Suasana pasar tradisional pagi ini sangat ramai sekali. Suasana yang hiruk pikuk seperti ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dari kejauhan, tampak seorang laki-laki remaja tanggung sedang memepet tubuh seorang gadis cantik. Tanpa gadis itu sadari, dompetnya telah berpindah tangan. Gadis itu tersadar saat hendak mengambil dompet, tangannya menyentuh tangan seseorang.
"Tolong! Toloong!" teriak seorang gadis berparas cantik.
Remaja itu langsung lari tunggang langgang karena terkejut. Dia tidak menyangka jika si pemilik dompet tersadar saat dompetnya ditarik keluar dari saku celana.
Raka yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik sang pencopet, dengan sigap menghadang si tukang copet. Terjadi perebutan dompet antara Raka dan tukang copet. Setelah beberapa saat, dompet pun berhasil direbut Raka.
Pencopet pun digiring massa ke kantor polisi terdekat. Sedangkan Raka mengembalikan dompet pada perempuan cantik tadi. Kemudian Raka berlalu begitu saja karena matahari sudah mulai menampakkan diri, dia harus sekolah.
Shafiyah Kusuma Wijaya, biasa dipanggil Shofie, gadis berparas cantik dan bersuara lembut. Dia baru saja lulus sarjana pendidikan dan diterima bekerja di sebuah sekolah swasta. Hari ini adalah hari pertama dia bekerja.
Shofie sengaja memilih kota itu sebagai tempat untuk mengabdikan ilmunya. Hal ini dikarenakan, dia baru saja patah hati dikhianati oleh sang kekasih dan temannya. Untuk mengobati luka hatinya dia memilih menjauh dari kedua pengkhianat itu.
Sebelumnya, Shofie bermaksud memasak terlebih dahulu sebelum berangkat kerja. Berhubung bahan-bahan yang akan dimasak tidak ada, dia ke pasar yang terletak tidak jauh dari rumah kontrakannya. Namun, nasib baik tidak berpihak padanya.
Hari pertama bekerja harus terlambat sampai sekolah. Gara-gara adanya kejadian pencopetan tadi, dia harus pulang terlambat dari pasar. Bahkan dirinya tidak jadi memasak.
"Pak, bisa bukain pintu gerbang?'' mohon Shofie pada satpam jaga dengan wajah memelas.
"Kamu siapa? Ada perlu apa kamu ingin masuk ke linkungan sekolah?" tanya satpam dengan mata melotot.
"Hm, saya guru baru di sini, Pak. Saya ingin bertemu dengan Bapak Kepala Sekolah. Boleh, Pak? Boleh ya, Pak? Ya? Ya?" bujuk Shofie pada satpam itu.
"Tunggu sebentar, saya tanyakan pada Edward dulu!" jawab satpam akhirnya menyerah mendengar rengekan guru baru itu.
Satpam itu pun langsung masuk ke pos satpam, menghubungi kepala sekolah yang bernama Edward. Tak lama kemudian satpam itu datang dan membuka pintu gerbang sekolah.
"Anda harus menghadap Bapak Kepala Sekolah terlebih dahulu! Begitu pesan dari beliau," ujar satpam dengan name tag Agus itu.
Betapa bahagianya Shofie mendengar dia diijinkan masuk oleh kepala sekolah. Senyumnya mengembang seketika.
"Terima kasih, Pak," ucap Shofie dengan wajah berbinar.
Satpam itu mengangguk menjawab ucapan Shofie. Dia langsung menggelengkan kepalanya setelah Shofie sudah tidak terlihat lagi.
"Ck, semoga saja pak Edward tidak murka karena dia terlambat datang."
"Aamiin ya robbal'alamin," sahut Raka dengan entengnya, sambil terus berjalan meninggalkan tempat itu.
Sang satpam baru tersadar jika ada orang yang menyahut, setelah Raka menghilang pandangan matanya.
"Kamvrret, siapa tadi yang menyahut omongan gue?" gumam satpam pelan, tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding.
Sementara itu, Shofie sedang mendengarkan petuah dari sesepuh di sekolah itu. Tidak hanya petuahnya saja, bahkan beliau juga menginterogasinya kenapa terlambat.
Raka yang kebetulan mengikuti guru baru itu, mendengar bagaimana kepala sekolah itu memarahi Shofie.
"Ibu cantik ini terlambat karena habis kecopetan di pasar tadi," celetuk Raka sambil tetap melangkahkan kakinya menuju kelas.
"Eh, kamu! Dasar anak tidak tahu sopan santun. Kamu terlambat juga?" panggil Pak Edward begitu mendengar ocehan seorang murid.
"Saya tidak terlambat, Pak. Tadi saya ke toilet terlebih dahulu karena sakit perut," jawab laki-laki yang bernama lengkap Raka Pradipta itu.
"Alasan saja kamu! Tadi kamu ikut-ikutan menjawab pertanyaan saya untuk guru baru ini. Apa yang kamu ucapkan itu benar?' ucap Pak Edward penasaran.
"Ya elah, Pak! Untuk apa saya berbohong? Tidak ada untungnya buat saya," tukas Raka dengan santainya.
"Apa kamu bisa membuktikan ucapan kamu barusan?"
"Kalau Bapak Kepala Sekolah tidak percaya dengan saya, silakan cek ke pasar!" sahut Raka ketus sembari berjalan menjauh.
"Siswa tadi yang membantu saya, Pak. Dia tadi berhasil merebut dompet saya dari pencopet. Saya tidak berbohong, Pak," ucap Shofie tiba-tiba.
"Baiklah, hari ini kamu saya maafkan! Tapi tidak untuk lain kali," ketus Pak Edward.
"Terima kasih, Pak. Boleh saya tahu kelas mana yang akan saya ajar pagi ini?" ucap Shofie sekaligus bertanya.
"Kamu ikuti saja anak begundal tadi, pagi ini kamu mengajar di kelas dia," sahut Pak Edward sambil berbalik ke ruangannya.
"Duh, hari pertama terlambat lagi. Sudah gitu, kepala sekolahnya jutek banget. Beda pas wawancara, hufftt!" batin Shofie sambil menghentakkan kakinya saat berjalan.
"Hmm, ini aku belok kanan atau kiri ya?" gumam Shofie bingung karena belum tahu lingkungan sekolah itu.
Bapak Kepala Sekolah tidak mau mengantarkan karena dia terlambat datang. Saat Shofie sedang bingung, ada seorang guru laki-laki yang masih muda mendekati.
"Ini yang kemarin interview sama Pak Edward 'kan?" tanya guru yang ber name tag Rizaldi.
"Mm iya, Pak. Saya hari ini mulai mengajar bahasa Inggris kelas 12. Hanya saja saya tidak tahu dimana kelas saya pagi ini," jawab Shofie.
"Maaf, bisa antarkan saya ke kelas 12 yang jam pertama pelajaran bahasa Inggris?" imbuh Shofie nyengir.
"Ayo, saya antar," ajak Pak Rizal agar Shofie mengikuti langkah kakinya.
Begitu sampai di kelas 12 IPA 2, Shofie langsung memperkenalkan diri sebagai guru bahasa Inggris menggantikan guru yang pensiun. Kehadirannya di kelas itu disambut dengan riuh rendah semua siswa kelas itu.
"Bu, Ibu sudah punya pacar belum?" tanya seorang siswa laki-laki yang biasa dipanggil Bayu.
Sofie hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu, kemudian menggelengkan kepalanya.
"Ibu mau nggak jadi pacar saya?" tanya siswa lainnya.
"Sesi perkenalan dan tanya jawab sudah habis waktunya. Sekarang kita mulai belajar. Pelajaran terakhir bersama Pak Darmoyo sampai bab berapa?" ucap Shofie dengan suara sedang tetapi tegas.
Banyak murid yang bersahut-sahutan menjawab asal pertanyaan dari guru baru tersebut. Shofie diam sampai suara keributan itu menghilang dengan sendirinya.
"Sudah capek teriak-teriaknya? Kalau kalian tidak bisa tenang, lebih baik kalian semua yang mengajar biar saya yang mendengar!" ucap Shofie yang langsung membungkam mulut semua murid di kelas itu.
Semua diam tidak ada yang bersuara. Mereka mengira jika guru baru itu lemah seperti guru perempuan lainnya. Ternyata mereka salah, tatapan tajam yang mengintimidasi menyorot semua siswa di kelas itu.
Akhirnya pelajaran dimulai. Shofie sengaja mengulang dari awal bab agar para siswanya mengerti. Raka yang sejak tadi memperhatikan Shofie mengajar semakin terpesona dengan guru berwajah baby face itu.
Jam dua siang, saatnya para siswa pulang sekolah. Raka sengaja menunggu guru baru itu keluar dari ruang guru. Dia ingin mengajak guru itu pulang bersama.
Raka melihat guru barunya berjalan ke arah gerbang sekolah, langsung bersiap untuk menghampiri. Jantungnya berdebar kencang saat wanita berparas ayu itu sudah dekat dengan dia.
"Siang, Bu," sapa Raka dengan tersenyum ramah.
"Siang. Lho, kamu kenapa belum pulang?" sahut Shofie dengan balik bertanya pada muridnya.
"Saya akan mengantar Ibu pulang. Saya takut ada yang jahatin Ibu lagi, Ibu orang baru di sini 'kan?"
"Saya ini sudah besar, sudah dewasa. Tentu bisa jaga diri dong. Kalau tadi pagi saya kecopetan bukan berarti akan terjadi lagi pada saya 'kan?" jawab Shofie dengan senyuman yang memperlihatkan lesung pipinya.
"B-bukan begitu maksud saya, Bu. Saya hanya takut saja, Ibu 'kan masih baru di sini. Belum tahu seperti apa dan bagaimana tempat ini. MIsalnya Ibu tidak mau tak masalah, saya mana boleh maksa," jelas Raka dengan lugas.
Jawaban bocah remaja itu serasa menyentil hatinya. Mau tak mau, Shofie mengiyakan tawaran muridnya. Akhirnya, Raka mengikuti langkah kaki guru cantik yang berjalan mendahului Raka.
Jarak antara rumah kontrakan Shofie dengan sekolah tidaklah jauh. Saat mereka baru berjalan beberapa blok dari sekolah, ada segerombolan preman yang nongkrong di pos ronda. Dilihat dari gesture tubuh Shofie, Raka tahu jika gadis cantik itu ketakutan.
"Hai Cantik! Godain kita dong," celetuk salah satu di antara mereka.
"Hahaha ... Lo itu nggak lihat apa? Noh, sudah ada pawangnya!" sahut temannya menunjuk pakai dagu.
Raka menggenggam jemari tangan guru baru itu dan mer**asnya lembut, bermaksud memberi tahu agar tidak takut. Raka tetap menggenggam jemari itu sampai jauh melewati pos ronda.
"Sudah aman. Ibu tidak usah takut kalau suatu saat nanti saya tidak bisa menemani Ibu. Ibu sebut saja Raka kuli panggul di pasar, jika terkena masalah," ucap Raka setelah keduanya berhenti di depan rumah kontrakan berukuran 36 meter persegi.
Keduanya hanya berdiri di halaman, diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Tanpa mereka sadari tangan mereka masih bertaut. Sampai saat Raka pamit pulang, keduanya baru tersadar.
"Maaf, Miss," ucap Raka malu.
"It's ok. Terima kasih Raka, kamu sudah mau menemani aku," ucap Shofie dengan memasang senyum termanisnya.
Shofie masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Jantungnya masih berdebar tak karuan. Padahal hanya jalan bersama muridnya yang lebih muda.
Shofie merebahkan badannya di ranjang. Saat kantuk mulai menyerang, terdengar suara ponsel berdering. Dengan malas-malasan Shofie bangun dan mengambil ponselnya yang ada di nakas.
Tanpa melihat siapa yang menghubungi, Shofie menscroll tombol hijau. Sebenarnya dia malas menjawab panggilan itu, tetapi ponselnya itu terus berdering membuat dia risih.
"Hmm," ucap Shofie dengan mata terpejam karena mengantuk.
"Assalamu'alaikum, Sayang. Kamu baik-baik saja 'kan di situ?" terdengar suara Mommy Ary khawatir.
"Wa'alaikumusalam, Mommy ... padahal baru kemarin aku pergi. Mommy sudah seperti tidak bertemu denganku selama sewindu," gerutu Shofie. Dia paling tidak suka jika ingin tidur tapi diganggu.
"Wajar, Sayang. Kamu anak perempuan satu-satunya, tapi kamu memilih tinggal di kota lain. Bagaimana Mommy tidak khawatir dengan keadaan kamu, Nak?"
"Mommy tenang saja, Shofie pasti baik-baik saja di sini. Walaupun aku belum pernah ke kota ini, aku yakin bisa betah di sini," jawab Shofie.
"Aku lebih baik tinggal di sini sendiri tiada yang mengenal siapa aku sebenarnya. Jika orang tahu siapa aku, mereka pasti akan menjilat. Biarlah seperti ini, aku lebih tenang."
Shofie kembali melamun saat sang ibu sudah memberondong dengan berbagai pertanyaan.
"Shofie, Shof!" panggil Mommy Ary.
"Shafiyah Kusuma Wijaya!" teriak Mommy Ary akhirnya yang membuat Shofie kembali ke dunia nyata
(Hayoo, siapa yang bisa tebak, ini sequelnya kisah siapa? Judul novelnya apa? Yang bisa jawab di komentar ya)
"Yes, Mom. I'm here!" jawab Shofie kesal.
"Kamu ngapain? Sejak tadi Mommy ngomong dicuekin," omel Mommy Ary
"Hoaammmm ... Shofie ngantuk, Mom."
"Sudahlah, kamu tidur saja. Nanti malam kita video call-an. Wassalamu'alaikum," ucap Mommy Ary mengakhiri percakapan mereka.
Shofie sudah tertidur pulas saat sang ibu mengakhiri panggilannya. Gadis itu sangat mengantuk karena tadi malam tidak bisa tidur. Tidak terbiasa hidup susah membuatnya agak sulit beradaptasi.
Sementara itu, sesampainya di rumah Raka bergegas mengganti pakaiannya. Dia harus bekerja untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari, juga untuk biaya sekolahnya.
Raka tidak mengenal ayahnya sama sekali, kata ibunya sang ayah meninggal saat Raka berusia belum genap dua tahun. Sedangkan sang ibu meninggal setahun yang lalu karena sakit paru-paru.
Sejak kecil Raka sudah terbiasa mencari uang untuk makan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Menjadi tukang semir sepatu, tukang panggul di pasar dia jalani dengan ikhlas. Itulah kenapa tadi pagi dia berada di pasar.
Pekerjaan Raka akan banyak menghasilkan uang pada pagi hari. Oleh karena itu, setiap jam tiga pagi dia sudah bangun untuk menjadi kuli panggul. Jika sedang tidak ada konsumen, dia akan belajar untuk mengisi waktu luang.
Sejak kecil tinggal di dekat pasar, membuat dia tahu daerah itu. Dia juga dikenali oleh banyak preman pasar karena kepandaiannya bela diri. Walaupun dia pemegang sabuk hitam taekwondo dan pencak silat, tidak menjadikan dia sebagai preman pasar.
"Bau-baunya ada yang jatuh cinta, nih!" ucap Fathur teman dekat Raka.
"Sok tau Lo!" balas Raka.
"Wohoo, pasti tahulah! Gue kenal Lo sejak bayi. Jadi gue tahu betul bagaimana saat Lo jatuh cinta," sahut Fathur meledek.
"Ngaku aja, Ka! Nggak usah malu, kita bisa jaga rahasia Lo kok!" timpal Anto, teman Raka dan Fathur.
Anto dan Fathur hanya merasakan bangku sekolah sampai SMP. Selain tidak memiliki uang untuk biaya sekolah, otak mereka tidak secerdas Raka.
"Apanya yang mau diakui? Lagian siapa yang mau punya pacar kuli panggul di pasar? Ngaco kalian ini kalau ngomong." Raka langsung pergi meninggalkan kedua temannya.
"Lo sih, Thur! Jadi pergi 'kan dia. Pasti marah sama kita itu. Yakin gue!" ucap Anto menyalahkan Fathur.
"Enak aja gue! Lo juga ikut-ikutan kok tadi," balas Fathur.
Dari tempat mereka duduk, tampak Raka sudah memanggul barang belanjaan milik ibu-ibu paruh baya.
"Dia nggak marah, tapi menjemput rejeki. Lihat noh!" ucap Fathur saat matanya menangkap kegiatan Raka.
"Buset! Jeli banget mata tu bocah. Tahu saja dimana ada uang!" decak kagum Anto begitu ditunjukkan keberadaan Raka.
Tanpa kedua temannya tahu, Raka sedang bimbang. Bimbang karena dia tiba-tiba deg-degan setiap mengingat wajah gadis yang ditolongnya tadi pagi
"Hai, Cantik! Kenalan boleh, nggak?" goda salah satu murid di sekolah Raka.
Shofie malas menanggapi anak-anak yang yang merasa sok hebat itu. Dia tetap melanjutkan langkah kakinya menuju ruangan guru. Tidak peduli teriakan anak-anak didikannya.
Shofie sedang berjalan menuju ruang guru usai mengajar anak kelas IPS. Kelas IPS dan ruang guru terpisahkan oleh laboratorium komputer. Saat melintas di depan laboratorium, segerombolan siswa sedang duduk-duduk di lorong.
Mereka adalah anak-anak dari penyandang donatur di sekolah itu. Kelakuan mereka sangatlah buruk dan sesuka hati di sekolah SMA Nuswantara itu. Oleh karena itu, tidak heran jika mereka tidak menghormati para guru.
Mayoritas guru-guru di SMA Nuswantara takut untuk menghukum mereka, dengan alasan takut dipecat oleh pemilik yayasan. Hanya guru BP saja yang berani memberi hukuman, itupun harus sesuai persetujuan pemilik yayasan.
Anak-anak itu terdiri dari Zayn, anak tunggal pemilik yayasan. Dia digadang-gadang sebagai ahli waris Nuswantara Group. Nuswantara Group bergerak dalam bidang pendidikan, ada sekolah PAUD/TK, SD, SMP, SMA dan beberapa Perguruan Tinggi.
Yang kedua, Bara, anak salah satu donatur tertinggi. Ayahnya seorang pengacara terkenal di daerah itu dan sudah memiliki firma hukum sendiri. Terakhir, Marceleo atau sering dipanggil Leo, anak seorang dokter spesialis yang memiliki klinik pengobatan. Orang tuanya juga menjadi salah satu donatur di yayasan pendidikan Nuswantara.
Ketiga anak tersebut selalu saja membuat ulah sehingga sering ditakuti murid-murid SMA Nuswantara. Apalagi ketiga anak itu berlaku tidak sopan dan seenaknya sendiri. Mereka adalah para musuh Raka.
Raka berjalan dari arah kelas menuju ruang guru. Dia ingin menjemput guru bahasa Inggris yang tidak kunjung datang. Suasana kelas sudah ribut sekali.
Dari kejauhan Raka melihat sang guru idola diganggu oleh anak-anak penguasa sekolahan. Raka pun mendekati mereka, bermaksud menjemput sang guru.
"Siang, Bu. Sekarang jam pelajaran Ibu, kenapa belum juga masuk ke kelas kami?" sapa Raka pada Shofie, sengaja mengabaikan mereka anak-anak penguasa sekolahan.
"Heh! Mata Lo nggak lihat ada kami di sini? Enak saja main nyelonong! Berani Lo sama kami?" teriak Bara merasa tidak dihargai oleh Raka.
Raka yang malas membuat keributan dengan mereka, hanya diam tak mau menjawab. Raka takut tidak bisa menahan emosi jika adu mulut dengan mereka. Dia hanya anak yatim piatu yang bisa sekolah karena beasiswa harus menjaga sikap agar beasiswanya tidak dicabut.
"Sorry, gue lagi nggak pengen ribut sama kalian. Gue ke sini cuma mau jemput guru buat ngajar di kelas gue," jawab Raka dengan tenang.
"Lo berani sama kami, hah!" bentak Leo, tidak terima mendengar jawaban Raka yang menurutnya menghina geng mereka.
"Sudah, kalian jangan ribut! Sekarang kalian bertiga masuk ke kelas kalian. Dan kamu, Raka ayo kembali ke kelas!" Shofie melerai keempat anak didiknya itu, seraya berjalan meninggalkan tempat itu menuju kelas Raka.
"Duhh, yang dibela ma guru. Pasti besar kepala dianya!" ejek Bara pada Raka karena Shofie melerai mereka. Namun, Raka acuh saja tak menanggapi ejekan geng Zaron.
Raka mengikuti langkah kaki sang guru. Dia tidak peduli dengan ejekan yang selalu ditujukan padanya. Tujuan Raka ke sekolah ini hanya untuk belajar, tidak peduli dengan tanggapan orang maupun teman-temannya.
Begitu sampai di kelas, mereka langsung belajar hingga bel tanda pulang sekolah berbunyi. Semua anak-anak kelas 12 IPA 2 langsung berhamburan keluar, kecuali Raka.
"Lho, kamu kok masih di sini? Bukannya sudah waktu pulang?" tanya Shofie heran.
"Nunggu Ibu pulang," sahut Raka nyengir, menampakkan deretan gigi putihnya.
"Kenapa menunggu saya? Saya masih ada pekerjaan, jadi pulangnya sekitar satu jam-an lagi lho. Kamu pulang aja sana, bukannya kamu harus kerja?" tanya Shofie.
"Saya hanya tidak ingin Ibu diganggu mereka yang tidak punya hati," jujur Ricky.
"Maksudnya?"
"Tidak ada maksud apa-apa. Kalau Ibu suka digodain mereka, saya bisa apa. Percuma juga saya berusaha melindungi Ibu kalau Ibu sendiri tidak mau menjaga diri sendiri." Ricky meninggalkan kelas begitu saja setelah menjawab pertanyaan Shofie.
Shofie hanya mematung mendengar kata-kata muridnya yang tidak seperti biasa. Ada nada kecewa dalam setiap ucapan anak itu.
Raka sudah menunjukkan rasa ketertarikannya pada guru baru tersebut. Namun, sepertinya sang guru belum mengerti juga. Oleh karena itu, dia tidak bisa menangkap gerak-gerik yang ditunjukkan oleh Raka.
Sudah berulang kali Raka menunjukkan perhatian yang lebih pada guru itu. Bahkan tak jarang juga dia mengatakan perasaannya di sela candaan. Akan tetapi Shofie tetap berlaku biasa saja.
Raka bergegas pulang ke rumah peninggalan orang tuanya, yang letaknya tidak jauh dari sekolah juga pasar. Namun, dalam perjalanan dia dihadang oleh geng Zaron. Mereka bertiga menghalangi jalan Raka.
"Maksud Lo tadi apa? Mau jadi pahlawan kesiangan buat guru baru itu, hah?" bentak Zayn menuntut jawaban.
"Apaan sih? Nggak ngerti gue!" jawab Raka.
"Halah, sok suci Lo! Ngaku aja kalau Lo suka sama guru baru itu 'kan?" tuduh Bara.
"Itu nggak penting, bukan urusan kalian juga. Jadi, berhenti urusi urusan orang, biar hidup Lo lebih tenang!" jawab Raka atas tuduhan itu.
"Lo!" teriak Leo kesal
Setiap hari, Raka belajar di sela kesibukannya mengais rejeki. Makan siang dengan membeli sebungkus nasi seharga 10 ribu sudah membuatnya kenyang. Bekerja sebagai kuli panggul di pasar dengan hasil tak seberapa, membuat Raka harus berhemat.
"Raka!" panggil Fathur saat Raka masih menikmati makan siangnya.
"Hmm," sahut Raka.
"Barang dagangan Ko Acong baru saja nyampe tuh. Lo ikut nggak?"
"Ambil aja, gue baru mulai makan. Kalau nunggu kelar makan keburu ditunggu barangnya," jawab Raka tenang, masih menikmati makan siang dengan lauk telur balado dan sayur daun singkong.
"Ok, trims!"
Raka tidak pernah terlalu serakah dengan pekerjaan. Walaupun Ko Acong selalu menggunakan tenaganya, dia selalu memberi kesempatan pada temannya yang lain untuk mengerjakan pekerjaan itu. Biarlah rejeki itu untuk temannya.
Setelah selesai makan, Raka duduk sebentar sembari menikmati sebatang rokok. Bukan karena bermalas-malasan kerja, dia hanya ingin memberikan kesempatan pada teman yang lain untuk mengais rejeki.
Sudah habis sebatang rokok yang dihisapnya, Raka berjalan mendekati toko yang membutuhkan jasanya. Jika dia mau, dia bisa saja mendatang Ko Acong untuk ikut membantu Fathur. Akan tetapi, dia berpikir jika dia ikut pasti gaji Fathur berkurang, jadi dia memutuskan untuk mencari di tempat lain.
Fathur lebih membutuhkan pekerjaan itu untuk membiayai ibu serta adik-adiknya. Oleh karena itu, Raka berusaha melimpahkan tugasnya pada Fathur. Agar Fathur memiliki penghasilan lebih untuk biaya kebutuhan keluarga dia.
"Ka, angkat ini ke mobil! Sudah ditunggu pembeli," teriak Pak Sarman, pemilik toko kelontong.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!