Ig @putritanjung2020 ~
Buku ini akhirnya uni pindah ke sini, ya biar barengan sama Syifa.
Pagi ini Saraswati tampak tergesa-gesa menuju ruangannya, sudah menjadi kebiasaan wanita cantik dengan paras tegas berhidung mancung itu, tidak ingin terlambat walau pun sebentar apa bila sudah menyangkut tentang pekerjaan. Sejak menduduki posisi sebagai General Manager di perusahaan jamu tempatnya berkarir saat ini maka kesibukan Saras memang tidak bisa disebutkan lagi saking padatnya.
“Pagi bu Saras, maaf mengganggu waktu Ibu, boleh minta waktunya sebentar, Bu?” tanya karyawan yang bernama Sakti, nama itu tertera di name tag nya yang berasal divisi laboratorium.
“Ya Sakti, silahkan,” jawab Saraswati singkat dengan wajah berwibawa.
“Kami kekurangan orang di laboratorium Bu, karena tiga orang sudah kena PHK, jadi gimana sekarang ini, Bu? Apalagi gaji juga ikut diturunkan, sementara jam kerja kami malah semakin bertambah karena kekurangan orang. Kenapa sekarang perusahaan jadi seperti memeras keringat kami?!” tanya sakti dengan emosi yang hampir tidak bisa dia tahan.
Saras berusaha tenang, sejak awal pandemi ini memang banyak sekali perubahan, terutama masalah pengurangan karyawan.
“Sakti, saya tampung dulu keluhan kamu ya, saya mohon kerjasamanya. tetaplah bekerja seperti biasa dan saya akan carikan solusinya,” jawab Saras.
“Gimana saya bisa tenang! Kalau jadi Ibu sih enak … udah gaji besar, fasilitas pun dijamin sama perusahaan tapi coba liat dong kami yang di bawah, Bu!” Sakti yang terus mendesak Saras agar memberikan solusi saat ini juga, menjadi semakin emosi.
“Terus saya harus lakukan apa sekarang? Ini perusahaan besar, Bung, bukan kelompok bermain! Tolong jaga bicara anda, berikan kami waktu untuk bisa menyelesaikan masalah yang ada sekarang,” balas Saras dengan nada yang mulai naik beberapa oktaf, karena Sakti yang juga mulai membentaknya.
“Kebanyakan omong kamu!” Sakti yang tidak sabaran sudah mengepalkan tangannya untuk memukul Saras yang di matanya seperti menantang dan tidak berpihak sama sekali kepada karyawan kecil.
Tap!
“Jaga sikap kamu kepada perempuan, ini kantor bukan jalanan!”
Nada suara berat penuh tekanan menggema di lobby perusahaan. Bahkan tangan kekar itu berhasil menangkap tinju Sakti yang sedikit lagi mendarat di wajah Saraswati. Wanita itu memejamkan mata dengan tangan yang reflek terangkat untuk melindungi wajahnya.
Saras perlahan membuka mata, Sakti yang tertunduk tampak ketakutan.
“Terima kasih, Tuan, anda sudah membantu saya,” ucap Saras memberikan anggukan kecil pada lelaki yang belum dikenalnya. Wanita itu pun mengalihkan pandang lagi.
“Sakti, saya mohon anda bisa bersabar, saya akan bahas hal ini di rapat nanti. Saya permisi dulu Sakti … Tuan sekali lagi terimakasih,” lanjut Saras berbalik badan dan kembali melanjutkan langkahnya.
“Kau tolong jaga sikapmu, emosi tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah, sekarang kembali ke ruanganmu,” titah sang tuan misterius yang memiliki sorot mata setajam elang itu menatap Sakti dengan tatapan menghujam.
Sakti yang merasakan aura wibawa dari sosok pria tampan itu, tidak berani lagi membantah. Anggukan kecil yang hanya mampu menjawab perintah si tuan tampan, lalu membawa langkah kaki pemuda dari divisi laboratorium itupun balik badan dan menghilang di balik pintu.
“Pagi sudah dihidangkan dengan hal yang bikin mood ku rusak saja. Tapi cewek tadi oke juga, aku suka wanita tegas dan pemberani seperti itu. Hemm …menarik, tapi nanti saja aku cari tau tentang siapa dirinya,” gumam pria berwajah tampan dan eksotis itu sambil melangkah menuju lift.
Saraswati masih mempercepat langkahnya, jantungnya masih saja berdebar akan peristiwa tadi. Benar kata orang bijak, semakin tinggi pohon, maka semakin tinggi pula tiupan angin nya. inilah yang sekarang dihadapinya, posisi sebagai GM membuat dia akhirnya harus mengetahui semua yang dihadapi manajer-manajer yang ada di perusahaan ini.
Menjadi wanita karir dengan prestasi yang membanggakan plus karyawan kesayangan Tuan besar Nugroho — pemilik pabrik Jamu nomor satu di negeri ini, adalah impian dari wanita bergaris wajah tegas itu, hal ini benar-benar menjadikan dia sosok wanita yang memiliki tingkat kedisiplinan yang sangat tinggi.
Ping!
suara notifikasi pesan dari aplikasi hijau yang dicintai semua umat itu baru saja berbunyi. Dengan cepat Saras membuka ponselnya untuk melihat pesan yang baru masuk, ternyata dari nomor yang tidak dikenal, sedikit ragu Saras membuka pesan dari nomor yang tidak terdaftar di phonebook nya.
“Ahhh … pelan sedikit dong Raju, awww sakit! Kamu semakin ganas saja.” Mata Saras membelalak sempurna, dadanya terasa sesak akibat kiriman video pendek dari kamera amatir yang sedang menunjukkan adegan panas antara sang suami dengan wanita yang tidak dikenalnya. Apakah ini nyata? Saat dirinya berjibaku dengan pekerjaan demi keluarga kecil yang sedang dibentuknya tapi sang suami malah sedang bermain gila dengan wanita lain.
Sakit, itulah yang sedang dirasakannya, hatinya begitu hancur melihat adegan singkat barusan. Bagaimana air mata takkan turun membanjiri pipi jika lelaki impian yang sangat dicintai ternyata lebih dulu mengabdikan diri pada lubang wanita lain sebelum dirinya merasakan pusaka sang suami.
“Raju … Kenapa kamu tega melakukan ini semua padaku? Astaghfirullah …,” gumam saras pelan, kakinya terasa lemas, kepalanya mendadak berat dan berdenyut akibat shock setelah melihat sesuatu yang tak seharusnya singgah dalam keluarga yang baru menapak dasar rumah tangga.
Wanita itu tak pernah membayangkan kalau sepagi ini sudah mendapatkan ujian yang bertubi-tubi. Ingin rasanya berlari pulang dan menanyakan ini semua pada lelaki terkasihnya, tapi tidak mungkin dilakukannya sekarang karena baru saja sampai di area kantor.
‘Ya Allah … tolong kuatkan hambaMu ini, aku tak ingin terpuruk dengan video yang belum pasti,’ ucapnya dalam hati berusaha untuk menampik rasa gundah hatinya.
Langkahnya terasa semakin berat, semangatnya menguap hilang entah kemana, air mata yang mulai memenuhi kelopak mata pun dengan sekuat tenaga ditahannya. Dengan langkah cepat wanita itu segera masuk ke dalam ruangannya. Tidak lama kemudian ponselnya kembali berbunyi.
Ping!
Kali ini pesan yang masuk malah dari Raju — suaminya. Rasa malas untuk membuka pesan dari aplikasi berwarna hijau itu datang menyapa, apa lagi untuk membalas sempat menggelayuti hati dan pikirannya. Tapi sebagai seorang perempuan yang masih berstatus jadi istrinya, Saras tidak mau mengabaikan pesan dari suaminya. Dia hanya tak ingin mendapatkan dosa.
[Saras, aku ternyata malah masuk ke dalam daftar PHK, akhir Desember nanti sepertinya diriku akan berhenti kerja di bank ini. Apakah kau bisa memasukkan aku ke perusahaan tempatmu bekerja, Sayang?]
Raju tidak ingin bertele-tele, karena dia sangat paham dengan karakter istrinya yang paling tidak suka berbasa basi.
Saraswati terdiam sejenak membaca pesan dari suaminya padahal baru beberapa saat yang lalu pria itu sedang berada dalam gumulan panas bersama seorang perempuan lain. Dia nggak tau kapan pergumulan itu terjadi sebab sepertinya tidak mungkin Raju mengirimkan pesan setelah mereka saling bertukar peluh.
‘Ya Tuhan … kuatkan aku untuk menghadapi ini semua. Aku tak boleh lemah!’
‘Ya Tuhan … kuatkan aku untuk menghadapi ini semua. Aku tak boleh lemah!’
Jariku akhirnya membalas pesan Raju dengan mata yang berkaca. Hatiku merasa perih dan pilu mengingat kelakuannya yang ada di dalam video. Istri siapa yang tak akan sedih setelah mengetahui pengkhianatan yang dilakukan suaminya.
[Maaf ya, Raju … tapi di sini juga sedang terjadi banyak pengurangan karyawan] balasku singakt.
Bagaimanapun juga aku tidak mungkin melanggar peraturan walaupun sekarang posisiku sudah lumayan tinggi tetapi peraturan diciptakan untuk ditaati bukan untuk dilanggar. Dadaku masih terasa sesak, ingin rasanya menjerit tapi sekarang saatnya untuk bekerja dengan profesional.
[Oh oke lah, nanti kita bahas di rumah ya, kamu jangan terlalu lelah bekerja, see you my love] balas Raju lagi pada room chat kami berdua yang sudah bisa dipastikan entah bagaimana kusut wajahnya sekarang. Raju tidak tahu apa yang sekarang sedang aku rasakan. Dirinya hanya mengetahui apa yang menjadi pikirannya tanpa bertanya apakah aku sedang baik-baik saja atau tidak.
[Hemm] balasku lagi dengan malas.
Diriku sungguh merasa sakit hati dan lara jiwa luar biasa saat ini hingga merasa malas untuk sekedar berkata manis lewat balasan pesan.
Ya Allah sepagi ini sudah begitu banyak masalah yang aku hadapi, ini lagi kabar yang baru saja dikirimkan oleh nomor tak dikenal dan dari suamiku, apa-apaan ini? Harus bagaimana aku hari ini? Rasanya untuk pulang ke rumah jelas nggak mungkin. Tapi tubuh ini terasa kehilangan raga di badan, emosi dan amarah yang kini terus saja menggempur dadaku … seolah jadi satu berselimut dendam.
Kembali tangan rampingku membuka kiriman video panas suami, sekali lagi aku ingin memastikan bahwa pemeran pria yang tampak polos tanpa sehelai benang itu pun, bukanlah suamiku. Dengan mata tak berkedip aku memandangi video itu kembali. Walau belum merasakan indahnya malam pertama, tapi aku sangat hafalbetul dengan wajah dan postur lelaki bernama Raju, dan seluruh ciri-ciri tubuh itu sungguh aku kenal.
Dengan tergesa aku yang sudah di rundung amarah ini keluar dari aplikasi chat warna hijau. Menarik nafas dalam-dalam untuk mengembalikan kewarasanku. Sebagai orang yang berpendidikan dan terhormat, aku tidak ingin membuat diri ini kehilangan kendali dan mempermalukan diri sendiri.
“Aku harus tetap kuat dan tak akan pernah memperlihatkan kelemahanku pada mereka yang siap menertawaiku.” Ku coba menyemangati diri sendiri. Baru saja tubuh ini dihenyakkan pada kursi putar kebesaran yang baru beberapa saat lalu ku duduki sebagai seorang GM, sekretaris ku langsung memberikan schedule yang harus dikerjakan selanjutnya.
“Pagi Bu Saras, maaf Bu, Anda harus segera online di komputer untuk meeting dengan kepala cabang Jogjakarta, karena kantor cabang di Jogja sedang dalam masalah,” ungkap Sari memberitahukanku.
‘Ya Tuhan … ada apa lagi ini? Kenapa masalah belum berhenti menyapaku?’
Duniaku mendadak terasa gelap membayangkan beban perasaan dan beban kerja yang sedang menghimpit jiwa. Dengan cepat kuhidupkan laptop. Sambil menunggu semuanya siap, aku mencoba tegar dan berusaha untuk tampil prima di hadapan orang lain. Aku tak boleh terlihat memiliki masalah, walau badai sedang menerpa. Dengan tatapan mata yang setajam elang, ku coba kembali menatap wajah sang sekretaris yang mulai mengerutkan kedua alisnya.
‘Ada apa dengan bu Saras, wajahnya seperti singa betina yang sedang murka,’ batin Sari merasa bingung.
“Apa agenda saya hari ini?” tanyaku dengan nada yang semakin dingin. Tampak sekali garis rahang yang mengetat entah karena apa, jelas saja sekretarisku belum mengetahuinya.
“Oh ya, Bu Saras, nanti tepat pada jam sembilan kita ada meeting dengan bagian produksi, saya sudah siapkan semua materinya. Terus, setelah jam makan siang ini … Anda disuruh tuan besar untuk menghadap beliau. Tadi sekretaris beliau menelpon saya agar menyampaikan nya dengan segera,” terangnya dengan tetap berdiri di depan meja kerjaku.
“Hemm, lanjutkan!” titahku datar.
“Jam tiga sore nanti Anda juga masih ada meeting dengan bagian marketing dan besok ada jadwal ke Surabaya selama kurang lebih delapan hari, karena kantor cabang di sana mengadakan event promo di pusat kota. Untuk sementara … itu dulu jadwal Anda dalam dua hari ini, Bu,” lanjut Sari menjelaskan dengan beberapa berkas yang terlihat dipegangnya.
Aku menganggukkan kepala setelah menyimak dengan sungguh-sungguh semua jadwal yang disampaikan sekretaris andalanku.
Seperti itulah keseharianku dengan tanggung jawab yang baru, setelah jabatanku naik yang baru satu bulan ini kujabat. Begitu banyak dokumen yang sekarang hampir setiap hari harus kuperiksa, pun dengan pertemuan-pertemuan perusahaan yang harus didatanginya sebagai perwakilan tuan besar Nugroho.
Capek, tentu saja sudah kurasakan melebihi rasa lelah yang sebelumnya menyapa setiap hari, tapi dengan mendapatkan imbalan yang jauh lebih besar sudah pasti membuat semangatku selalu menggelora.
“Oke Sari, terimakasih, dan apa yang kamu bawa itu?” tanyaku, mata ini terus saja mengarah pada tangan Sari yang menggenggam sebuah amplop.
“Maaf, Bu, ini hanya amplop punya pribadi saya,” jawab Sari dengan senyum manis, sepertinya sekretarisku itu hari ini sedang bahagia.
“Ohhh … ya sudah, jika tidak ada keperluan lagi, silahkan kamu kembali bekerja!” titahku kemudian.
Komputerku sudah siap untuk digunakan, memasuki forum meeting jarak jauh bersama beberapa orang rekanku yang berada di Jogjakarta.
“Pagi bu Saras, saya Gading, kepala cabang kantor pemasaran yang ada di Jogja,” sapa Gading yang mengawali rapat, diikuti oleh yang lain.
Terlihat beberapa petinggi perusahaan di sana sudah duduk rapi di depan meja bundar berbentuk oval.
“Selamat pagi semua, salam kenal … saya Saras GM yang baru saja satu bulan ini menggantikan posisi Pak Rendra. Silahkan untuk pemaparannya pak Gading, untuk meeting kali ini saya hanya memiliki waktu maksimal satu jam. Jadi saya harap tidak ada yang bertele-tele dalam penyampaian materi rapat dan pengambilan keputusan untuk masalah yang sedang dihadapi sekarang!” tegasku dengan tetap terlihat lembut namun penuh kharisma.
Begitulah aku dalam keseharian saat bekerja, aku yang sudah terbiasa menjadi wanita mandiri selalu tegas dan tidak suka membuang waktu, serta disiplin nomor satu. Itulah warisan dari didikan kedua orang tuaku.
Hampir satu jam meeting jarak jauh itu berlangsung, beberapa keputusan sudah aku tetapkan. Permasalahan yang terjadi di Jogja akan aku tunjuk orang legal yang akan menyelesaikannya.
Satu agenda selesai, kembali aku memanggil Sari untuk ke ruangan.
“Sari, bisakah tolong diatur sekembalinya dari Surabaya kita mampir ke cabang yang di Jogja, saya akan melihat langsung bagaimana keadaan kantor cabang di sana. Untuk sementara tolong agendakan selama satu hari,” perintahku yang langsung di turuti oleh Sari sang sekretaris.
Ya sari memang tidak memiliki pilihan lain selain menuruti perintahku. Aku tidak lupa memberikan senyum penuh wibawa kepada sekretaris yang selalu sabar mengatur seluruh jadwal dan kebutuhan dokumen-dokumen yang harus aku periksa atau ditandatangani.
“Baik, Bu. Oh iya, Ibu jangan lupa untuk menemui tuan besar Nugroho nanti,” ujar Sari mengingatkan.
Aku pun tepuk jidat karena pikiran memang melayang entah kemana sejak melihat video sang suami bersama wanita lain tadi.
“Tenang aja … aku nggak bakalan lupa kok,” jawabku cepat. Sari pun akhirnya berlalu.
“Astaghfirullah … kuatkan hamba ….” Aku hanya mampu bergumam sendiri membayangkan apa yang bakal terjadi dalam rumah tanggaku yang masih seumur jagung ini, bahkan diri ini belum sempat merasakan manisnya malam pertama.
“Tapi ya sudah lah, jika memang Raju berkhianat sebelum menyentuhku … berarti Tuhan sengaja menunjukkan siapa Raju sesungguhnya agar diriku tetap suci dan menjaga diri sebelum bertemu dengan calon suami pengganti!” monologku bicara sendiri karena aku tak ingin menjadi wanita lemah yang takut dicerai suami.
Waktu berlalu, rapat yang melelahkan pun sudah selesai, rasanya kepalaku sangat penat. Air mineral yang ada di gelas pun habis sudah ku minum tanpa sisa. Sesaat mataku melirik pada jam besar yang ada di dinding ruangan, ternyata tanpa terasa sebentar lagi waktu makan siang pun akan tiba.
“Ada apa tuan besar memanggilku siang-siang begini, ya? Mana besok masih harus ke Surabaya pula. Belum lagi kalau sudah sampai ketemu sama Tuan Nugroho waktunya tak pernah sebentar, huufff sabar Saras, sabar … ini semua demi masa depanku dan keluarga kecilku nanti,” gerutuku berusaha menyemangati diri sendiri.
Tuan besar Nugroho sebenarnya sosok laki-laki yang ramah dan sangat kebapakkan, tidak sombong dan selalu royal kepada karyawan yang berprestasi. Aku sendiri sudah merasakannya.
Kebiasaan sang tuan besar yang sangat membuat ku agak malas jika bertemu, beliau itu terlalu hobby bercerita nostalgia cerita yang itu-itu saja. Seringkali beliau memujiku sebagai wanita cantik dan cerdas, hal itu membuatku menjadi kesayangannya. Kali ini aku pun terpaksa akan menjadi pendengar yang baik lagi walau sebenarnya sedikit bosan karena cerita yang bakal didengar sudah pasti cerita lama dan sudah basi.
Krriiiiiiing!
Bel makan siang menggema se-seantero perusahaan yang tergabung di satu area bagian perkantoran dan pabrik. Area yang sangat luas, seluas mata memandang dan tampak megah dengan papan nama besar di depan pagarnya yang bertuliskan, ‘JAMU JITOE’.
Tidak butuh waktu lama, semua karyawan saling berhamburan menuju kantin. Saat itulah mereka manfaatkan waktu untuk makan dan beristirahat. Bahkan di saat yang bersamaan ada yang melaksanakan sholat atau sekedar rebahan di mushola serta aula untuk melepas lelah kerja.
Ribuan karyawan mulai dari level atas, menengah dan bawah terlihat memenuhi ruang kantin perusahaan jamu yang juga terlihat begitu luas. Di sana sesama karyawan akan terlihat makan bersama, bersenda gurau dan saling melepas kejenuhan karena sehari-harinya mereka akan menghadapi pekerjaan yang sama setiap hari.
Terkadang senda gurau mereka menyerempet hingga sampai ke pembahasan seputar rumah tangga. Hal itu sengaja mereka lakukan untuk sekedar saling berbagi untuk mencari solusi sesama teman.
“Oh ya Sari kita makannya agak cepetan dikit, ya! Saya tidak mau terlambat menghadap tuan besar. Kamu tahu sendiri kan bagaimana disiplinnya Tuan Nugroho? Saya tidak ingin mengecewakannya, apalagi nanti kehadiran kita bisa saja disangkutpautkan dengan kedisiplinan kerja,” ujar ku tanpa menoleh.
Seperti biasa, sejak aku menduduki jabatan GM, aku tidak pernah jauh dari Sari yang selalu bagai perangko pada amplop putih. Semua kebutuhanku selalu disediakan Sari sejak diriku menjadi seorang General Manager, termasuk kemana pun pergi Sari akan selalu mendampingiku. Akibat kegiatan yang selalu membuat kami berdua berhubungan setiap saat, maka akhirnya kami pun semakin akrab, saat di luar kantor kami pun sudah menjadi sahabat yang terkadang saling curhat tentang berbagai masalah.
“Tenang aja, Bu … saya kalau makan bisa seperti kencangnya kereta api hehehe. Eh, ngomong-ngomong itu kok tumben banget ya … tuan besar pake manggil Ibu segala? Bukankah biasanya kalau beliau ada perlu, kita akan disuruh langsung datang ke rumahnya? Lalu kenapa sekarang saat jam kerja Anda malah disuruh untuk menghadap beliau, Ibu ngerasa ada yang aneh gak sih?” selidik sari yang lebih mengarah karena merasa penasaran.
“Ehem permisi, boleh saya bergabung di meja Anda?” sapa pria tampan yang wajahnya membuat aku menatapnya untuk beberapa detik. Aku sama sekali tidak mengenalnya tapi ini sudah kedua kalinya pria itu memperlihatkan ketampanan di hadapanku.
“Maaf nona-nona, apakah kalian mau aku berdiri saja makan dan menghadapi tatapan mata kalian?” Kembali pria tampan nan rupawan itu bersuara yang langsung membuatku malu seketika karena sedikit terpana hingga lupa menjawab pertanyaannya.
“Oh ya-ya, silahkan Tuan, eh Mas, duduklah dan selamat makan,” jawab Sari dengan kecentilan dan itu membuatku gemas melihatnya.
Sementara aku hanya diam saja dan mengangguk kecil, karena Sari sudah mewakiliku untuk menjawab pertanyaannya.
“Terimakasih Nona cantik, ayo-ayo dimakan. Santai saja … aku tidak akan mengambil jatah makan kalian berdua,” lanjutnya santai tanpa dosa.
Sumpah demi apa, aku melihat sosok pemuda di usia dewasa tapi kelakuannya persis ABG yang lagi makan di kantin sekolah. Benar-benar menyebalkan dan sok cari perhatian!
“Apa Anda tidak ingin mentraktir saya yang sudah membantu tadi pagi dengan tulus, hmm?” tanya pria misterius yang akhirnya semakin membuatku ingin cepat pergi saja dari kantin.
Kedatangannya membuat moodku malah menjadi semakin buruk saja, kenapa hari ini terlalu banyak yang membuatku kesal.
“Maaf, jika Anda memang menginginkan saya traktir, silakan makan sepuasnya dan nanti akan saya bayar,” jawabku dengan tetap mempercepat makan siang dengan kehilangan selera.
Sesekali aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan agar tidak menyia-nyiakan waktu dengan bertele-tele tak jelas bersama orang yang juga tak jelas.
“Kenalkan, namaku Ram,” ucapnya tanpa kuminta.
Bahkan senyum manis menghiasi bibirnya seiring tangan kekar yang berbulu halus itu terulur. Aku tidak tau apakah dia karyawan baru atau bagaimana, aku juga tidak mau pusing memikirkannya. Masalahku saja sudah berjibun kenapa ada satu lagi kutu kupret yang mengganggu. Ya sudahlah, semoga perkenalan ini membuat dia senang.
“Saraswati,” jawabku singkat, senyum ku tetap tampak manis tentunya walau hanya terpaksa.
Sari yang melihat kami saling berjabat tangan pun tidak mau tinggal diam, sekretaris ku itu langsung saja ikut menyodorkan tangannya.
“Hai tampan … kenalkan, namaku Sari.” Dengan tanpa malu sekretarisku itu mengulurkan tangannya.
Sekilas aku melirik dengan tatapan peringatan ke arah Sari, hal itu hanya dijawab dengan cengengesan saja olehnya.
“Ram,” sahut pria itu dengan senyum manis yang begitu mempesona sembari mengulurkan tangannya ke arah Sari.
“Well terima kasih traktirannya nona Saraswati, saya tidak keberatan untuk selalu membela anda di hari-hari besoknya, lumayan saya bisa dapat gratis makan siang setiap hari, lebih hemat kan?” tuturnya tanpa tahu malu.
Sungguh makan siang ini membuat ku semakin kehilangan selera. ‘Tapi tunggu, bukannya perusahaan sedang mengadakan perampingan ya? Tapi kok ini ada karyawan baru?’ pikirku hanya bisa menggerutu yang berujung pertanyaan di dalam benakku, dan entah siapa yang akan bisa menjawabnya.
Melihat kemejanya yang tidak menggunakan seragam, bisa jadi dia masih training, jadi masih dibolehkan menggunakan kemeja bebas. Namun, seluruh pakaian yang dikenakannya terlihat serba malah. Apa dia salah seorang keluarga tuan Nugroho? Sepertinya itu tidak mungkin, karena tuan Nugroho belum mengatakan apa pun padaku.
Perusahaan ku memberikan jatah makan siang dengan sistem bayar menggunakan kartu, jika kami ingin makan lebih dari jatah yang sudah ditentukan maka akan dipotong gaji.
“Maaf ya, Mas Ram, kami balik duluan. Silahkan Anda menikmati makan siang dengan tenang, tenang saja biar saya nanti yang akan membayarnya,” pamitku memang tidak bisa berbasa basi seperti Sari, jadi aku mengatakan seperti apa yang diperintahkan oleh otakku.
“Daa mas Ram, selamat makan siang ya, Sari tinggal dulu mendampingi ibu negara,” celetuk sekretarisku sedikit genit, ingin sekali rasanya ku jewer kupingnya yang tanpa tau malu menggoda orang tak dikenal.
Sari melambaikan tangan dengan senyum terbaiknya untuk makhluk tampan yang juga tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya. Sungguh aku rasanya ingin sekali menarik paksa telinga sekretaris ku yang hiperaktif jika bertemu cowok tampan. Langkahku berhenti di meja kasir untuk scan kartu makan karena ada tambahan satu porsi untuk si tampan misterius.
“Bu Saras tumben banget makannya sampe dua porsi?” tanya mbak yang bertugas di meja kasir. Dia terlihat heran karena biasanya aku hanya makan satu porsi pun terkadang tidak habis.
“Yang satu porsi untuk tamu saya yang ada di meja itu, Mbak,” jawabku dengan ramah, sambil mengarahkan telunjuk ini ke meja yang tadi aku tempati, masih ada Ram di meja itu sedang menikmati makan siangnya.
“Tamu? Masa iya sih, Mbak? Bukannya dia itu cucunya ….”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!