...✏️✏️✏️...
Suara kendaraan mesin truk terdengar menganggu tidurku. Aku merasakan getaran pada kasur tua yang menjadi alas untuk aku tempati tidur. Kasur yang semakin hari semakin menipis dimakan usia, kata Bapakku ini telah turun temurun digunakan.
Aku membuka mata, memejamkan-nya beberapa kali agar penglihatanku menjadi lebih jelas. Dinding keropos yang telah lapuk bahkan sebagai nyaris hancur itu menjadi pemandangan pertama yang aku lihat di pagi hari ini.
Suara kendaraan truk tetap terdengar berlalu-lalang melintasi depan rumah. Aku membuka jendela kayu mengganjalnya dengan bambu tua agar tetap terbuka.
Kini di hadapan rumahku truk besar penampung pasir basah yang digali dengan excavator yang setiap siangnya menjadi objek hiburanku dikala aku tak bermain.
Suasana rumahku telah sunyi di jam seperti ini. Pukul tujuh, saat seperti ini matahari sedang naik-naiknya menyinari bumi yang selalu kukagumi hasil alamnya.
Apa yang membuat aku kagum pada bumi ini? Yaitu pasir dari sungai yang tak kunjung habis walau telah sering digali.
Aku melangkah keluar dari rumah, menginjakkan kakiku yang tak beralaskan itu kepada bebatuan mengikuti suara aliran sungai yang mengalir. Aku pernah berpikir dimana ujung sungai yang setiap harinya selalu aku gunakan airnya untuk mandi.
Duduk di atas tanggul yang telah mendapat bantuan dari pemerintah pusat namun, pernah rusak saat banjir bandang datang dua tahun yang lalu. Aku tidak terlalu mengingatnya karena pada saat itu aku masih sangat kecil.
Kini umurku telah menginjak usia tujuh tahun. Katanya aku bukan anak-anak lagi, itu yang Mamaku selalu katakan. Namaku Syaril, orang memanggilku dengan sebutan Ari.
Kulit berwarna gelap karena paparan sinar matahari memanglah sudah menjadi ciri khas ku, rambut berwarna kemerahan seakan telah mendapat pewarna seperti yang orang-orang kaya lakukan, ya aku melihatnya saat pergi ke kota bersama Bapakku.
Tubuhku tidak terlalu kurus. Walaupun aku orang miskin yang hanya tinggal di rumah berdindingkan papan keropos tapi aku tidak pernah merasakan yang namanya kelaparan.
Kegiatan pagiku setiap harinya seperti ini.
Pagi-pagi sekali aku akan duduk di atas tanggul menatap pemandangan sawah yang sedang dibajak dengan mesin traktor.
Pria bertopi abu-abu itu adalah salah satu tetangga yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Dia terlihat tengah membajak sawah miliknya sediri. Namanya pak Santoso pria yang aku sering panggil dengan paman Santoso.
Kami tidak memiliki hubungan keluarga namun, karena kami setiap harinya selalu bertemu membuat aku beserta keluargaku juga dekat dengan dirinya.
Bapakku selalu menggali pasir dan kemudian ditampung dan jika ada pembeli maka uang itu akan diberikan kepada pak Santoso yang akhirnya akan diberikan kepada bapakku dengan jumlah uang yang telah dipotong.
Sebenarnya bukan pak Santoso yang memiliki pasir itu namun, ada bos besar yang memiliki pasir tersebut dan pak Santoso lah yang menjadi kepercayaan bos besar untuk mengatur kegiatan membeli pasir.
Pak Santoso, dia itu sebenarnya orang kaya, dia punya mobil, rumah yang besar, tanah yang luas namun, karena pekerjaannya ia harus tinggal di sebuah rumah tua dengan dinding papan hampir sama seperti diriku.
Aku menarik nafas dalam-dalam mencium bau lumpur persawahan yang menyengat. Tidak lama lagi sepertinya akan menjadi musim tanam padi.
Kini aku melangkahkan kakiku menelusuri tanggul mencari sosok mamaku yang sedang mencuci pakaian di sumur tua.
Mengenai sumur tua, sumur itu tidak berbentuk seperti sumur yang pada umumnya berbentuk seperti balok dan telah disemen tapi sumur yang ini tidak seperti itu. Dia berbentuk kotak dan airnya terus mengalir walaupun musim kemarau.
Apakah ini cukup aneh? Kata orang sumur itu sumur ajaib. Aku juga tidak mengerti mengapa orang mengatakan hal itu tapi aku pernah menjadi saksi bagaimana terjadinya musim kemarau dan air di sumur itu tetap saja melimpah ruah. Mungkinkah ini juga kuasa Tuhan, ya aku juga tidak tahu.
Suara sikat yang bergesekan dengan pakaian terdengar di indra pendengaranku. Sudah tentu itu adalah mamaku, wanita yang masih sangat mudah namun, telah memiliki tubuh yang gemuk memberikan tanda perhatiannya yang lebih kepada anak-anaknya daripada merawat tubuhnya.
Mamaku cukup berbeda jauh dengan Bapakku jika Mamaku memiliki wajah yang masih muda berbeda dengan Bapakku yang sudah sangat tua. Wajahnya berkeriput, berkulit sawo matang dengan rambut yang telah beruban. Aku pernah mendengar cerita kalau Bapakku itu telah cukup dewasa sementara saat menikah dengan Mamaku, ia masih sangat mudah.
"Baru bangun kau, Ri?"
"Iya, Ma."
Hanya itu yang ditanyakan oleh Mamaku. setelahnya aku akan duduk di depan mamaku menyaksikan bagaimana dia membersihkan pakaianku yang agak kotor itu.
Sesekali aku mengusap wajahku yang terkena percikan air bekas cucian. Aku tidak marah, aku bahkan merasa sangat senang jika merasakan sensasi percikan air dingin menyentuh wajahku sedikit demi sedikit.
Bau sabun rasa jeruk seharga recehan tercium dengan busa melimpah yang sesekali aku mainin busanya. Aku tertawa ketika busa itu aku usapkan ke tanganku merasakan pecahnya busa itu saat terkena angin.
"Mandilah Ari! Jangan hanya bermain seperti itu! Itu bekas cucian, busanya kotor."
Wajah dengan otot wajah yang menegang dan kedua alis yang terlihat memanjat, sepertinya mamaku itu sedang marah. Aku tahu setiap paginya mamaku itu selalu marah-marah. Entah karena tidak punya uang untuk membeli sayuran ataupun beras mungkin ia juga marah karena Bapakku lebih sering menghabiskan waktunya untuk memancing bahkan Mamaku dan Bapakku pernah bertengkar gara-gara Bapakku yang tidak mendapat ikan padahal sudah memancing cukup lama.
Mau makan apa kita? Itu kalimat yang selalu aku dengar di setiap Bapakku pulang. Aku bahkan sampai hafal bagaimana cara mereka berbicara tentang uang dan uang. Benda kecil itu selalu saja menjadi alasan mengapa mereka selalu bertengkar bukan bertengkar dengan mengadu fisik tapi mengadu mulut tapi tetap saja yang selalu mengalah adalah Bapakku.
Aku tak ingin membuat Mamaku menjadi semakin marah. Aku melepas baju dan celanaku, meletakkan pakaian itu ketumpukan cucian yang belum dicuci oleh Mamaku.
Dengan timba berwarna pink yang sedikit terkelupas aku menggunakan timba itu untuk membasahi seluruh tubuhku menggunakan sabun kecil untuk membersihkan tubuh.
"Hari ini tidak ada odol jadi gunakan saja sikat gigi untuk membersihkan gigimu, besok jika ada uang lebih maka kita akan membeli odol."
Aku hanya mengangguk lalu meraih sikat gigi yang dibelikan oleh Mamaku tahun lalu. Aku menggunakan air untuk membersihkan gigiku menggosoknya sedemikian rupa dan kembali meletakkan sikat gigi itu ke dalam ember.
Setelah semuanya selesai aku akan kembali ke rumah membantu Mamaku membawa pakaian yang telah dicuci dengan cara meletakkan ember ke atas kepalaku.
Seperti inilah kehidupanku kehidupan setiap pagi yang selalu aku jalani mungkin orang akan mengatakan jika kehidupanku ini cukup menyedihkan tapi mungkin seperti inilah kehidupanku. Penuh kesederhanaan.
Aku selalu kagum pada truk-truk pengangkut pasir yang berlalu-lalang melintasi diriku membuat aku menepi di siring jalan. Debu yang berhamburan menyesakkan dada membuat aku buru-buru berlari ke depan rumah meletakkan ember berisi pakaian itu untuk dijemur oleh Mamaku.
Aku meraih pakaian yang tersusun di dalam lemari tua, menukar pakaianku di dalam rumah dan kembali berlari ke siring jalan, ini bukan jalan besar yang telah di aspal, tetapi jalan bebatuan dan sedikit menebing menjadi jalan untuk para truk-truk mengangkut pasir dari sungai ke pembeli.
Aku memilih duduk di atas bebatuan kerikil kerikil kecil yang telah ditumbuk dipecah dan dijadikan sebagai alat pembangunan. Menatap para truk-truk besi itu berlalu melintasi diriku.
...📗📗📗...
...✏️✏️✏️...
Paparan sinar matahari pagi ini begitu menyengat kulitku yang tak terhalang dan terlindungi dengan apa-apa. Ku pegang erat-erat baju Bapakku yang sedang mengayuh sepeda tua. Melintasi jalan raya yang dilalui kendaraan dari berbagai jenis.
Pagi ini aku akan pergi bersama dengan Bapakku untuk menanganinya membeli alat mancing yang akan ia gunakan untuk memancing. Katanya semakin baik alat mancing maka besar pula peluang untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak.
Bapakku menghentikan sepedanya membuat aku mendongak menatap heran pada Bapakku.
"Kenapa berhenti, pak?"
"Lampu merah."
Aku mendongak menatap ke arah lampu peringatan lalu lintas yang memiliki tiga warna itu. Suara kendaraan terdengar di belakang membuatku menoleh menatap kendaraan yang ikut berhenti.
Mobil hitam itu berhenti tepat di sampingku dan tak berselang lama anak-anak yang juga sama seperti usiaku muncul dari balik jendela mobil yang terbuka secara perlahan.
Dua anak-anak dengan pakaian sekolah itu terlihat tertawa sambil menunjuk ke arahku. Menertawakan diriku, aku merasa risih saat mendapatkan tertawaan dari mereka.
Aku menoleh, membuang pandang berusaha untuk mengabaikan mereka. Bapakku juga terlihat risih membuat aku sadar jika hanya kami yang menggunakan sepeda sedangkan yang lainnya terlihat menggunakan kendaraan yang begitu keren. Aku mengetahuinya setelah aku menoleh ke belakang.
Aku bertekad jika aku besar maka aku juga akan membeli mobil seperti apa yang anak-anak orang kaya itu miliki. Memangnya hanya mereka yang bisa, aku juga bisa hanya saja saat ini aku tidak punya uang.
Lampu merah itu kini berganti menjadi lampu hijau membuat Bapakku kembali mengayuh sepedanya. Suara klakson terdengar nyaring memberikan peringatan agar Bapakku menyingkir dari jalan. Aku menutup kedua telingaku dengan tangan, menatap tak suka pada pemilik kendaraan yang membunyikan klakson.
Rasanya kami seperti sebuah hewan yang diberikan peringatan agar menyingkir dari jalan.
Bapakku menurut, ia menepikan ban sepedanya membuat tubuhku bergetar saat ban sepeda itu melintasi pinggiran jalan yang tidak rata.
Aku tidak menghiraukan tubuhku yang bergetar karena jalan yang tak rata namun, yang membuat aku sedikit ngilu adalah bagian p@ntatku yang terhempas-hampas ke boncengan yang terbuat dari besi.
Tidak perlu menghiraukannya setiap hari aku selalu merasakan ini. Aku selalu bingung mengapa di setiap tepi jalan raya aspal tidak sampai ke sana.
Andai saja aspal yang mulus itu juga menyentuh area yang aku lalui ini atau mungkin pemerintah boleh membuatkan kami jalan untuk para pengguna yang bersepeda agar kami yang hanya memiliki sepeda bisa dengan nyaman berpergian. Tapi apa itu hanya sebuah mimpi karena mereka, orang-orang besar tidak mungkin memikirkan orang-orang kecil seperti kami.
"Orang-orang kaya memang seperti itu. Mereka menyingkirkan orang miskin seperti kita."
"Seperti halnya anak-anak orang kaya itu yang menertawakan kita sedangkan orang tuanya tidak menegurnya."
"Katanya berpendidikan tapi sifatnya seperti itu."
Bapakku berbicara sendiri sambil menggayung sepedanya dan laju sepeda itu berhenti tepat di depan toko alat-alat mancing.
Aku melangkah turun menanti Bapakku yang sedang memarkir sepedanya, menyadarkan sepeda tua itu ke tiang. Kedua mataku menatap kagum pada alat-alat mancing yang terpanjang di sana. Ada banyak pembeli di dalam sana.
"Kau mau masuk?"
"Mau," jawabku lalu mengikuti langkahnya yang melangkah masuk ke dalam toko.
Aku menyingkir ke lemari pajang saat para pembeli melintasi tubuhku, membiarkan pria-pria bertubuh gemuk itu lewat.
"Ada kail?"
Aku mendengar Bapakku bertanya pada pria Cina yang merupakan pemilik toko ini. Bukan sekali aku datang ke tempat ini tapi sudah sering aku datang ke toko ini.
Aku juga tidak tahu apakah pria yang sedang menyebutkan harga itu adalah orang cina tapi dari penampilannya dia memang seperti orang cina. Mata sipit, kulit putih, tubuh gemuk dengan kaos sederhana yang terpasang pada tubuhnya. Ditambah lagi patung kucing yang bergerak-gerak seakan menyambut kedatangan para pembeli.
Setelah lama berbicara tentang harga dan kualitas barang, aku melihat Bapakku mengeluarkan uang recehan dari kantong kresek hitam. Bapakku memang tidak punya dompet dan kantong kresek hitam inilah yang ia gunakan untuk menyimpan uang.
Kata Bapakku lebih baik uang yang ingin digunakan untuk membeli dompet digunakan untuk membeli kebutuhan yang lain.
Bapakku tidak punya banyak uang untuk menampung uang itu ke dalam dompet. Jika bapak punya uang maka uang itu akan habis di hari itu juga entah karena membeli beras telur atau yang lain sebagainya.
Setelah membayar kail yang dibeli oleh bapakku, ia melangkah keluar meninggalkanku yang kini sedang menatap satu persatu alat pemancing.
Aku menggerakkan jari tanganku, mataku seakan bersinar berbinar menatap benda indah itu. Aku melihat harganya tampilan kertas kecil yang merekat pada ganggang pemancing itu, cukup mahal aku bisa melihat ada banyak bundaran-bundaran nol di belakangnya. Kata bapakku harganya itu cukup mahal.
"Hei!" teriak pria Cina itu membuat Ari menoleh diawali dengan sentakan tubuhnya yang terkejut.
"Jangan sentuh barang itu! Nanti barang itu rusak, apa kau mau menggantinya?"
"Ari!" panggil Bapakku membuat aku menoleh.
"Apa kau akan tinggal di situ? Bapak ingin pulang cepat."
Aku menggangguk menatap sejenak ke arah pria cina itu yang sedang menekan kalkulator setelah menegurnya.
Uang! ada begitu banyak uang kertas yang sedang ia hitung. Aku berharap bisa seperti itu, punya banyak uang dan menjual banyak barang.
Bukan dia yang mencari uang tapi uang yang datang sendiri kepadanya. Tidak seperti bapakku yang harus berkeringat susah payah untuk mendapatkan uang.
Aku melangkahkan kaki keluar dari toko itu toko yang seringkali aku datangi bahkan aku sudah hafal di mana letak barang-barangnya.
Langkahku terhenti menanti Bapakku yang sedang memutar sepedanya, mengarahkannya ke arah jalan raya. Tatapanku terhenti menatap gerombolan anak-anak sekolah yang nampak baru saja pulang dari sekolah.
Aku tahu mereka walau mereka tak mengenal aku tapi aku sering melihatnya. Mereka adalah anak-anak sekolah dasar merdeka putra dan putri Indonesia.
Cukup besar sekolah itu, mereka nampak terlihat senang berlarian pulang ke rumah sambil menggendong tas yang berbeda-beda bentuk dan warnanya.
Ban sepeda yang sudah tua dihiasi tambalan menggambarkan jauhnya perjalanan kamu selama ini. Sesekali kiri kanan aku menatap anak-anak yang jauh lebih tua dariku sedang melintas di pinggir jalan.
Ada yang sedang menggunakan sepeda dan saling berboncengan dengan teman-temannya menggunakan pakaian merah putih ciri khas anak sekolah Indonesia, memakai topi, menggandeng tas yang begitu indah. Aku bahkan tak tahu siapa nama karakter pada tas itu.
...📗📗📗...
...✏️✏️✏️...
Ada yang sedang menggunakan sepeda dan saling berboncengan dengan teman-temannya menggunakan pakaian merah putih ciri khas anak sekolah Indonesia, memakai topi, menggandeng tas yang begitu indah. Aku bahkan tak tahu siapa nama karakter pada tas itu.
Aku dibuat tersenyum melihat mereka. Aku juga ingin seperti mereka yang memakai pakaian merah putih sekolah yang berseragam, memakai tas, memakai topi berlambang burung putih itu, memakai dasi merah, sepatu hitam dan kaos kaki putih.
Bagaimana rasanya seperti itu? Apa yang mereka lakukan di sekolah? Ari sejujurnya sangat amat penasaran dengan hal itu.
Apa mungkin aku bisa bertanya kepada Bapak. Ia mungkin saja Bapak memiliki jawaban dari pertanyaan aku itu.
"Bapak!" panggilku pelan.
"Ada apa?" sahutnya cepat.
Ia langsung bertanya itu. Aku bisa mendengar sahutannya diiringi dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan. Aku tahu bertambahnya usiaku akan menambah beban yang harus dibawa oleh Bapakku saat menggayuh sepeda. Semakin banyak beban semakin kuat pula ia menggayuh sepeda tuanya.
"Bagaimana rasanya sekolah?" tanyaku begitu penasaran.
Suara tawa yang terbilang kecil terdengar. Bapakku tertawa saat aku bertanya seperti itu. Aku sangat bingung, apa yang lucu dengan pertanyaanku itu.
"Ada apa, pak? Kenapa?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Tidak, aku hanya ingin bertanya. Ari melihat ada banyak orang yang sekolah di setiap hari tanpa ada rasa bosan."
"Apa yang mereka lakukan di sekolah?" lanjut ku.
Tak ada jawaban dari pria yang duduk di depanku itu hingga akhirnya aku juga memutuskan untuk diam. Apa pertanyaan ku itu salah.
Tak berselang lama sepeda itu terhenti tepat di depan rumah. aku melangkah turun dari sepeda, berdiri di depannya sambil menanti bapakku yang sedang menyandarkan sepedanya di sebuah tiang rumah yang sudah agak lapuk. Aku bahkan takut jika tiang ini akan roboh saat akhir tahun nanti dimana musim hujan dan angin kencang yang mengancam.
Bapakku yang ingin melangkah masuk ke dalam rumah itu tertahan langkahnya mendapati diriku yang masih setia berdiri.
"Ada apa?" tanyanya ketus tapi aku tahu bapakku tidak sedang marah.
"Ari ingin bertanya."
"Kalau kau ingin bertanya tentang sekolah maka tidak usah bertanya tentang itu kepada bapak."
"Kenapa?" tanyaku yang melangkah mengikuti langkah bapak yang masuk ke dalam rumah.
"Karena bapak tidak tahu."
"Kenapa tidak tahu?" tanyaku yang cukup dibuat dibuat keheranan.
Bagaimana aku tidak heran karena disetiap pertanyaanku pasti bapak selalu menjawabnya tapi entah mengapa saat ini satu pertanyaan ini tak mampu dijawab oleh bapakku. Apakah pertanyaan ini terlalu sulit untuk dijawab? Apa susahnya?
"Pak! Bagaimana rasanya sekolah?"
Aku kembali bertanya, semoga saja bapak tidak memukulku setelah bertanya seperti ini. Pria tua itu nampak menghela nafas panjang. Sepertinya cukup berat untuk menjawab pertanyaan ini. Semakin bapak tidak menjawab pertanyaanku maka semakin juga aku dibuat penasaran.
Ia meletakkan secangkir kopi ke atas meja buatan mamaku tadi pagi yang sudah mendingan. Ia menatapku lekat-lekat seakan ingin menelanku di detik ini juga.
"Bapak tidak tahu bagaimana rasanya sekolah karena bapak juga tidak pernah sekolah. Kalau bapak pernah sekolah mungkin kehidupan kita tidak akan seperti ini."
Itu jawaban yang aku dengar dari mulutnya dan jawaban itu berhasil membuat aku diam dan membisu. Aku mencerna kalimat yang telah diucapkan oleh bapakku.
Sekolah dan kehidupan, apa hubungan dari dua kata ini. Cukup membingungkan setelah mendengarnya. Apa itu berarti jika kita tidak sekolah maka kehidupan kita akan seperti ini.
Bukan menghina diri sendiri hanya saja aku berpikir kalau aku dilahirkan dari keluarga yang cukup miskin. Aku bisa melihat buktinya. Salah satunya adalah disaat lampu merah itu hanya aku seorang diri yang menggunakan sepeda jelek sementara yang lainnya menggunakan kendaraan yang indah besar dan mewah. Tidak perlu bersusah payah menggerakkan seluruh tenaga untuk menjalankannya.
Setelah mendengar jawaban itu aku memutuskan untuk duduk di atas tanggul menatap aliran sungai yang mengalir begitu jernih aku sedikit bergerak memantau gerakan air yang sepertinya dilalui oleh ikan-ikan kecil namun, setelah itu pikiranku kembali kepada jawaban bapakku.
Jika bapak sekolah mungkin dia tidak akan hidup seperti ini lalu di saat itu aku mengambil kesimpulan bahwa sekolah itu sepertinya berguna. Jika bapakku sekolah maka kehidupan kami tidak akan seperti ini.
Kamu tidak akan tinggal di dalam rumah tua yang dindingnya berkeropos, tidak tinggal di pinggiran kota dan setiap hari mendengar suara truk yang menggetarkan lantai tempat tidurku. Berarti sekolah cukup penting mungkin sangat-sangat penting.
Aku juga tidak mengerti mengapa aku bisa mengambil keputusan secepat itu dan sekarang aku tidak heran mengapa ada banyak anak-anak yang hampir seperti seusiaku yang setiap harinya bersusah payah ke sekolah.
Aku menarik udara dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan pelan mencium aroma lumpur sawah yang masih dikerjakan di sebelah sana. Harus melewati sungai yang tidak terlalu dalam jika dilewati di sisi sebelah kanan untuk pergi ke area persawahan. Aku sering ke sana membantu pak Santoso untuk mengusir burung-burung kecil pemakan padi.
Mengenai tentang sekolah, sepertinya aku juga harus sekolah, ya mungkin saja.
......📗📗📗......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!