjian. Masa dari nomor rumah 30 sampai 45 hamil semua!"
"Masa bodoh!" Tangan Rainer merangkul pinggang istrinya saat mendapati Zahira berdiri di sampingnya. "Ayo kita jauh-jauh, dia lagi kena sindrom _kamu nanyee? Ntar kamu ikut-ikutan! " ajaknya pada Zahira.
Pria yang ditinggalkan tadi terpingkal. Tak lama kemudian mereka semua mengambil duduk di kursi yang telah disediakan, mengikuti instruksi MC. Berhubung kursi sab depan sudah terisi penuh, Rainer meminta sang istri untuk duduk di kursi kosong bagian belakang. Lagian di sana bisa lebih mudah untuk memutar memori menjadi pengantin baru dengan Zahira, kala itu.
"Anak kita mana, Ai?" Rainer mulai mencari keberadaan putrinya.
"Tadi dia bilang mau lihat Priscilla."
Rainer mengangguk, merasa aman saat mendengar penjelasan singkat itu. "Akhirnya Frans nikah juga ya? Aku tu khawatir dia benar-benar nungguin Lula."
"Iya. Emang apa kata orang nanti kalau Frans menikahi gadis daun muda! jadi bahan gunjingan, pasti!"
"Tapi aku lebih mengkhawatirkan putri kita."
Zahira mengusap punggung Rainer. "Dia sudah baik-baik saja!"
Sebenarnya tidak banyak yang hadir dalam acara ijab qobul pagi ini. Frans dan Priscilla sengaja mengadakan acara terpisah. Dan akad nikah hanya dihadiri keluarga besar dan para sahabatnya saja. Sepertinya yang hadir tidak lebih dari seratus orang.
Beberapa menit menunggu, lagu pengiring mempelai mulai mengalun merdu. Rainer yang duduk di samping Zahira menatap penuh cinta ke arah wanita itu. "_You look so beautiful in white." Rainer menirukan lagu yang mengalun sambil menatap istrinya lekat. "Lagunya ngadi-adi. Kamu cantik pakai baju apapun. Apalagi kalau enggak!"
"Stop! Udah jangan dilanjut!" Zahira berusaha mencegah ucapan suaminya. Dia tahu ujungnya, pasti dokter kandungan itu akan membicarakan hal mesum setelah ini.
Sangking asyiknya mereka berdua ngobrol. Mereka sampai tidak tahu menahu saat mempelai sudah duduk di kursi ijab qobul. Dua orang itu tak ingin lagi melanjutkan adu pendapat. Mereka ingin menjadi saksi dari mempelai yang saat ini duduk di depan penghulu.
Suasana semakin menegang ketika Frans menjabat tangan penghulu. Seluruh orang yang hadir di sana akan menjadi saksi bagaimana Frans mengucapkan kalimat qobul.
"Saya terima nikah dan kawinnya Qailula Suha Damanik binti Rainer Abiyasa Damanik dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Ucapan pria itu membuat Rainer menegang. Netranya beralih menatap ke arah mempelai wanita. Dadanya bergemuruh, netranya berkilat amarah yang meronta meminta di luapkan. Sama halnya dengan Zahira, dia merasa tidak dihargai di sini. Tidak terima dengan situasi yang terjadi.
"Bagaimana, Saksi? SAH?!"
"Sah!" Beberapa orang berkata sah secara kompak hanya Rainer yang berseru mengatakan "TIDAK!" tanda pernikahan itu tidak sah.
Semua tamu yang hadir menatapnya lekat. Rainer justru dengan gagah berani mendekati meja akad. Hingga pandangannya bertemu dengan Frans. Dia sudah mengumpulkan kekuatan, bertumpu pada kepalan tangan kanannya, bersiap mendarat di wajah Frans.
Bugh
Satu pukulan mendarat di tulang pipi Frans, membuat kepala pria itu tertoleh ke arah samping. Rainer dengan cepat meraih tuxedo yang dikenakan Frans. Lalu kembali melayangkan bogeman. Pukulan kedua terlihat lebih keras sampai membuat Lula menjerit histeris. Dia shock, baru kali ini melihat Rainer tampak begitu murka, terlebih pada sehabat karibnya sendiri.
"Ayah stop!"
Setelah memisahkan diri dari kedua orang tuanya, Qailula mengayunkan langkahnya ke ruangan yang digunakan untuk merias mempelai wanita. Gadis itu sudah tidak sabar ingin melihat secantik apa wanita yang hendak dinikahi Daddy angkatnya itu.
Bibir tipisnya berdendang lirih, mengiringi langkah kakinya menuju ruangan yang ada di lantai satu. Qailula sudah hapal di mana saja letak setiap ruangan rumah itu. Bahkan, art yang bekerja di sana sudah kenal dekat dengannya, sangking seringnya dia berkunjung ke rumah tersebut.
Tiba di ruangan yang digunakan, Lula lekas mendorong pintu tersebut. Ironisnya, dia justru melihat mempelai wanita melompat dari jendela kamar. Lula terlihat panik, dia bingung harus melakukan apa.
"Tante!" panggil Lula, berusaha mencegah niat buruk wanita yang hendak dinikahi Daddy Frans. Sayangnya, wanita itu tetap kabur begitu saja, meninggalkan beban bagi Lula, karena dia saksi atas kepergian wanita itu. Tidak ada siapapun di sana, dan otomatis ... tidak ada bukti yang membenarkan jika Lula tidak terlibat atas kepergian sang mempelai wanita.
"Pengantinnya di mana?" MUA yang baru saja memasuki ruangan sembari membawa baju kebaya bertanya kepada Lula.
"Di—dia pergi!" bibir Lula bergetar hebat, tangannya menunjuk ke arah jendela. "dia kabur lewat jendela," sambungnya menjelaskan, pikirannya semrawut, khawatir wanita itu akan menyalahkannya atas kepergian calon mempelai.
"Apa?! mana mungkin itu terjadi!" MUA itu menunjukan wajah shock, belum ada lima menit dia meninggalkan Priscilla untuk mengambil kebaya yang hendak digunakan untuk akad tapi wanita itu sudah kabur. Padahal sebelumnya tidak terjadi apapun dengan sang mempelai wanita. "Kamu tahu dia hendak kabur? kenapa tidak kamu cegah!"
Aku sudah mencegah tapi dia nekad kabur! ucap Lula dalam hati. Dia tidak memiliki keberanian untuk membela diri.
Suara langkah kaki yang mendekat ke ruangan membuat Lula meremas erat sisi gaun yang dikenakan. Jantungnya berdebar kencang saat pintu ruangan sudah terbuka lebar.
Kepala Lula menunduk dalam saat suara dari Eyang Ano menggelegar memenuhi ruangan. Wanita yang sudah tak lagi muda itu memaki para penjaga yang membiarkan calon mantu cucunya kabur begitu saja.
"To-lol kalian semua!" umpatnya penuh emosi. Wanita itu berjalan memasuki ruangan berpegangan erat pada tongkatnya.
"Sudah kuduga ini bakalan terjadi!" ucap Eyang Ano, ia berjalan mendekati meja rias, di mana Lula kini tengah berada di sana. Wanita tua itu tak mampu lagi berdiri tegak, dia mengambil duduk di bangku yang tadi digunakan untuk mempelai wanita.
Lula merasa lega karena eyang Ano tidak menyalahkan dirinya atas kepergian Priscilla. Tapi kali ini, dia bisa melihat kesedihan yang ditumpahkan wanita tua itu.
"Aku akan mati! tapi cucuku belum nikah!" keluhnya seraya memukul bagian dada. Tampak jelas wanita itu sedang putus asa, mendapati kenyataan yang terjadi saat ini.
Sekejap kemudian, pandangan Eyang Ano nampak kosong, menatap lurus pantulan jati dirinya. Lamunanya berakhir ketika dua orang berjalan penuh wibawa memasuki ruangan.
Tak beda jauh dengan Lula, Frans dan Ibnu terlihat panik setelah mendengar kabar jika Priscilla kabur di hari pernikahannya.
Saat Lula beralih menatap eyang Ano ekspresinya tampak berbeda. Wajahnya berubah marah, tak seperti tadi yang penuh akan penyesalan.
"Sudah berapa kali Eyang bilang ke kamu! jangan menikahi wanita itu, tapi kamu tetap saja bandel! Dasar BERANDAL TENGIK! Jika sudah seperti ini, apa yang akan kamu lakukan? Hah! Eyang sudah tua, sudah tidak bisa mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milikmu!" wanita itu memaki sang cucu, yang Frans lakukan hanyalah menundukan kepala.
Dari dulu Eyang Ano memang tidak begitu menyukai Priscilla. Butuh waktu lama untuk wanita itu memberikan restu pada mereka berdua.
"Ini juga bukan keinginan Frans, Eyang ... aku tahu dia punya alasan yang kuat kenapa memilih pergi dari acara ini!" Frans masih saja membela Priscilla, tidak peduli sudah sebesar apa wanita itu menginjak harga dirinya. Sepertinya cinta sudah membutakan Frans.
"Sangat tidak bertanggungjawab!" kata Eyang Ano meledakan emosinya, memukuli kepala Frans dengan kipas di tangan.
Lula hanya mampu menyaksikan perdebatan antara Eyang dan cucunya itu. Untuk saat ini, dia bisa melihat bagaimana rapuhnya sosok Daddy Frans, kehilangan calon istri, dan mungkin sebentar lagi, dia harus merelakan jabatannya untuk diserahkan kepada sang adik yang lahir dari ibu tiri.
"Masalah perusahaan, mungkin kita masih bisa memikirkan jalan keluarnya nanti. Bagaimana dengan tamu undangan di luar sana? Dengan acara resepsi nanti malam? Eyang tidak bisa membayangkan akan sehancur apa keluarga kita di depan mereka. Eyang ingin mati saja kalau begini. Tembak Eyang saja!" teriak Eyang Ano, dengan suara tak jelas.
Lula terkejut mendengar perintah eyang Ano, dia mendongak hendak membujuk Eyang Ano supaya tidak melakukan hal nekad. Tapi pandangannya justru bertemu dengan sahabat daddynya.
Jujur ia terpesona saat melihat lebih detail wajah mempelai pria itu. Tubuhnya terlihat sempurna dengan jas putih yang membalut badan. Potongan rambutnya yang baru dan terlihat lembab, semakin menonjolkan sisi karismatik pria itu. Pandangan Lula seperti dipaku mati oleh Frans, hingga lidahnya yang hendak berkata-kata, mendadak kelu. Dia tidak mampu berpikir jernih saat ini.
"Frans akan tetap menikah, Eyang ..." kata Frans lembut, tatapannya tak berpindah sedikitpun dari Lula, bahkan untuk detik ini, pria itu mampu tersenyum cerah.
"Wanita mana lagi yang akan kamu nikahi?! dasar bodoh!" sungut Eyang Ano, kesabarannya semakin tipis.
Mata Frans mengerjap berulangkali, seakan sedang memberi isyarat pada Lula. "Frans akan menikahi Lula!"
"Enggak!" Lula menolak tegas permintaan Frans. Berbeda dengan Eyang Ano yang langsung membekap mulutnya dengan tangan.
Mereka bertiga saling bertukar pandang. Hingga sesaat kemudian eyang Ano kembali bersuara. "Eyang setuju kalau kamu mau menikah dengan cucuku!" bujuk Eyang Ano, turut membantu Frans untuk meluluhkan Lula.
Lula sadar dirinya bodoh, IQ nya ngesot banget tapi dia tidak akan menikah dengan sahabat daddy nya sendiri terlebih usianya saat ini baru 19 tahun. Apa kata teman-temannya nanti, ketika tahu dirinya dinikahi pria berusia dua kali plus satu dari usianya
"Lula ...."
Panggilan yang terdengar lembut itu menggoyahkan pilihan Lula. Dia melihat raut memohon yang ditunjukan Frans. Dalam pikirannya hendak menyangkal, tapi hatinya tidak tega melihat kesedihan di mata pria itu.
"Please ..." sambung Frans diiringi raut memelas. Lula menggeleng, menolak permintaan Frans. Dia benar-benar tidak bisa menjalani pernikahan dini, masa depannya yang belum tentu arah akan semakin kacau jika dia menikah muda.
"Kita bicara sebentar!" Frans sedikit memaksa, dia menarik tangan Lula, membawa gadis itu ke ruang yang lebih private.
"Enggak ya, Dad! Lula masih muda, Lula nggak mau menikah!" tolak Lula saat mereka tiba di area walk in closet yang ada di kamar itu.
Hening semakin membuat Lula khawatir, terlebih kedua tangan Frans kini berada di sisi tubuhnya, membuat wajah pria itu yang tengah menunduk semakin dekat padanya. "Apa yang kamu ketahui tentang pernikahan?!" tanya Frans, lirih, dia tengah memainkan strategi untuk memenangkan hati Lula.
Pertanyaan itu membuat Lula tak berkutik. Netranya terus melirik kesal ke arah Frans. "Hubungan badan, memiliki bayi! Itu dunia pernikahan dan aku nggak mau masa mudaku lenyap dengan hal-hal seperti itu!"
Jawaban Lula membuat sudut bibir Frans berkedut. "Dengarkan Daddy baik-baik, Lula ...." telunjuk Frans mengangkat dagu gadis kecilnya. "Pertama Daddy akan membebaskanmu dari kekangan Daddy Rainer, termasuk ...."
"Pacaran?" potong Lula.
Frans mengangguk cepat, dia akan setuju apapun permintaan Lula, asal hari ini bisa dilewatinya dengan baik. "Uang jajan! Kamu bisa minta berapapun yang kamu mau. Asalkan kamu mau membantu Daddy hari ini."
Lula merenung, dia tengah memutar ulang kehidupannya. Selama ini uang jajannya memang melimpah ruah, dari opa, Oma, kakek nenek semuanya memberinya uang jajan. Sayangnya, bukan dia yang mengelola, seluruh uangnya dikendalikan oleh ayah Rainer. Dia hanya diberi bekal makan siang plus uang jajan seratus ribu per hari, yang menurutnya kurang banyak untuk mentraktir teman-temannya.
"Satu juta perhari?" minta Lula, dia masuk ke perangkap Frans. Pria itu tahu benar kelemahan Lula.
"Boleh."
"Oh, tidak, itu terlalu sedikit!" Lula kembali memikirkan kebutuhannya, dia akan semakin banyak menolong anak-anak di pinggir jalan, jika memiliki uang banyak. Dia juga tidak akan mencuri bahan-bahan untuk membuat kue di toko roti Oma nya. Bukankah itu menyenangkan? pasti bunda akan bangga padanya jika dia sukses tanpa menyusahkannya! pikir Lula.
"Lula mau lima juta perhari," cetus Lula, setelah berpikir matang.
"Okay, Daddy akan memberimu lima juta perhari!" sahut Frans tanpa berpikir ulang.
"Janji?!" Lula terlihat begitu senang, gadis itu belum paham tentang janji pernikahan yang akan mengikatnya.
"Iya, janji!"
Lula meraih tangan Frans, memberikan tanda deal pada pria itu. "Tunggu! Tunggu ... tapi sampai kapan Lula akan menikah dengan Daddy?"
"Sampai ka—pan?" Frans berkata lambat, dia sendiri tidak tahu kapan akan mengakhiri pernikahan bodoh yang tengah direncanakannya ini. Ia berusaha menarik napas dalam-dalam. "Sampai Daddy ... merasa sudah cukup untuk mengakhirinya."
"Oh, tidak! biar Lula yang memutuskan! enam bulan, sampai aku lulus SMA!"
Frans memejamkan mata rapat, lalu mengangguk pelan. Sebelum tangannya terlepas, pria itu kembali mengeratkan cengkeramannya di telapak tangan Lula.
"Lula, pernikahan bukan tentang hubungan badan. Ingat, baik-baik, meski Daddy yang membayarmu untuk bekerja freelance, Daddy janji nggak akan menyentuhmu meski kita sudah halal! Kamu akan memberikan seluruhnya pada pria yang kamu cintai. Paham?"
Bagaimana bisa Frans berhubungan badan dengan gadis yang sudah seperti anaknya sendiri. Saat bayi saja, dia turut serta menggantikan popok Lula, masa iya setelah dewasa dia tega melakukan itu pada Lula. TIDAK, dia tidak akan sampai hati melakukan itu. Dia hanya akan menikahi Lula di atas kertas. Dia masih akan tetap menjaga gadis itu sebagai anak dari sahabatnya.
Setelah kesepakatan singkat itu terjadi. Frans membawa Lula kembali menghadap Eyang Ano. Dari kejauhan wanita itu terlihat murung, mungkin memikirkan nasib Frans yang tak kunjung menikah disaat usianya hampir mendekati kepala empat.
"Ibnu, minta MUA masuk untuk mendadani Lula!" perintah Frans pada sekretarisnya.
Akad nikah itu terjeda. Penghulu yang merasa ada kejanggalan terpaksa menghentikan acara ijab qobul.
"KAMU JUGA! Gimana bisa menikahkan Lula tanpa izin dariku! Aku ayah kandungnya! Qailula Suha Damanik itu putri Rainer Abiyasa Damanik! aku masih bernapas, Penghulu!" teriak Rainer dengan tatapan murka ke arah pria yang mengenakan kemeja batik. "Harga diriku terasa diinjak-injak!" ucap Rainer penuh dramatis, membuat orang di sekitar merasa iba.
Lula seperti berada di persimpangan jalan. Wajah murka dari sang ayah membuat rasa bersalah terus menghinggapi hatinya.
Namun, mengingat wajah memelas yang tadi ditunjukan sang Daddy juga membuatnya runtuh. Dia tidak bisa membiarkan pria itu tersiksa karena ditinggal calon istrinya. Lula semakin bingung, hendak melanjutkan pernikahan ini atau tidak.
Sialnya, bayangan uang lima juta setiap hari dalam genggaman, membeli perlengkapan sekolah lalu diberikan pada teman-teman kecilnya, melihat rona bahagia dari mereka, sepertinya itu menjadi alasan besar Lula untuk tetap melanjutkan niatnya. Ia semakin yakin kalau pernikahan ini sama-sama menguntungkan.
Suara-suara sumbang dari keluarga Frans mulai mengusik pendengaran Lula. Terutama suara Adik Frans yang turut hadir, ikut mencibir, membuat posisi Frans semakin terpojokkan. Lula tidak rela daddynya diperlakukan seperti itu. Jiwa iba nya meronta, dia tidak tega melihat orang di sekitarnya tersakiti.
“Ayah, izinkan Lula menikah dengan Ded—Mas Frans.” Lula nyaris saja keceplosan. Segera tangan lentiknya menggenggam telapak tangan pria yang sudah dianggap Daddynya itu. “Selama ini—maaf kami kalau sudah menyembunyikan hubungan ini pada kalian!” Lula menunduk, menatap tangannya yang terpaut dengan Frans. "Lula cinta sama Mas Frans."
“Lula!” Zahira memperingati putrinya, ia merasa ada kesalahan di sini dan membuat Lula memutuskan untuk membela pria itu.
Lula melepas tangan Frans, dia meraih tangan ayah dan bunda, membawanya ke ruang yang lebih sepi. Dia hendak membujuk mereka supaya merestui pernikahannya dengan Frans.
Sedangkan suasana di sekitar meja akad, tampak begitu gaduh. Eyang Ano, mengusap punggung cucunya, sambil berbisik. “Sepertinya Lula gadis yang baik! Dia berani membelamu di depan umum!”
“Meskipun begitu, Eyang harus ingat kalau gadis kecil itu hanya pengganti, Eyang!”
“Apa salahnya dengan pengganti. Faktanya barang pengganti tak selalu buruk. Bahkan saat ini lebih baik dari pilihan utama! haruskah mempertahankan yang pertama?! TIDAK!” Eyang Ano nyaris berteriak sangking emosinya dengan sang cucu. “Kamu itu harus didikte, supaya mengambil jalan yang baik untuk hidupmu. Selama ini, kamu selalu tergelincir dalam keburukan. Bukan hanya perkara jodoh! Proyek di Cikarang kamu juga gagal mendapatkannya!” desah eyang Ano, meski usianya sudah tidak muda lagi, tapi dia memiliki ingatan yang kuat.
“Apa yang terjadi? Di mana Priscilla?!” seorang pria menyela obrolan mereka berdua. Sedari tadi pria itu sibuk memamerkan anak ke duanya jadi dia tidak tahu menahu dengan yang terjadi di balik layar.
“Kamu diam saja, Fer. Semua akan berjalan dengan lancar. Frans akan tetap menikah hari ini!” kata eyang Ano.
Tanpa berkata lagi pria itu meninggalkan Frans dan eyang Ano, kembali bergabung dengan gerombolannya.
“Kamu lihat! Papi kandungmu saja seperti tidak peduli! Cuma Eyang yang peduli dengan masa depanmu. Kalau kamu tidak segera menikah, bisa-bisa papimu memberikan kekuasaannya pada adikmu! Apa kamu rela, jerih payah mamimu dimiliki orang lain?”
Frans memeluk tubuh wanita tua itu demi membungkam ocehannya. "Terima kasih Sayangku, sudah peduli padaku. Cuma eyang dan mami yang paham dengan Frans," bisik Frans, tampak begitu menyayangi eyang Ano.
“Itu Si Hujan kenapa main larang-larang?! Apa mereka tidak tahu seberapa banyak kekayaan kita, dengan uang itu kita bisa membuat buyutku bahagia.” Eyang Ano berusaha membela cucunya.
“Mungkin mereka takut kalau Frans menyakiti Lula!” ungkap Frans, melepas pelukannya dari tubuh sang Eyang.
“Apa kamu berniat menyakitinya? Apa pernikahan hanya permainanmu?” selidik Eyang Ano.
Tubuh Frans menegang, tapi segera dia menghilangkan ketegangan itu, sebelum diketahui oleh Eyang Ano. “Eyang … apa Eyang lupa? Dulu, aku pernah bilang kalau Lula akan jadi istriku. Makanya aku merawatnya seperti malika si keledai hitam.”
Satu pukulan mendarat di kepala Frans. "Kedelai!" ralat eyang Ano.
"Kukira eyang udah pikun?!" cibir Frans, seraya kembali memeluk tubuh eyang Ano.
“Semoga Rainer menyetujui pernikahanmu dan Lula.”
“Aamiin.” Frans berkata ringan, dia tidak tahu saja diwaktu yang bersamaan, Rainer benar-benar menerima penjelasan Lula. Gadis kecil yang baru bertransformasi menjadi wanita dewasa itu berhasil membujuk kedua orang tuanya. Dan Rainer setuju dengan pernikahan ini. Entah apa yang dikatakan Lula, pada akhirnya Rainer termakan dengan bujuk dan rayuannya.
Mereka bertiga kembali ke meja akad dengan raut datar. Rainer yang berperan sebagai ayah dari Lula, mengambil alih posisi penghulu.
“Aku sendiri yang akan menikahkan putriku. Kalau sampai Frans menyakiti Lula, aku tak sudi melepas tali pocongnya! Artinya dia harus mati di tanganku dulu untuk menjadi pocong!” ancam Rainer setelah duduk dibangku.
Tamu dari keluarga inti yang semula gaduh kini mulai tenang. Ketegangan berakhir saat Rainer menyetujui pernikahan Lula dan Frans.
Di saat semua orang terlihat tenang berbeda dengan Rainer, pikirannya semrawut. Dia sedang kebingungan, mencari alasan untuk menjelaskan semuanya pada ayah Abhi. Jika salah langkah, pasti dia yang akan kena pasung.
“Bisa kita mulai akadnya?” tanya penghulu, jarum jam terus bergerak, dia sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Karena harus segera berpindah tempat untuk menikahkan calon pengantin lain.
“Bisa!” Frans menyahut lantang. Lalu mengambil duduk tepat di depan Rainer, bersiap mengucapkan kalimat ijab.
Sementara Zahira, kini tengah memegangi lengan putrinya. Wanita itu tidak akan membiarkan Lula duduk si samping Frans sebelum keduanya dihalalkan secara agama.
Pagi itu, tepat saat jarum jam menunjukan pukul sembilan lebih 27 menit, status Lula sudah berubah menjadi istri Frans Agung Pagara. Seorang pimpinan perusahaan yang sibuk mengelola bisnis real estate milik keluarganya.
Frans dengan berani mengambil alih tanggung jawab Lula dari tangan Rainer. Dia berjanji akan membimbing Lula menjadi gadis baik-baik layaknya Rainer mendidik anaknya.
“Bunda! Sekarang Lula jadi istri CEO. Bukan lagi anak dokter kandungan,” bisik Lula setelah terdengar kata sah dari para saksi. Lula berucap penuh bangga, berbeda dengan Zahira yang justru menangis tersedu-sedu. Sebentar lagi dia akan kehilangan putrinya, putri kebanggaan keluarga, putri yang paling dicintai karena Lula berbeda.
“Kamu akan bahagia, kan, Sayang? Apa dia bisa melindungimu dari kejamnya dunia ini? Apa dia akan membelamu meski kamu melakukan kesalahan?” jujur Zahira khawatir mengingat sifat Lula yang begitu ceroboh.
Bibir Lula maju, kecewa dengan ucapan sang bunda. “Selama ini Daddy mampu menjaga Lula! Bunda jangan khawatir dia akan tetap bisa jaga Lula.”
Dengan berat hati Zahira mengangguk. Ada perasaan kecewa yang teramat besar dalam dirinya karena sudah mengizinkan Lula menikah dengan Frans, sahabat suaminya sendiri. Tahu akhirnya akan seperti ini dia tidak akan membawa Lula ke acara pernikahan Frans.
“Lula, buyutku! Eyang bahagia kamu jadi bagian dari keluarga Pagara.” Eyang Ano tampak menghampiri mereka berdua.
Lula yang melihat wanita renta itu segera berdiri, menyalami eyang Ano, lalu mencium tangan wanita itu dengan sopan. Tak lama kemudian eyang Ano memeluk tubuh Zahira yang enggan menyambutnya.
"Jangan khawatir, Sayang!" gumam Eyang Ano.
“Tolong sayangi putriku. Mohon terima kekurangan dan kelebihannya. Bagaimanapun kondisi Lula, dia dicintai di keluarga kami.”
Tepukan lembut di pundak Zahira membuatnya semakin menunduk. Tangisnya kembali pecah, dia kembali memeluk tubuh Lula, seakan enggan untuk memberikan dunianya untuk orang lain.
Ya, 19 tahun Lula menjadi pusat kebahagiaanya, banyak hal yang dia dapatkan saat bersama Lula. Dan sekejap saja, kebahagian itu seperti direnggut paksa oleh Frans. Sekarang Zahira paham perasaan sang mama, kenapa beliau menangis saat ia menikah dengan Rainer.
“Tenanglah, Sayang! Kalau sampai Frans menyakiti Lula, Eyang sendiri yang akan turun tangan.” Eyang Ano beralih menatap Lula, tangan keriputnya membelai dengan lembut pipi Lula. “Segera berikan Frans bayi yang lucu ya! usianya sudah tidak lagi muda. Kasihan kalau nanti dia tidak sempat melihat cucunya.” Meski terdengar candaan, tapi kalimat itu menjadi beban tersendiri bagi Lula.
Hei Eyang! Aku cuma pekerja freelance di sini! Daddy yang membayarku lima juta perhari! batin Lula. Mustahil dia akan mendapatkan bayi dalam kurun waktu 6 bulan. Tepat saat nanti Lula lulus sekolah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!