NovelToon NovelToon

PENGANTIN YANG KABUR

1. H -7

"Buka pintunya!"

Suara seorang gadis yang berteriak dan menggedor-gedor pintu kamar, terdengar sejak pagi. Sudah pulluhan kali dia melakukannya tanpa lelah dan putus asa. Semua orang menggelengkan kepala, lelah mendengar keributan yang sengaja dibuatnya.

Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat ayu, datang menghampiri dan menyahutinya. Setelah sekian kali gadis itu berteriak dan menggedor pintu mencari perhatian, akhirnya ada juga yang meladeni.

"Malu, Cah Ayu. Jangan terus berteriak seperti itu. Nanti lehermu sakit. Masa di hari pernikahan, kamu jadi gagu karena tak sabar konser sejak seminggu sebelumnya?" bujuk wanita itu.

"Mami ... Aya ndak mau nikah sama dia!" ujarnya entah untuk yang ke berapa kali pula.

"Dengan masa lalumu, sudah ndak ada lagi pria baik yang berkenan melirikmu, Nduk," bujuk maminya lagi.

"Beruntung sepupu jauhmu datang dari Belanda. Dia ndak tahu apa-apa. Cuma disodori fotomu saja dia sudah setuju. Keberuntungan yang seperti apa lagi yang mau kau cari?" jelas maminya lagi.

"Tapi Aya ndak cinta sama dia ...." Suaranya setengah menangis.

"Cinta bisa datang seiring waktu. Apa kamu pikir mami dulu cinta sama papimu? Orang udik begitu? Tapi karena dijodohin sama eyang, ya harus manut tho!" Mami memberi contoh.

"Kenapa jadi Mami yang curhat sih!" ujar gadis itu jengkel. Suaranya terdengar menjauh dari balik pintu. Lalu sayup-sayup terdengar tangisan dari dalam kamar.

Wanita paruh baya itu menghela napas panjang. Mendekatkan wajahnya ke daun pintu yang tertutup. Dia melihat lobang kunci dengan gemas. Suaminya menyimpan sendiri kunci kamar. Pria itu tak mempercayai siapapun.

"Sayang ... percayalah. Cinta akan datang seiring waktu. Papi dan mami sudah memilihkan pria paling baik untukmu. Biar kamu bisa merasakan kebahagiaan hidup berkeluarga," ujarnya lembut dan sabar.

"Kalau gitu ambil saja buat mami!" Terdengar teriakan balasan dari dalam kamar.

"Hlo! Piye tho. Trus, papimu gimana? Trus kamu gimana kalau mami diboyong ke Belanda? Apa kamu beneran mau punya ayah tiri?" tanya maminya dengan suara serius.

"Mamiiiiiii ... berisik!" balas putrinya kesal.

Wanita paruh baya itu menutup mulutnya agar tidak tertawa. Setelah beberapa waktu, dia akhirnya berkata.

"Yo wes. Mami tinggal mengurus yang lain dulu ya. Kalau kangen sama mami, gedor lagi aja pintunya. Nanti mami datang lagi." Wanita ayu yang anggun itu berlalu dari sana, dengan senyum kemenangan di wajahnya.

Diangkatnya dagu dan membiarkan suara teriakan Gayatri mengalun. Wanita ayu bernama Ajeng Wardhani itu tidak terganggu sama sekali. Langkahnya sangat tenang dan menatap lurus ke depan.

Dari seberang ruangan, seorang pria bertubuh tambun berambut kelabu, hanya menggeleng. Tak ada yang menyadari tarikan senyum di sudut bibirnya sedetik yang lalu.

Di bagian lain rumah, sebagian orang kembali merasa lega karena suara gedoran pintu yang seperti suara drum dalam marching band itu mengalami jeda sejenak. Menyelamatkan jantung dan telinga mereka yang diteror polusi suara sejak pagi.

*

*

Di depan warung sayur, ibu-ibu berkumpul begitu melihat suasana ramai di rumah besar keluarga Sangaji.

"Dari kemaren ramai sekali. Apa mau hajatan ya?" tanya yang satu.

"Mungkin," sahut yang lain sambil terus memilih sayuran.

"Bukan dari kemaren. Kalau ndak keliru, awal bulan lalu juga ramai kok," Ibu lain menambahi.

"Kalau itu, acara arisan keluarga. Kan eike diminta bantu masak di sana," sahut yang lain menimpali.

"Oo ...." wanita yang sebelumnya bicara, mengangguk mengerti.

"Hlo ... hloo. tumben kok ramai sekali sepagi ini. Apa Pak De Yatno lagi kasih diskon sayuran?" Seorang ibu lain datang mendekat.

"Ora!" geleng Pak De Yatno. Tangannya ikut mengibas, menandakan tidak ada diskon bagi ibu-ibu di situ.

"Sekali-kali kasih diskon atau give away kaya toko onlen gitu hloo ...." ujarnya sambil memajukan bibirnya dengan gaya merot ke kanan kiri.

"Lah, mbok ya sekali-kali ndak pake kasbon tho bu-ibu," balas Pak De Yatno telak.

Tangan ibu-ibu yang sedang memegang sayuran jadi terhenti. Mata mereka serempak melotot ke arah ibu yang baru datang dan cari perkara dengan Pak De Yatno. Tatapan tajam yang mematikan itu membuat si ibu tersebut langsung bungkam seribu bahasa.

Untuk mengalihkan dan menenteramkan Pak De Yatno, seorang ibu membawa lagi arah pembicaraan ke topik semula. "Tadi, saat aku lewat depan rumah Pak Sangaji, kudengar suara teriakan Aya hlo. Juga ada suara gedebak-gedebuk gitu. Dia teriak-teriak gak jelas."

"Ho-oh ... aku juga denger. Teriakan "buka ... buka" gitu hlo." Yang menimpali lagi.

"Apa dia dikunci di kamar?" duga ibu yang lain.

"Hloo, untuk apa Bu Ajeng mengunci Mbak Aya di kamar. Ada-ada saja," bantah yang lain.

"Menurutku, semua ini ada kaitannya," ujar yang lain dengan gaya detektif.

"Kaitan bagaimana?" yang lain langsung menoleh, ingin tahu analisa ibu yang mengaku paling cerdas dari semua langganan Pak De Yatno.

"Iya tho. Coba lihat keramaian ini. Aku yakin, gak lama lagi tukang tenda akan datang. Ditambah dengan teriakan Mbak Aya. Petunjuk yang sangat jelas, kalau Pak Sangaji mau hajatan!" jelasnya dengan wajah bangga. Dia selalu bisa memuaskan keingin tahuan para ibu di warung sayur.

"Hajatan? Hajatan opo? Kan Adiknya Aya satu-satunya sudah menikah tahun lalu. Siapa lagi yang mau dinikahkan?" tanya yang lain penasaran.

"Hlo!" ibu tadi menatap teman-temannya dengan pandangan mengecilkan. Terheran-heran kenapa dia bisa begitu cerdas, sementara yang lainnya sulit melihat berbagai petunjuk yang terlihat jelas.

"Kan Mbak Aya belum nikah. Jadi hanya ada satu kemungkinan, Hajatannya Mbak Aya! gitu aja kok ndak bisa nangkep!" ejeknya dengan wajah merendahkan.

"Mosok seh?" ujar seorang lainnya tak percaya.

"Iya. Masa iya sih Bu Ajeng masih mau menikahkan Mbak Aya? Apa udah lupa dengan dua kali acara pernikahan yang gagal?" timpal yang lain tak percaya.

"Iyo. Yang kedua, malah bikin rugi Pak Sangaji ratusan juta karena dituntut sama calon menantu dan calon besannya itu. Mosok ndak kapok?" bantah yang lain dengan argumen.

"Lah, yang namanya jodoh kan tetap harus diupayakan. Mosok orang tua akan membiarkan putri satu-satunya jadi perawan tua, hanya karena rugi ratusan juta?" timpal yang lain, mendukung analisa si ibu cerdas.

"Tapi, kalau nanti dia kabur lagi, gimana? Wah ... bakal geger lagi nih sekota, nyari-nyari dia." Seorang ibu menggelengkan kepalanya, heran dengan perilaku Aya.

"Yo ... resiko. Resiko si calon suami. Resiko keluarga juga, kalau nanti kembali dibawa ke jalur hukum!" jawab si ibu cerdas. Dia merasa puas bisa menjelaskan dengan smart pertanyaan para tetangganya.

"Jadi, Suara teriak-teriak "buka ... buka" itu, kemungkinan Mbak Aya dikunci di dalam kamarnya?" Ibu yang sebelumnya mundur dari barisan akibat memancing omelan Pak De Yatno, kembali angkat bicara.

"Ooo ...."

Ibu-ibu lain kini mengangguk seirama. Misteri teriakan di pagi hari, kini sudah terpecahkan. Mereka bisa kembali memilih sayur dengan tenang.

Pak De Yatno hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ibu-ibu di gang itu yang sudah seperti kamera cctv saja. Dia merasa mereka itu sangat cocok menjadi pembawa acara gossip di tivi. Ada pembawa berita, ada yang memancing. Ada yang menimpali, ada yang menyajikan fakta-fakta versi mereka. Ada juga yang bertindak sebagai editor yang menyimpulkan berita. Luar biasa!

******

Karya baru dari author untuk pembaca setia. Kali ini genre Komedi Romantis yaa ...

Jangan lupa Vote, tap favorite ❤, Like 👍 dan komentarnya. Kasih rate ⭐ 5 dan gift🌹juga yaa ...

~ Happy reading ~

2. Sumpah Gayatri

Siang hari, suara kunci di pintu, terdengar. Gayatri yang kesal dan merasa lelah mengamuk, mendongakkan kepala ke arah pintu. Dia turun dari tempat tidur yang seprainya sudah kusut masai. Berjalan cepat ke balik pintu dan menunggu di sana.

Perlahan pintu kamarnya dibuka dari luar dengan sedikit suara menderit, tanda engselnya perlu diminyaki.

"Hlo, kok mbak Aya enggak ada?" Itu suara adik laki-lakinya.

Gayatri menunggu adiknya itu melewati ambang pintu untuk mencarinya. Lalu dia akan lari keluar secepat kijang liar melompat. Itulah rencana di kepalanya.

"Mungkin sedang di kamar mandi," sahut maminya.

Gadis itu langsung lemas di balik pintu. Jika mami masuk, maka seperti saat mengantar sarapan tadi pagi, mami akan membawa dua security rumah bersamanya menjaga pintu.

Brukk!

Adiknya Radit dan mami, seketika mencari suara jatuh di balik daun pintu. Kemudian keduanya memandang heran pada gadis yang terduduk di lantai.

"Mau apa kamu di situ? Ayo bangun! Dingin ... nanti kamu masuk angin," omel mami.

"Radit, dibantuin tho .... Mbakyumu jatuh begitu kok cuma dilihat doang," tegur mami.

Radit meletakkan kotak-kotak yang dibawanya, ke atas meja. Barulah dia membantu Aya berdiri dan membimbingnya ke tempat tidur lagi.

Aya memandang nanar dan putus asa ke daun pintu yang sudah tertutup rapat lagi. Dia bisa mendengar suara kunci dari luar sana.

"Mbak Aya bukan jatuh, Mi," bantah Radit.

"Hla ... kan kamu lihat sendiri dan dengar juga suara jatuhnya keras begitu." Mami memberikan bukti.

"Mbak Aya pasti mau mencoba kabur lagi tadi."

Radit sedikit tidak bersimpati pada Gayatri yang menurutnya terlalu manja dan bersikap seenaknya, tanpa memikirkan keluarga. Radit merasa dirugikan saat Gayatri melarikan diri dari rencana pernikahan keduanya. Keluarga harus merelakan uang ratusan juta akibat membayar tuntutan dari calon suaminya yang merasa ditipu. Belum lagi karena itu adalah peristiwa kedua kali. Jadi, pria itu memiliki alasan kuat untuk tuduhannya.

"Jangan seperti ini, Mbak. Ora ilok!" tegur Radit tajam.

"Ayo, mami suapi makan," bujuk mami yang sedih melihat anak gadisnya kusut dan bermata bengkak akibat lama menangis.

"Mami, Mbak Aya itu udah tua! Jangan diperlakukan seperti bayi!" Radit jadi emosi.

"Mami bukan memperlakukannya seperti bayi, Dit. Mami cuma mau menghiburnya. Dia sedang sedih sekarang. Mami juga jadi ikut sedih ...." Mami menyusut sudut matanya yang menggenang butiran air.

Radit menghela napas. Lalu kembali melihat pada Gayatri. "Apa lagi yang mau mbak Aya buat? Tahun lalu gara-gara Mbak, uang untuk rencana pernikahanku diambil papi untuk bayar ganti rugi mantan pacarmu itu. Lalu aku dan Cinta yang harus mengalah dan menikah dengan sederhana. Bayangkan itu!"

Radit mengeluarkan unek-unek yang sudah ratusan kali dia kemukakan, jika merasa jengkel melihat sikap kakaknya ini. Tapi wanita itu seperti batu. Dia tak merasa bersalah sama sekali.

"Sudah, jangan ungkit-unkit hal itu lagi. Nanti malah percuma, rasa ikhlas kita jadi hilang kalau diungkit terus." Mami membujuk Radit.

"Enggak, Mi. Mami lihat sendiri dia sedang berusaha lari dan mempermalukan keluarga ini lagi! Dia enggak pernah peduli sama kita, jadi untuk apa kita terlalu pikirin perasaannya?"

"Bahkan saat papi akhirnya sakit dan dirawat akibat strees berat yang ditimbulkannya, mbak Aya juga tidak terlalu peduli. Dia asik menikmati liburan gratis di New Zealand, dengan membawa lari uang hantaran yang dikirimkan calon suaminya tiga hari sebelum acara pernikahan!"

Radit membuka lagi kisah lama yang melukai hati banyak orang. Dia merasa tidak boleh lagi memberi gadis itu kesempatan bermain-main seperti sebelumnya. Semua keluarga besarnya sudah menyerah menghadapi sikapnya yang betul-betul tak bisa dimengerti.

"Mbak Aya baru pulang setelah tiga bulan dan uang yang dilarikannya itu habis. Itupun, setelah mami tidak punya pilihan lain selain menolak membayari biaya hidupnya."

Mami menangis mendengar Radit menceritakan perjalanan pahitnya sebagai ibu. Diharuskan keluarga untuk memilih merawat suaminya yang sedang sakit, atau membiayai putri semata wayangnya.

Gadis pemberontak itu dipaksa pulang oleh keadaan. Atau dia boleh memilih jadi gelandangan di negeri orang. Keluarga sedang kalut dengan sakitnya papi. Jadi tak ada yang mau meladeni kemanjaannya yang tak masuk akal.

Mami menoleh pada Radit sambil menyeka air matanya. "Mari kita keluar. Makan siang papi belum mami siapkan," ujar mami dengan wajah mendung.

Radit memeluk mami. Sampai di pintu, dia berbalik dan berkata pada Gayatri. "Renungkanlah semua yang sudah Mbak Aya buat selama ini. Apa kurangnya perhatian mami dan Papi? Kenapa Mbak tega menyakiti hati orang tua sendiri? Dewasalah sedikit!" celanya.

Pintu kamar kembali ditutup. Gayatri terdiam di tempat tidur. Ekspresinya datar. Dia tak bereaksi sama sekali mendengar omelan adiknya itu. Dia juga tak tersentuh sama sekali melihat air mata mengalir di pipi mami.

Setelah suara kunci pintu dan langkah kaki orang-orang menghilang, wajah kaku itu berubah murung. Dilihatnya kotak yang diantarkan Radit ke kamar. Kotak warna emas dilapisi plastik dan pita-pita emas.

Aya bisa melihat baju dan keperluannya dilipat rapi di dalamnya. Itu bukanlah baju untuk nikah. Jadi mungkin harus dikenakan dalam kegiatan lain. Dia melengos. Hatinya menolak keras perjodohan ini.

Foto pria yang ditunjukkan mami memang tampan. Tapi menikah bukan cuma butuh ketampanan. Mereka juga harus saling mencintai dan menghargai, baru bisa bahagia.

Air mata menetes lagi di pipinya. Dia ingat pada rencana pernikahannya yang kedua. Pria itu adalah pilihannya sendiri. Dia sangat bahagia saat itu, akan segera menikah dengan orang yang dicintainya.

Sampai pada dua hari sebelum pernikahan, dia mendapatkan pesan di ponsel dari seorang wanita yang mengaku sebagai istri dari pria itu.

Dia sudah mengkonfirmasi pada calon suaminya. Dan pria itu tak bisa lagi mengelak. Dia mengakuinya. Tapi tak mau rencana pernikahan mereka dibatalkan. Karena dia sudah keluar uang banyak untuk semua biaya pernikahan seperti yang diimpikan Gayatri. Dan juga tak mau menanggung malu jika Gayatri membeberkan rahasia yang disimpannya dari keluarga.

"Bodohnya aku sampai tidak bisa berpikir jernih dan dipermainkannya sampai papi habis-habisan membayarkan uang ganti rugi," umpatnya sendiri.

Padahal pria itu kemudian bersenang-senang dan pergi liburan bersama keluarga besarnya setelah menguras habis simpanan keluarga Sangaji. Dia bisa melihat semua kebahagiaan mereka di laman sosmed pria itu.

"Mereka menuduh keluargaku sebagai sindikat penipuan. Pada hal mereka sendirilah yang sindikat penipuan berkedok pernikahan!" Sekeluarga itu bekerja sama menipu aku dan keluarga besarku!" geramnya dengan mata memerah.

"Aku sudah bersumpah dalam hati, tidak akan menikah hingga aku menyaksikan kalian menelan karma. Karma karena telah menyakiti orang-orang baik seperti mami, papi, Adit dan Eyang!"

Layar ponselnya menyala. Sebuah pesan masuk. "Kau sedang apa? Apa kau suka dengan pakaian yang kukirimkan? Kenakan itu untuk acara nanti malam ya."

Itu jelas pesan dari pria yang telah melamarnya lewat bude Menik dan suaminya. Pria bernama Dewananda, sepupu jauh yang bukan cuma jauh dalam silsilah, tapi juga jauh di Belanda.

******

3. Dewa

Gayatri memandangi ponsel. Dia sedang memikirkan sesuatu. "Maukah dia bekerja sama?" pikirnya.

Pesan lain kembali masuk. "Apa kau sedang sibuk?" tanya Dewa.

"Biar kucoba saja. Kalau dia tak setuju, maka biarkan dia yang mengakhiri rencana ini." Gayatri telah bertekad bulat.

Dia mulai mengetik untuk membalas chat pria itu. "Aku punya syarat khusus untuk menikahiku. Jika kau bersedia dan mampu, maka kita akan menikah. Jika tidak, silakan tarik lagi lamaran dan semua hantaranmu!" Kemudian gadis itu menekan tanda send.

Dia tak lagi mempedulikan ponselnya. Setidaknya, dia sudah mengatakan maksudnya. Dia juga tak ingin dipersalahkan jika rencana pernikahan ini kembali batal.

Dilihatnya makanan yang diantarkan mami. Gudeg nangka, sambal goreng ati, krecek dan sambal tomat. Dengan lahap dia makan. Mengamuk dan nangis sepagian sudah menghabiskan energinya. Dia butuh asupan makan untuk menambah tenaga.

Selesai makan, dilihatnya lagi ponsel. Ternyata pria itu sudah membalas pesannya sejak tadi.

"Kenapa aku merasa kau sedang mengajakku berkonspirasi?" tanya pria itu tanpa menjawab poin penting pesan Gayatri.

"Terserah kau mau menyebutnya bagaimana. Jika kau bersedia, maka akan kukatakan. Jika tidak, lupakan saja keinginanmu menikahiku!" balas Gayatri tegas.

Dia sudah belajar dari pengalaman. Tidak akan tertipu dan mudah takluk pada pria manapun yang mencoba mendekatinya.

"Apakah aku harus menyetujui kesepakatan yang aku belum tahu tentang apa? Itu seperti membeli kucing dalam karung!" pesan pria itu.

Tapi Gayatri bisa melihat pria itu masih terus mengetik. Jadi dia menunggu.

"Bagaimana kalau setelah kusetujui, kau malah mengajakku bunuh diri bersama sebagai bentuk protesmu atas perjodohan ini?" tanya pria itu.

Mata Aya melebar membaca pesan yang di luar imaginasinya. Jarinya segera mengetik lagi.

"Imaginasimu liar juga. Apa kau biasa di hutan?"

Aya jelas gondok. Sudah berapa pesan berbalasan, tapi pria itu seperti sengaja membahas hal yang tidak penting. Dia merasa dipermainkan.

Pesan berikutnya adalah emot tertawa lebar yang bikin dia semakin sebal. Dilemparkannya ponsel ke tempat tidur. Aya merasa sudah tak ada harapan. Tak ada siapapun yang akan membantunya membalaskan dendamnya.

Matanya kembali mengamati teralis jendela kamar. Dia tadi sudah mencari-cari obeng di laci meja kamarnya. Tapi yang ditemukannya hanyalah kotak-kotak pernak-pernik dan asesoris yang tersusun rapi.

Barulah dia menyesali kesalahan dalam memilih hobby. Harusnya dia menggilai segala macam peralatan tukang, agar punya alat untuk mencongkel teralis! Dipegangnya jepit rambut favorit karena keindahannya. Tapi sekarang benda itu tak lebih berharga dari sebuah obeng. Dengan kesal, dilemparnya jepit itu ke sudut kamar.

Dia kembali ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya. Menelentang memandang plafon rumah. "Apa aku harus naik ke atas plafon? Lalu keluar dari genteng?" pikirnya.

Dirasakannya getaran ponsel yang tak berhenti. Dengan malas diraihnya lagi, untuk melihat pesan siapa yang masuk. Sebelah alisnya naik melihat deretan pesan dari pria itu. Dibukanya ponsel itu lagi. Bukan karena dia menunggu balasan pesan atau tertarik pada pria itu. Tapi karena tak ada lagi yang bisa dilakukannya.

"Tanpa membaca pesan, jari Gayatri mengetik cepat. "Apa kau tahu cara naik ke plafon? Aku mau melarikan diri." Pesan itu kemudian dikirim dan ponsel itu kembali diletakkan di kasur.

Gayatri memiringkan tubuh. Bergelung, meringkuk seperti bayi, dengan dua tangan di tekuk ke dada. Dia merasa sangat putus asa. Juga sedih, karena tak ada seorangpun yang mengerti dirinya.

Kemudian didengarnya sayup-sayup suara jeritan melengking. Dia mencari-cari di mana tadi dia meletakkan ponsel. Tempat tidur itu terlalu kacau. Semua sudut seprai sudah terlepas dan mengumpul di tengah kasur.

Dia masih mendengar jeritan melengking itu tiga kali lagi sebelum akhirnya menemukan benda yang super berisik itu dan segera menerima panggilan masuk yang memaksa dari Dewa.

"Berisiiikkk!" teriak Aya begitu panggilan itu terhubung.

"Siapa yang berisik? Aku bahkan belum bicara!" protes Dewa.

Panggilanmu membuat ponselku menjerit dengan berisik!" Aya membalas dengan sewot. Tapi gadis itu justru mendengar suara tawa renyah Dewa dari seberang sana. Wajahnya ditekuk dan bibirnya mengerucut, cemberut.

"Ternyata kau lucu juga. Kau yang punya ponsel dan menyetel volume sendiri, tapi dengan santai menyalahkanku!" Pria itu masih tertawa kecil.

"Kalau tidak penting, jangan telepon aku!" ketus Aya.

"Apa kau tidak membaca pesan-pesanku?" tanya Dewa.

"Pesanmu tidak penting. Aku tak mau menghabiskan waktu membaca yang tak penting!" Aya masih mempertahankan sikap ketusnya.

Dewa mendesah dari seberang sana. "Kau punya kebiasaan buruk ya. Aku akan mendidikmu jadi wanita mandiri, anggun dan berkelas, nanti!" celoteh Dewa.

"Dalam mimpimu!" sergah Aya sebelum memutuskan sambungan telepon.

"Menyebalkan!" teriak Aya keras. Dia kesal sekali mendengar kata-kata Dewa tadi.

"Kau pikir kau siapa!" teriaknya pada ponsel yang kembali menjerit-jerit.

Aya sedikit terkejut. Tapi dengan cepat ditolaknya panggilan dan menyimpan ponsel itu di bawah bantal. Namun, bantal tak dapat menghalangi Dewa menelepon. Tapi Aya sama sekali tak peduli. Ditutupinya telepon itu dengan bantal, selimut, seprei dan bed cover.

Lima menit kemudian., ponsel itu benar-benar berhenti berbunyi, Aya tersenyum tipis "Akhirnya kau menyerah juga!" sinisnya.

Tak lama sesudah itu, terdengar suara kunci pintu kamar diputar dari luar. Aya menoleh ke pintu. Dia tak berusaha sembunyi lagi. Strateginya sudah ketahuan. Mami pasti sudah mengantisipasi dan membawa dua security lagi.

"Ada apa lagi sih, Mi?" sambutnya malas. Dibaringkannya tubuhnya membelakangi pintu. Tak ingin melihat mata mami yang sedih.

"Karena kau tak mengangkat panggilan teleponku, maka aku minta ijin Om Sangaji untuk masuk dan melihatmu."

Mata Aya melotot. Itu bukan suara Mami, Papi, maupun Radit adiknya. "Tak mungkin dia!"

Aya berbalik dengan cepat. Dilihatnya Dewa berdiri di balik pintu yang sudah kembali ditutup.

"Mau apa kau di sini?" tanya Gayatri dengan kasar.

"Tante Ajeng sangat lembut. Kenapa kau sekasar ini?" tanya Dewa.

"Kau tidak mempersilakanku duduk?" tanya pria itu lagi.

"Tak ada tempat duduk untukmu!" tolak Aya. "Katakan kau mau apa. Jika dalam sepuluh detik tak ada apapun yang berarti, silakan keluar!" usir Aya tegas.

"Bukankah terakhir kali kau menanyakan cara untuk naik plafon? Aku akan mengajarimu," sahut Dewa cepat. Tak sampai sepuluh detik, dia sudah mengatakan tujuannya menemui Gayatri di kamar.

"Apa kau gila?" tanya Gayatri geram.

Pria itu menunjukkan wajah kebingungan. "Siapa yang gila? Aku tadinya mau memberi tahu caranya lewat telepon, tapi kau tak mau menerima panggilan teleponku. Mumpung aku masih di sini, maka lebih baik kukatakan langsung saja. Jadi kau bisa naik plafon dengan aman," sahut pria itu dengan ekspresi sangat serius.

"Dasar gila! Mamiiiiii ... bawa orang gila ini keluar!" teriak Aya nyaring.

*********

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!