Gavin melihat jam yang melingkar di tangan kanannya. Dia sangat cemas karena istrinya belum juga pulang ke rumah.
"Ke mana kamu Tiara? Ini sudah hampir jam dua belas malam. Apa kamu baik-baik saja?" ucap Gavin sambil berjalan mondar-mandir di ruang tamu.
"Papa… Mama masih belum pulang?" tanya Safira sambil berjalan dari dalam kamarnya dengan mengusap-usap matanya.
Gavin menoleh ke arah sumber suara dan dia menemukan putrinya yang dalam keadaan mengantuk berjalan ke arahnya.
"Sayang kok bangun?" tanya Gavin sambil berjalan mendekati Safira dan merentangkan tangannya bersiap untuk memeluk putrinya.
Safira pun masuk ke dalam pelukan papanya dan meletakkan kepalanya di dada papanya. Kemudian dia berkata,
"Pengen tidur sama Mama," jawab Safira sambil memejamkan matanya dan bersandar pada dada papanya.
Gavin pun menggendong gadis mungil itu dan menidurkannya di sofa dengan berbantalkan pada pahanya.
Diusapnya perlahan rambut putrinya itu sambil menatap wajahnya.
Kasihan kamu Nak, jarang sekali kamu bisa bersama Mamamu. Tapi tidak ada jalan lain karena itu pekerjaan Mamamu. Papa hanya berdoa agar semuanya baik-baik saja, Gavin berdoa dalam hatinya.
Setelah beberapa saat, terdengar suara deru mobil dari luar rumah. Gavin hendak meletakkan kepala Safira dengan menggantikan pahanya yang sebagai bantal tadi dengan bantal sofa, tapi Safira membuka matanya seolah tahu jika papanya hendak memindahkannya.
Ceklek!
Pintu rumah pun terbuka. Masuklah seorang wanita cantik dengan memakai pakaian elegan dan sepatu hak tingginya berjalan dengan sangat elegan ke arah Gavin dan Safira.
Kemudian dia meletakkan kantong plastik di meja ruang tamu yang ada di hadapan Gavin dan Safira.
"Kok kalian belum tidur?" tanya Tiara sambil duduk di sebelah Safira.
"Mama kok pulangnya malam terus? Safira pengen tidur sama Mama," ucap Safira sambil beralih memeluk mamanya.
"Kan Mama kerja Sayang. Kerjaan Mama banyak banget, jadi Mama harus kerja keras supaya bisa mendapatkan uang yang banyak," jawab Tiara sambil mengurai sedikit pelukannya dan tersenyum manis pada Safira.
Gavin menatap istrinya dengan perasaan yang tidak bisa diutarakannya. Dia ingin memprotes jam kerja istrinya. Tapi dia tidak bisa karena alasan pekerjaan yang selalu saja menjadi alasan utamanya.
"Itu apa Ma?" tanya Gavin sambil menunjuk kantong plastik yang diletakkan oleh Tiara tadi di atas meja tersebut.
"Makanan Pa. Tadi ada event dan aku ingat kalau kalian pasti belum makan, jadi aku bawakan saja makanan dari acara itu," jawab Tiara sambil tersenyum manis pada Gavin.
Gavin menghela nafasnya mendengar jawaban dari istrinya. Ingin sekali dia mengatakan jika bukan makanan dari restoran ternama yang mereka butuhkan. Dia dan anaknya membutuhkan kehadiran seorang istri dan mama yang ada di rumah bersama mereka.
Tapi itu semua tidak bisa dikatakan oleh Gavin. Dia melihat wajah lelah istrinya di balik wajah cantiknya itu.
"Kamu gak malu Ma membawa pulang makanan-makanan itu?" tanya Gavin pada istrinya dengan menatap intens manik matanya.
Tiara yang sedang mengusap rambut Safira kini melihat ke arah Gavin dan berkata,
"Mengapa harus malu? Aku gak nyuri kok. Makanannya masih sisa banyak sekali. Dan aku bagi dengan temanku."
Gavin pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Kemudian dia berkata,
"Ya sudah, ayo kita tidur. Sepertinya Safira sudah sangat mengantuk sekali."
"Biar Safira sama aku Mas. Lebih baik Mas Gavin makan saja dulu. Mubazir kan kalau gak dimakan," ucap Tiara sambil membantu Safira berdiri dari duduknya.
"Mana muat perutku Ma makan segitu banyaknya? Kita makan bersama saja ya besok pagi, buat sarapan kita besok," ucap Gavin sambil berdiri mengambil kantong plastik yang berisi makanan tadi.
Tiara memandang Gavin sambil menghela nafasnya. Kemudian dia berkata,
"Mas Gavin kan tau kalau aku gak pernah sarapan di rumah. Aku selalu makan siang di kantor Mas. Lebih baik Mas saja yang makan itu semua. Terserah Mas mau makan sekarang atau besok."
Kemudian Tiara menuntun Safira masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Gavin yang masih mematung sambil membawa kantong plastik yang berisi makanan tadi dan melihat nanar ke arah punggung istrinya.
Setelah istri dan anaknya masuk ke dalam kamar Safira, Gavin membawa kantong plastik tersebut ke dapur dan meletakkannya di dalam lemari es.
"Ma, Ma… ayo pindah ke kamar," ucap Gavin lirih di sebelah telinga Tiara sambil mengusap-usap lengannya untuk membangunkannya.
Mata Tiara terbuka dan dia mendapati wajah suaminya yang ada di depan wajahnya. Kemudian dia berkata,
"Aku sudah ngantuk Mas. Aku tidur di sini aja ya sama Safira."
Setelah mengatakan itu, mata Tiara kembali tertutup tanpa mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh suaminya.
Gavin kembali menghela nafasnya. Rasanya dia kembali menjadi bujang karena sering tidur seorang diri tanpa istrinya.
"Ma, aku kangen," bisik Gavin di telinga Tiara.
"Aku capek sekali Mas. Lain kali saja," ucap Tiara lirih sambil memejamkan matanya.
Sungguh Gavin ingin sekali mengumpat, tapi dia hanya bisa mengumpatnya dalam hati saja. Dia hendak merayu dan memprotes istrinya, hanya saja menurutnya bukan saat yang tepat baginya untuk mengatakan itu semua.
Akhirnya Gavin masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan kesal. Sudah berjam-jam dia menunggu kedatangan istrinya dan sudah berhari-hari mereka tidak melakukan hubungan suami istri.
Sebagai pria yang normal Gavin tidak betah untuk menahannya. Hingga dia menertawakan dirinya sendiri sambil berkata,
"Gavin… Gavin… kasihan sekali kamu. Punya istri cantik tapi tidak bisa merasakan berhubungan dengannya. Sampai kapan kamu akan seperti ini?"
Tidak ada yang bisa menjawabnya selain waktu. Dirinya tidak bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Entahlah dengan istrinya, apa Tiara bisa menjawab pertanyaan suaminya itu, hanya waktulah yang bisa menjawabnya.
Gavin tahu jika istrinya sudah berubah sejak karirnya semakin melejit. Dan itu pun tidak lepas dari campur tangan Gavin.
Dia juga ikut serta menjadikan istrinya seperti sekarang ini. Dukungan tenaga, materi dan doa selalu diberikan pada istrinya hingga istrinya menjadi sesukses sekarang ini.
Mungkin untuk ukuran orang lain Tiara belum sukses, tapi bagi Gavin dan Tiara, suatu proses yang cepat bagi Tiara untuk mendapatkan itu semua. Dan mereka berdua bersyukur atas itu semua.
Sayangnya kehidupan mereka berubah sejak saat itu. Tiara sering sekali pulang larut malam, bahkan dia sering sekali pergi ke luar kota selama beberapa hari dengan alasan pekerjaannya.
"Aku banyak uang, tapi kenapa aku tidak bahagia?" tanya Gavin pada dirinya sendiri sambil meratapi nasibnya.
"Apa ada yang salah denganku atau keluargaku? Tapi kami baik-baik saja. Hanya saja perasaanku tidak tenang seolah aku harus selalu waspada," ucap Gavin sambil memandangi atap kamarnya.
"Ah sudahlah, lebih baik aku tidur saja," ucapnya kemudian.
Setelah itu dia memejamkan matanya. Selama beberapa menit matanya masih saja tidak bisa terpejam.
Perasaannya gelisah sehingga dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia berkali-kali menghadap ke lain arah dan tetap saja tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bahkan matanya pun enggan terpejam saat ini.
Dengan segera Gavin beranjak dari tidurnya dan berjalan keluar kamarnya menuju kamar anaknya.
Dibukanya pintu kamar Safira dengan pelan dan hati-hati, kemudian dia mendekati istrinya berniat untuk menciumnya.
Namun, pada saat bibirnya akan mendarat di pipi istrinya, layar ponsel Tiara menyala. Dengan rasa penasaran, Gavin hendak mengambil ponsel tersebut.
Ketika tangannya hendak menyentuh ponsel Tiara, terdengarlah suara Tiara yang menghentikan gerakan tangannya.
"Mas Gavin mau apa?"
"Mas Gavin mau apa?" tanya Tiara sambil memegang tangan Gavin yang hendak mengambil ponsel milik Tiara.
Gavin terkejut mendapati istrinya ternyata belum tidur. Sedangkan tadi pada saat dia masuk ke dalam kamar tersebut, terlihat sekali jika istrinya sudah tidur dengan nyenyak.
"Eh ini, hp kamu layarnya nyala. Aku kira tadi alarm, mau aku matikan agar tidur kalian tidak terganggu," ucap Gavin sambil tersenyum manis pada istrinya.
Seketika wajah Tiara terlihat tegang. Dengan cepatnya tangan Tiara mengambil ponselnya yang berada di atas meja dekat ranjangnya.
Kemudian dia segera menyembunyikan ponselnya di bawah bantalnya.
"Ada apa Mas Gavin ke sini?" tanya Tiara dengan gugup.
Gavin menatap wajah cantik istrinya yang tidak berani menatapnya. Istrinya itu menatap ke lain arah ketika Gavin menatapnya.
"Ma, sudah lama kita gak melakukannya. Apa Mama gak ingin melakukannya denganku, dengan suamimu ini?" tanya Gavin dengan menegaskan kata suami sambil menatap istrinya dengan tatapan penuh harap.
"Maaf Mas, aku lelah, aku capek baru pulang bekerja. Besok aja ya. Kan masih ada hari esok," jawab Tiara sambil tersenyum kaku pada suaminya.
Gavin tersenyum tipis. Dia tertawa dalam hatinya, menertawakan dirinya sendiri yang kembali ditolak oleh istrinya ketika mengajaknya berhubungan layaknya suami istri.
"Ya sudah, kalau gitu aku tidur bersama kalian saja. Sedari tadi aku gak bisa tidur. Mungkin aku gak bisa tidur tanpa istri cantikku ini," ucap Gavin mencoba merayu istrinya.
Tiara diam beberapa saat, tampak sekali dia sedang berpikir. Kemudian dia berkata,
"Baiklah, tapi Mas Gavin tidur di sebelah Safira ya. Takutnya nanti dia terdesak dan jatuh ke lantai," ucap Tiara sambil tersenyum manis pada suaminya.
Gavin menghela nafasnya dengan menatap nanar wajah istrinya. Tapi dia tidak bisa mengutarakan kekecewaannya atas penolakan istrinya.
Dengan berat hati Gavin berjalan memutari ranjang untuk tidur di sebelah Safira, putri mereka.
Dia merebahkan tubuhnya menghadap ke arah istrinya dan memandang wajah istrinya yang sudah memejamkan matanya. Dalam hati dia berkata,
Kenapa aku jadi merasa jauh dari istriku? Semakin hari kita semakin jarang bersama. Bahkan bertemu saja hanya beberapa jam. Apa ini demi uang?
Lambat laun mata Gavin terpejam. Tangannya memeluk tubuh Safira yang juga memeluk dirinya.
Sinar matahari pagi menembus tirai kamar mereka. Gavin membuka matanya. Dia tersenyum melihat wajah cantik istrinya dan wajah cantik putrinya yang mirip seperti dirinya.
Sudah sangat lama dia menantikan seperti ini. Saat di mana mereka bisa berkumpul tanpa gangguan apapun.
Tiara mengerjap-ngerjapkan matanya menyesuaikan dengan sinar yang masuk ke dalam retina matanya.
"Kamu sudah bangun Sayang?" tanya Gavin ketika melihat mata istrinya terbuka.
"Emmm…," Tiara hanya melenguh menjawab pertanyaan suaminya.
Merasa pergerakan dari kedua orang tuanya, Safira membuka matanya. Kemudian dia tersenyum melihat mama papanya yang masih menemaninya tidur di sampingnya.
"Ma, Pa, kita jalan-jalan yuk," ucap Safira dengan sangat antusias.
"Bukannya kamu harus sekolah Sayang?" tanya Tiara sambil mengernyitkan dahinya.
"Safira sudah masuk liburan sekolah Sayang," sahut Gavin dengan suara lembut dan tersenyum pada istrinya.
"Oh… udah mulai liburan sekolah ya," ucap Tiara sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mama gak pernah di rumah sih, jadi gak tau kan kalau aku sudah mulai liburan sekolah," sahut Safira sambil merajuk memajukan bibirnya.
Tiara mencium pipi kanan dan kiri Safira. Kemudian dia berkata,
"Maafkan Mama ya Sayang. Kerjaan Mama akhir-akhir ini sangat banyak."
Melihat anaknya yang terlihat sedih seperti itu membuat Gavin sangat terluka. Dia menatap bergantian pada anak dan istrinya. Kemudian dia berkata,
"Ma, apa tidak sebaiknya kamu berhenti bekerja saja? Aku masih mampu membiayai kebutuhan keluarga kita. Kita perbanyak waktu bersama untuk menebus waktu kita yang hanya bertemu beberapa jam saja setiap harinya."
Sontak saja Tiara menoleh ke arah Gavin dengan tatapan sinis sambil berkata,
"Mas Gavin tau kan seberapa besarnya pengorbananku hingga aku bisa berada di tempatku saat ini? Aku gak bisa Mas. Maaf. Aku gak bisa meninggalkan pekerjaanku yang bisa menghasilkan banyak uang dibandingkan aku hanya ada di rumah saja jadi pengangguran yang menyia-nyiakan hidupku."
Gavin kembali menghela nafasnya. Berat sekali rasanya akan memarahi istrinya. Selama ini dia memang sangat memanjakan istrinya hingga dia benar-benar menjadi nyonya rumah yang tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
"Pokoknya Safira gak mau tau. Hari ini Safira mau kita jalan-jalan bertiga," Safira kembali merajuk dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.
Melihat anaknya yang seperti itu, Gavin merasa sangat iba dan merasa hatinya seperti tergores benda tajam.
"Ma, ayolah. Luangkan waktu sebentar saja untuk Safira. Kasihan dia. Safira hanya ingin memiliki waktu bersama kedua orang tuanya," tutur Gavin mengiba dengan tatapan memohon pada Tiara.
Tiara diam, dia berpikir sambil menatap wajah Safira. Kemudian dia berkata,
"Baiklah, tapi Mama tidak bisa lama. Pekerjaan Mama masih banyak."
Safira pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan sangat antusias. Kemudian dia memeluk erat tubuh mamanya sambil berkata,
"Terima kasih Mama."
Tiara tersenyum sambil memeluk tubuh putrinya dan mengusap rambut lembut putri kesayangan mereka.
Air mata menggenang di pelupuk mata Gavin ketika melihat betapa senangnya Safira ketika mengetahui mamanya bisa meluangkan waktu untuknya.
Gavin pun memeluk tubuh istri dan anaknya yang sedang berpelukan itu. Tak terasa bulir air matanya menetes ketika memeluk mereka.
Ada rasa senang, tenang dan nyaman dalam hatinya. Inilah yang sudah lama dia inginkan. Merasakan seutuhnya keluarga kecil mereka yang benar-benar bahagia.
"Pa, Ma, Safira gak bisa nafas," protes Safira yang berniat untuk membebaskan dirinya dari pelukan kedua orang tuanya.
Seketika Gavin dan Tiara melepaskan pelukan mereka. Dan mereka tertawa bersama melihat wajah Safira yang memerah.
"Ya udah yuk kita siap-siap dulu. Papa akan menyiapkan sarapan untuk kita," ucap Gavin sambil beranjak dari tempatnya.
Tiara mengajak Safira untuk membersihkan badannya dan mempersiapkan semua pakaiannya dan pakaian Safira.
Sedangkan Gavin, dia menyiapkan sarapan di dapur. Dia menghangatkan makanan yang dibawa oleh Tiara semalam dan membuat nasi goreng untuk sarapan mereka.
Setelah makanan sudah siap di meja makan, Gavin segera membersihkan badannya dan mengganti pakaiannya.
"Yuk sarapan," ucap Gavin sambil berjalan menuju meja makan yang sudah ada Tiara bersama Safira di sana.
"Ini makanan yang kemarin aku bawa ya Mas?" tanya Tiara sambil menunjuk beberapa makanan yang terhidang di meja makan.
"Iya, udah aku hangatkan tadi," jawab Gavin sambil meletakkan nasi goreng di piringnya.
"Mas Gavin makan aja deh. Aku udah bosan makan itu dari kemarin," ucap Tiara sambil meletakkan nasi goreng pada piringnya.
Gavin kembali menghela nafasnya. Ingin sekali dia mengatakan jika dia ingin melarang istrinya untuk pulang membawa makanan yang sekiranya tidak akan dimakannya.
Namun, ditahannya semua itu agar tidak ada pertengkaran di antara mereka.
"Mama ngapain bawa makanan pulang kalau gak mau makan?"
Mata Gavin terbelalak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Safira pada mamanya. Pertanyaan Safira itu benar-benar mewakili dirinya.
Tiara meletakkan sendoknya, kemudian dia berkata,
"Makanan itu untuk kalian berdua."
"Sayang, aku mampu kok membeli makanan seperti ini. Lebih baik kamu tidak usah membawa makanan dari event yang kamu hadiri. Nanti kamu akan malu jika sering-sering membawa makanan pulang seperti ini," ucap Gavin dengan bijak.
Drrrttt… drrrt… drrttt…
Ponsel Tiara bergetar dalam tasnya. Hingga terdengar oleh mereka bertiga karena tas tersebut diletakkan oleh Tiara di atas meja makan.
Segera diambilnya ponselnya dan dilihatnya. Kemudian dia menatap Gavin dan Safira bergantian sambil berkata,
"Mama hanya ada waktu satu jam. Kita berangkat atau di rumah saja?"
"Ayo Ma, Pa, kita berangkat," seru Safira dengan sangat antusias.
Melihat putrinya sangat bersemangat, Gavin segera meletakkan sarapannya dan beranjak dari kursinya sambil berkata,
"Ayo Ma kita berangkat."
Seketika Tiara beranjak dari duduknya dan menggandeng Safira.
"Tunggu, biar Papa bungkus makanannya ya," ucap Gavin sambil mengangkat piring yang berisi makanan.
"Eh gak usah Mas. Lebih baik kita makan saja di luar. Malu tau gak bawa makanan gituan," sahut Tiara dengan cepatnya.
Gavin meletakkan kembali piring yang dibawanya. Dia tersenyum tipis mendengar perkataan istrinya. Kemudian dia berjalan menyusul anak dan istrinya yang berjalan ke arah halaman rumah mereka.
Tiara memang hanya memakan makanan makanan ala restoran. Dia tidak pernah memakan makanan yang bernilai kampungan.
Dia memang bukan dari keluarga berada, hanya saja gaya hidup keluarganya sangat mewah, sehingga gaya hidupnya itu terbawa sampai sekarang.
Bahkan dia tidak pernah makan tahu, tempe, ikan asin dan kawan-kawannya. Dan dia juga tidak pernah masuk dapur untuk memasak. Dia takut tangannya akan terluka jika memasak. Sehingga wilayah dapur menurutnya sangat berbahaya.
Selama ini Gavin sangat memanjakan istrinya. Dia yang selalu berada di dapur untuk memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dan dia pula yang seharian merawat dan mendidik Safira, anak mereka.
Memang benar Gavin merupakan orang kaya, tapi dia tidak menyukai ada orang lain yang tinggal bersama keluarga mereka. Oleh karena itulah dia tidak memiliki pembantu.
Gavin seorang pengusaha muda yang mempunyai beberapa toko perhiasan. Sehingga dia bisa bersantai di rumah. Dia hanya perlu mengecek pembukuan setiap toko dan melakukan kunjungan saja, tapi itu tidak dilakukan setiap hari.
Tiara yang menjadi wanita karir selalu berada di luar rumah. Dan itulah yang membuat hubungannya dengan suami dan anaknya renggang.
Bahkan sering sekali dia meninggalkan anak dan suaminya dalam waktu beberapa hari untuk pergi ke luar kota.
Jadi, Gavin lah yang menjadi bapak rumah tangga dan Tiara menjadi ibu pekerja. Dan Safira ingin mamanya mempunyai waktu bersamanya.
Di dalam mobil, Safira bernyanyi dengan riangnya. Dia terlihat sangat bahagia. Bahkan wajah bahagia itu tidak pernah dilihat Gavin selama beberapa tahun terakhir ini.
Safira duduk di kursi paling belakang dengan bantal dan boneka kesayangannya. Sedangkan Tiara duduk di kursi tengah sendirian. Dan Gavin, dia duduk di kursi pengemudi dan terlihat seperti seorang sopir yang sedang mengantar nyonyanya.
"Kita pergi ke mana Sayang?" tanya Gavin pada istri dan anaknya.
"Taman Safari!" seru Safira dengan riangnya.
"Terlalu jauh Sayang. Kita ke mall saja ya. Lain kali kita akan pergi ke Taman Safari," sahut Tiara sambil menoleh ke arah belakang, di mana Safira berada.
Gavin melihat sekilas dari kaca spion yang ada di tengah. Tampak raut kekecewaan pada wajah Safira. Dia merasa iba pada putrinya. Hanya saja tidak ada yang bisa dilakukannya selain membujuknya.
"Safira Sayang, kita ke Mall saja ya. Kita sarapan dan membeli barang-barang yang kamu inginkan," tutur Gavin yang bertujuan untuk membujuk anaknya.
Selang beberapa detik kemudian Safira terlihat tersenyum. Dia teringat akan barang yang ingin dibelinya.
"Beneran kan Pa, Safira boleh membeli apa saja?" tanya Safira untuk mengingatkan apa yang telah dikatakan oleh papanya tadi.
"Iya Sayang, Papa janji," jawab Gavin sambil tersenyum melihat putrinya melalui kaca spion mobil yang berada di tengah.
Akhirnya mereka berada di suatu Mall terbesar di kota tersebut. Mereka bergandengan tangan bertiga dengan Safira berada di tengah Gavin dan Tiara.
"Kita makan dulu yuk Ma, Pa," ucap Safira sambil menunjuk salah satu restoran yang ada di Mall tersebut.
Gavin tersenyum dan menganggukkan kepalanya pada Safira. Kemudian mereka masuk ke dalam restoran tersebut.
"Mas, apa Mas Gavin gak punya pakaian lain? Itu udah jelek banget Mas. Jangan di pakai lagi. Malu-maluin tau gak," ucap Tiara setelah beberapa saat kepergian waiter dari meja mereka.
Gavin melihat dirinya sendiri dari atas hingga bawah. Menurutnya penampilannya itu tidak terlalu buruk. Bahkan menurutnya sudah rapi dan keren.
"Kenapa sih Sayang? Apa yang salah dari penampilanku?" tanya Gavin sambil mengernyitkan dahinya.
"Sudahlah, pokoknya aku gak suka kalau jalan sama Mas Gavin dengan pakaian yang seperti itu. Duit Mas banyak, beli saja beberapa pakaian baru dan pakaian yang lama-lama buang saja," ucap Tiara dengan entengnya.
Gavin menoleh ke arah Safira. Untung saja anaknya itu sedang asik dan fokus bermain game di ponselnya sehingga tidak mendengar perdebatan kecil antara mama dan papanya.
Gavin ingin sekali memprotes perkataan istrinya itu, sayang sekali dia hanya bisa mengatakannya hanya dalam hatinya saja.
Bukannya aku pelit dengan diriku sendiri. Aku hanya memikirkan kalian, anak dan istriku. Aku sudah tidak memikirkan diriku sendiri. Semua uang yang aku miliki hanya untuk kalian berdua.
Gavin melihat anak dan istrinya yang sedang makan sambil memakan makanan miliknya.
Diperhatikannya istrinya yang memakan makanannya dengan lahap. Berbeda dengan tadi ketika memakan nasi goreng buatannya yang memakannya dengan lambat dan hanya sedikit.
Dalam hati dia mengatakan jika makanan yang dimakan istrinya sepadan dengan kecantikannya.
Setelah mereka selesai makan, mereka kembali berjalan ke time zone sesuai dengan permintaan Safira.
Di sana mereka bermain banyak sekali permainan yang membuat Safira merasa senang. Binar kebahagiaan terlihat dengan jelas di mata Safira.
Gavin tersenyum bahagia melihat putri semata wayangnya tidak berhenti tersenyum dan tertawa sejak pagi tadi.
Bagi dirinya tidak ada kebahagiaan selain melihat anak dan istrinya tertawa bahagia. Apapun akan dilakukannya agar senyum dan tawa mereka tidak akan pudar.
Tiba-tiba saja Tiara menghentikan permainannya. Gavin heran dan bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa istrinya itu menghentikan permainannya.
Ternyata Tiara mengambil ponsel dari dalam tasnya. Memang tidak ada yang tahu jika ponsel Tiara sedang ada panggilan ataupun pesan, karena selama ini ponselnya selalu dalam keadaan diam dan hanya bergetar saja jika sedang ada pesan dan telepon.
"Aku harus pergi sekarang. Semuanya sudah menungguku," ucap Tiara setelah membaca pesan pada ponselnya.
"Tapi Ma, kita belum belanja," Safira merengek menghentikan mamanya pergi.
"Gak bisa sekarang Sayang. Mama harus meeting sekarang. Semuanya sudah menunggu kehadiran Mama. Safira belanja sama Papa aja ya Sayang," ucap Tiara sambil menatap wajah anaknya.
Gavin tidak bisa menghentikan kepergian istrinya. Dia hanya bisa membujuk Safira agar bisa melepas kepergian mamanya untuk pergi bekerja.
"Sayang, kita belanja yuk sekarang. Biar Mama berangkat kerja ya," ucap Gavin sambil berjongkok mensejajarkan tinggi badannya dengan tinggi badan anaknya.
"Sudah ya, Mama berangkat dulu. Kita ketemu lagi nanti di rumah," ucap Tiara sambil melambaikan tangannya pada anak dan suaminya.
Safira dan Gavin menatap nanar kepergian Tiara yang berjalan cepat seolah terburu-buru.
"Yuk Sayang kita belanja," ucap Gavin sambil tersenyum pada Safira agar anaknya bisa tersenyum kembali.
"Kenapa sih Pa, Mama harus bekerja? Pulangnya juga selalu malam. Kenapa Mama tidak seperti Mamanya teman-teman Safira yang selalu mengantar jemput mereka di sekolah?" tanya Safira dengan wajah sedihnya.
Hati Gavin terasa sakit mendengar perkataan anaknya. Terasa sekali kesedihan yang dirasakan anaknya itu ketika dia mengatakannya.
Diraihnya tubuh anaknya itu ke dalam pelukannya agar anaknya itu tidak lagi merasa sendirian. Kemudian dia berkata,
"Tenang Nak, ada Papa yang selalu bersamamu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!