Suara derap langkah menggema bersama jeritan yang terdengar semakin nyaring. Para pengunjung melebarkan mata, tidak mampu memercayai apa yang terjadi di hadapan mereka. Sekumpulan manusia berteriak penuh kegilaan dan menerjang satu sama lain. Membuat siapa pun yang melihat terdiam oleh keterkejutan. Hanya insting yang membawa setiap kaki untuk melangkah sejauh mungkin dari sana.
Kepanikan menular dengan cepat hingga jumlah orang yang berlarian tidak tentu arah semakin bertambah hanya dalam beberapa detik. Beberapa orang tampak saling menyerang dan berakhir terluka serta merusak berbagai patung maskot hingga wahana terdekat.
“Cepat! Tahan dan tangkap mereka semua!”
Petugas keamanan berompi kuning terang yang berjumlah tidak seberapa berusaha keras menghentikan kekacauan. Namun, mereka pun tidak luput dari amukan para manusia yang tidak lagi tampak rapi dan layak. Anak-anak menangis mencari orangtua mereka di tengah orang-orang yang sibuk menggigit dan meraung.
Dalam sekejap bau amis menyapa indera penciuman mereka yang masih berdiri di tempat. Berusaha memahami peristiwa yang terjadi di depan mata.
Termasuk seorang gadis yang hanya terus terdiam sambil mengerutkan kening.
“Dir, Dira! Ayo, cepat lari!” Dengan panik Firda terus menarik lengan Adira. Mencoba menyadarkan temannya itu untuk tidak lagi terpaku di tempat.
Sadar dari lamunan, Adira menggenggam tangan sahabatnya dan ikut berlari menyusul rombongan mereka yang telah pergi lebih dulu.
“Apa yang terjadi?! Apa mereka ketakutan oleh kebakaran tadi?” tanya Adira sambil berteriak. Padahal ia sudah meninggikan suaranya sekuat tenaga, tetapi ucapannya hampir tidak terdengar di tengah semua kebisingan yang terjadi.
Sekilas gadis itu menolehkan kepalanya ke samping. Jumlah orang-orang yang berteriak sambil berjalan dengan gerakan kaku tetapi cepat semakin bertambah. Gadis itu meringis saat melihat seorang pemuda tiba-tiba membenturkan kepalanya sendiri pada tiang besar bianglala. Sementara beberapa orang lainnya berguling dan menggeliat di atas tanah.
“Aku juga sama tidak tahunya dengamu! Kebakaran yang tadi terjadi hanya kebakaran kecil dan sudah diatasi dengan baik oleh petugas! Entah apa lagi yang membuat orang-orang itu menggila!” jawab Firda dengan napas terengah-engah. “Tapi yang pasti kita harus segera mencari tempat sembunyi! Bu Danita ada di depan dan akan menunjukkan jalan!”
Kedua gadis itu terus berlari hingga kini mereka berada dekat dengan teman-teman mereka. Sesekali rombongan berseragam itu terpencar oleh seseorang yang tiba-tiba menerjang mereka dengan histeris. Namun, sebisa mungkin Adira dan teman-temannya mencoba untuk tidak terpisah.
Di tengah pelariannya, Adira melihat tali sepatunya tidak terikat dengan benar. Meskipun begitu, ia tidak cukup berani untuk berhenti dan membetulkannya. Gadis itu hanya sesekali melihat ke bawah, memastikan ia tidak akan berakhir terjatuh hanya karena menginjak tali sepatunya sendiri. Namun, saat ia kembali melihat ke depan, seorang pria tua dengan luka menganga di kepala menerjangnya dengan kekuatan penuh hingga ia terjatuh.
Beban berat yang tiba-tiba menimpa tubuhnya membuat Adira mengerang. Punggungnya yang terbanting keras ke atas tanah beraspal terasa ngilu dan perih. Adira memejamkan matanya erat, sementara tangannya dengan putus asa menahan pria yang berada di atasnya untuk tidak menghimpitnya lebih jauh.
“Adira!” Firda berteriak dan mendorong kuat pria yang menyerang temannya. Kedua tangannya yang bergetar ia paksa mengerahkan tenaga yang besar, hingga akhirnya pria itu terjatuh sambil menggeram hebat.
Seakan tidak merasakan rasa sakit apa pun, pria mengerikan itu kembali berdiri.
Gerakannya yang tidak biasa membuat Adira dan Firda yang tengah bersiap kabur terpaku di tempat. Mata kedua gadis itu melebar saat menyaksikan pria itu menekuk setiap sendi tubuhnya ke arah yang tidak seharusnya.
“Pak … Pak, ada apa denganmu?” tanya Adira, berusaha berkomunikasi dengan sang penyerang. Ia melangkah mendekat tetapi ditahan oleh Firda.
Tanpa menjawab, pria itu bangkit dengan tubuh yang condong ke depan. Lengannya melipat jauh ke belakang bersama kepalanya hingga terdengar suara retakan tulang yang mengerikan. Sekilas, Adira melihat bola mata sang pria berlumuran darah itu terputar penuh hingga hanya menyisakan warna putih kemerahan. Dalam hitungan detik, pria itu kembali berlari ke arah Adira dan Firda, dan berakhir terjatuh sendiri sebelum mencapai kedua gadis itu.
Mulut Adira masih menganga saat ia merasakan tangannya ditarik dengan kencang.
“Kalian kenapa? Ayo, cepat!” Abian, teman sekelas mereka datang dan segera menyeret paksa kedua gadis itu untuk kembali berlari. Disusul oleh beberapa pemuda lainnya yang juga mengenakan seragam putih abu-abu.
“Zombie, mereka semua pasti sudah berubah menjadi zombie!” Teriak Abian kemudian. “Akal mereka sudah hilang, percuma kita mencoba berkomunikasi dengan mereka!”
Mendengar itu membuat kedua lutut Adira terasa lemas. Gadis itu hampir saja jatuh terduduk jika Firda tidak dengan sigap menggenggam erat tangannya untuk menguatkannya. Sekuat tenaga mereka mempercepat lari mereka sambil tetap waspada, menghindari benda-benda yang berjatuhan.
Rombongan manusia yang tidak lagi bersikap layaknya manusia berada jauh di belakang mereka. Namun, dampak dari perilaku para makhluk yang terus merusak berbagai wahana di sekitar masih mencapai tempat mereka.
Adira dan kawan-kawan harus selalu waspada. Lengah sedikit saja, bisa-bisa mereka mati tertimpa benda-benda berat yang beterbangan akibat ledakan yang terus menerus terjadi. Tatapan nanar Adira menyapu sekitar. Masih banyak manusia normal yang berlari bersama mereka. Namun, ia ragu akan sampai kapan mereka akan bertahan.
Keadaan memaksa para manusia yang berhasil kabur untuk terus berlari menjauhi bianglala. Adira dapat melihat wahana Roller Coaster berdiri jauh di depannya. Gadis itu merasakan sakit di hatinya saat kedua matanya menatap kereta cepat itu teronggok di atas rel, tanpa satu pun penumpang. Padahal beberapa waktu lalu Adira masih melihat wahana itu beroperasi mengantar penumpang yang menjerit oleh seramnya jalur yang tersedia. Tanpa menyadari kengerian berkali lipat yang ternyata sedang menunggu mereka.
Sejauh yang Adira tahu, posisi Roller Coaster berada di wilayah terdalam Taman Bermain Cakrabuana. Meski tidak memperhatikan denah tempat ini dengan jelas, Adira yakin bahwa pada situasi normal saja butuh waktu untuk mencapai gerbang luar. Apalagi dengan situasi saat ini?
Sebenarnya, kenapa wisata perayaan kenaikan kelas mereka bisa berakhir seperti ini?
Brak!
Adira mengerem laju kedua kakinya mendadak. Tubuhnya terjatuh ke belakang, menyisakan sedikit jarak dengan sekumpulan orang yang memadati gerbang berbelok wahana yang memacu adrenalin itu.
Beberapa orang saling berdesakan memasuki ruang kecil yang biasanya disediakan untuk penjaga wahana. Memanjat dan merusak pagar hingga saling sikut serta berteriak tentang siapa yang paling pantas bersembunyi di sana. Sementara yang lainnya berpencar mencari tempat berlindung lain. Para wanita dan anak-anak yang putus asa terduduk di atas tanah sambil menangis dan berdoa. Beberapa memegang ponsel, berusaha menghubungi siapa pun yang mereka kenal. Meminta bantuan dengan tangan bergetar.
Adira termenung beberapa saat sebelum refleks merogoh saku roknya sendiri.
Gawat. Ponselnya tidak ada.
Tiba-tiba Firda menepuk pundaknya pelan. “Ssstt, Bu Danita menemukan tempat untuk kita. Jangan berisik dan cepat ikuti aku.”
***
Dengan hati-hati Adira mengikuti langkah Firda yang membawanya menuju sebuah gua buatan yang besar dan gelap. Jalan yang ia lewati kini basah, membuatnya meringis merasakan dingin di kaos kakinya. Bau kaporit yang pekat menyadarkan Adira bahwa ia kini berada di belakang salah satu wahana olahraga air.
Kedua gadis itu menuju tempat tersembunyi jauh dari kolam besar tempat tersimpannya perahu karet untuk wahana. Setelah melewati beberapa lorong gelap dan pengap, mereka tiba di sebuah ruangan sempit dengan cahaya redup. Dari penampakan dindingnya yang belum sepenuhnya dicat, tampaknya tempat itu masih dalam proses pembangunan.
Setelah beberapa saat beradaptasi dengan suasana remang-remang, barulah Adira menyadari keberadaan beberapa gurunya dan juga teman-temannya yang bersembunyi sambil berdesakan. Sebagian besar di antaranya tengah berkutat dengan ponsel masing-masing. Bertelepon dengan berbisik, disertai isak tangis yang tertahan.
“Adira, Firda, Ya Tuhan, kalian berhasil juga sampai ke sini,” ucap Danita dengan raut cemas. Guru berusia muda itu terus menangis saat melihat muridnya satu per satu. “Apa di luar sana kalian melihat teman-teman yang lain?”
“Tidak, Bu, tidak ada.” Firda yang menjawab.
“Apa ada yang terluka?” tanya seorang pemuda berhidung mancung dengan tatapan teduh. Pemuda itu perlahan mendekati Adira, tetapi dihalangi oleh Firda.
“Jangan dekat-dekat! Kamu bahkan tidak berusaha menyelamatkannya di luar sana!”
Kening pemuda itu berkerut. Kedua kakinya perlahan melangkah mundur. “Aku tidak melihat kalian!”
Kedua mata Firda tidak hentinya mendelik. “Omong kosong! Kamu bisa mencari kami!”
“Sstt, Firda, Karsa, tenanglah,” ucap Danita lembut. “Yang penting kita semua sudah berada di sini.”
Ditegur oleh guru wali kelasnya memaksa Firda untuk menahan semua amarahnya. Dengan suara yang dibuat sepelan mungkin, ia menggerutu di samping sahabatnya. “Cih! Sekarang saja dia berlagak mencemaskanmu, Dir. Jangan terjebak oleh tipu dayanya.”
Adira hanya terdiam dan melihat temannya satu per satu.
‘Selain aku dan Firda, ada Karsa dan Abian, beberapa siswa lain yang ada di sini adalah siswa kelas lain yang tidak kukenal.’ Adira berhitung dalam hati sambil melihat beberapa siswa menutup jalan masuk dengan seluruh tas yang mereka bawa. ‘Hanya Bu Danita guru yang ada bersama kami di sini.’ Gadis itu lantas menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Sebuah keajaiban ia mampu bertahan hingga saat ini. Sepertinya, otaknya masih berusaha mencerna situasi yang terjadi sehingga dirinya tidak berteriak ketakutan.
Atau mungkin ia terlalu syok untuk sekedar berteriak.
"Apa ada yang sudah mencoba menghubungi seseorang? Aku kehilangan ponselku di luar," ujar Adira kemudian.
Firda tampak merogoh sakunya serta membuka setiap ritsleting ranselnya. Helaan napas berat terdengar darinya. "Sepertinya aku juga."
Danita tampak menoleh sekilas ke arah siswa-siswi yang masih menempelkan ponsel di telinga. Meskipun kini tidak ada satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara. "Semuanya terus mencoba menghubungi keluarga atau polisi di luar sana. Mereka bilang akan segera melakukan sesuatu." Sang guru tampak menggigit bawah bibirnya sekilas. "Ibu pikir kita hanya bisa menunggu."
Bruk!
Seorang siswi berseragam serupa dengan Adira jatuh terduduk dengan air mata mengalir deras. Tangan dengan jari-jarinya yang lentik menutup mulutnya erat agar tidak menimbulkan suara. Rambut panjangnya tergerai ke depan saat ia menunduk hampir bersujud di atas tanah.
“Kenapa … kenapa aku harus mengalami semua ini?” tanyanya lirih. “Apa yang salah dengan orang-orang di luar sana? Me-mengapa mereka … berubah menjadi segila itu?”
“Ini serangan zombie! Mereka semua sudah berubah menjadi mayat hidup yang terus menyerang dan menggigit dengan membabi buta! Polisi tidak akan bisa berbuat banyak!" ucap Abian menggebu-gebu sebelum seseorang menegurnya untuk memelankan suaranya.
“Diam! Kamu pikir aku percaya?” Siswi itu terus merengek. Kali ini ia berdiri dan merangkul manja pada pemuda di dekatnya. “Karsa, katakan sesuatu!”
Pantang menyerah, Abian terus meracau. “Percayalah, berkali-kali aku melihatnya dalam film. Tanya saja Adira yang tadi sempat diserang oleh salah satu zombie itu!”
“Cukup, Abian. Trisha ketakutan,” tegur Danita sambil mendekati siswinya yang masih terisak.
Adira yang mendengar semuanya menatap tajam Abian. “Aku tidak tahu soal zombie. Yang kulihat tadi hanya seperti … pria tua yang kesakitan? Ceritakan semua yang kamu tahu,” titah gadis itu tegas.
Pemuda yang semula berucap dengan semangat kini membuka lebar mulutnya tidak percaya. “Dir, jangan bilang kamu belum pernah menonton film zombie sebelumnya?” Abian semakin melebarkan tatapannya setelah Adira mengangguk. “Ya, ampun … kamu terlalu banyak menghabiskan waktu untuk belajar.”
“Jangan banyak bicara yang tidak perlu. Entah berapa lama kita bisa terus bersembunyi di sini,” desak Adira.
“Baiklah, baik.” Sejenak Abian terdiam untuk berpikir. “Hmm … hal pertama yang kuketahui tentang zombie adalah mereka bangkit dari dalam tanah dan memakan setiap isi kepala manusia di dekat mereka.”
Mendengar itu, isak tangis Trisha terdengar semakin kencang, membuat Danita terus mengusap punggungnya pelan.
Tanpa memedulikan itu, Adira hanya berdecak pelan. “Jangan bercanda! Jika benar mereka berasal dari tanah, seharusnya baju mereka itu kumal layaknya orang yang telah lama dikubur. Lalu, apa? Memakan isi kepala? Yang kulihat di luar sana mereka hanya terus bergerak cepat seperti orang gila dan menggigit satu sama lain.”
Abian hanya menggelengkan kepala sambil menatap Adira remeh. “Dengarkan aku dulu sampai selesai. Tadi itu baru teoriku yang pertama.”
“Kita tidak punya banyak waktu!”
“Baiklah, baik. Aku juga menyaksikan semua yang terjadi di luar sana. Tampaknya mereka bukanlah mayat-mayat yang bangkit dari kubur.” Abian mengetuk dagunya sendiri dengan jari telunjuknya. “Benar juga, lagipula, mana ada kuburan di tengah taman hiburan seperti ini?”
“Abian!”
Teriakan Adira membuat semua orang terperanjat. “Ssstt!” tegur mereka bersamaan.
Kedua tangan gadis itu akhirnya mencengkeram kepalanya frustrasi. Rambut panjangnya yang semula terikat dengan rapi, kini mulai terlihat berantakan. Matanya terpejam, berusaha menenangkan detak jantung yang semakin
jelas dentumannya. Namun percuma, setiap kali kelopak matanya menutup, yang ia lihat hanyalah pemandangan anarkis sekumpulan manusia aneh di luar sana.
Adira bahkan ragu, apa dia masih bisa menyebut orang-orang anarkis itu ‘manusia’.
Tiba-tiba sebuah bayangan bus bergambar bunga matahari besar muncul di benaknya.
“Bus antar wahana …,” gumam Adira tiba-tiba.
Firda yang tepat berada di sampingnya sontak menoleh. “Apa yang baru saja kamu katakan?”
Pertanyaan Firda membuat seluruh perhatian terarah padanya dan Adira. Terutama Karsa yang sedari tadi terus memutar otak, berusaha menemukan cara untuk mendekati Adira.
Suara benturan dan jeritan masih terdengar dari kejauhan, membuat mereka terus bergidik meskipun setiap orang berusaha untuk tidak memperlihatkan ketakutannya.
Begitu juga Adira yang terlihat kuat dan terus berpikir dalam diam.
“Bus terbuka yang mengantar pengunjung keliling taman wisata!” serunya tiba-tiba. “Tidak mungkin berita kekacauan ini belum sampai ke telinga pihak yang berwenang. Saat ini mereka pasti berkeliling menyelamatkan orang-orang yang selamat, kan? Jika kita terus di sini, tidak akan ada yang menjemput kita.” Adira terus berbicara sendiri. Kakinya melangkah ke sana kemari, sebelum akhirnya tanpa sengaja ia menendang beberapa kotak kardus perlengkapan olah raga air di dekatnya.
Bibir Adira mengaduh, tetapi raut wajahnya tidak sedikit pun memperlihatkan kesakitan. Tiba-tiba ia membalikkan badan dan melihat teman-teman serta gurunya. “Kita harus keluar dari sini bagaimana pun caranya. Meskipun harus berlari, kita harus melewati gerbang keluar sekarang juga!”
“Benar juga.” Abian menjentikkan jarinya dengan semangat. “Dalam film, biasanya akan ada helikopter yang menjemput para penyintas di atap gedung tinggi. Tapi sepertinya, dalam kasus kita kali ini tidak akan ada helikopter yang terlibat karena kita hanyalah siswa SMA biasa, yang tidak punya koneksi maupun berguna untuk pemerintah.”
“Berhenti menceritakan semua yang pernah kamu lihat di film!”
“Tidak, tunggu dulu.” Firda memotong ucapan Adira. “Mungkin pengetahuan Abian akan ada gunanya.”
Adira berdecak kesal. “Baiklah, mari kita dengarkan pendapat siswa ranking terakhir di kelas,”
ucapnya sinis.
Abian terlalu bersemangat untuk merasa sakit hati. Pemuda itu mengerutkan keningnya semakin dalan seiring ia menggali ingatannya. “Aturan pertama untuk bertahan adalah pasokan makanan. Lalu peralatan untuk pertahanan diri dan untuk menyerang.”
Susah payah Adira menahan dirinya untuk tidak meledak di tempat. “Dari mana kita bisa mendapatkan semua itu? Yang kita bahwa hanya beberapa cemilan ringan. Dan barang-barang yang kita punya di sini hanyalah setumpukan pelampung dan peralatan renang.”
“Kita harus ke pusat pertokoan.” Salah satu siswa dengan kaca mata tebal tiba-tiba bersuara. “Seharusnya kita semua tahu letaknya jika kita membaca selebaran yang dibagikan.”
“Itulah masalahnya, Evan. Di antara kita semua, yang benar-benar memperhatikan denah mungkin hanya kamu dan Bu Danita. Bahkan seorang Adira sekalipun mengabaikan hal seperti itu,” keluh Abian.
Seketika Adira menunduk dan merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia tidak percaya siswi teladan sepertinya bisa bersikap kekanakan. Ucapan kakaknya beberapa waktu lalu mungkin telah begitu merasuki otaknya. Sehingga, saat sampai di tempat wisata itu, tidak ada hal lain selain bersenang-senang di pikirannya.
“Tidak apa-apa, anak-anak. Ibu rasa Ibu bisa menunjukkan jalan ke sana.”
***
Teriakan terus terdengar dari berbagai arah, hingga Adira tidak mampu lagi menentukan ke mana kakinya harus melangkah. Rambutnya sudah lama terlihat kacau seiring tangannya terus menyugarnya dengan gusar. Seragam yang melekat di tubuhnya kini tidak lagi tampak putih bersih. Berbagai noda mewarnai hingga label nama yang tertera di bagian dada hampir tidak lagi dapat terbaca. Gadis itu menyingkirkan debu yang menutupi tulisan di sana: “Adira Marwa B.”
Entah sampai kapan Adira akan mempertahankan nama itu melekat pada seragamnya. Karena tampaknya, ia tidak akan memerlukannya lagi setelah hari ini.
Tidak akan ada yang peduli dengan nama untuk dipanggil. Bahkan Adira tidak yakin, apakah masih akan ada makhluk yang paham apa itu nama setelah semua yang terjadi.
“Dir, apa yang harus kita lakukan? Aku tidak melihat satu pun teman kita maupun Bu Danita di sekitar.” Firda terus mengguncangkan pundak Adira sambil berlari di sampingnya. Kedua bola matanya bergetar melihat pemandangan yang menyambut mereka berdua.
Adira menggigit bawah bibirnya dengan gelisah. Menyesali keputusan guru dan teman-temannya yang terlalu terburu-buru hingga membuat mereka semua terpisah sesaat setelah melangkah keluar dari tempat persembunyian.
Sebisa mungkin gadis itu melihat situasi di sekitar. Belum lama sejak kekacauan terjadi, tetapi Adira sama sekali tidak lagi dapat mengenali tempat di mana kini ia berada. Asap hitam mengepul di beberapa tempat, menyesakkan napas siapa pun yang terpaksa menghirupnya. Aspal yang semula terlihat bersih kini ternodai banyak cairan yang sebagian besar berwarna merah pekat. Aksesoris khas taman bermain yang seharusnya menampilkan keceriaan kini sama sekali tidak terlihat menyenangkan, bergeletakan dengan warna-warna yang tidak lagi dapat dikenali. Adira sama sekali tidak ingin mengakui bahwa gundukan di atas jalanan sekitarnya adalah tubuh-tubuh tidak bernyawa.
Sebuah boneka gadis kecil yang sudah sangat lusuh tergeletak tidak jauh dari tempat Adira dan Firda berlari. Boneka itu terus mengeluarkan suara menyerupai tangisan yang terputus-putus.
Terdapat beberapa zombie bergerak mendekati kedua gadis itu dari berbagai arah. Beberapa dari mereka melangkah lambat dengan menyeret kaki, sementara sebagian besar di antaranya berjalan cepat meski terkadang oleng dan menabrak satu sama lain sambil terus meraung. Kengerian yang Adira rasakan tidak bisa digambarkan lagi. Refleks tangan bergetarnya meraih Firda, memaksa temannya itu untuk meningkatkan kecepatan.
Kedua gadis itu berlari dan berlari secepat yang mereka bisa. Mengabaikan rasa lelah dan sakit dari tubuh mereka. Terutama bagian punggung yang terus terantuk oleh ransel yang bergerak seiring mereka berlari. Deru napas mereka sangat kencang hingga mereka tidak dapat mendengar suara lainnya dengan jelas. Namun, satu hal yang pasti, para makhluk yang tengah mengejar mereka terus menggeram dan menjerit dengan mengerikan. Sekilas melihat saja Adira tahu benar, bahwa semua zombie itu telah bersiap untuk melahap mereka dengan mulut menganga.
Dari kejauhan, terlihat sebuah lingkaran besar berjeruji raksasa. Sontak Adira berdecak kesal menyadari bahwa mereka kembali berada di arena bianglala.
“Kita tersesat, bukan?” tanya Firda di sela napasnya yang terengah-engah.
“Tidak apa-apa. Kita hanya harus terus berlari. Kecepatan para makhluk itu ternyata tidak secepat yang Abian ceritakan.”
“Tapi … aduh!” Firda tersandung kakinya sendiri hingga jatuh tersungkur ke atas tanah. Beruntung, rok abu-abu yang dikenakan Firda cukup panjang untuk menutupi bagian lututnya. Luka goresan yang timbul tidak begitu besar meski tetap saja gadis itu meringis dan harus berjalan dengan tertatih.
Tidak butuh waktu lama sampai para makhluk mengerikan itu berhasil mendekati mereka.
Dengan segala kekuatan yang mereka punya, para gadis itu terus berusaha untuk menghadang serangan. Adira mendorong keras zombie yang wajahnya tertutupi oleh rambut pirang panjang. Sementara Firda menendang kuat pria mengerikan yang menyeret tubuhnya sendiri ke arah dua gadis itu.
Adira dan Firda saling melindungi dengan punggung menempel satu sama lain.
“Mereka terlalu kuat!” teriak Firda.
Meski tidak menanggapi apa pun, Firda tahu benar bahwa Adira juga merasakannya. Sebab, setengah mati Firda menahan tubuhnya agar tidak terdorong oleh tubuh Adira yang terus menekannya dari belakang.
Tidak tahan lagi, Adira melepas ranselnya. Memukulkannya ke arah zombie di depannya, dan melemparnya pada zombie yang menyerang Firda.
Ransel yang terisi penuh oleh buku-buku pengusir kebosanan selama di perjalanan itu membuat kedua zombie terjatuh sambil terus meraung.
Terburu-buru Adira menarik sahabatnya untuk berbelok ke arah semak belukar. Duri tanaman tersebut menggores kulit putih mereka berdua, tetapi mereka terlalu panik untuk sekadar meringis meratapi perih yang tidak seberapa.
Terdiam kedua sahabat itu dalam posisi berjongkok. Memanfaatkan tebalnya semak-semak untuk menutupi sosok mungil mereka. Firda mengusap dadanya pelan sambil berusaha mengatur napasnya untuk kembali tenang. Sementara Adira memasang kedua matanya untuk mengawasi pergerakan makhluk-makhluk mengerikan di luar sana.
Para ‘manusia’ berlumur darah itu tampak tidak lagi memaksakan tubuh mereka untuk berlari. Seorang perempuan dengan rambut berantakan yang tadi sempat mengejar Adira dengan tubuh miring ke samping kini tampak hanya berputar di tempat. Sesekali tubuhnya terlihat mengejang dan suara melengking keluar dari bibirnya yang meneteskan banyak cairan merah.
Kedua mata Adira membelalak melihat itu. Ia kemudian kembali memperhatikan zombie lainnya. Tidak jauh berbeda, para makhluk yang semula mengejar mereka dengan ekspresi menampakkan kebengisan kini tampak sibuk sendiri dan berjalan ke sana kemari dengan jauh lebih tenang.
Adira melihat situasi tersebut sebagai kesempatan. Tanpa pikir panjang gadis itu menarik temannya untuk kembali berdiri.
“Eh, mau kemana?” bisik Firda panik.
Namun, Adira dengan tidak acuh bersiap pergi. Hingga tanpa sengaja ia menyenggol tiang kayu ramping penunjuk jalan di dekatnya.
Tiang yang telah berkali-kali menjadi sasaran kekerasan saat serangan dimulai itu tidak cukup mampu untuk tetap berdiri setelah bertubrukan dengan Adira.
Brak!
Suara jatuhnya tiang tersebut ke atas tanah membuat Adira dan Firda kembali menjadi sasaran empuk semua zombie di sekitar.
Waktu seakan berhenti sejenak saat seluruh kepala menoleh pada mereka.
“Sembunyi di balik reruntuhan dekat korsel!” Adira berteriak dengan seluruh tenaganya.
Kompak kedua sahabat itu berlari. Sekuat tenaga Firda mengabaikan seluruh rasa sakit agar tidak menyusahkan Adira. Namun, tiba-tiba Firda melebarkan matanya saat tidak mendapati Adira di sampingnya.
“Korsel di sebelah kanan sana! Kamu mau ke mana?!” Dengan kesal Firda menyusul Adira yang terus berlari ke arah yang berlawanan dari tujuan mereka.
“Aku tidak tahan hanya diam dan sembunyi. Aku harus mencari sesuatu untuk membela diri di pusat pertokoan.”
“Baiklah, aku akan ikut denganmu,” ucap Firda sambil menarik Adira yang hampir saja tersandung oleh tubuh-tubuh kaku yang tergeletak.
Adira menahan jeritannya. Mendadak perutnya terasa mual saat indera penciumannya kembali merasakan bebauan yang amis dan menusuk. Sebisa mungkin ia memfokuskan diri pada sahabatnya yang terus memegang tangannya. “Tapi … ini berbahaya,” ucapnya pelan.
Susah payah Firda menatap sahabatnya dengan senyum tipis. Meskipun seluruh bulu kuduknya meremang saat ia merasakan sepatunya basah oleh genangan cairan yang diinjaknya. “Tidak apa-apa. Berdua lebih baik daripada sendirian, Ra.”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!