NovelToon NovelToon

Farewell

Bab 1: Janji

Di tengah taman yang penuh bunga tampak dua gadis kecil yang sedang bermain kejar-kejaran. Tawa gembira kedua gadis tersebut menyebar di udara, menunjukkan suasana hati mereka yang cerah seperti matahari yang tersenyum.

"Kakak! Kakak! Ayo tangkap aku! Hahaha....."

"Hahaha"

Seorang gadis kecil dengan gaun merah muda tertawa lebar dan melambaikan tangannya ke arah yang lain sambil berlari mengitari taman.

Gadis kecil lainnya yang memakai gaun biru berlari lebih kencang untuk menangkap targetnya. Keduanya jatuh telentang di atas hamparan bunga sambil tertawa penuh kebahagiaan murni.

Selesai tertawa, gadis kecil dengan gaun merah muda memeluk kakaknya dengan penuh senyuman dan berkata, "Kakak, Feline paling menyayangi Kakak!"

Sang kakak tertawa dan memeluk balik adiknya, "Kakak juga paling menyayangi Feline dan akan selalu menyayangi dan menjaga Feline!"

Sang adik semakin gembira mendengar kata-kata kakaknya dan bertanya lagi, "Kakak, kita akan selalu bersama kan?"

Mendengar pertanyaan Felice, sang kakak menarik mereka berdua yang berbaring telentang, bangun ke posisi duduk dan berkata dengan penuh percaya diri, "Tentu saja! Kita akan selalu bersama selama-lamanya. Kakak akan membalas siapa pun yang mengganggu Feline!"

Feline terkikik senang dan dengan polos bertanya lagi, "Bagaimana jika Feline diganggu banyak orang? Kan kakak cuma sendiri."

Sang kakak membelai kepala adiknya dan dengan bangga menjawab, "Tidak peduli berapa banyak orang yang mengganggu Feline, kakak pasti akan melindungi Feline dan membalas semua orang yang telah mengganggu Feline!"

Feline menunjukkan jari kelingkingnya dan menggoyang-goyangkannya, "Pinky promise?"

Sang kakak mengaitkan jari kelingking adiknya dengan senyuman lebar dan berkata, "Pinky promise."

Kedua gadis kecil itu saling berbagi senyuman. Matahari terbenam menambah kehangatan pada fitur keduanya. Pada saat itu, di tengah hamparan bunga, janji polos antara kedua anak gadis itu pun terbentuk, dengan matahari terbenam sebagai saksi alam keduanya.

......................

Di tengah hujan lebat, suara tangisan memecah malam. Teriakan dan tuduhan membingkai suasana yang menyesakkan. Seorang gadis kecil mengenakan gaun hitam memegang payung dan berdiri di tengah kerumuan, membuat sosoknya tampak tidak mencolok. Namun, di tengah tangisan yang menyebar, teriakan melengking dari pertengkaran, serta bisikan-bisikan yang mengandung ejekan, rasa kasihan, dan gosip, gadis kecil itu hanya berdiri diam tanpa reaksi apa pun. Dia menatap foto di batu kuburan tanpa emosi.

"Anak itu benar-benar malang. Padahal usianya baru sepuluh tahun."

"Keluarga ini juga sangat kasihan. Kedua orang tua gadis kecil itu pasti merasa sangat sedih sampai bertengkar histeris seperti itu."

"Heh...Kalau dipikir-pikir, keluarga mereka juga bermasalah. Kudengar gadis kecil itu bunuh diri karena depresi. Masa anak usia sepuluh tahun bisa depresi? Kalau pun memang depresi, masa orang tuanya ga bisa melihat tanda-tanda kalau anaknya sedang bermasalah? Jelas-jelas mereka sebagai orang tua tidak becus menjaga anak."

"Hush....Jangan sembarangan bicara."

"Tapi kata-katanya ga salah juga. Kudengar ibu gadis itu seorang psikiater, masa ga bisa melihat kalau anaknya sedang depresi?"

"Daripada membahas apakah orang tuanya becus menjaga anak atau tidak, bukankah menurut kalian gadis kecil itu sedikit menakutkan? Kata keponakanku hubungan kakak beradik itu sangat dekat, tapi coba kalian lihat gadis itu. Jangankan menangis, dia bahkan tidak terlihat sedih sama sekali seolah-olah yang di depannya itu bukan makam adiknya."

"Iya ya, ayah dan ibu mereka menangis histeris sekali, tapi gadis itu sama sekali tidak ada reaksi seperti boneka."

"Ih...ngeri...Jangan lihat lagi ah! Bagusan kita pulang saja. Suasana keluarga mereka membuatku tidak nyaman."

Mendengar bisikan-bisikan dari orang-orang di sekitarnya, gadis kecil itu mengencangkan cengkeramannya pada pegangan payung, tetapi wajahnya masih datar tanpa emosi.

Sebenarnya gadis kecil itu tidak setenang yang orang lain banyangkan, hatinya tercabik-cabik melihat foto di batu nisan, tangisan pilu menjerit seiring dengan lolong hantu yang merangkak keluar dari lubang keputusasaan di hatinya.

Feline, maafkan kakak. Kakak gagal melindungimu.

Tanpa ada yang menyadarinya, di malam yang penuh penyesalan ini, bibit kebencian tanpa dasar tertanam jauh dalam diri seorang gadis kecil yang kehilangan orang kesayangannya.

......................

Di bandara yang penuh keramaian, sepasang orang dewasa berusia sekitar tiga puluhan berdiri di antara kerumuan tampak seperti sedang menunggu seseorang. Di antara kerumuan penumpang yang baru turun dari pesawat, mereka melihat seorang gadis dengan rok biru dan syal merah muda menarik kopernya melewati kerumuan dan berjalan ke arah mereka.

Gadis itu berdiri di depan kedua orang dewasa tersebut dan memeluk mereka, "Papa, Mama, aku kembali."

Kedua orang tua gadis itu memeluk putri mereka dengan senyuman puas, sebelum melepas pelukan kasih sayang mereka.

"Ayo kita pulang, kamu pasti sangat lelah setelah penerbangan," ujar ibunya.

Gadis itu menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku ingin mengunjungi Feline dulu sebelum pulang ke rumah. Sudah sangat lama aku tidak menemuinya. Aku rindu padanya. Bolehkan Pa, Ma? "

Kedua orang tua itu merasa sedih ketika putri bungsu mereka disebut. Sampai saat ini, mereka masih sangat menyesali kepergian putri bungsu mereka. Rasa bersalah dan penyesalan mereka, mereka tebus kepada putri sulung mereka. Sudah cukup kehilangan seorang putri, mereka tidak ingin kehilangan satu-satunya anak mereka lagi.

Sang ayah membelai kepala putrinya dan tersenyum, "Tentu saja boleh, Sayang. Papa dan Mama juga ingin melihat Feline."

Keluarga itu keluar dari bandara dan berangkat ke kuburan untuk berziarah. Di jalan, gadis itu memandang pemandangan yang berlalu sepanjang jalan dan tersenyum rindu.

I'm back my dear Feline.

Kali ini kakak pasti tidak akan mengecewakanmu adikku tersayang. Kakak bersumpah.

Kenangan tentang adik kecilnya yang manis membuat gadis itu tersenyum.

"Kita sudah sampai, Felice."

Suara ibunya membuyarkan lamunan Felice. Mereka turun dari mobil dan masuk ke dalam area pemakaman.

Felice melihat nama adiknya terukir di batu nisan. Meski sudah bertahun-tahun, Felice masih merasa hatinya terbuka berdarah ketika harus menghadapi fakta bahwa adiknya memang sudah meninggalkannya jauh dari dunia ini.

Felice melihat kedua orang tuanya meneteskan air mata dan mengungkapkan rasa rindu mereka serta penyesalan dan permintaan maaf yang menyesakkan. Terkadang Felice merasa tindakan orang tuanya tidak ada artinya. Semenjak kematian Feline, orang tuanya sangat menyesal atas kurangnya kepedulian mereka terhadap anak-anak mereka karena pekerjaan. Felice bisa merasakan ayah dan ibunya menggunakan dirinya untuk menebus rasa bersalah dan penyesalan mereka karena kehilangan putri bungsu mereka.

Kehilangan seorang putri yang berusia sepuluh tahun membuat mereka menyadari pentingnya keluarga dibandingkan pekerjaan. Tapi menurut Felice semua kasih sayang yang datang dari orang tuanya sudah terlambat. Adiknya sudah tidak ada lagi. Tidak peduli sebesar apa rasa bersalah dan penyesalan mereka, tidak peduli seberapa besar kasih sayang yang mereka curahkan padanya, itu tidak bisa membawa kembali adiknya yang sudah tiada.

Terkadang Felice tidak bisa menahan diri dari membenci kedua orang tuanya, kalau saja dulu ayah dan ibunya lebih memperhatikan Feline maka semua ini tidak akan terjadi. Feline akan berada di sisinya sebagai seorang gadis berusia tujuh belas tahun.

Tapi melihat betapa hancurnya hati kedua orang tuanya, melihat betapa menyesalnya mereka sampai saat ini, Felice tidak bisa tidak merasa sedih. Sulit rasanya membenci orang tuanya. Terlebih lagi, Feline pasti tidak ingin melihatnya menyimpan dendam kepada orang tuanya karena Felice tahu betapa sayangnya Feline kepada ayah dan ibu mereka.

Melihat kedua orang tuanya yang patah hati mencurahkan segala kesedihan mereka, Felice memeluk mereka dan berkata, "Papa, Mama, jangan menangis lagi. Feline pasti sedih melihat orang tuanya yang tercinta menangis di depannya. Sudah bertahun-tahun, jangan terus menyiksa diri kalian dengan rasa penyesalan. Feline ingin melihat kalian terus melanjutkan hidup kalian dengan bahagia, bukan dengan rasa penyesalan yang mengikat seumur hidup."

Mendengar kalimat Felice, tangisan ibunya semakin keras. Ibunya selalu merasa bahwa dirinyalah penyebab terbesar Feline meninggal. Sebagai seorang psikiater, seharusnya ibunya menjadi orang pertama yang menyadari ketidaknormalan Feline, tetapi karena terlalu mementingkan pekerjaannya, dia malah mengabaikan anaknya yang pada akhirnya membuatnya kehilangan seorang anak.

"Pa, Ma, kalian kembali dulu ke mobil. Aku masih ingin berbincang-bincang lebih lama dengan Feline," ujar Felice dengan lembut sambil menghapus jejak air mata di wajah kedua orang tuanya.

"Baiklah, kalau begitu kami kembali dulu. Kami akan menunggumu di mobil, Sayang," kata ayahnya, sebelum kedua orang tuanya pergi.

Setelah sosok kedua orang tuanya tidak terlihat, Felice berjongkok di depan batu nisan adiknya dan membelai nama yang tertulis di batu nisan, "Sudah dua tahun kakak tidak datang menemuimu, kakak minta maaf ya."

"Kakak baru kembali dari studi di Amerika. Selama bertahun-tahun, kakak tidak pernah melupakan janji kakak. Kakak sudah mengecewakanmu sekali, kakak berjanji tidak akan ada yang kedua kalinya. Kepulangan kakak kali ini akan membuat mereka yang berutang kepadamu membayar kembali utang mereka. Kakak berjanji, kakak tidak akan berhenti sampai mereka menerima pembalasan."

Felice memeluk batu nisan Feline seperti dia memeluk adiknya di masa lalu. Pandangan mata Felice sangat lembut. Sambil memeluk batu nisan adiknya, dia membisikkan kata-kata yang membuat orang merasa dingin, "Kakak akan membuat mereka membayarnya, bahkan jika itu mengharuskan kakak membunuh mereka."

This time I won't let you down, Feline.

Bab 2: Pertemuan Pertama

Memakai seragam sekolah yang baru, Felice menatap dirinya di cermin dan membelai wajahnya di kaca. Kalau Feline masih hidup, sekarang dia mungkin akan mengenakan seragam sekolah SMA dan mengeluh kepadanya karena tugas sekolah seperti remaja lain pada umumnya.

Membayangkan bagaimana frustasinya Feline dengan tugas sekolah, Felice tersenyum kecil. Namun, senyuman itu hanya bertahan sebentar dan segera digantikan dengan tawa pahit. Jika saja Feline masih hidup, tapi sayangnya hal itu tidak akan pernah terjadi karena tindakan orang-orang tertentu.

Ekspresi Felice segera menjadi dingin.

Orang-orang tercela itu hidup bahagia di bawah mayat adiknya selama 7 tahun. Mereka bahkan mungkin sudah lupa dengan gadis kecil yang dipaksa bunuh diri di bawah kekejaman mereka. Terkadang Felice tidak mengerti bagaimana bisa ada anak-anak yang sekejam itu hingga membunuh teman mereka.

Menenangkan amarahnya, Felice menatap dirinya dan tersenyum lagi.

Tidak lama lagi, hari-hari baik mereka akan berakhir.

Mengumpulkan semua barang-barangnya, Felice keluar dari kamarnya. Di bawah, orang tuanya sudah menunggunya.

"Good Morning Pa, Ma."

"Good Morning, Dear," balas kedua orang tuanya.

"Sudah siap ke sekolah baru?" tanya ayahnya.

"Tentu saja Pa, aku sungguh tidak sabar untuk mengunjungi sekolah baruku," jawab Felice dengan mata berbinar.

Tentu saja tidak sabar bertemu dengan orang-orang tertentu.

......................

Di tengah pembelajaran, kepala sekolah tiba-tiba memasuki kelas bersama dengan seorang siswa perempuan yang tidak dikenal.

Kepala sekolah, "Maaf mengganggu pelajarannya, Bu."

"Tidak masalah, Pak," balas sang guru.

"Semuanya, mohon perhatiannya. Kelas kalian kedatangan siswa baru yang sebelumnya bersekolah di Amerika. Tolong perkenalkan dirimu, Nak."

Mata para siswa berbinar kagum ketika menatap teman baru mereka.

Dengan senyuman cerah, Felice memperkenalkan dirinya, "Halo semuanya, namaku Felice. Karena aku baru disini mungkin ada beberapa hal yang kurang kumengerti, jadi mohon bantuannya ya teman-teman."

Para siswa bersorak setuju setelahnya.

Kepala sekolah puas dengan reaksi positif kelas dan meminta Felice untuk duduk di bangku kosong sebelum meninggalkan kelas.

Tatapan Felice tertuju pada seorang pemuda yang tidur di belakang.

Ketemu.

Tanpa ragu-ragu Felice memilih posisi di sebelah pemuda itu. Merasakan gerakan dari sebelahnya, pemuda yang tidur merasa terganggu dan membuka matanya. Sebelum dia akan memarahi orang yang mengganggu tidurnya, pemuda itu terpana melihat seorang gadis berdiri di samping mejanya dan tersenyum manis padanya.

"Hi, aku Felice, murid baru disini."

Amarah yang awalnya akan dikeluarkan padam seketika. Pemuda itu mengabaikan gadis ramah yang menyapanya dan melanjutkan tidurnya.

Sungguh tidak sopan.

Kilatan tajam melintas di tatapan ramah Felice. Dia bisa melihat amarah yang membara sekilas pada tatapan itu sebelum padam.

Mengabaikan tatapan sekitarnya, Felice duduk di tempat barunya dan mengeluarkan catatan untuk menyalin materi yang dijelaskan guru. Di antara banyaknya siswa yang menatap Felice, pandangan Felice hanya tertuju pada seorang gadis cantik yang tersenyum cerah menyapa Felice.

Ah.....Ternyata dia sudah tumbuh secantik ini. Sayangnya sosok dibalik kecantikan ini tidak lebih dari iblis yang membunuh orang.

Felice merasa amarah yang dipendamnya mulai kembali muncul. Setelah membunuh orang, gadis itu ternyata masih bisa tampil menawan dan tersenyum ceria?!

Semua emosi negatifnya hampir naik ke permukaan, tetapi Felice meremas gelang di tangannya dan melakukan konseling psikologis pada dirinya sendiri.

Belum saatnya. Aku tidak boleh menunjukkan sedikit pun kejanggalan, setidaknya tidak sampai mangsa memasuki perangkap.

Sedikit memiringkan kepalanya, Felice tersenyum kembali kepada gadis itu kemudian menundukkan kepalanya sedikit. Kilatan perhitungan melintas di matanya.

......................

Bel berbunyi menandakan waktu istirahat tiba. Felice bisa melihat dari sudut matanya, bahwa gadis itu selalu meliriknya selama jam pelajaran. Dalam hati, dia mulai menghitung.

Satu...

Dua...

Tiga.

"Hi, Felice. Namaku Marrie, senang bertemu denganmu."

Dengan senyuman lebar, Felice menjabat tangan Marrie dan membalas, "Senang bertemu denganmu."

Menatap tangan putih dan halus itu, Felice tidak bisa tidak memikirkan bagaimana jika tangan itu dihiasi dengan ungu dan merah, pasti akan lebih indah. Lagipula, tangan inilah yang melakukan kerusakan pada adiknya.

Marrie merasa sedikit iri ketika dia mendengar asal-usul Felice. Selain itu, kedatangan Felice mencuri perhatian teman-teman di kelas darinya. Ini saja sudah cukup membuatnya tidak senang. Apalagi sekarang, setelah dia mengamati siswa baru ini dengan teliti, ternyata gadis ini lebih cantik dari yang dia bayangkan. Bahkan jika dia enggan mengakuinya, sosok Felice memang lebih menarik jika dibandingkan dengannya.

Kilatan kecemburuan Marrie tentu saja ditangkap oleh Felice. Dengan tawa polos Felice memuji Marrie, "Marrie, mata dan tanganmu benar-benar cantik."

Rasa bangga melintas dalam ekspresi Marrie, tetapi dia segera menutupinya dengan ekspresi malu-malu dan mengucapkan terima kasih.

Dengan antusias, Marrie menarik Felice berkeliling sekolah. Di sepanjang perjalanan mereka, para siswa selalu menyapa Marrie yang menunjukkan popularitas Marrie di sekolah ini. Beberapa orang penasaran dengan Felice, tetapi dengan samar-samar Marrie akan mengalihkan perhatian mereka dengan percakapan dan tindakan kecil lainnya.

Kilatan geli melintas di matanya.

Tindakan Marrie di mata Felice tidak lebih seperti badut yang berusaha mencari perhatian.

Jadi dia sangat suka diperhatikan ya....

Felice cukup puas dengan penemuannya selama berkeliling. Pikiran Marrie sangat mudah dibaca. Dari tindakan dan kata-katanya, Felice sudah bisa menangkap beberapa sifat asli Marrie.

Dalam percakapan mereka, sengaja tidak sengaja, Marrie akan menyiratkan bahwa teman sebangku Felice, Harry, memiliki perilaku buruk. Ketika komentarnya tentang Harry terlalu buruk, dia akan bertindak seolah tanpa sengaja mengatakan sesuatu yang salah. Felice tentu saja tahu bahwa tindakan Marrie ini disengaja.

Tampaknya hubungan mereka cukup buruk.

"Kenapa kamu sepertinya sangat mengenal Harry?"

Dengan senyuman masam, Marrie berkata, "Sebenarnya Harry adalah saudara tiriku. Ibuku menikah dengan ayah Harry ketika kami masih kecil dan kami akhirnya menjadi satu keluarga. Ayah memperlakukanku dan ibu dengan sangat baik, tetapi Harry sepertinya sangat membenciku dan ibu. Sejak kecil, Harry selalu menggangguku di rumah, bahkan ayah sudah menegurnya, tetapi dia sepertinya masih tetap tidak menyukaiku."

Salah satu hal yang Felice pelajari tentang Marrie, gadis ini sangat suka memutarbalikkan fakta untuk membuat orang lain bersimpati padanya. Setiap kali Marrie ingin memanen simpati dari orang lain, dia akan menunjukkan ekspresi itu.

Felice sebenarnya heran, tidakkah ada yang menyadari bahwa gadis ini sebenarnya sedang berakting? Melihatnya berakting dengan terampil berarti gadis ini sudah sangat sering melakukannya pada orang lain, tetapi sepertinya semua orang menganggap gadis ini sangat polos dan sangat menyukainya.

Tepat ketika Felice mulai tidak sabar mendengar keluhan Marrie, bel berbunyi membuat Felice merasa lega. Keduanya segera kembali ke kelas sebelum guru mata pelajaran memasuki kelas.

Harry tidak mengubah posisinya sejak pagi dan masih tidur di mejanya. Dalam hati, Felice sedikit jijik dengan pemuda yang tampak dekaden ini. Mungkin Harry memang merasa bersalah dengan kematian Feline, tetapi rasa bersalah ini tidak ada gunanya. Jika saja saat itu Harry berani melaporkan Marrie pada guru, mungkin kasus adiknya tidak akan pernah terjadi.

Sama seperti dirinya, jika saja saat itu dia bisa mengerti bahwa keanehan dibalik sikap adiknya adalah tanda-tanda depresi....

Rasa sedih kembali pecah dalam diri Felice. Sebenarnya dia pun tidak luput dari kesalahan....

Menarik nafas dalam-dalam, setidaknya kali ini dia akan memenuhi janjinya pada Feline. Memandang Harry lagi, sebuah ide melintas di benak Felice.

Sepertinya tidak ada salahnya membuat permainan menjadi lebih besar.

Bab 3: Hadiah Ulang Tahun

"Felice, maukah kamu datang ke pesta ulang tahunku?"

Felice melihat undangan yang disodorkan kepadanya, jadi gadis ini akan segera berusia tujuh belas tahun ya...

Sudah sebulan sejak Felice pindah ke sekolah ini. Dalam waktu yang singkat ini, dia telah membangun hubungan baik dengan setiap siswa, termasuk Marrie. Tentu saja kecuali teman sebangku yang kerjanya hanya tidur setiap hari. Dia berencana meningkatkan rasa suka Marrie padanya dan kemudian secara perlahan memulai rencananya dan mulai menyusup masuk ke kehidupan gadis ini.

"Felice?"

Sebuah tangan menepuk bahu Felice. Marrie sedikit tidak senang ketika dia diabaikan, namun rasa tidak senang itu mereda ketika temannya menerima undangannya dengan ekspresi malu-malu dan sedikit permintaan maaf.

"Tentu saja aku mau. Maaf, tadi aku sedang memikirkan tugas fisika. Terima kasih ya karena sudah mengundangku. Aku pasti akan membawakan hadiah yang istimewa untukmu."

Marrie tersenyum senang dan lanjut membagikan kartu undangan kepada teman-teman yang lain. Sementara itu, Felice melihat kartu undangan di tangannya, senyuman manis terbentuk dibibirnya.

Aku pasti akan memberikan hadiah spesial yang tidak akan pernah kamu lupakan, Marrie.

......................

Bel berbunyi menandakan waktu pulang sekolah. Marrie berbicara dengan beberapa gadis sebelum menyimpan bukunya dan menuju Felice, "Felice, aku dan Yulia berencana untuk belajar bersama di rumahnya, kamu mau ikut?"

"Maaf Marrie, kalian pergi berdua saja. Soalnya aku sudah ada janji dengan keluarga, mungkin lain kali saja ya," tolak Felice dengan senyuman manis seperti biasa.

"Oh...ok, kalau begitu aku pergi dulu ya. Sampai jumpa besok," ujar Marrie dan kemudian pergi ke sisi Yulia yang menunggunya di depan kelas. Felice melambaikan tangannya kepada gadis itu sebagai salam perpisahan.

Felice keluar dari sekolah dan melihat mobil keluarganya. Dia membuka pintu dan duduk di dalam mobil, lalu berkata kepada supirnya, "Pak, nanti setelah sampai rumah jangan simpan mobilnya di garasi, soalnya nanti aku mau keluar sebentar."

"Baik Non Felice."

Waktu perjalanan dari sekolah ke rumah hanya sebentar saja. Seperti yang diminta Felice, supirnya memarkir mobil di depan rumah sebelum pulang. Felice sendiri segera ke kamarnya dan berganti pakaian. Dia memakai jaket hitam dan jeans, serta membawa topi dan masker. Saat dia turun, supirnya sudah tidak ada lagi, jadi dia dengan tenang mengendarai mobil mengelilingi kota, sebelum mengarahkan mobil ke jalan tertentu.

Felice berhenti di depan sebuah toko yang menjual obat-obatan dan meminta sekotak halusinogen dan antidepresan. Setelah itu, dia pergi ke toko butik dan secara acak memilih gaun termahal. Selesai membeli hadiah untuk Marrie, sekarang saatnya dia menyiapkan hadiah yang sebenarnya.

Dia mengendarai mobilnya ke sebuah jalanan terpencil. Mobil itu memasuki gang yang agak sempit dan berhenti di depan sebuah toko kecil. Mengenakan topi dan maskernya, lalu memakai tudung jaketnya, Felice memasuki toko itu.

Toko itu penuh dengan manekin-manekin yang dipajang di seisi rak dengan berbagai ukuran. Di kursi goyang, duduk seorang nenek tua yang menutupi wajahnya dengan koran, seolah tertidur. Felice mengetuk meja kaca dan membuat nenek itu terbangun.

"Siapa yang mengganggu tidurku..."

"Pelanggan, Nek," jawab Felice dengan suara terendam dari balik maskernya.

Mendengar kata "pelanggan", nenek itu langsung terbangun dan buru-buru menyambut tamunya dengan senyuman ompong.

"Mau beli manekin? Kamu bisa memilih berbagai ukuran di rak itu."

"Nek, aku mau produk khusus."

Nenek itu menatap Felice dengan senyuman sopan, "Nak, semua produk manekin di toko ada disini."

"Aku mau yang hampir mirip seperti manusia. Nenek tahu kan..," ujar Felice sambil mengeluarkan sebuah foto seorang gadis kecil serta sebuah kertas kecil yang dilipat.

Sang nenek membaca isi kertas kecil itu dan kemudian mengangguk. Ekspresi senyumannya berubah menjadi acuh tak acuh. Dia mengulurkan tangannya untuk mengambil sebuah daftar dari bawah rak dan meminta Felice untuk mengisi persyaratan produk.

Felice dengan tenang menandai dan mengisi setiap persyaratan yang diinginkannya, mulai dari bahan kulit, mata, rambut, dan sebagainya. Setelah selesai, Felice mengeluarkan sebuah amplop dan menaruhnya di meja.

"Ini uang mukanya, sisanya akan dibayar setelah barangnya siap. Kira-kira butuh berapa lama supaya produknya bisa selesai?"

Nenek itu menghitung uang di amplop lalu menyimpan foto yang diserahkan Felice, "Sekitar seminggu."

"Baiklah. Seminggu lagi aku akan kembali, kuharap pada saat itu produknya sudah diselesaikan dengan sempurna."

"Jangan khawatir karena kenalanmu memperkenalkan toko ini, maka itu artinya produknya bisa dipercaya," ujar sang nenek dengan senyuman percaya diri.

Setelah menerima janji pemilik toko, Felice segera kembali. Jika dia keluar terlalu lama, orang tuanya akan mulai menanyakan kegiatannya. Felice berharap dia tidak perlu mulai membohongi orang tuanya lebih awal.

Seminggu kemudian, Felice kembali ke toko manekin dan menerima produk yang diinginkannya. Saat pertama kali melihat manekin yang memiliki wajah Feline, nafasnya tertahan sejenak. Dari kepala sampai kaki, manekin ini benar-benar serupa dengan gadis kecil dalam ingatannya. Kulit pada boneka itu seperti kulit manusia, kecuali suhu yang sedikit lebih dingin dibandingkan suhu manusia normal.

Toko ini benar-benar sesuai dengan reputasinya...

Felice membelai pipi gadis manekin itu dengan nostalgia, Sayangnya dia hanya manekin...

"Bagaimana?"

"Sangat mirip. Siapa pun tidak akan mengira kalau ini adalah manekin."

Sang nenek melihat pelanggannya mengamati manekin itu dengan antusias. Sambil menghisap rokoknya, sang nenek pun bertanya, "Nak, kalau nenek boleh tahu, memangnya kenapa kamu menginginkan manekin ini?"

"Tentu saja sebagai hadiah."

......................

"Selamat ulang tahun Marrie."

Felice memeluk gadis itu dengan senyuman bahagia. Saat ini, dia sedang menghadiri pesta ulang tahun gadis di pelukannya. Bintang utama hari ini tampil luar biasa glamor dengan gaun merah anggur yang menonjolkan bentuk tubuhnya yang menawan. Marrie melepaskan pelukan mereka dan menarik Felice untuk berkumpul dengan teman-teman lainnya.

Pesta ini cukup besar, tamu yang diundang tidak hanya berasal dari sekolah, tetapi juga rekan bisnis keluarga Marrie.

Felice berdiri di sudut dan memandang targetnya. Marrie sedang diperkenalkan oleh ayahnya kepada rekan bisnis keluarga mereka. Gadis itu terlihat sangat bahagia...

Sambil memutar gelas wine nya, Felice mengamati warna merah di gelasnya dan tersenyum.

Merah memang indah...

Prank!

"Ahhh! Ayah!!!"

Cukup indah untuk membuatnya menangis...

Felice menurunkan pandangannya untuk menyembunyikan kilatan kegembiraan yang terpancar di pupilnya.

Suasana yang awalnya meriah menjadi panik. Marrie terlihat sangat syok ketika melihat ayahnya berdarah di lantai dengan sisa pecahan lampu gantung yang menusuk tubuh ayahnya di beberapa bagian. Ibu Marrie dengan panik berbicara di telepon sementara putrinya hanya bisa menangis karena ketakutan.

Tamu-tamu yang awalnya bersikap ramah, hanya menonton keluarga mereka dari samping dan berbisik. Marrie bisa merasakan pandangan menusuk beberapa tamu yang secara terang-terangan menganggap kejadian buruk yang menimpa ayahnya sebagai bahan gosip yang menarik.

Beberapa kaca terbang menusuk kulitnya, mewarnai lengan dan kakinya dengan warna merah, sepenuhnya sesuai dengan gaun yang awalnya sudah merah.

Dari jauh, Felice menyimpan semua adegan ini di benaknya. Rasa puas membuncah dalam dirinya.

Merah memang sesuai untuk Marrie...

Sayangnya, salah satu tokoh tidak ada disini...

Setelah puas melihat adegan menarik yang menghiburnya, Felice meninggalkan pesta dengan tenang.

....

Marrie duduk di kamarnya dengan lesu. Ayahnya masuk ke rumah sakit dan sekarang dirawat di ICU, pesta yang seharusnya meriah, berakhir dengan sangat tragis. Dia benar-benar tidak mengerti mengapa lampu gantung yang jelas-jelas berkualitas baik bisa jatuh begitu saja. Staf hotel telah meminta maaf atas kejadian ini, tetapi ibunya bersikeras ingin menuntut mereka.

Dari sudut matanya, Marrie melihat tumpukan hadiah yang diletakkan di lantai kamarnya. Untuk melepas stress-nya, dia memutuskan untuk membongkar hadiah yang diberikan kepadanya.

Dia cukup puas karena rata-rata hadiahnya adalah barang-barang mewah, sampai dia akhirnya melihat sebuah kotak kecil yang cukup sederhana. Marrie sedikit tidak senang ketika melihat kotak kecil yang terlihat sederhana itu, namun dia memutuskan untuk membukanya dan melihat siapa pengirimnya.

Ketika tutup kotak dibuka, terlihat sebuah foto terlampir di dalamnya dengan kertas origami merah yang terlipat.

Marrie membeku ketika dia melihat foto tersebut. Foto itu adalah sebuah foto lama yang berisi sekumpulan anak kecil dengan seragam sekolah. Salah satu wajah gadis kecil di foto tersebut diberi tanda silang dan dia jelas mengenalinya karena gadis itu adalah dirinya sewaktu SD.

Dia mengambil kertas kecil di dalam kotak dan membukanya dengan perasaan yang tidak nyaman. Namun, matanya melebar seketika dan kertas merah itu meluncur ke bawah dari jari-jarinya. Kilatan ngeri terlihat di pupilnya. Cermin besar di ruangan itu memperlihatkan beberapa baris kata di kertas itu yang tulisannya bengkok, namun cukup jelas.

Hi Marrie, Selamat ulang tahun!

Apakah kamu suka dengan hadiahku?

Feline.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!