Bismillahirohmanirohim.
Senja membuat sore semakin bagus, indah nan berarti, langit sore yang terlihat indah membuat siapa saja ingin terus memandangnya, dan mengabadikan momen langit indah itu.
Seorang laki-laki berjalan dengan gontai masuk kedalam rumah orang tuanya, seperti biasa dia baru saja pulang dari bekerja. Setiap pukul 4 sore dia selalu berusaha agar sampai rumah.
Karena dia ingin sholat berjamaah di masjid yang terdapat di dekat rumahnya, tapi sepertinya sore ini tak mengizinkan laki-laki itu untuk sholat jamaah di masjid, karena 15 menit yang lalu iqamah sudah berkumandang di perumahan mereka. sementara dirinya masih di perjalanan masuk ke dalam area perumahan.
Laki-laki itu sangat giat dalam hal bekerja, dia selalu ingin membuat kedua orang tuanya bahagia, sayangnya dia lupa jika kebahagiaan orang tua bukan hanya dari materi saja.
Ada kebahagian lain yang orang tua inginkan. "Iqbal" sura bapaknya yang terdengar di kuping laki-laki itu, membuat dirinya menghentikan langkahnya.
"Iya bapak" sahut laki-laki yang bernama Iqbal itu. Dia menoleh ke arah bapaknya.
"Setelah membersihkan diri dan sholat ashar datanglah ke ruang keluarga, ada yang ingin ibu dan bapakmu bicarakan, ini hal serius Iqbal"
"Baik bapak" Iqbal sama sekali tak membantah dia selalu menuruti ucapan orang taunya, selagi semua itu masih logis dalam pikirna Iqbal.
"Bapak dan ibu tunggu di sana" bapak Iqbal meninggalkan Iqbal yang masih terpaku di tempat.
Setelah bapaknya pergi Iqbal langsung menuju kamarnya untuk membersihkan diri dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. "Huhh, apa kali ini yang akan dibicarakan ibu dan bapak" pikir Iqbal saat tengah mengenakan bajunya.
Setelah terlihat rapi Iqbal segera menunaikan sholat asharnya 4 raka'at, tak lupa dia juga mengucapkan zikir-zikir setelah sholat, memuji sang Ilahi Rabbi.
Setelah itu barulah Iqbal menemui kedua orang tuanya, karena dia sudah ditunggu disana. Di ruang keluarga yang tidak terlalu luas itu
Derap langkah Iqbal yang tak terdengar membuat kedua orang tuanya tak tau jika Iqbal sudah berada di ruang keluarga.
"Ibu" Ria tersenyum pada Iqbal saat anaknya itu memanggilnya dengan suara lembut.
"Duduk dulu Bal" suruh sang ibu.
Iqbal tak banyak berkomentar dia langsung mengambil tempat duduk tepat di hadapan kedua orang tuanya.
Setelah Iqbal duduk terlihat Heri yang mulai membuka mulutnya untuk berbicara. "Berapa umurmu sekarang Bal?" Iqbal tak langsung menjawab dia menaikkan sebelah alisnya, Iqbal yakin ada hal lain yang ingin orang tuanya katakan.
Melihat Iqbal tak langsung menjawab membuat Ria kembali bersuara. "Umurmu sudah cukup matang bukan Bal untuk menjalin rumah tangga? Sampai kapan kamu akan sendiri terus? Ibu dan bapakmu sudah tua, kami ingin melihat kamu menikah nak, apakah kamu sudah ada perempuan yang ingin kamu pinang?"
Iqbal tak tau dia harus menjawab apa, yang dia lakukan hanya bisa diam. "Tak adakah kamu perempuan yang kamu sukai Bal?" tanya Heri meluruskan ucapan istrinya, tapi Heri hanya mendapat jawaban gelengan kepala saja dari Iqbal. Tentu saja Heri dan Ria tau jika putra tunggal mereka itu tak memiliki kekasih atau seseorang yang dia sukai.
"Aku belum memikirkan untuk menikah bu, pa" ucapnya lesu. "Aku juga tak memiliki seorang yang ingin aku nikahi" akhirnya Iqbal bersuara juga.
Heri mengambil cangkir yang ada di atas meja, setelah memastikan jika cangkir itu ada isinya, dia segera meminumnya tiga teguk. Lalu Heri kembali meletakkan cangkir tersebut ke tempat semula.
Dia tatap lekat-lekat putranya yang sudah pantas untuk menikah itu, tapi belum juga memiliki pendamping hidup sampai sekarang.
"Jika kamu tak memikirkan dirimu untuk menikah, setidaknya pikirkanlah ibu dan bapakmu ini Bal, umur kami berdua semakin hari semakin bertambah, Kami tak akan terus berada disampingmu, tak lama kami akan tiada, siapa lagi yang kami harapkan kalau bukan kamu. Anak bapak dan ibu ini hanyalah kamu Bal" tutur Heri dengan penuh kelembutan, dia ingin anak satu-satunya itu mengerti keingin dirinya dan sang istri.
"Benar apa yang dikatakan bapakmu Bal, ibu yakin kamu sudah siap untuk berumah tangga, kamu juga sudah mapan, jika kamu tak bisa mendapatkan perempuan yang dapat menikah denganmu biarkan bapak dan ibu mencari kamu calon istri" tawar sang ibu.
Iqbal berpikir sejenak ada benarnya juga apa yang ibunya katakan, dia tak akan sempat untuk mencari pasangan hidup jika dia terus bekerja dan bekerja. Karena Iqbal yakin jika pilihan ibu dan bapaknya adalah pilihan terbaik, Iqbal menyerahkan semuanya pada kedua orangtuanya.
"Baiklah Bu, apa yang ibu katakan mungkin benar, biar ibu dan bapak saja yang mencarikan calon istri Iqbal, Iqbal yakin pilihan kalian adalah yang terbaik" akhirnya Iqbal pasrah juga.
"Kamu tak akan menyesalkan Bal?, sudah menyerahkan masalah pasanganmu pada kami, jika kamu tak siap, kamu bisa mencari pasangan sendiri" ujar Heri, dia harus memastikan agar anaknya tak menyesal nantinya, telah menyerahkan semuanya pada mereka.
"Tidak bapak! Iqbal yakin pilihan ibu dan bapak yang terbaik"
"Alhamdulillah kalau begitu, ibu dan bapak senang mendengarnya" pasangan suami istri itu tersenyum pada anak mereka. Setelahnya mereka berdua saling melempar senyum.
"Semoga ini jalan yang terbaik Ya Rabb" batin Iqbal.
Ibu dan bapak Iqbal tak pernah memaksa untuk anaknya segera menikah, tapi semakin lama dibiarkan, kedua orang tua Iqbal tak pernah melihat anaknya itu dekat dengan perempuan manapun, bahkan bapak Iqbal tau dari teman sekantor Iqbal jika anaknya itu terus fokus bekerja, tak pernah sekalipun dia melirik perempuan di kantornya, padahal dari cerita yang Heri dapat, jika banyak perempuan yang menyukai anak nya itu, tapi sang anak tak pernah menggubris mereka, dia hanya fokus bekerja.
Setelah itu satu anak dan kedua orang tuanya berbincang-bincang ringan, Ria maupun Heri menghela nafas lega, karena Iqbal tak lagi terus mengulur waktu untuk menikah.
Tak lama kemudian suara adzan magrib berkumandang. Heri segera mengajak anaknya untuk pergi ke masjid. "Ayo Bal sholat jama'ah dimasjid" ajak Heri.
Keduanya bangkit dari kursi. " Kita ke masjid dulu bu Assalamualaikum" ucap Heri dan Iqbal dengan kompak. Keduanya berjalan menuju keluar rumah, Ria mengantar mereka sampai depan pintu rumah.
"Waalaikumsalam" jawab Ria sambil tersenyum pada kedua penyemangat hidupnya itu.
"Sebentar lagi aku tak akan sholat di rumah sendiri, akan ada menantuku yang menamai aku nantinya, membayangkannya saja aku sudah tak sabar untuk Iqbal segera menikah" ucap Ria senang, dia berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Bismillahirohmanirohim.
"Ibu, bapak aku berangkat kerja dulu, Assalamualaikum" pamit Iqbal pada kedua orang tuanya.
Seperti biasa setelah selesai sarapan bersama kedua orang tuanya Iqbal akan langsung berangkat bekerja.
"Waalaikumsalam hati-hati dijalan Bal" peringat Ria.
Heri pun menjawab salam anaknya setelah selesai minum air putih didalam gelas. "Waalaikumsalam Bal, benar kata ibumu hati-hati dijalan" sambung Heri.
Iqbal tersenyum pada kedua orang tuanya. "Iya bu, pak Iqbal akan ingat selalu pesan kalian" ucapnya sambil mencium ibu dan bapaknya secara bergantian.
"Iqbal berangkat nanti telat pula" pamitnya lagi, Iqbal berjalan keluar rumah setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya.
Suasana pagi di daerah tempat Iqbal tinggal sudah sangat ramai, para penghuni bumi mulai melakukan aktivitas mereka masing-masing, biasanya setiap pagi dikelilingi kompleks rumah Iqbal akan ada penjual bubur ayam.
Hampir setiap pagi tukang bubur ayam itu lewat depan rumahnya. Biasanya Iqbal akan memakan bubur ayam jika perutnya sedang tak bisa menerima nasi banyak-banyak.
"Pagi bang Yanto" sapanya pada tukang jual bubur ayam yang kebetulan mangkal di depan rumah orang tua Iqbal.
"Pagi Iqbal, wih udah rapi aja nih, mau berangkat kerja ya?" tanya bang Yanto, sambil membuatkan bubur ayam, karena ada yang memesan.
"Iya bang, Iqbal duluan ya bang, Assalamualaikum" ucapnya ramah.
Ya begitulah keseharian Iqbal, dia akan selalu menyapa orang yang dia kenal, Iqbal itu termasuk idola para emak-emak di komplek rumahnya. Banyak emak-emak yang ingin menjadikan Iqbal menantu, tapi Iqbal nya saja belum pengen menikah, jadi keburu anak-anak mak-mak itu, sudah menemukan jodoh masing-masing.
Biasanya setiap pagi Iqbal akan mendapatkan sarapan yang tak mengenakan dari emak-emak yang terlalu fanatik mengidolakan, contohnya saja seperti kemarin pagi saat dia akan pergi kekantor.
Tukang sayur memberhentikan gerobaknya tempat di depan rumah orang tua Iqbal. Iqbal tau apa yang akan terjadi setelahnya. "Ehh, cah kasep arep mangkat kerjo po?" tanya seorang ibu-ibu yang sedang memilih sayuran pada Iqbal, karena kebetulan dia melihat Iqbaal baru keluar rumah. Iqbal hanya mengangguk untuk merespon, tak lupa dia juga tersenyum pada para ibu-ibu itu.
"Bal kapan rabi? Umur makin nambah loh" timpal seorang ibu-ibu lagi.
"Benar Bal kapan kamu nikah, teman-teman kamu sudah punya anak satu loh" Iqbal hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal, selalu seperti itu jika dia bertemu dengan ibu-ibu kompleks rumahnya.
Tak lama Iqbal sudah sampai di kantor tempatnya bekerja. "Pagi Bal" sapa teman sekantor Iqbal.
"Pagi" sapa nya kembali dengan ramah. Setelah itu Iqbal langsung masuk ke ruang kerjanya.
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu ruang kerja Iqbal diketuk. "Masuk" suruh Iqbal tanpa mengalihkan pandangannya dari depan komputer.
Seorang wanita dengan pakaian yang cukup sopan menghampiri meja kerja Iqbal. "Maaf pak Iqbal mengganggu waktu anda, presiden menyuruh saya untuk memanggil anda ke ruangannya"
Iqbal yang tadi sangat fokus pada layar komputernya segera mengangkat kepalanya. "Presiden memanggil saya?" Iqbal memastikan apakah dia tidak salah dengar.
"Benar manajer Iqbal" jawab perempuan itu. "Anda sudah ditunggu di ruang presiden"
"Terima kasih infonya, aku segera kesana" Iqbal tak tau kenapa dia bisa dipanggil oleh presiden diperussahanya langsung, Iqbal takut dia membuat kesalahannya.
"Semoga bukan hal buruk yang terjadi" ucapnya sambil bangkit dari kursi kerja.
Dengan langkah gontai Iqbal langsung menuju ruang presiden, dia tak ingin membuat atasnya itu menunggu.
Tok!
"Masuk" hanya sekali ketukan pintu yang Iqbal lakukan dia langsung dipersilahkan masuk, berarti benar jika dirinya sudah ditunggu oleh presiden perusahaan.
"Silahkan duduk manajer Iqbal" ucap seorang laki-laki paruh baya yang mempersilahkan Iqbal duduk di kursi yang sudah ada.
"Terima kasih pak" jawabannya dengan sopan.
"Hmmm, langsung saja ada hal penting yang ingin saya katakan pada anda manajer Iqbal" ucap presiden perusahan tempat Iqbal bekerja.
Iqbal tak menjawab dia menunggu presiden nya melanjutkan kata-katanya yang belum selesai. "Saya lihat kamu adalah satu diantara banyak manajer yang bekerja di perusahaan saya dengan sangat baik, saya suka kinerja anda manajer Iqbal"
"Maka dari itu saya berniat menaikan jabatan anda, bukan lagi sebagai manajer, melainkan sebagai direktur di perusahaan ini"
Deg!
Apakah dirinya tak salah dengar dengan apa yang dikatakan presiden nya barusan, dia benar akan diangkat menjadi direktur? begitulah pikir Iqbal.
"Anda serius bos?" tanya Iqbal memastikan dia tak percaya.
"Benar manajer Iqbal, saya tak pernah main-main dengan ucapan saya, setelah ini kita akan mengadakan rapat secara tertutup, untuk mengumumkan jabatan baru anda, saya tau semua seperti apa kerja seluruh karyawan di kantor saya"
Iqba dan presiden perusahaannya sudah selesai berbincang, keduanya segera mendatangi ruang rapat tertutup.
Rapat tersebut berjalan dengan lancar selama kurang lebih 1 jam. Setelah selesai rapat mereka kembali ke ruang kerja masing-masing begitu juga dengan Iqbal.
"Huhh, terima kasih Ya Allah, Alhamdulillah" Iqbal merasa sangat bersyukur, tapi dia juga tau jika menjadi seorang direktur pekerjanya akan lebih berat dari seorang manajer.
Sebenarnya tadi Iqbal sempat tak ingin menerima jabatan yang baru diberikan padanya, karena menurut Iqbal ada orang lain yang lebih pantas daripada dirinya, sayang keputusan sang presiden tak bisa diganggu gugat lagi.
Akhirnya setelah hampir seharian bekerja, waktu pulang pun tiba, Iqbal sudah menyelesaikan semua pekerjaannya, dia tak pernah menunda-nunda pekerjaan, Iqbal langsung pulang kerumah.
Sampai dirumah seperti biasa setelah membersihkan diri dan sholat ashar, Iqbal akan berkumpul dengan ibu dan bapaknya di ruang keluarga.
"Bal dua minggu lagi acara pernikahanmu, semuanya sudah bapak dan ibumu siapkan, apakah kamu tak ingin melihat calon istrimu terlebih dahulu" tawar Heri pada anaknya.
"Dua minggu lagi bapak?" tanya Iqbal memastikan.
"Benar Bal, dua minggu lagi jadi bagaimana mau melihat wajah calon istrimu dulu atau tidak" sahut Ria sambil memeletkan dua gelas kopi di meja, dia baru saja kembali dari dapur.
"Tak usah bu, bapak tak apa, Iqbal sudah yakin dengan pilihan ibu dan bapak, oh iya bu, bapak Iqbal ada kabar baik, Iqbal naik jabatan jadi direktur di tempat Iqbal bekerja" ucapnya Iqbal selalu senang jika melihat kedua orang tuanya senang.
"Alhamdulillah nak itu rezeki kamu, yang penting apapun jabatanmu jangan pernah sombong dan jangan pernah sekalipun tinggalkan sang maha pemberi rezeki" nasihat Ria.
"Iya bu" Iqbal menjawab sambil menyeruput kopi buatan ibunya.
"Zaman sekarang ini banyak sekali orang yang mencari rezeki, tapi mereka melupakan sang pemberi rezeki itu sendiri, jadi jangan sampai kita begitu. Nah walaupun kita tak seperti mereka, tak boleh juga kita merasa sudah paling benar daripada mereka, kalau bisa ya kita nasehati mereka baki-baki"
"Apa yang dikatakan bapakmu benar Bal, selalu ingat pesan bapak dan ibu ya, begitu juga setelah kamu menikah nanti"
"InsyaAllah bu"
Bismillahirohmanirohim.
Menjadi seorang direktur benar-benar sangat menguras waktu yang Iqbal punya, satu hari lagi dia akan menikah Iqbal masih saja berkukut dengan pekerjaannya, yang semakin hari semakin banyak.
Tadinya Iqbal berubah pikiran dia ingin melihat lebih dulu calon istrinya, karena sibuknya Iqbal mengurus pekerjaannya sampai dia tak sempat melihat wajah calon istrinya, walaupun hanya untuk sekali saja sebelum menikah.
Menjelang hari H bahkan, Iqbal baru bisa akan melihat seperti apa perempuan yang akan menjadi teman hidupnya itu.
"Huhhh" Iqbal menghembuskan nafas berat, berulang kali dia terus beristighfar agar hatinya bisa lapang menerima semua yang akan terjadi pada dirinya. "Bismillahirohmanirohim" ucap Iqbal pelan.
Kakinya melangkah masuk ke dalam masjid bersama orang tuanya, Iqbal akan dinikahkan di masjid.
"Itu calon istri kamu Bal" bisik sang ibu pada Iqbal, memberi tahu yang mana calon istrinya.
Iqbal tak langsung menanggapi ucapan ibunya, dia masih mencari yang mana calon istrinya yang dimaksud oleh ibu. "Apakah perempuan bercadar itu calon istriku?" Iqbal bertanya pada dirinya sendiri.
Seketika itu juga perasaan Iqbal menjadi kalut, dia memang menyerahkan urusan pasangan hidup pada kedua orang tuanya, tapi tak pernah sekalipun Iqbal berpikir dia akan menikah seorang wanita bercadar.
Iqbal mengira Ibu dan bapaknya akan menjodohkan dirinya dengan wanita biasa tak seperti sekarang yang Iqbal melihat, namun dia salah mengira, ada perasaan menyesal dalam hati Iqbal saat dia menolak untuk melihat wajah calon istrinya terlebih dahulu.
"Apakah seperti ini takdirku?" ucapnya entah pada siapa, Iqbal sudah duduk di depan penghulu yang akan menikahkan Iqbal dengan perempuan yang bahkan belum dia ketahui namanya.
"Apakah saudara Iqbal sudah siap untuk mengucapkan ijab qobul?" tanya seorang bapak-bapak yang Iqbal yakin, bapak-bapak tersebut penghulu.
Iqbal tak langsung menjawab dia diam sejenak, sampai beberapa menit kemudian barulah Iqbal menangguk mantap tanda sudah siap, sebelum ijab kabul dimulai terlihat seorang menyodorkan kertas pada Iqbal.
"Itu nama calon istrimu" bisik Heri pada anaknya.
Iqbal terkekeh pelan, lucu bukan bahkan dia baru akan tau nama calon istrinya dari selembar kertas. "Nafisah Nur Azizah" gumun Iqbal.
"Nama yang lumayan bagus" batinnya, walaupun memuji nama calon istrinya, akan tetapi Iqbal tak tau kenapa rasanya dia belum siap menerima jika calon istrinya, yang berapa detik lagi akan sah menjadi istrinya, merupakan seorang wanita bercadar.
"Kita mulai saja acaranya, silakan jabat tangan saya nak Iqbal" instruksi pak penghulu.
Iqbal menjabat tangan penghulu itu begitu saja. Sambil mengambil nafas beberapa kali. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau Ahmad Iqbal dengan Nafisah Nur Azizah binti almarhum Mirzan, dengan maskawin tersebut tunai"
Deg! Iqbal lebih sangat kaget lagi kala mengetahui fakta baru bahwa sang istri merupakan seorang yang yatim, Iqbal tak tau apa yang ibu dan bapaknya inginkan, sehingga menikahnya dengan perempuan yatim.
"Saya terima nikah dan kawinya Nafisah Nur Azizah binti almarhum Mirzan dengan mas kawin tersebut tunai" Iqbal mengucapkan ijab kabul dengan sekali tarikan nafas saja.
"Bagaimana para saksi sah?"
"Sah"
"Sah" jawab saksi dari kedua belah pihak, setelah itu diikuti oleh seluruh orang yang hadir mengucapkan kata sah.
"Alhamdulillah" ucap pak penghulu. "Kalian berdua sudah sah menjadi suami istri sekarang" lanjut pak penghulu lagi, sambil melihat pada Iqbal dan Azizah secara bergantian.
Ria membantu menantunya agar bisa duduk disebelah anaknya Iqbal. "Silahkan cium punggung tangan suamimu nak" instruksi pak penghulu pada Azizah, tapi Azizah tak langsung melakukan yang diperintahkan oleh pak penghulu dia masih ragu.
"Tak apa Azizah dia sekarang suamimu, sudah sah kamu sentuh, dia mahrammu" kata pak penghulu lagi meyakinkan Azizah, setelah itu barulah Azizah berani mencium punggung tangan Iqbal, walaupun ragu dia tetap melakukah hal itu.
"Lelet" komentar Iqbal dengan cuek, tapi hanya Azizah duduk tepat di sebelahnya yang dapat mendengar ucapan Iqbal.
Deg! Entah kenapa hati Azizah terasa perih saat mendengar ucapan Iqbal, tapi dia terus beristighfar dalam hati nya.
Iqbal dapat merasakan tubuh Azizah yang bergetar hebat, saat penghulu tadi menyuruh Iqbal untuk mencium kening Azizah. Walaupun ragu Iqbal melakukan semua yang disuruh oleh pak penghulu.
Disaat Iqbal mencium keningnya Azizah dapat mendengar jika Iqbal berdoa disana, mendoakan dirinya dan Iqbal sendiri.
"Engkau tau apapun yang terbaik untuk hambamu ini Ya Rabb, aku yakin dia orang yang akan menuntunku lebih dekat lagi dengan engkau Ya Rabb"
"Semoga aku bisa menerima kekurangan suamiku begitu juga dengan sebaliknya" doa Azizah dalam benaknya, dia merasakan air matanya yang mulai menetes.
Setelah selesai dengan acara ijab sampai pemakaian cincin dan tanda tangan buku nikah Iqbal dan Azizah melakukan sungkem dengan orang tua. Tanap Iqbal sadari pak Feri, pria paruh baya yang merupakan presiden di kantornya hadir dalam acara akad tersebut bersama istrinya.
Saat akan sungkeman dengan orang tua Iqbal dibuat semakin bingung, ketika tak melihat ibu mertuanya, Iqbal hanya bisa mengerutkan dahinya kala tak menemukan siapa yang dia cari.
"Ibu" ucap Iqbal bersimpuh di lutut ibunya.
Ria mengelus pundak sang anak dengan lembut. "Ibu pesan sama kamu Iqbal, perlakukan istrimu dengan baik, dia tanggung jawabmu sekarang jangan biarkan dia menderita bersamamu, dia sudah tak punya siapa-siapa lagi hanya kita yang dia punya Iqbal, ingat selalu pesan ibu, Iqbal cintai dan sayangi istrimu" nasihat Ria, Iqbal hanya mengangguk.
Deg! Betapa kagetnya Iqbal mengetahui status istrinya sebagai yatim piatu. "Jadi dia seorang yang sudah tak memiliki siapa-siapa lagi? Dia yatim piatu?" batin Iqbal masih tak percaya, tak percaya jika ibu dan bapaknya menjodohkan dirinya dengan seorang yatim piatu.
Setelah itu Iqbal beralih sungkem pada bapaknya dan Azizah pada Ria ibu Iqbal. "Ibu" ucap Azizah lembut yang membuat Iqbal menoleh padanya, suara lembut yang keluar dari mulut yang tertutup cadar itu, setelah sadar Iqbal langsung sungkem dengan bapaknya.
Saat sungkem dengan bapaknya Iqbal dapat mendengar percakapan ibu dan istrinya. "Ibu Zizah tak tau harus berkata apalagi pada ibu, Ibu selalu ada untuk Zizah, maaf jika zizah belum bisa membahagiakan ibu" ucapnya tulus, yang membuat Iqbal bingung dengan ucapan Azizah.
Iqbal dapat melihat istrinya itu menangis tersedu-sedu di pelukan sang ibu, Iqbaal merasa ibu dengan istrinya itu memiliki kedekatan yang sudah lama, bahkan mereka bukan terlihat seperti mertua dan menantu mereka lebih terlihat seperti ibu dan anak.
"Tidak nak, kamu mau menerima lamaran ibu untuk Iqbal saja, ibu sudah merasa bahagia" sahut Ria, sambil kembali memeluk menantunya yang sudah Ria anggap seperti anak sendiri.
Melihat Azizah sudah selesai sungkem dengan ibunya, Iqbal buru-buru menyelesaikan sungkem dengan bapaknya, karena Azizah juga akan melakukan hal yang sama, tentu saja Iqbal tak mau tertangkap basah karena memperhatikan Azizah. Sedari tadi saat Azizah sungkeman dengan ibunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!