TERSEDIA TRAILER DI YOUTUBE: Aidahlia
Format pencarian: TRAILER Vakum Pacaran Aidahlia.
TERSEDIA VISUAL: DI BAWAH PART KEPUTUSAN DENGAN NAMA PART: VISUAL
__________
Ashila sedang berlarian ke sana ke mari bersama beberapa temannya yang sama-sama mengenakan pakaian putih biru. Sekolah barunya saat ini sangat membuat mereka nyaman. Hingga mereka merasa enggan untuk kembali, padahal waktu pulang sudah terlewatkan beberapa menit yang lalu.
"Shil ... Shil, lu tau enggak?"
Ashila menggelengkan kepalanya. "Risma belum cerita sama Shila, jadi mana Shila tau." Gadis bernama Ashila ini jauh lebih polos dari teman-teman ia yang lainnya.
"Lu kenal, kan, Rayhan? Si Ray, cowok ganteng itu lho."
Ashila mengingat-ingat beberapa nama yang ada di otaknya.
"Oh iya-iya yang di kelas tujuh B, ya?"
Risma mengangguk antusias. "Dia cariin lu."
Ashila terkejut bukan main, selama ini ia tidak pernah berurusan dengan Ray.
"Dia suka sama lu."
Dia suka sama lu ....
Dia suka sama lu ....
Dia suka sama lu ....
Kalimat itu seolah menggema di indera pendengaran Ashila.
"Jih bengong, udah samperin, kayaknya dia mau nembak lu, gua anter deh." Risma menarik lengan Ashila secara paksa.
Sesampai di taman tempat di mana Ray berada, Risma melepaskan genggamannya. Di sana Ray bersama satu temannya.
"Lu pulang, gih," ucap Ray pada temannya.
Kini Ray hanya sendiri. Ia menghampiri Risma dan Ashila. Jantung Ashila berdegup kencang saat melihat wajah Ray. Dia laki-laki tertampan di angkatannya. Bagaimana tidak deg-degan, hanya mendengar namanya saja para kaum hawa sudah menjerit histeris, apalagi bertatapan muka dengannya seperti yang dialami Ashila sekarang.
"Risma, ya?"
Risma mengangguk sambil tersenyum.
"Lu pulang, gih, gua mau ngomong empat mata sama Sisil."
Ashila bingung. Siapa Sisil, tadi Risma bilang kalau Ray itu mau bertemu dengannya, kenapa sekarang malah mau berbicara empat mata dengan wanita bernama Sisil.
"Ya, enggak pa-pa, kan?"
Risma mengangguk, ia pergi dengan tampang kecewa.
Kini hanya tinggal Ray dan Ashila. Taman sekolah sudah sangat sepi. Para siswa dan juga para siswi sudah kembali ke rumahnya masing-masing.
"Hai?"
Ashila dibuat kelabakan. Ia jadi salah tingkah, ia bingung harus berbuat apa.
"Nama gua Rayhan Fahrez Al-Munawar, lu panggil gua apa kek yang menurut lu enak." Ray mengulurkan tangan kanannya sambil terus mengulumkan senyuman.
"I ... iya." Ashila menunduk ia tidak membalas uluran tangan Ray.
Ray menarik kembali uluran tangannya. "Enggak usah canggung dong, Sisil."
Ashila menengok ke kanan dan ke kiri, ia mencari di mana wanita bernama Sisil yang disebut-sebut Ray.
"Cari siapa?"
Lagi-lagi Ashila kelabakan.
"I ... itu, tadi Rayn eh Ray maksudnya, sebut nama Sisil, Shila lagi cari siapa Sisil."
"Tunggu-tunggu, Rayn, keren juga tuh, enggak pa-pa panggil Rayn aja."
"Sisil siapa? Kamu lagi bicara sama Shila atau sama Sisil?" Nada bicara Ashila meninggi, ia mulai kesal dengan laki-laki ini.
Ray tersenyum seperkian detik lalu ia terkekeh. "Ini yang bikin gua suka sama lu. Dari sekian banyak perempuan di sekolah ini, cuma lu yang ngegemesin."
Ashila terdiam. Perutnya seakan dipenuhi kupu-kupu. Ia seakan melayang-layang di udara.
"Mau tau Sisil?"
Ashila mengangguk polos.
Ray mengambil handphone miliknya dari saku celana birunya.
Klik, Ray berhasil memotret wajah Ashila yang sedang diam memandang ke arah samping.
"Nih." Ray memberikan handphone miliknya kepada Ashila. Dengan ragu Ashila mengambil alih handphone dari tangan Ray.
Ashila terlihat bingung. Ia memandang wajah Ray seolah bertanya-tanya.
"Itu Sisil," ucap Ray seakan mengerti apa yang Ashila bingungkan.
"Ini Shila bukan Sisil." Ashila terlihat bingung.
Lagi-lagi Ray hanya terkekeh.
"Emang enggak boleh aku panggil Shila Sisil?"
Aku? Ray sebut nama dia Aku? Tak terasa seulas senyum tercetak di wajah mungil Ashila.
"Enggak pa-pa, kan, Sil?"
Ashila kelabakan. "I ... iya, Ray, eh, Rayn."
Ray tersenyum saat mendengar Ashila menyebut namanya dengan sebutan Rayn. Itu istimewa, apalagi yang menyebutnya itu perempuan idamannya yang tidak lain adalah Ashila.
"Maaf, ya, udah ganggu waktu Sisil. Aku cuma mau kasih surat ini." Ray memberikan satu amplop putih polos yang ia tempelkan pita berwarna merah hati.
"Baca ya, aku tunggu balasannya."
"Oh ya, aku boleh minta pin BBM kamu enggak?" Baru saja Ray melangkah menjauh, kini sudah kembali ke tempat semula.
Ashila terkejut bukan main. Orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan pin BBM Ray dengan segala cara, Ashila malah sebaliknya, Ray yang malah meminta pin BBM-nya.
"Boleh enggak?"
"Tapi aku enggak ada kertas."
"Handphone aku, kan, masih ada di kamu tuh, langsung aja kamu pasukin di BBM aku."
Ashila baru sadar kalo sedaritadi ia menggenggam handphone Ray. Dengan perlahan tapi pasti Ashila menyentuh layar handphone Ray.
"0505." Merasa paham dengan kebingungan Ashila, Ray langsung mengucapkannya, itu adalah kata sandi handphone-nya.
"Nih."
"Oke terima kasih ya, Sisil." Ray terus mengulumkan senyumannya.
"Kamu pulang sama siapa?"
"Sama temen-temen aku, mereka lagi di halaman."
"Oh yaudah aku pulang duluan, ya, jangan lupa baca suratnya nanti balas lewat BBM." Setelah itu Ray pergi menginggalkan Ashila.
***
From: Rayhan Fahrez Al-Munawar.
To: Sisil.
Hai, Sisil? Oh ya, boleh, kan, aku panggil kamu Sisil? Aku anggap boleh ya. ^_^
Kamu pasti bingung kenapa aku bilang ke Risma mau bicara empat mata sama kamu dan kenapa aku kasih surat ini ke kamu.
Bukan maksud menyombongkan diri. Dari sekian banyak wanita yang kejar-kejar aku, enggak ada sedikit pun rasa suka, kagum, dan segala jenisnya sama mereka. Aku juga enggak suka sama wanita yang suka kejar-kejar laki-laki. Mereka malah merendahkan drajatnya saat di mana orang berlomba untuk meninggikan drajat.
Saat itu, aku enggak sengaja lihat kamu di kelas tujuh A, kamu lagi nulis di papan tulis, kamu fokus banget sama tugas kamu sementara wanita-wanita di kelas kamu itu langsung heboh dan gagal fokus sama tugas mereka. Mereka malah sibuk lihat aku yang enggak sengaja lewat itu.
Aku jadi tertarik sama kamu. Aku enggak pernah lihat kamu, jadi aku berusaha cari identitas kamu dari laki-laki di kelas kamu. Saat aku tanya mereka, mereka tahu segalanya tentang kamu. Mereka bilang kamu itu wanita tercantik di tujuh A, cantiknya bukan wajahnya saja, tapi perilaku kamu juga cantik. Kamu pendiam dan kamu juga jarang berbicara, begitu kata mereka. Mereka bilang kamu itu suka nulis di notebook berwarna merah hati, saat itu aku tau, pasti kamu suka warna merah hati, iya, kan?
Cukup ya cerita maksud aku apa dan bagaimana aku bisa kenal kamu. Sekarang aku mau kasih tau inti dari isi surat ini.
I love you.
Kamu mau enggak jadi pacar aku?
Kertas putih itu melayang-layang hingga terjatuh ke lantai berwarna merah hati. Ashila melempar kertas itu, ia terkejut saat membaca kalimat akhir inti sari dari surat itu.
Ray suka sama aku? Dia mau jadiin aku pacarnya? Ah enggak mungkin.
Ada rasa senang dan takut. Senang, ya jelas senang, seorang laki-laki yang diidamkan banyak wanita menyukainya. Sebenarnya Ashila juga menyukainya, tapi cara Ashila menyukai seseorang itu tidak seperti wanita lainnya. Ia lebih suka diam-diam karena ia tidak mau dianggap rendah oleh laki-laki.
Takut, Ashila takut karena sampai saat ini umma dan abbanya tidak pernah mengijinkannya untuk berpacaran.
Ashila dilahirkan oleh seorang ibu asli Aceh dan dinafkahi oleh seorang ayah asli Jakarta. Saat ini ayah dan ibunya yang ia sebut abba dan umma, mereka menetap di Aceh bersama satu kakak perempuannya yang bernama Fatimah Az-Zahra yang sering ia sebut kak Ara. Sekarang ia sedang menempuh perguruan tinggi di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.
Ashila adalah anak ke tiga dari tiga bersaudara. Ia memiliki dua kakak, laki-laki dan perempuan. Kakak laki-lakinya bernama Muhammad Al-Baihaqi atau dia sering menyebutnya dengan sebutan kak Haqi. Saat ini ia sedang menempuh perguruan tinggi di Universitas Al Azhar, Mesir.
Jadi Ashila itu anak terakhir. Ashila memiliki nama panjang Sayyidah Ashila. Ada yang memanggilnya Ashila, Shila, dan sekarang bertambah satu, Sisil sebutan baru yang diciptakan Ray.
***
"Kemarin Ray ngomong apa ke lu, Shil?" tanya Risma tepat saat Ashila baru saja sampai di bangku tempatnya belajar selama KBM berlangsung.
"Dia cuma kenalin nama dia, terus dia minta ijin manggil Shila Sisil, terus minta pin BBM Shila, terus kasih surat ke Shila, dan Shila suruh bales suratnya di BBM, tapi Shila belum bales karena Shila belum bisa jawab." Ashila masih sangat polos. Untuk berbohong saja rasanya ia berat hati.
"Hah, lu ditembak Ray?" Risma malah bersorak hingga seisi kelas bertanya kepadanya, dan Risma malah memberitahu kepada mereka kalau Ashila ditembak Ray, laki-laki tampan di sekolah, padahal Ashila belum memberitahukannya.
Hampir seluruh isi kelas gempar. Iri, kagum, kaget, kesal, mereka memiliki perasa masing-masing. Sementara Ashila hanya diam tak bergeming.
Rara atau Rahmawati Fitria, dia sebelumnya sahabat Ashila, sejak tahu kalau Ashila ditembak Ray ia langsung memusuhi Ashila karena Rara itu salah satu fans berat Ray.
Ashila tidak ambil pusing, ia memiliki lima teman dekat, Risma, Anggi, Afifah, Latifah, dan Rara termasuk, tapi sekarang Rara sudah tidak bergabung dengan Ashila. Ia malah bermain dengan Clara yang dahulu ia benci sekarang malah main bersama.
***
Lima hari berlalu ....
Ashila belum juga membalas ungkapan Ray melalu surat beramplop putih dengan tempelan pita merah hati itu. Ia masih mengimbang-ibang keputusannya.
"Ray nanya terus, dia nunggu jawaban lu. Terus dia nanya kenapa setiap lu ketemu dia, lu kabur. Dia butuh kepastian katanya. Terus dia bilang sampai kapan pun dia bakal nunggu lu, dia udah cinta mati sama lu," cerocos Risma sehabis pergi ke toilet beberapa menit yang lalu.
"Enggak ada tuh cinta mati yang ada cinta yang mematikan," sambar Latifah. Latifah ini salah satu teman Ashila yang lebih tomboy, ia tidak pernah memikirkan percintaan, baginya game lebih utama. Begitulah pikiran anak baru gede atau disingkat ABG. Mereka tak berpikir panjang. Asal itu membuat mereka senang, mereka akan mengucapkannya, tak mengayak apa yang seharusnya mereka ucapkan itu.
"Gua enggak mau tau, lu harus terima dia, ya enggak weh?" ucap Risma.
Anggi, Afifah, dan Latifah mengangguk setuju.
"Enggak pa-pa ege, ganteng," sambar Anggi.
"Setau gua sih, Ray itu orangnya cuek, dia enggak pernah ladenin cewek-cewek yang ngejar-ngejar dia. Terus katanya kalau di-chat enggak pernah bales, jangankan dibales di-read aja enggak, padahal online," ucap Afifah gadis berkacamata bulat.
"Shila pusing ah." Ashila malah pergi begitu saja.
Ia berjalan menuju pintu keluar kelasnya, ia memandangi pemandangan indah di depan kelasnya. Kelasnya berada di lantai satu berpapasan dengan lapangan basket, terdapat banyak pohonan hijau di depan kelasnya, Ashila sangat menyukai tanaman.
Ia terus memandangi tanaman itu. Namun tiba-tiba tanaman indah itu berubah menjadi sosok laki-laki berpakaian basket berwarna hitam perpaduan merah.
Ashila malah terkejut saat melihat laki-laki itu tersenyum padanya, ia berlari menuju bangkunya.
"Ngapa, Shil, shock amat?" tanya Risma saat melihat raut wajah Ashila berubah.
"Ada Ray," ucap Ashila sambil mengatur napasnya.
"Lha ... kenapa kabur? Dia kenapa?"
"Dia senyum." Masih dalam keadaan shock.
"Oh my God ... lu enggak ada baper-bapernya gitu, Shil? Buat gua aja sini. Ya Allah ... cowok ganteng dianggurin," sambar Anggi.
"Pokoknya lu harus terima dia malam ini, kalau enggak, kita enggak mau jadi temen lu, iya enggak, Guys?" Sebenarnya Risma bercanda, Ashila malah menganggapnya serius.
Ashila terdiam. Otaknya dipenuhi nama Ray. Terima atau tidak, kata-kata itu terngiang di pikirannya.
"Yaudah-yaudah ... nanti malam aku chat dia," ucap Ashila dengan nada malas.
Risma, Anggi, Afifah, dan Latifah berhamburan memeluk Ashila.
"Gitu dong."
...***Note:...
...Bermainlah dengan seorang teman yang saleh/a. Mengapa? Karena dengan begitu kita dapat terhindar dari suatu hal buruk***....
***
"Lu ngapain, Shil?"
Ashila terkejut, ia langsung melepit kertas lusuh yang sebelumnya ia baca dan langsung menaruhnya ke dalam kantong rok abu-abunya.
Empat tahun telah berlalu ....
Setelah Ashila menerima Ray menjadi pacarnya, ia banyak berubah. Ashila bukanlah Ashila yang dulu. Ia tidak sepolos dan seramah dahulu. Sifat pendiamnya jadi menghilang. Ia benar-benar berubah. Kesalahan terbesarnya adalah salah bergaul.
"Gua lagi nunggu si Rayn."
"Ray aja yang lu tungguin." Risma menampakan wajah kesal.
"Lha kesel amat pacar-pacar gua."
"Gila, lu berubah banget, Shil."
"Kan Risma yang ngajarin."
Saat ini Ashila bersekolah di SMA yang terbilang elit di daerah Jakarta. Ia masuk ke kelas dua unggulan atau biasa di kenal kelas XI-1, satu kelas dengan Ray dan juga dengan Risma.
Anggi tidak lagi satu sekolah dengan Ashila. Ia meneruskan sekolahnya di Pondok Pesantren daerah Banten. Itu pun dipaksa oleh ayah dan ibunya karena Anggi susah diatur.
Afifah, ia juga tidak satu sekolah dengan Ashila. Ia satu sekolah dengan Latifah di SMA daerah Bandung.
Di sekolah barunya Ashila memiliki tiga teman baru yaitu, Nada, Uni dan Risma. Mereka tidak ada yang jomlo. Nada berpacaran dengan kakak kelas XII-4, namanya kak Tara. Lalu Uni, karena dia putih dan cantik ia dapat pacar Wakil Ketua OSIS baru, namanya Rusdi, wajahnya tidak tampan tapi karena jabatan, namanya jadi unggulan. Risma, dia berpacaran dengan Fero anak kelas XI-3. Dan Ashila, ia masih setia dengan Ray yang sekarang sudah menjadi Ketua OSIS di sekolahnya, dan lagi-lagi ketampanan yang menjadi prioritas. Padahal masih banyak siswa yang lebih cerdas dari Ray dan lebih pantas dijadikan Ketua OSIS.
Sampai saat ini abba dan ummanya tidak mengetahui hubungan Ashila dengan Ray. Yang mereka tahu Ashila tetaplah Ashila, anak ke tiganya yang sopan santun, dan saleha.
Di Jakarta ia tinggal di rumah bibinya. Bibinya seorang janda, ia bekerja di salon. Bibinya memiliki satu anak laki-laki, saat ini anak laki-lakinya bersekolah di SMA swasta di dekat area rumahnya. Namanya Arga, ia jarang sekali di rumah, sama dengan ibunya, jadi rumah mereka Ashila yang jaga sepenuhnya. Dan merupakan suatu keuntungan bagi Ashila. Ia bebas mengajak teman-temannya ke rumah, tidak jarang pula Ray. Rumahnya cukup besar, bahkan bisa dikatakan sangat besar.
"Tuh dia."
Risma menoleh, benar, ada Ray yang sedang berdiri sambil memutar-mutarkan kunci motornya.
"Yuk, Sil."
"Eh ... gua pulang duluan ya, Ris."
Risma hanya mengangguk tanpa menoleh, ia sibuk dengan handphone di tangannya yang seperkian detik selalu bergetar.
...🕊️Next Chapter 1🕊️...
...Kalau ada yang tidak sesuai dengan PUBI atau kesalahan lain bisa berikan saran di komentar, ya. ^^...
Hari ini Ashila berangkat lebih awal karena ia mendapat tugas menjadi petugas upacara di bagian pengibar bendera.
"Bibi, Shila berangkat." Ashila berteriak dari arah pintu keluar sambil mengikat tali sepatunya. Suaranya menggema sampai ke ruang tengah tempat di mana bibinya berada.
"Iya hati-hati," jawab bibinya dengan suara tidak kalah kencang.
Hari ini Ashila tidak ada yang mengantar ke sekolah. Biasanya Ray akan menjemputnya, namun hari ini tidak.
"Shila ... Shila ...."
Langkah Ashlia terhenti sesaat saat mendengar namanya disebut-sebut oleh seseorang di balik semak-semak. Ashila menoleh ke kanan dan ke kiri mencari siapa yang memanggilnya itu. Namun tidak kunjung ia temukan orang yang memanggilnya.
"Tadi ibu udah pergi ke salon belum?"
Ashila benar-benar terkejut saat menoleh ke arah semula ada sesosok laki-laki bertubuh tinggi di hadapannya. Ia adalah Arga anak dari bibinya.
"Ya ampun, Ga, aku kira siapa."
Arga hanya terkekeh melihat keterkejutan Ashila. "Udah berangkat belum?"
Ashila menggeleng. "Belum, lagian kamu dari mana aja, sih? Bibi semalam sampai enggak bisa tidur nungguin kamu pulang."
"Ah, enggak penting tau."
Ashila hanya menampakan wajah kesal.
"Kamu mau ke sekolah, ya? Pasti buru-buru, iya, kan?"
Ashila mengangguk malas.
"Hari ini doinya enggak jemput, kan?"
Lagi-lagi Ashila hanya bisa mengangguk.
"Aku anter yuk, sambil nunggu ibu berangkat ke salon."
Mata Ashila berbinar. Ia tersenyum sambil mengangguk.
***
"Aku antar sampai sini, ya, kalau sampai dalam mah malu," ucap Arga setelah Ashila menuruni jok bagian belakang motornya.
"Terima kasih, ya, hati-hati, jangan ngebut."
Setelah mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya. Motor ninja berwarna biru yang dikendarai Arga menghilang dari pandangan Ashila.
Setelah itu barulah Ashila berjalan maju menyusuri lapangan sekolahnya yang megah. Sekolah masih lumayan sepi, saat ini matahari pun masih malu menampakkan sinarnya.
"Pagi, Kak Shila," sapa segerombolan adik kelas.
Ashila sangat terkenal di kalangan adik kelas, apalagi para kaum adam. Tidak hanya adik kelas, bahkan kakak kelas. Ada sebagian yang menyukainya dan ada pula sebagian yang membencinya. Dan salah satu faktor utama terkenalnya Ashila adalah, Ray.
"Pagi," jawab Ashila sambil tersenyum ramah.
***
Bendera merah putih sudah siap. Terdengar suara lantang nan gagah dari seorang danton. "Kepada, bendera merah putih, hormat ... grak!"
Dengan serentak semua yang ada di area lapangan mengangkat tangan kanan mereka dan langsung hormat kepada bendera merah putih.
"Shil ... gua ikut ke ruang ganti dong," ucap Uni tepat saat Ashila baru saja bubar dari segerombolan para pengibar bendera di hari Senin ini.
"Ngapain? Mau ngintip gua?"
Uni menampakkan cengiran khasnya. "Gua mau ngintip Rusdi."
Ashila terkejut, baru ia ingin berteriak namun mulutnya sudah lebih dulu dibekap oleh Uni.
"Ihh ... enggak, Shila, gua mau tukeran handphone sama dia di depan ruang ganti. Sumpah tadi dia jadi danton kece abis."
"Udah-udah, ayo ikut." Ashila langsung berjalan lebih dulu.
"Hai ...." Sapaan yang sangat tidak asing lagi di pendengaran Ashila. Ia langsung menoleh secara spontan dan langsung menampakkan senyuman khasnya. Siapa lagi kalau bukan Ray.
"Aku tunggu di depan, ya."
"Siap 86!" jawab Ashila seraya mengacungkan ibu jarinya.
"Lu langgeng banget sama si Ray, Shil," ucap Uni seraya menatap langkah Ray yang semakin menjauh.
"Iyalah, yaudah enggak usah dilihatin juga, sih."
Ray berhenti di sebuah bangku panjang, ia menunggu Ashila sambil mendengarkan musik menggunakan earphone miliknya.
"Ah elu, curigaan banget sama temen."
"Eleh ... yaudah gua mau ganti baju dulu, nih pegang handphone gua, nanti kalau Rusdi datang dan lu mau pergi, kasih Ray aja, oke?"
Uni mengangguk. "Minta lagu ya, Shil," teriak Uni.
"Iya, Uni," ucap Uni, menjawab pertanyaannya sendiri karena Ashila tidak menjawabnya.
Benar dugaan Ashila, saat ia keluar dari ruangan ganti, Uni sudah tidak ada di tempatnya lagi. Ia langsung menghampiri Ray yang masih setia menunggunya di bangku panjang yang letaknya tidak jauh dari ruang ganti.
Ashila menarik satu earphone dari telinga Ray. Ray menoleh. "Udah?"
Ashila mengangguk. "Ada apa emang?" Ashila memakaikan earphone di telinga kirinya.
"Enggak papa, mau ketemu aja, emang enggak boleh?"
"Bolehlah."
Hening. Ray menikmati alunan musik dari telinga kanannya. Begitu juga Ashila.
"Hari ini free class, lagi pada sibuk gurunya, ke kantin yuk, Sil."
Ashila mengangguk semangat. "Dari tadi kek gitu."
***
"Besok minggu nih, mau main?" tanya Ray sambil *menscroll-scroll handphone* milik Ashila.
"Nonton," ucap Ashila cepat.
"Okay, besok aku jemput kamu, ya?"
Berpapasan saat Ashila mengatakan iya seorang pelayan kantin datang membawa nenampan berisi dua gelas jus alpukat, dan dua bungkus burger mini.
"Kamumah dari dulu kebiasaan deh kalau makan pasti nyisain. Emang nyisain siapa sih?" ucap Ashila seraya menyentuh dagu Ray yang masih menyisakan makanan yang baru saja ia makan.
"Aku rela deh dikatain kebiasaan terus kalau setiap ngelakuin salah diginiin sama kamu." Ray langsung menutup mulutnya.
"Dasar ...."
"Ke kelas yuk." Ray beranjak dari duduk. Ia mengambil alih tissue di tangan Ashila.
Padahalkan itu bekas daki gua. Ashila cekikikan dalam hati.
Ashila ikut beranjak. "Semalam kamu ke mana? Itu cewek yang rambutnya pirang siapa?"
"Kumpul sama teman SD, itu namanya Rihana, diamah masih sepupu aku, orang berangkat ke sana aja aku bareng sama dia."
"Bener sepupu?"
"Bener, Sisil," ucap Ray seraya mengacak-ngacak puncuk kepala Ashila yang tertutupi oleh kerudung berbahan paris.
"Ihh ...."
Ray hanya menampakkan gigi kelinci khasnya saat melihat wajah menggemaskan Ashila ketika kesal.
***
"Shil ... Shil, anter ke toilet yuk, gua kebelet," ucap Nada seraya bangkit dari duduknya.
Tanpa menjawab Ashila langsung bangkit dari duduknya dan berjalan lebih dulu keluar kelas, ia juga sudah bosan di dalam kelas, lebih dari satu jam tanpa ada guru pengisi pelajaran.
"Katanya kebelet kenapa malah berenti di sini?" tanya Ashila saat Nada tiba-tiba berhenti di lorong dekat toilet.
Tiba-tiba raut Nada berubah menjadi murung. "Kak Tara mutusin gua." Inilah kebiasaan teman yang mau curhat, pernah merasakan tidak?
Ashila terkejut. Nada langsung memeluk Ashila. Ia menangis di pelukan Ashila. Dua tahun ia berteman, Ashila adalah satu-satunya teman yang paling ia percayai.
"Nada ... Nada, berapa kali gua bilang sama lu. Kak Tara itu sering mainin wanita, gua pernah lihat itu secara langsung, di depan mata gua dia teleponan sama orang lain pake kata sayang, waktu itu, kan, dia masih jadi pacar lu," ucap Ashila merasa ikut kesal dengan laki-laki bernama Tara.
"Iya, Shil, gua nyesel terima dia, padahal baru aja terjalin satu minggu eh dia udah putusin gua, dia emang jahat, Shil."
"Udahlah yang lalu biarlah berlalu, sekarang lu tenangin diri, airmatanya hapus tuh, nanti kata orang Nada habis Ashila tonjok," ucap Ashila sedikir melantur. Baginya walaupun garing yang penting nyenengin.
Nada mengangguk, ia berusaha tersenyum.
"Yaudah yuk balik ke kelas." Ashila merangkul Nada. Mereka kembali ke kelas.
Tidak ada yang spesial di sekolah hari ini. Ashila menghabiskan waktu kosongnya dengan ngobrol-ngobrol bersama teman-temannya yang tidak lain dan tak bukan, Risma, Nada dan Uni. Tidak hanya mereka, Ray, dan Rusdi pun ikut serta.
"Eh, Nad, semalam, kan, gua lagi beli parfume, masa gua ketemu sama kak Tara, dia sama kak Laura yang kayak bule, yang waktu itu pernah jadi vokalis di grup band-nya kak Tara itu lho."
Ashila menyenggol lengan Risma. Ia langsung berbisik, "Udah putus, diputusin."
Mulut Risma membulat. Setelahnya ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Udahlah, lu cantik, banyak yang suka sama lu, enggak usah sedih, lagi juga kak Tara enggak ganteng-ganteng amat, cuma jago main drum aja makanya jadi famous. Jangan sedih, kita selalu ada buat lu, ya enggak?" ucap Risma seraya menaikkan sebelah alisnya.
Ashila dan Uni mengangguk semangat.
"Iya bener tuh, Nad, jangan sedih, belum terlalu nyantol, baru satu minggu. Nih lihat nih, beberapa hari kemudian juga bakal ada pangerang berkuda putih yang dateng di kehidupan wanita cantik kayak lu," ucap Uni sambil memeluk lengan Nada manja.
"Iya, Ni ...."
"Terima kasih, ya, enggak sia-sia gua bisa kenal lu semua." Karena Nada duduk bersama Ashila ia memeluk Ashila. Uni dan Risma yang duduk di depannya beranjak dan ikut memeluk Ashila.
"Kok gua yang dipeluk sih?" ucap Ashila yang sudah merasa engap dipeluk tiga orang sekaligus.
"Karena kita sayang Ashila," ucap Nada, Risma, dan Uni, serentak. Itu adalah kata-kata yang paling sering mereka ucapkan.
"Udah jangan peluk-peluk nanti doi gua lecet," ucap Ray datar sambil mengotak-ngatik handphone Ashila, entahlah ia sedang apa.
"Gigi lu lecet," sambar Uni.
"Pala lu gancet," sambar Risma.
"Idung lu sini gua pencet," sambar Nada.
"Oh no! Don't touch my hany," sambar Ashila.
Mereka pun tertawa melupakan semua masalah yang sempat membuat mereka putus asa.
***
Ashila pulang ke rumah diantar oleh Ray. Rumah bibinya itu selalu sepi. Hari ini di rumahnya hanya ada Arga.
"Mampir dulu enggak mau tau," ucap Ashila sedikit merajuk saat ia turun dari jok bagian belakang motor Ray.
Mau tak mau Ray pun menuruti apa yang Ashila mau. Ray ini sangat nurut dengan Ashila. Entah apa yang merasukinya.
Saat Ashila membuka pintu masuk, ada Arga sedang menonton televisi di ruang tamu.
"Ga, kekamar Ga, ada Rayn."
"Ah, enggak, suntuk, udah aja enggak papa, biar Ga awasin, takut macem-macem."
"Ye ... kamu kira aku cewek apaan," dengus Ashila sambil melempar tas ranselnya ke sofa yang jaraknya tepat disamping Arga.
"Sini, Rayn." Ashila menepuk-nepuk sofa kosong di sampingnya.
Ray menghempaskan badanya di sofa tepat di samping Ashila.
"Lagi nonton apa, Kak? Seru amat," tanya Ray seraya menatap televisi dan Arga secara bergantian.
"Azab," jawab Arga cepat sambil menampakkan barisan giginya yang rata.
"Angker."
"Kurang kerjaan nonton begituan, sini remotnya, ganti film Upin Ipin." Ashila langsung mengambil alih remote di tangan Arga
"Ah engga." Arga merebut kembali remote dari tangan Ashila.
"Ahh ... Arga ... malesin." Ashila malah teriak hingga suaranya menggema, itu karena saat ini rumah hanya ada dia, Arga, dan Ray saja.
Arga hanya terkekeh sambil menjulurkan lidahnya. Sementara Ashila menekuk wajahnya, ia melipatkan tangan di dada, dan memalingkan wajahnya.
"Nih liat di youtube aja sini."
Ashila tersenyum. Ia mendekat ke arah Ray dengan jarak sangat dekat. Kepala mereka saling sender-menyender.
"Nyamuk gatel banget dah," sindir Arga.
"Makanya ajak kak Erika ke rumah, Ga," sambar Ashila.
"Aku aja enggak masuk-masuk sekolah."
"Mau jadi apa kali."
"Mau jadi ayah yang baik, enggak kayak ayah aku yang buruk itu."
"Udah-udah jangan dilanjutin."
Arga menghempaskan kepalanya di senderan sofa.
"Ga pernah ketemu sama cewek, dia cantik, baik, ramah, tapi pendiam, udah gitu pemalu. Dia make baju rapat banget. Enggak tau kenapa Ga seneng lihat dia. Adem gitu. Wajahnya natural tanpa ulasan make up, tapi dia lebih terlihat lebih cantik dari perempuan lain yang bermake up."
"Siapa namanya?" tanya Ashila
"Habibah. Habibah Al-Humairah."
"Sekolah di mana dia?"
Arga menggeleng. "Waktu itu aku ketemu dia di *b*usway. Ga banyak tanya sama dia waktu itu." Arga terkekeh.
"Si Sisil dulu kayak gitu, tapi sekarang nakal ni." Ray mengacak-ngacak puncuk kepala Ashila.
"Emang nakal anak ini," sambar Arga.
"Apa sih Ashila enggak kayak gitu tau," ucap Ashila sambil menggayakan nada bicara ia dahulu.
"Uh! Udah enggak pantes, udah kolot." Arga melempar bantal ke arah Ashila.
"Aku mau sleeping dulu, bye!" Berpapasan saat mengatakan itu Arga bangkit melangkah ke arah kamarnya yang terletak di lantai dua.
"Aku izin pulang ya, Sil." Dan berpapasan saat itu juga Ray meminta izin untuk pulang karena jam sudah menunjukkan pukul empat sore.
Ashila mengantar Ray sampai gerbang. Saat Ray sudah hilang dari pandangannya, Ashila langsung masuk.
***
Saat ini Ashila sedang duduk termenung menatap wajahnya di cermin besar berbentuk bulat.
"Nama aku tetap Ashila."
"Kulit aku masih putih."
"Alis aku juga masih tebal."
"Apa, ya, yang berubah dari aku."
Ashila menatap lekat-lekat wajahnya di cermin tersebut.
"Aku dulu pendiam, sekarang juga aku masih pendiam, aku akan diam kalo orang lain enggak ajak aku bicara."
"Aku ramah, masih, buktinya aku enggak pernah sombong kalo disapa."
"Apasih yang berubah dari aku?"
Ashila beranjak dari posisinya. Ia mengambil sebuah notebook berwarna merah hati dari laci meja belajarnya.
Senin, 14 06 2014
Hari ini Shila bahagia.
Shila bersyukur sama Allah SWT. masih memberikan Shila umur panjang.
Selamat ulang tahun untuk diriku sendiri.
Kamis, 18 06 2014.
Shila enggak mau laki-laki merendahkan Shila. Shila enggak suka laki-laki yang tukang gombal kayak Ali. Sampai kapan pun Shila nggak akan mau pacaran!
Ashila terdiam saat membaca lembar kedua dari buku harian berwarna merah hati tersebut. Ia menulis itu saat ia masih bersekolah di MI. Dahulu ia sangat anti dengan yang namanya berhubungan dengan laki-laki. Bahkan jika dipanggil laki-laki ia tidak pernah menengok sekalipun itu penting.
"Apa ini akar keberubahanku?"
"Ray, laki-laki tampan yang menyatakan cintanya kepadaku beberapa tahun yang lalu."
"Dia sangat mencintaiku, dan aku juga sangat mencintainya."
"Ah entahlah, aku terlalu puitis mengingat kisahku."
Ashila melempar notebook berwarna merah hati itu ke lantai. Ia menghempaskan badannya di kasur.
"Ini waktunya tidur siang, lupakan segala kebimbangan."
Ashila pun memejamkan matanya. Mencoba melupakan semuanya karena telah stuck pada masa kini yang jauh berubah dengan masa lalunya.
[Next Chapter 2]
Hari minggu yang seharusya menjadi hari istimewa bagi Ashila karena sebelumnya berniat ingin pergi nonton bioskop bersama Ray terpaksa dibatalkan karena hujan deras yang sedari tadi turun.
Ashila hanya bisa menonton televisi di kamarnya sambil membawa beberapa makanan ringan dari kulkas. Hari ini ia sendiri di rumah. Arga sedang bermain di rumah temannya sejak pukul tiga pagi. Dan bibinya sudah berangkat kes alon sejak jam tujuh pagi tadi.
Makanan ringan yang beberapan menit ia bawa dari kulkas sudah habis. Mulutnya tidak henti-henti mengunyah. Kesendirian membuat tingkat kelaparannya meningkat.
"Bete banget, ish."
Sedaritadi Ashila hanya mengunyah dan mengunyah, sesekali tangannya yang memang memiliki jiwa kepenulisan menulis sesuatu di buku diary yang baru saja ia beli minggu lalu. Sesekali juga ia mengecek handphone-nya siapa tahu sinyalnya sudah mendukung. Dia ingin segara menumpahkan kekesalannya kepada Ray.
"Menyebalkan," desisnya seraya melempar handphone ke kasur. Lagi-lagi sinyal masih tidak mendukung.
Ashila mengambrukkan tubunya ke kasur. Ia tutup wajahnya dengan selimut. Tanpa sadar ia malah tertidur.
***
Terasa semiliran angin dan sorotan hangat sinar matahari menembus jendela kaca di kamar Ashila. Karena itu Ashila terbangun.
Ashila membuka matanya. Benda utama yang ia cari bukanlah Al Qur'an, buku pelajaran, dan sesuatu yang memang sangat penting. Yang ia cari malah handphone. Ia tersenyum sumringah saat melihat sinyal handphone-nya sudah kembali penuh.
Saat ia menyalakan data seluler ada delapan pesan dari Ray. Dan semua isi pesan itu hanya terdapat kata, "Sisil?"
Ia langsung membalas pesan dari Ray.
Ashila :
Maaf tadi sinyal aku jelek. Aku baru bisa online sekarang.
Beberapa menit kemudian Ray online. Ia langsung membalas pesan Ashila.
Ray :
O ya? Enggak apa-apa. Maaf, ya, hari ini kita enggak bisa nonton. Karena tadi hujan, dan sekarang juga aku lagi enggak ada di rumah, aku lagi anter pesanan ibu ke rumah omah.
Ashila menekuk wajahnya. Ia kira Ray akan bertanya soal janji itu dan ia akan menjemputnya. Ekspektasi memang tak seindah realita.
Setelahanya ia tidak pernah melepas handphone dari genggamannya. Menurutnya handphone adalah kebutuhan pokok. Jika sehari saja ia tidak menggenggam handphone, maka ada sesuatu yang kurang baginya.
Jam sudah menunjukan pukul lima sore. Tapi Ashila belum juga beranjak dari kasurnya. Ia belum melaksanakan salat Ashar bahkan salat Zuhur terlewatkan karena ia tidur kebablasan.
Ray :
Kamu udah salat Ashar?
Ashila :
Belum, kamu?
Ray :
Udah tadi sewaktu aku balas agak lama.
Ashila merasa malu. Dahulu ialah yang selalu mengingatkan Ray untuk mengerjakan salat, tapi sekarang malah ia yang malas salat. Tanpa membalas pesan dari Ray. Ashila langsung beranjak dari kasur dan langsung memasuki kamar mandi untuk mandi dan berwudhu setelah itu ia kembali pada posisi semula.
***
Suara bel membuyarkan konsentrasi Ashila. Ia sedang mengerjakan pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan esok. Ashila langsung beranjak dari bangku belajarnya. Ternyata yang mengetuk pintu bibinya. Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. Bibinya baru saja pulang dari salon di mana ia bekerja.
"Boleh Bibi minta buatin teh?"
Ashila mengangguk. "Bentar ya, Bi."
Dalam waktu tiga menit Ashila kembali sambil membawa dua gelas teh.
"Arga udah pulang, Shil?"
Ashila menggeleng. "Belum, Bi."
Bibi Ashila langsung menyenderkan kepalanya di senderan sofa. Ia terlihat letih. Letih fisik dan pikiran. Ia seorang wanita kuat. Sembilan belas tahun lamanya ia ditinggalkan oleh suami yang sekarang sudah bahagia dengan istri barunya, sampai saat ini Bibi Ashila tidak ada keinginan untuk menikah lagi.
"Bibi tuh capek ngurusin Arga. Arga itu satu-satunya harapan Bibi, tapi apa yang dia buat. Tidak sesuai harapan." Bibi Ashila memejamkan matanya. Pejaman mata yang memiliki makna mendalam.
"Terima kasih ya, Shila, udah nemenin Bibi selama lima tahun ini. Kalo enggak ada Shila enggak kebayang bagaimana bosannya Bibi."
"Shila yang seharusnya berterima kasih sama Bibi."
"Yaudah, Bibi mau istirahat dulu ya, terima kasih tehnya," ucap Bibi Ashila seraya bangkit dari sofa. Setelah kepergian Bibinya, Ashila langsung membawa dua gelas teh yang sudah kosong ke dapur.
Setelah merapihkan gelas bekas teh, Ashila kembali ke kamarnya. Ia meneruskan kegiatannya.
Nada dering pertanda telepon masuk lagi-lagi membuyarkan konsentrasi Ashila. Apalagi saat ia lihat ternyata yang meneleponnya itu Ray.
"Malam Sisil?"
"Malam juga Rayn."
"Kok belum tidur?"
"Iya aku lagi ngerjain PR."
"Aku ganggu, ya?"
"Ah enggak kok, aku malah seneng."
"*Y*audah lanjutin dulu PR-nya nanti kalo udah selesai balas pesan aku, ya, night, Sayang."
"Malam juga, Sayang."
Biar bagaimana pun Ashila sekarang, soal sekolah ia tidak pernah sia-siakan. Ia sangat menyayangi abba dan ummanya di Aceh. Mereka sudah susah payah banting tulang untuk membiayainya. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktu ini. Ia akan membanggakan kedua orangtuanya dengan prestasi. Ia akan membuat kedua orangtuanya merasa tak sayang telah mengeluarkan uang banyak untuk kehidupannya.
Ia langsung membuka lembaran-lembaran buku di meja belajarnya. Matematika salah satu pelajaran yang membuatnya pusing tujuh keliling. Ia sering mendapatkan nilai lima di pelajaran ini. Walaupun seperti itu, entah mengapa ia merasa tertantang. Ia tidak mau menyontek, padahal Ray yang dikenal sampai saat ini adalah pacarnya merupakan seorang Master Matematika, ia tidak mau bertanya padanya. Ia merasa tidak puas jika menyalin jawaban orang lain.
Ashila sangat ahli di pelajaran bahasa, entah itu Bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab. Yang paling ia suka adalah pelajaran Bahasa Arab, karena sejak dahulu ia ingin menguasai Bahasa Arab dengan tujuan hendak memberangkatkan abba dan ummanya ke tanah suci untuk memenuhi rukun Islam yang ke lima.
Selesai sudah pertempuran dengan buku. Ashila menghempaskan badannya di kasur. Tidak terasa tiga jam lamanya ia berkutat dengan buku. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam.
Ashila mengambil handphone dari bawah bantalnya. Ia langsung mencari nama Ray di riwayat panggilan di handphone-nya.
"Eh belum tidur, Rayn?"
"Belum, Sayang, aku nunggu kamu."
"Kamu emang orang yang paling jago perbaikin mood-ku. Baru aja aku suntuk sama PR Matematika. Kamu udah selesai belum?"
"Udah, kamu taukan Rayn kamu ini Master Matematika."
"Huh, iya deh Kakak ganteng buronan kakak dan adik kelas."
"Buronan kamu juga dong."
"Hmm, kayaknya kamu deh yang kejar-kejar aku bukan aku yang kejar kamu."
"Iya deh, kamu emang yang selalu aku perjuangkan. Jangan sia-siain aku, ya."
"Selagi kamu setia sama aku, dan enggak buat aku nangis, sakit hati dan lain sebagainya. Aku bakal tetap jadi Ashila bukan markonah."
"Uh, sayang."
"Sayang juga."
"Yaudah udah malam nih bobo gih nanti besok kesiangan lagi."
"Kamu juga harus bobo, ya. Inget besok kamu kebagian jadi danton, jangan lupa berangkat pagi. Jangan lupa juga jemput aku."
"Iya, Sayang, terima kasih udah ingetin. Udah ya aku tutup good night, muah."
Belum sempat Ashila membalas ucapan selamat malam dari Ray saluran telepon sudah terputus. Ashila hanya terkekeh sambil memandang wajah Ray yang terpampang jelas di walpaper handphone-nya.
"Kita bersatu karena cinta dan karena cinta juga kita berpisah. Aku enggak mau sampai pisah, aku mau kamu tetep jadi cinta yang berakhir cinta. Entahlah bahkan aku tidak mengharapkan akhir, di pikiranku saat ini adalah awal, awal dan awal, aku mencintaimu Rayhan Fahrez Al-Munawar."
Ashila tersenyum sambil terus memandang wajah Ray di walpaper handphone-nya.
Ashila baru teringat bahwa ia belum mengerjakarn salat Isya. Di pukul sepuluh
malam Ashila baru mengerjakan salat Isya, padahal sejak tadi banyak waktu kosong, ia merasa malas mengerjakan di awal, bahkan saat ini pun ia terpaksa melaksanakannya.
Selesai mengerjakan salat Isya ia membereskan seluruh peralatan sekolahnya yang akan ia bawa esok. Setelah itu ia berbaring di kasurnya dan ia matikan lampu kamarnya. Ashila melafazkan doa tidur di dalam hati. Dan ia pun terpejam. Dan mulai memasuki mimpi indahnya.
Note :
Berhati-hatilah dengan cinta. Terkadang cinta memang manis. Namun selalu ingat bahwa cinta itu membutakan. Barang siapa yang menjadikan cinta itu prioritas maka lakukanlah namun atas namakan Allah di dalamnya. Jika itu terjadi tanpa ada Allah di dalamnya. Bersiaplah kau akan hancur bersamanya**.
[Next Chapter 3]
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!