NovelToon NovelToon

Pesona Mas Jaka

Tamu untuk Dara

Assalamu'alaikum, Bestie ...

Ketemu lagi kita di cerita yang berbeda 😉

Moga kalian syuka ya, sama kisah pemuda desa sang penggembala ...

Happy reading 😍

🌹🌹🌹

Perdebatan kecil di rumah berbentuk joglo khas daerah Jawa milik Kepala Desa itupun terus berlanjut. Sang ayah yang merupakan tokoh penting nomor satu di desa tersebut, terdengar ngotot dengan pendiriannya.

Orang tua itu tidak menyetujui keinginan sang putri yang menjalin hubungan dengan pemuda yang berasal dari keluarga sederhana, seorang pemuda biasa pilihan anak gadis Pak Kades, seperti Jaka.

Sementara sang putri terus merajuk dengan berlinang air mata. Berharap, sang ayah luluh dengan air matanya.

"Kamu ini calon dokter lho, Nduk. Mosok, seneng karo cah angon wedus!" ejek sang ayah

"Mas Jaka memang penggembala domba, Ayah, tapi Dara mencintainya," rajuk Dara dengan bulir bening yang terus berjatuhan, membasahi pipi putih gadis ayu tersebut.

"Tidak, Dara! Kamu nanti harus menikah dengan Bambang anaknya Carik Margono, dia baru saja diangkat jadi PNS dan lebih pantas untukmu!" seru Pak Kades.

"Dara tidak mau dijodohkan dengan Mas Bambang, Ayah. Dia itu playboy cap kadal, ceweknya ada di mana-mana!" tolak Dara masih dengan terisak.

"Itu hanya rumor yang sengaja disebarkan oleh orang-orang yang anak gadisnya di tolak sama Bambang, Dara. Bambang itu anak yang baik, ayah tahu betul masa kecil Bambang," bela sang ayah.

"Pokoknya Dara ndak mau, Ayah. Kalau Ayah tidak mengijinkan Dara menjalin hubungan dengan Mas Jaka, lebih baik Dara tidak menikah selamanya!" ancam Dara. Gadis bermata bulat dengan bulu mata lentik itu langsung berlari, masuk ke dalam kamar.

Pak Kades hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi sikap keras kepala sang putri, yang dirasa sangat mirip dengan dirinya.

"Sudah tho, Pak. Mbok ya jangan keras-keras sama anak kita," bujuk sang istri yang menghampiri Pak Kades, sambil membawakan secangkir kopi hitam pahit kegemaran suaminya.

"Sebenarnya, ibu tidak masalah lho, Pak, jika anak kita itu menjalin hubungan sama anaknya Pak Karyo," ujar Bu Rosma, istri Pak Kades, setelah wanita anggun itu duduk di samping sang suami yang menekuk wajah menahan amarah.

"Setahu ibu, selain baik dan rajin, Jaka itu anaknya juga pintar. Setelah lulus sekolah bareng Dara kemarin, dia melanjutkan belajar di Pondok Pesantren di Jawa Timur," lanjut Bu Rosma.

"Dia itu santri, Pak. Jaman sekarang, susah lho cari pemuda yang benar-benar mau belajar ilmu agama dengan baik seperti Jaka," imbuhnya, memuji Jaka.

"Bu, Pak Karyo itu hanya buruh tani dan istrinya juga hanya tukang urut! Lha, mosok kita mau besanan sama orang macam mereka tho, Bu!" ketus Pak Kades, yang merendahkan pekerjaan kedua orang tua Jaka.

"Sak pinter-pintere santri, 'kan yo luwih pinter mahasiswa tho, Bu?" tanya Pak Kades, meremehkan predikat seorang santri.

Bu Rosma hanya bisa menghela napas panjang. Suaminya itu memang memiliki watak yang keras dan hal itu menurun pada Dara, putri tunggalnya.

'Ayah dan anak, sama saja! Dua-duanya, sama-sama keras kepala!' gerutu Bu Rosma dalam hati.

"Pokoknya, Ibu harus membujuk Dara agar mau menikah dengan Bambang! Masa depan mereka nanti, pasti cerah Bu. Orang tua Bambang kaya raya dan Bambang sendiri, sekarang sudah menjadi PNS di kecamatan," titah Pak Kades pada sang istri.

"Maaf, Pak. Selama ini, Bapak ndak pernah melibatkan ibu dalam mengambil setiap keputusan. Dan untuk masalah Dara jika Bapak tetap ingin menjodohkan anak kita itu dengan Bambang, silahkan Bapak sendiri yang bujuk Dara. Ibu tidak mau ikut-ikutan," tolak Bu Rosma yang langsung beranjak.

Wanita berusia sekitar empat puluh lima tahunan yang terlihat awet muda itu, meninggalkan sang suami yang melongo karena keberaniannya menolak perintah sang suami.

Bu Rosma lelah karena selama ini hanya bisa diam dan menurut pada perintah suaminya, laki-laki paruh baya yang terkenal galak dan keras kepala tersebut.

Jika Bu Rosma tidak bisa membantu sang putri, untuk mendapatkan pemuda yang dicintai Dara. Maka, Bu Rosma pun bertekad, akan menolak keinginan sang suami yang memintanya untuk membujuk sang putri agar mau menerima perjodohan yang hanya didasarkan pada harta semata itu.

'Sejak kapan, Rosma berani menolak perintahku?' batin Pak Kades bertanya-tanya, kening pria bertubuh tambun itu mengkerut dalam.

☕☕☕

Sementara di dalam kamar Dara, gadis berhidung bangir itu menangis menumpahkan segala kekesalan dan kekecewaannya terhadap sikap sang ayah.

'Kenapa ayah selalu menilai seseorang dari tampilan luarnya, sih? Tidakkah ayah bisa melihat, bagaimana sikap keseharian Mas Jaka yang santun?' tanya Dara pada dirinya sendiri, dia benar-benar tidak tahu jalan pikiran sang ayah.

Gadis bertubuh mungil yang tingginya hanya sebatas dada Jaka itu menatap keluar jendela kamar, pandangannya menerawang jauh. Hati Dara menjadi resah dan gundah karena perdebatan kecilnya dengan sang ayah barusan.

Sang ayah, bukan hanya tidak merestui hubungan Dara dengan Jaka, tetapi juga merendahkan pemuda yang dicintainya itu dengan mengatai Jaka sebagai penggembala domba.

'Apa salahnya jika Mas Jaka membantu orang tuanya menggembalakan domba? Kenapa dia harus direndahkan hanya karena melakukan pekerjaan itu?' Dara bermonolog dalam diam.

Ingatan Dara tiba-tiba tertuju pada masa dua tahun silam, kala Dara dan Jaka masih sama-sama duduk di bangku sekolah, menjelang ujian akhir.

Jaka memang pemuda yang rajin dan selalu membantu kedua orang tuanya. Jika libur sekolah, Jaka tidak malu untuk menggantikan sang ayah menggembalakan domba milik keluarganya.

"Neng Dara memangnya tidak malu, jalan bareng sama saya?" tanya Jaka di suatu sore ketika Dara sengaja menemui pemuda yang bertubuh jangkung itu di sebuah tanah lapang, yang banyak ditumbuhi rumput hijau.

Rupanya, gadis berhijab putri Pak Kades itu baru saja mengungkapkan isi hatinya pada Jaka.

Terlihat, domba-domba milik Jaka yang dibiarkan berkeliaran di tanah lapang tersebut, memakan rumput yang tumbuh subur dengan sangat lahap.

Dara menggeleng, seraya tersenyum manis. "Kenapa Dara mesti malu, Mas?" tanya Dara balik, yang langsung memanggil Jaka dengan sebutan mas setelah berhasil mengungkapkan isi hatinya.

"Mas Jaka 'kan pemuda yang baik, kecuali jika Mas Jaka itu pemuda berandalan maka Dara akan malu jalan sama Mas Jaka," terang Dara yang memuji Jaka.

Jaka tersenyum miris. "Tapi saya 'kan dari keluarga yang sederhana, Neng. Orang tua Neng Dara pasti tidak akan merestui jika saya menjalin hubungan dengan Neng Dara," ujar Jaka yang merasa minder karena Dara adalah putri tunggal Pak Kades.

Dara menggeleng. "Dara akan memperjuangkan Mas Jaka," ucap Dara sungguh-sungguh, seraya menatap pemuda berlesung pipi tersebut dengan dalam.

"Asal, Mas Jaka juga mau memperjuangkan masa depan untuk kita berdua," imbuhnya, penuh harap.

Jaka mengangguk pasti. "Mas akan usahakan, Neng," balas Jaka yang memanggil dirinya dengan sebutan mas, setelah dia yakin dengan perasaan Dara.

Jaka kemudian menggenggam tangan Dara, gadis ayu yang sudah lama disukainya dalam diam itu seraya tersenyum manis. Membuat hati Dara menjadi berbunga-bunga.

Suara ketukan pintu dari luar kamarnya, mengurai lamunan Dara.

"Dara, Nduk. Buka pintunya!" Suara bariton sang ayah terdengar jelas masuk ke dalam kamar Dara, melalui celah-celah pintu kayu jati.

"Di luar ada tamu yang mencarimu, Dara. Segeralah keluar!" titah sang ayah, yang membuat Dara mengerutkan kening.

"Tamu untuk Dara, siapa?"

🌹🌹🌹 bersambung ....

Note : Jangan lupa tinggalkan jejak kalian 🥰

Bintang⭐ lima dan ulasan, jempol dan komentar, plus hadiah tentunya (mode malak, lagi kambuh, Best ... 😄🤭)

Dara Tidak Mau, Ayah!

"Di luar ada tamu yang mencarimu, Dara. Segeralah keluar!" titah sang ayah, yang membuat Dara mengerutkan kening.

"Tamu untuk Dara, siapa?" Dara segera beranjak, memakai hijabnya dengan asal dan kemudian melangkahkan kaki keluar dari kamar menuju meja makan.

"Bu, kata ayah ada tamu, siapa?" tanya Dara menghampiri sang ibu yang sedang membuatkan minuman untuk kedua tamunya.

"Biasa, Nduk. Pak Carik sama anaknya," balas Bu Rosma yang nampak tidak suka.

"Biar Dara yang melanjutkan membuat minuman, ibu temani ayah saja," pinta Dara dengan sopan.

Bu Rosma beringsut, memberikan ruang kepada putrinya untuk melanjutkan menyeduh teh panas untuk tamu.

"Ibu keluar dulu ya, nduk," ujar Bu Rosma sambil menepuk pelan punggung sang putri.

Dara hanya mengangguk, sambil terus menyeduh agar air panas yang telah dicampur dengan daun teh dan gula itu larut sempurna dan menghasilkan cita rasa yang istimewa. Cita rasa pahitnya teh dan manisnya gula, dengan aroma wangi dari bunga Melati yang menggugah selera.

Dara kemudian membawa minuman tersebut ke ruang tamu, dimana Pak Carik Margono dan putranya, Bambang, nampak tengah asyik ngobrol dengan sang ayah. Sementara Bu Rosma, hanya diam saja menyimak obrolan mereka bertiga.

"Wah ... lha ini, bidadarinya sudah keluar," tutur Pak Carik dengan tersenyum lebar, menampakkan deretan giginya yang sedikit menghitam karena nikotin yang dihisapnya setia saat.

Ya, Pak Carik termasuk salah satu laki-laki ahli hisap rokok. Dalam satu hari, orang tua itu bisa menghabiskan sekitar dua bungkus rokok filter yang bungkusnya berwarna merah, rokok yang kepanjangannya sering diplesetkan menjadi 'djarang di rumah suka pergi'.

Dara mengangguk dan tersenyum ramah, gadis berhijab itu kemudian menyimpan teh di hadapan kedua tamu dan juga sang ayah.

Sementara itu, Bambang terus menatap Dara dengan tatapan lapar. Pemuda itu memindai tubuh Dara dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, meski semua tertutup oleh pakaian panjang yang dikenakan putri Pak Kades tersebut.

"Monggo, dipun unjuk tehnya, Pak Carik, Mas Bambang." Suara lembut Bu Rosma, mengurai tatapan nyalang Bambang pada Dara.

"Iya, Bu. Terimakasih," balas Pak Carik, seraya mengambil cangkir yang berada di hadapannya yang diikuti oleh Bambang.

"Nduk, duduklah di sini," titah Pak Kades pada sang putri, seraya menepuk bangku kosong di sampingnya.

Dara menatap sang ibu, meminta persetujuan. Bu Rosma mengangguk pelan.

Dara kemudian duduk, tetapi gadis berwajah bulat dengan pipi sedikit gembil dan terlihat menggemaskan itu memilih untuk duduk di samping sang ibu.

Ibu, wanita anggun yang tutur katanya lembut dan selalu bisa membuat hati Dara tenang dan nyaman. Tidak seperti sang ayah, yang cenderung otoriter dan keras kepala tak mau mengalah.

"Jadi, gini Dik Gondo." Pak Carik yang usianya lebih tua dari Pak Kades itu mulai membuka suara.

"Kedatanganku dan juga putraku kemari itu, untuk menagih janji yang dulu pernah Dik Gondo ucapkan untuk menikahkan Dara dengan Bambang," tutur Pak Carik.

Bu Rosma menajamkan pendengarannya, dia tatap wajah sang suami dengan penuh tanya. Begitu pun dengan Dara, putri Pak Kades itu menatap sang ayah dengan tatapan menuntut jawab.

"Pak, apa maksud Pak Carik?" bisik Bu Rosma bertanya.

Pak Kades hanya tersenyum.

"Apa, Dik Gondo tidak menceritakan ini semua pada Dik Rosma dan Dara?" tanya Pak Carik dengan penuh selidik.

"Belum Mas Carik, saya hanya bilang pada Dara bahwa nanti dia harus menikah sama Bambang," balas Pak Kades dengan begitu santai dan tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Ayah, janji apa yang telah Ayah buat? Kenapa Ayah harus berjanji segala?" cecar Dara dengan menahan emosi yang menyesakkan dada.

Pak Kades terdiam, dia tatap putrinya dengan nanar. Ada sedikit penyesalan menyelimuti hati orang tua yang perutnya membuncit itu, tetapi keangkuhan menutupi dan mengalahkan rasa penyesalannya.

Hening, sejenak menyapa ruang tamu tersebut.

"Empat tahun lalu, ketika pencalonan Kepala Desa, suamimu meminta bantuanku, Dik Rosma. Jika dia berhasil menjadi Kepala Desa maka dia akan menyerahkan putri kalian untuk dinikahkan dengan Bambang," tutur Pak Carik mengurai keheningan, setelah cukup lama menanti namun Pak Kades tidak juga membuka suara.

"Dan sekarang, aku datang untuk menagih janji itu karena anakku, Bambang, sudah punya pekerjaan tetap," imbuh Pak Carik.

"Pak ...," suara Bu Rosma tercekat di tenggorokan.

Sementara Dara menatap sang ayah dengan tatapan marah, bibirnya bergetar menahan isak. Dara tak menyangka, sang ayah tega menggadaikan dirinya hanya demi sebuah jabatan.

Melihat suasana yang kurang menyenangkan itu, Pak Carik Margono pun pamit undur diri.

"Dik Gondo, silahkan kamu bicarakan dulu dengan istri dan anakmu. Aku tunggu kabar darimu secepatnya karena Bambang ingin segera menikah," pamit Pak Carik seraya beranjak, yang diikuti oleh Bambang.

"Dik Dara, aku janji akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia di kampung kita. Aku sudah memiliki segalanya, Dik. Pekerjaan tetap, rumah dan juga mobil," ucap Bambang dengan begitu pongahnya, seraya menatap Dara dengan senyuman yang sulit diartikan.

Dara tak menanggapi, gadis berbibir tipis itu hanya tersenyum masam.

"Iya, Mas. Sesuai permintaan Mas Carik, saya akan pastikan bahwa panen ini anak-anak kita akan menikah," balas Pak Kades seraya beranjak untuk menyalami tamunya, yang hendak pulang.

"Ayo, Mbang! Kita pulang sekarang," ajak Pak Carik pada putranya.

Kedua orang ayah dan anak itu segera berlalu, meninggalkan kediaman Pak Kades.

"Ayah, apa maksud Ayah?" tanya Dara dengan air mata yang tak dapat lagi terbendung.

"Dara, Ayah lakukan ini demi kebaikan kamu, Nak," ujar Pak Kades dengan suara pelan.

"Kebaikan Dara? Kebaikan yang mana, Ayah?" tanya Dara penuh emosi, dia menangis sesenggukan.

Bukan hanya bayangan Jaka yang melintas di benak Dara, namun juga jubah putih yang akan dia kenakan ketika Dara membuka praktek dokter nanti. Akankah semua itu hanya bayangan semu yang tak dapat dia raih?

"Sudah, Dara. Kamu ini sudah dewasa, jangan apa-apa kamu sikapi dengan menangis!" hardik Pak Kades.

Dara semakin terisak, sementara sang ayah nampak begitu santai menghadapi kekalutan putrinya.

"Pak, bagaimana bapak bisa sesantai ini menghadapi masalah besar tentang masa depan anak kita?" tanya Bu Rosma menatap sang suami dengan tatapan tak mengerti.

"Bu, ini bukan masalah besar, Bu. Bapak menjodohkan Dara dengan Bambang itu bukan tanpa alasan, tetapi karena bapak tahu kalau Bambang itu pasti bisa menjamin kebahagiaan anak kita," balas Pak Kades dengan sangat yakin.

"Bambang memiliki segalanya, dia juga berjanji akan tetap mengijinkan Dara untuk melanjutkan kuliahnya di kedokteran dan membiayai Dara, Bu," lanjut Pak Kades seraya tersenyum.

Pak Kades merasa bangga jika putri semata wayangnya bisa menikah dengan Bambang, anak orang terkaya di desanya

"Dara tidak mau, Ayah!" tegas Dara sambil menyeka air mata dengan kasar. Gadis itu kemudian bangkit dan bersimpuh di kaki sang ayah.

Melihat sang putri bersimpuh di kaki sang ayah, Bu Rosma nampak ikut berlinang air mata. Wanita anggun itu merasa gagal menjadi seorang ibu karena tidak bisa membela Dara dan memberikan kebahagiaan untuk putri semata wayangnya tersebut.

"Tak mengapa jika Dara tidak bisa melanjutkan kuliah Dara karena Ayah harus mengembalikan hutang pada Pak Carik, asalkan Dara tidak menikah dengan Mas Bambang, Ayah," mohon Dara yang terdengar memilukan.

Pak Kades menggeleng ....

🌹🌹🌹 bersambung

Noted ; Ketentuan gift kali ini _ masih sama kayak yang novel Bang Mirza, ya...

Diberikan kepada pendukung yang mendapatkan predikat fans yang menduduki ranking 1, 2 dan 3 saja &

Dua orang pembaca, yang aktif memberikan komentar positif mulai bab.1 sampai End, tanpa bolong &

Masing-masing wajib memberikan ulasan bintang⭐⭐⭐⭐⭐ (5)

Keputusan othor tidak dapat diganggu gugat 😄

Pondasi Cinta untuk Dara

"Tak mengapa jika Dara tidak bisa melanjutkan kuliah Dara karena Ayah harus mengembalikan hutang pada Pak Carik, asalkan Dara tidak menikah dengan Mas Bambang, Ayah," mohon Dara yang terdengar memilukan.

Pak Kades menggeleng. "Janji seorang laki-laki sejati harus ditepati, Dara. Dan ayah sudah berjanji sama Pak Carik untuk menikahkan kamu dengan putra bungsunya," tegas Pak Kades.

Dara beringsut, gadis mungil itu segera beranjak dan kemudian berlari masuk ke dalam menuju kamarnya tanpa kata.

"Tega kamu, Pak! Selama ini, ibu hanya diam saja dengan sikap Bapak yang arogan dan semena-mena terhadap ibu! Tetapi jika itu menyangkut tentang anak kita, Dara, ibu tidak akan tinggal diam!" seru Bu Rosma yang langsung beranjak, wanita anggun itu hendak mengejar sang putri.

Pak Kades menghela napas panjang. "Silahkan, bu, jika kamu punya nyali untuk mengadu dan meminta bantuan pada orang tuamu!" olok Pak Kades yang masih dapat didengar oleh istrinya.

Pak Kades tersenyum seringai. "Kamu bahkan sudah dibuang oleh keluargamu, bu," gumam Pak Kades.

Sementara Bu Rosma sejenak menghentikan langkah, mendengar perkataan sang suami membuat Bu Rosma sedikit ragu. Namun, demi melihat kebahagiaan putri semata wayangnya, Bu Rosma kembali membulatkan tekad.

Istri Pak Kades itu kembali melanjutkan langkah, untuk menyusul putrinya.

Setibanya di depan kamar Dara yang tertutup rapat, Bu Rosma mengetuk pintu dengan pelan. "Nduk, ini ibu. Apa ibu boleh masuk?" ijin Bu Rosma dengan sedikit berteriak agar Dara mendengar.

Tak lama kemudian Dara membukakan pintu untuk sang ibu. "Masuklah, Bu," ucap Dara yang kini sudah tak lagi menangis, namun mata bulat Dara masih terlihat sembab.

Bu Rosma mengekor langkah Dara, mereka berdua kemudian duduk di tepi tempat tidur.

"Jangan bersedih, Nduk. Ibu akan meminta bantuan eyangmu, agar kamu bisa lepas dari masalah ini," hibur Bu Rosma pada putri semata wayangnya, putri yang menjadi tumpuan segala harapannya kelak.

Dara menatap sang ibu dengan ragu. "Bukankah eyang tidak pernah suka sama ibu?" tanya Dara sambil menggenggam tangan sang ibu. Gadis itu tahu betul, betapa sang ibu sangat tersiksa jika berada diantara keluarga besarnya.

Bu Rosma menggeleng. "Tidak ada orang tua yang benar-benar membenci anaknya, Dara. Kalau pun eyang menunjukkan sikap tidak suka sama ibu, itu karena eyang memiliki alasan," balas Bu Rosma yang belum bisa menceritakan tentang masa lalunya pada Dara, wajah anggun itu tiba-tiba terlihat begitu sendu.

Tersirat sebuah penyesalan di netra hitam Bu Rosma, penyesalan tentang masa lalu yang tidak dia inginkan terulang pada putri tunggalnya yaitu menikah dengan laki-laki yang salah.

"Ibu yakin, akan meminta bantuan pada eyang?" tanya Dara yang mulai timbul harapan.

Bu Rosma mengangguk. "Besok, kita berangkat ke kota sama-sama, sekalian kamu kembali ke kost-an," pungkas Bu Rosma yang kemudian beranjak dan meninggalkan kamar sang putri.

Dara termenung dan masih duduk di tempat yang sama. Ingatannya tertuju pada pemuda kalem yang hanya berani melemparkan senyuman pada Dara kala di sekolah.

Dara yang merupakan bintang di sekolah karena selain cantik dia juga pandai, disukai oleh banyak teman laki-laki di sekolahnya. Tetapi entah mengapa, Dara tidak pernah menanggapi setiap cowok yang berusaha mendekat. Dara justru tertarik dengan Jaka yang sederhana.

Jaka yang setiap berbicara selalu apa adanya dan tidak munafik, seperti kebanyakan teman-teman Dara. Jaka yang tak banyak bicara, tetapi jika berbicara selalu terdengar kocak dan membuat lawan bicaranya tersenyum bahagia.

Namun, jika berbicara dengan Dara, Jaka tidak pernah berbicara yang nyleneh. Pemuda itu selalu menjaga ucapannya.

"Jaka, boleh pinjam catatan Biologi kamu, enggak?" pinta Dara yang mulai mendekati Jaka. 'Punyaku kurang lengkap, soalnya tadi Bu Uci cepet banget menjelaskannya," lanjut Dara beralasan.

Padahal semua orang tahu bahwa Dara adalah siswi yang pandai, yang tak mungkin keteteran mendengarkan penjelasan dari guru.

Jaka tersenyum. "Boleh, buat kamu aja juga enggak apa-apa," balas Jaka dengan tulus, seraya menyodorkan buku tulis yang hendak ia masukkan ke dalam tas yang telah usang.

Netra bulat Dara berbinar terang. "Sungguh?"

Jaka mengangguk. 'Bukan hanya buku itu yang akan aku berikan Dara, jika kamu meminta jantung hatiku pun, aku akan berikan.' Sayangnya, Jaka hanya berani berkata demikian dalam hati saja, sebab dia sadar darimana dirinya berasal.

"Makasih ya, Jaka. Aku seneng banget, punya teman seperti kamu," ucap Dara, yang membuat Jaka tersenyum lebar hingga lesung pipi pemuda berkulit sawo matang itu terlihat jelas.

"Ih ... pipimu itu menggemaskan, deh, Jaka," goda Dara, yang bermaksud memberikan signal cinta di hatinya.

Jaka semakin tersenyum lebar. 'Andai kamu tahu perasaanku, Dara. Aku pun ingin memiliki keberanian untuk mengungkapkan rasa ini, tapi aku harus rela menunggu hingga saat itu tiba. Saat dimana orang lain tak lagi memandangku sebelah mata,' bisik Jaka dalam hati.

'Ayo, Jaka! Ungkapkan perasaanmu, jangan buat aku menunggu!' gemas Dara yang sebenarnya bisa merasakan bahwa Jaka juga menyukainya.

'Masak harus aku duluan, sih, yang nembak kamu!' protes Dara, tetapi dia hanya bisa menyimpan kekecewaannya itu dalam hati.

Dara bisa mengerti, kenapa Jaka seolah menjaga jarak dengan dirinya. Mungkin, Jaka merasa tidak percaya diri dengan keadaan mereka berdua yang jauh berbeda. Padahal, Dara tak pernah memandang Jaka dari kulit luarnya.

Hingga dua tahun lamanya, Dara menanti, tetapi pemuda yang dicintainya itu tak kunjung mengungkapkan perasaannya.

Jaka hanya menunjukkan perasaannya pada Dara, melalui perhatian-perhatian kecil dengan membantu Dara mengerjakan tugas karena Jaka memang lebih cerdas dari dirinya.

Lamunan Dara buyar kala terdengar ada notifikasi masuk di ponselnya yang tergeletak di atas meja rias. Dara beranjak dan mengambil ponsel tersebut.

Dara kembali duduk di atas tempat tidur dan menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Dia buka ponselnya, wajah yang tadinya sendu kini tersenyum lebar.

"Mas Jaka," gumamnya.

Dara segera membaca pesan dari sang kekasih hati. "Assalamu'alaikum, Cah Ayu. Sudah sholat dhuhur, belum?" tanya Jaka penuh perhatian.

"Sudah dong, Mas. Masak jam segini belum sholat dhuhur?" balas Dara yang balik bertanya.

"Cakep, benar-benar calon istri sholehah," balas Jaka, yang membuat Dara tersenyum getir.

Kata-kata sang ayah kembali terngiang di telinga Dara dan itu membuat Dara menjadi gelisah.

"Mas Jaka lagi, apa?" tanya Dara kemudian. "Bisa Dara telepon sebentar? Ada yang ingin Dara sampaikan," pintanya.

Jaka hanya membaca pesan Dara tapi tak membalas, membuat Dara menjadi semakin resah.

Beberapa menit menunggu, tetapi Jaka tak juga membalas pesan Dara. Ketika Dara hendak bertanya kembali, ponselnya bergetar yang menandakan ada panggilan masuk.

Dara tersenyum lega dan buru-buru menerima telepon dari Jaka. "Assalamu'alaikum, Mas. Kenapa lama sekali?" protes Dara begitu selesai mengucap salam.

Terdengar tawa renyah Jaka di seberang sana, yang membuat Dara semakin rindu pada pemuda bertubuh jangkung tersebut. "Kenapa, Neng? Tak sabar ya, menunggu mas pulang?" tanya Jaka yang mulai berani menggoda jika mereka berdua teleponan.

Dara mengerucutkan bibir, seolah Jaka bisa melihatnya.

"Maaf ya, Neng. Mas 'kan harus cari tempat yang aman dulu untuk bisa telepon kamu, enggak enak kalau teman yang lain tahu," terang Jaka.

"Ada apa memangnya, Neng Dara?" tanya Jaka kemudian, dengan suara yang terdengar begitu lembut. Suara yang senantiasa Dara rindukan.

"Mas, Da-dara mau di-dijodohkan sama Mas Bambang," ucap Dara dengan terbata dan sangat lirih, tetapi bagi Jaka terdengar bagai suara geledek yang menyambar dan sanggup menghancurkan pondasi cinta yang selama ini Jaka bangun untuk Dara.

🌹🌹🌹 bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!