Byur.
Karin terkejut saat wajahnya basah terkena siraman air yang dilakukan oleh seorang wanita, “Mbak, anda ada masalah apa?”
“Dasar perempuan murahan, perebut suami orang,” teriak wanita itu pada Karin.
Karin dan kekasihnya yang sedang menikmati makan siang pada salah satu restoran di Jakarta benar-benar dikejutkan dengan kedatangan wanita itu. Wanita itu melipat kedua tangannya di dada setelah sukses menyiram air dan berteriak menyebut Karin pelakor membuat atensi pengunjung restoran berpusat padanya.
“Mas, kenal dia?”
Devan bergeming, dia terlihat bingung menjawab pertanyaan Karin.
“Kenapa diam, jawab pertanyaan pelakor ini. Siapa sebenarnya aku,” teriak wanita itu.
“Dia … Renata, sebaiknya kita pulang. Jangan ribut di sini, aku bisa jelaskan.” Devan kekasih sudah berdiri dan meraih salah satu tangan wanita yang bernama Renata. Entah ada hubungan apa diantara mereka, yang jelas Karin benar-benar bingung.
“Nggak, aku ingin kamu jelaskan siapa aku pada perempuan murahan ini,” tunjuk Renata pada Karin.
“Mas Devan, sebenarnya ada apa dan siapa dia?” tanya Karin lirih, kedua matanya sudah mengembun karena malu menjadi perhatian dan tatapan orang di sekitarnya. Bahkan salah satu pegawai restoran menghampiri meja dimana mereka berada dan mengatakan agar tidak membuat keributan.
“Mas dan Mbaknya bisa berpindah ke private room kalau masih ada urusan yang ingin diselesaikan,” ujar pegawai tersebut.
“Cepat Mas, aku menunggu,” sahut Renata lagi.
Posisi ketiga orang itu kini sudah berdiri, Renata tampak sangat mencolok dengan dress tanpa lengannya yang sangat pas di badan bahkan cenderung terlihat seksi. Sedangkan Karin yang mengenakan celana jeans model pensil dan atasan blouse berwarna putih dengan rambut dikuncir ekor kuda terlihat sangat ayu dan menggemaskan.
“Renata, kita jadi pusat perhatian. Aku akan jelaskan di rumah,” ujar Devan lirih.
Renata berdecak lalu menghampiri Karin dan menunjuk dada Karin dengan telunjuknya. “Kamu itu pelakor, Devan ini suami aku. Kalian para wanita perhatikan benar-benar wajah perempuan ini, jangan sampai suami kalian atau kekasih kalian diambil olehnya,” teriak Renata pada para pengunjung restoran.
Deg.
Karin terperangah dengan ucapan Renata. Tidak menyangka jika Devan yang baru tiga bulan ini menjadi kekasihnya adalah pria beristri. Bukan hanya kecewa, Karin juga malu karena sebutan pelakor untuknya. Bahkan terdengar sorak dari pengunjung lain yang mungkin ditujukan untuknya.
“Mas Devan,” lirih Karin dengan air mata yang sudah menetes.
Devan meraih tangan Renata dan meninggalkan Karin yang masih berdiri terpaku. Bukan karena takut pada Renata tapi khawatir jika momen tadi ada yang mengabadikan lalu ter-upload di media sosial.
“Mbak,” panggil salah satu pelayan wanita menyadarkan Karin yang masih menatap kepergian Devan dan Renata. Karin menoleh sambil mengusap pipinya yang basah. Karin masih mendengar kasak kusuk pengunjung restoran membicarakannya, bergegas mengambil tasnya lalu menuju kasir.
...***...
Karin berbaring di ranjangnya menatap langit-langit kamarnya. Tidak menyangka jika Devan ternyata pria beristri. Walaupun baru tiga bulan resmi sebagai sepasang kekasih, tapi mereka saling mengenal sudah lebih lama. Tepatnya saat Devan menjadi dosen tamu pada kuliah umum yang diadakan di kampus Karin.
Karin yang memang bertugas sebagai MC banyak berinteraksi dengan Devan, bahkan saat acara sudah berakhir Devan yang langsung menghampiri Karin untuk bertukar nomor ponsel. Karin tidak berpikir macam-macam dan langsung menyebutkan nomor ponselnya.
Tidak mudah bagi Devan mengajak Karin bertemu apalagi menawarkan hubungan yang lebih serius. Entah berapa kali sudah Devan mengutarakan cinta tapi ditolak dengan halus oleh Karin. Cukup sadar diri dengan posisinya yang bukan siapa-siapa dengan Devan yang jelas-jelas putra dari salah satu pebisnis yang lumayan dikenal di negara ini. Perjuangan Devan akhirnya berhasil karena Karin pun luluh dengan usaha Devan yang gigih memperjuangkan cintanya.
“Ternyata aku dibohongi. Karin, kenapa kamu bodoh sekali,” ujar Karin.
Karin kembali meneteskan air matanya. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang ketiga dari sebuah hubungan dan tidak ingin menjadi orang ketiga tersebut. Hidup dalam kondisi serba terbatas bersama Ibu dan adiknya juga karena Ayahnya yang rela melepaskan keluarga demi hidup bersama wanita lain. Dia sangat membenci pelakor dan tanpa dia sadari dia hampir saja menjadi seorang pelakor.
“Aku bukan pelakor,” ujar Karin di sela isak tangisnya. “Aku bukan pelakor,” ucapnya lagi. Sengaja kata-kata itu dia ulangi terus agar dapat mensugesti dirinya. “Aku benci pelakor dan aku bukan pelakor.”
Atensi Karin berpindah pada ponselnya yang bergetar. Ada notifikasi pesan masuk pada layarnya.
[Karin, besok kamu mewakili divisi marketing ikut rapat evaluasi, termasuk presentasi. Jangan sampai mengecewakan divisi kita di depan CEO]
Oh, Tuhan, cobaan apa lagi ini, batin Karin.
Presentasi divisi memang dibuat bersama tapi posisinya hanya mahasiswa magang dan dia yang harus presentasi, apalagi ada Pak Arga CEO yang dikenal dingin, angkuh dan arrogant.
“Sepertinya aku pura-pura sakit saja jadi besok tidak masuk. Kejadian tadi benar-benar kena mental, aku benar-benar tidak percaya diri.”
Karin baru akan membalas pesan mengatakan kalau dia tidak masuk besok karena sedang sakit, tapi ada pesan masuk lagi.
[Tidak terima penolakan dengan alasan apapun kecuali besok kiamat]
“Hahh.”
\=\=\=\= yuhuuu ketemu lagi,,, jangan lupa subscribe ya, kasih rating 5 dan jejak cinta biar semangat melanjutkan kisah Karin .. 🥰😘😘
Karin mengirimkan pesan dan mengatakan jika dia sedang tidak sehat dan tidak memungkinkan untuk tetap esok berangkat.
[Minum obat dan istirahat, ditunggu kehadirannya di kantor]
“Argggg,” pekik Karin sambil mengacak rambutnya. Kesedihannya menguap entah kemana, karena membaca pesan yang mengultimatum untuk besok agar tetap hadir.
Keesokan hari.
Karin sudah berada di kubikelnya, membaca dan memahami kembali bahan yang akan dipresentasikan. Sementara masalahnya dengan Devan seakan ter-skip karena kepanikan urusan pekerjaan untuk saat ini lebih penting. Meskipun hanya karyawan magang tapi penting untuk kelanjutan kuliahnya. Dia tidak akan bisa melanjutkan skripsi jika hasil magangnya dinyatakan tidak baik.
“Gimana, udah siap?” Bu Ella, pimpinan divisi marketing sudah berdiri di depan kubikel Karin. Bukan menjawab Karin malah mencibir.
“Tidak terima penolakan dengan alasan apapun kecuali besok kiamat. Untuk saya, ini seperti kiamat, Bu,” jawab Karin, sedangkan Bu Ella malah terkekeh.
“Nggak begitu Karin, Pak CEO dan yang lain pasti sudah bosan melihat presentasi dari karyawan lama. Kalau kamu yang maju anti mainstream. Nggak usah khawatir ditolak produk kita akan ditolak. Produk ini sudah siap produksi, kita hanya mengajukan untuk bahan promosi. Semangat ya, ingat surat keterangan magang kamu akan dibuat sesuai rekomendasi dari saya,” ungkap Ella. Kalimat yang berisi motivasi tapi ada ancaman di akhirnya.
“Tapi Bu, kalau presentasi saya buruk gimana?”
Ella menepuk bahu Karin, “Semangat Karin, masa depan divisi ini ada di pundakmu,” ujar Ella menambah beban Karin lalu berjalan meninggalkan kubikel Karin.
“Yah, si Ibu.”
Karin mengusap wajahnya kasar termasuk mengacak rambutnya.
Rekan kerja Karin yang berada di sebelah kubikelnya ikut bicara, “Tenang aja, dunia nggak bakal kiamat kalaupun presentasi kamu nggak bagus.”
“Ini apa sih, kenapa semua bahas kiamat. Kak, bantuin dong,” rengek Karin.
“Fighthing.”
“Ahhh, rese.”
Setelah jam makan siang, semua perwakilan divisi sudah berada di ruang meeting, begitu pun Karin yang duduk di samping Bu Ella. Semua peserta rapat berdiri, termasuk Karin saat Ceo hadir di ruangan. Karin menoleh sekilas dan mengernyitkan dahinya.
Masih muda, aku pikir Pak CEO itu sudah tua, mukanya garang dan perutnya buncit. Ini mah sebelas dua belas sama Ji Chang Wook, batin Karin. Bu Ella menarik tangan Karin membuyarkan lamunannya, ternyata semua peserta rapat sudah duduk kembali.
“Ganteng ‘kan? Kalau saya belum punya suami juga mau deh dekat-dekat sama Pak CEO,” bisik Bu Ella.
Karin menghela nafasnya, karena kembali gugup mengingat dia akan bicara di depan. Tidak bisa membayangkan jika presentasinya buruk, malunya pasti pake banget.
Karin menyimak presentasi dari divisi lain yang menjelaskan mengenai rencana jangka pendek di tiap divisi. Karin benar-benar menyimak sebagai bahan masukan untuknya nanti bicara di depan. Akhirnya tiba divisi marketing.
Bu Ella berdiri, “Selamat siang, yang terhormat Pak Arga selaku CEO Diamond Success, dan rekan-rekan sekalian yang berbahagia. Presentasi dari tim marketing akan dibawakan oleh Karin Amanda, karyawan magang dimana dia adalah mahasiswa dengan jurusan public relation. Silahkan Karin,” ujar Bu Ella lalu kembali duduk.
Karin sempat melihat sekeliling, semua menganggukkan kepalanya mendengar Bu Ella bicara, tapi Pak Arga menoleh pun tidak. Wajah datarnya hanya fokus pada dokumen di tangannya, entah dokumen apa. Padahal walaupun dia sibuk, untuk apa diadakan rapat sedangkan dia selaku pimpinan malah asyik sendiri.
Karin pun memulai presentasinya. Awalnya terlihat sekali jika dia gugup, tapi melihat Pak Arga seperti tidak menyimak malah membuat Karin percaya diri dan presentasi berakhir dengan baik. Sama seperti divisi lain yang mendapatkan applause ketika salam penutup.
Hahh, lega. Batin Karin.
“Jangan senang dulu. Air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan,” bisik Bu Ella.
“Hahh, maksudnya apa Bu?” tanya Karin kembali berbisik. Bu Ella tidak menjawab karena terlihat Pak Arga akan bicara.
Semua presentasi divisi dikomentari dengan detail oleh Pak Arga, artinya dia menyimak semua yang disampaikan meskipun tatapannya tidak mengarah ke depan.
“Untuk divisi marketing, produk yang kalian bahas ini sedang diproduksi dan siap launching. Materi promosi yang kalian buat untuk berbagai media pada dasarnya sudah oke, tapi kita butuh slogan untuk produk baru ini. Yang tidak biasa dan bisa diterima. Ingat ini kosmetik, konsumennya perempuan. Hubungkan dengan kekhawatiran perempuan dengan produk ini. Slogan yang kalian buat itu biasa saja, tidak membuat produk baru ini berharga atau memang kerja kalian biasa saja?”
Karin menelan salivanya mendengar tutur kalimat dari Pak Arga. Sesaat pandangan mata Karin dan Arga terpaut, Karin pun menunduk.
Wajahnya datar tapi omongannya tajam, batin Karin.
“Hey, kamu karyawan magang,” panggil Arga.
Bu Ella menyenggol tangan Karin, membuat Karin menoleh.
“Apa masukan slogan dari kamu tentang produk ini? Kalau tidak bisa menjawab, lebih baik kamu cari tempat magang lain!”
Karin terkejut dan bingung, benar-benar merasa di ujung tanduk. Otaknya nge-lag dan tidak mampu berpikir.
“Hm, itu … apa ya….”
Brak.
Karin dan peserta rapat lainnya terkejut karena Arga menggebrak meja.
“HRD, bagaimana bisa kita menerima karyawan tidak berkualitas seperti dia,” tunjuk Pak Arga pada Karin karena sejak tadi Karin masih bungkam.
Karin menundukkan wajahnya, daam keadaan tertekan dia semakin sulit berpikir dan mendapatkan ide yang diminta Arga.
“Maaf Pak,” Bu Ella menyela. “Mungkin bisa berikan waktu untuk Karin memikirkan slogan yang tepat, karena kalau dicecar seperti ini saya pun belum tentu bisa memberikan ide yang cemerlang. Bisa berikan kami waktu,” pinta Bu Ella.
“Besok pagi dan bukan tugas divisi tapi tugas dia,” tunjuk Arga pada Karin. “Tantangan untukmu kalau ingin melanjutkan magang di perusahaan ini.”
Akhirnya rapat berakhir. Karin duduk lemas di kursinya ketika Pak Arga sudah pergi, peserta rapat lainnya memberikan kata semangat pada Karin. Bu Ella mengajak Karin kembali ke ruang kerja mereka.
...***...
Semalam Karin susah tidur, selain memikirkan ide yang akan disampaikan pada Pak Arga juga mengingat masalahnya dengan Devan. Devan sejak tadi siang berkali-kali menghubungi Karin, termasuk berkirim pesan mengajak Karin bertemu untuk menjelaskan hubungan dengan Renata istrinya. Karin memilih memblokir kontak Devan.
Tidak ingin ada hubungan apapun dengan Devan karena tidak mau menjadi pelakor seperti yang diteriakan oleh istri Devan. Meskipun kedekatannya dengan Devan murni karena tidak tahu jika Devan sudah beristri.
Karin mengoleskan sedikit make up agar wajahnya lebih segar. “Oke Karin, kamu bisa. Pak Arga, I'm coming,” ujar Karin menyemangati dirinya di depan cermin. “Eh, tapi kok Pak Arga sih,” keluhnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Karin melangkah dengan percaya diri, bahkan saat ini sudah berada di lobby perusahaan. Melangkah pasti menuju lift, sesekali menganggukan kepalanya menyapa karyawan lain. Sampai ….
“Hey, Pelakor!”
Teriakan seorang wanita membuatnya menoleh, ingin tahu siapa yang berteriak dan diperuntukan untuk siapa teriakan tersebut. Betapa terkejut melihat wanita yang beberapa hari lalu datang ke restoran saat Karin bersama Devan, bahkan wanita itu berjalan menghampirinya.
Renata, mau apa dia? Jangan-jangan ….
Plak!
Tangan Renata mengayun dan berhasil mendarat di pipi kiri Karin. Telinga Karin terasa mendengung karena tamparan yang diterimanya.
“Dasar pelakor, masih berani kamu menghubungi suamiku.”
Karin menyentuh pipinya, sambil menatap Renata. “Saya tidak menghubungi Mas Devan saat tahu dia sudah beristri. Sebelumnya saya benar-benar nggak tahu kalau Mas Devan sudah menikah, karena dia sendiri yang mengatakan masih single.”
“Halah, alasan saja. Mana ada penjahat mengakui kesalahannya, bisa-bisa penjara penuh. Hai, kalian lihat wanita ini, dia pelakor yang mencoba merebut suami saya,” teriak Renata.
Karin hanya menggelengkan kepalanya, entah bagaimana dia harus membela diri.
“Mbak, saya tidak pernah merebut suami Mbak. Seharusnya Mbak tanya Mas Devan kenapa dia mengaku belum menikah,” sahut Karin membela diri.
“Eh, kamu malah mengajari saya.” Renata kembali mengayunkan tangannya, refleks Karin memejamkan matanya. Tiba-tiba suasana hening dan tidak ada tangan yang mendarat di wajahnya. Karin pun perlahan membuka matanya
“P-Pak Arga,” ucapnya.
Arga menghempaskan tangan Renata. Ternyata, Karin tidak mendapatkan kembali tamparan yang dilayangkan Renata karena Arga menahan tangan wanita itu.
“Arga.” Renata terkejut dengan kehadiran Arga diantara dia dan Karin. Arga adalah mantan kekasihnya sebelum dia menikah dengan Devan.
“Ka-kamu kenal dia?” tanya Renata pada Arga.
“Tentu saja, dia tunanganku. Calon istri Arga Sadewa,” jawab Arga sambil merangkul bahu Karin dan sedikit menarik agar tubuh Karin menempel pada tubuh Arga.
“Calon istri?”
\=\=\=\=\=\=hmm, ada apa gerangan 🤔
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!