NovelToon NovelToon

Juan Dan Mentari

J & M - Bagian 1

"Aku mencintaimu," ungkap Juan pada seorang gadis bernama Monica, gadis populer di Universitas X. Ungkapan Juan sontak membuat gadis yang berdiri di belakangnya terkejut. Dialah Mentari, dia gadis yang berdiri di belakang Juan. Mentari adalah kekasih Juan saat ini.

"Juan!" panggil Mentari.

Juan menoleh ke sumber suara, dia memang terkejut dengan keberadaan Mentari di belakangnya, namun dia berusaha menetralkan perasaan terkejutnya demi sebuah gengsi.

"Sial! Siapa yang membawa Mentari ke sini? Tidak, aku tidak akan kalah dan tidak boleh kalah dalam taruhan ini," batin Juan.

Iya, saat ini Juan sedang bertaruh dengan teman-temannya. Siapapun yang berhasil membuat Monica, gadis terpopuler di kampus tersebut menerima pernyataan cintanya, dia akan mendapat predikat pria terkeren di kampus dan akan mendapatkan hadiah mobil sport merk keluaran terbaru.

"Siapa dia?" tanya Monica, dia menunjuk ke arah Mentari.

"Bukan siapa-siapa," jawab Juan, dia terpaksa tidak mengakui Mentari sebagai pacarnya di depan Monica. Juan tidak ingin usahanya untuk mendapatkan predikat cowok keren di kampus dan mobil sport itu gagal. Apalagi saat ini teman-temannya sedang merekam pernyataan cinta pada Monica.

"Tega, kamu." Mentari berucap sambil menatap mata Juan. Namun Juan berusaha untuk berpura-pura tidak mengenal Mentari.

"Lalu kenapa dia bilang tega padmu?" tanya Monica.

"Mungkin dia hanya fans--ku yang terobsesi untuk menjadi pacarku," sarkas Juan.

Mata Mentari berkaca-kaca, dia benar-benar tidak menyangka kalau orang yang dia cintai sanggup mengatakan hal itu kepadanya.

"Kamu dengarkan? Jadi kenapa masih berdiri di sini?" cibir Monica.

"Aku mendengarnya," jawab Mentari dengan suara serak menahan rasa sakit yang berkecambuh di dalam dadanya. Dia benar-benar tidak menyangka, kalau kekasihnya yang penyayang tega mengkhianatinya.

Mentari melepaskan cincin dari jari manisnya, cincin yang diberikan oleh Juan saat hari perayaan valentine, 10 bulan yang lalu. "Terimakasih, untuk hari-hari yang indah yang kamu berikan padaku," ucapnya sambil meletakkan cincin itu di telapak tangan Juan.

Sebenarnya Juan tidak ingin Mentari meninggalkannya, tapi perasaan gengsi yang tidak ingin kalah dalam taruhan membuat dia tetap berusaha bersikap tenang, seolah tidak terpengaruh dengan apapun. Padahal air mata yang mengalir di kedua pipi Mentari membuatnya ikut merasakan sakit.

"Permisi." Dengan berurai air mata, Mentari meninggalkan Juan dan Monica di tempat tersebut.

"Tari, setelah misiku berhasil. Aku akan minta maaf padamu. Tolong maafkan sikapku saat ini." Kembali Juan berucap dalam hati.

"Bagaimana Monic, apa kamu menerimaku menjadi pacarmu?" tanya Juan to the point, dia ingin secepatnya memenangkan taruhan tersebut.

Monica tersenyum kemudian mengangguk.

"Yes!" Juan mengepal tangan ke samping, dia begitu senang karena misinya berhasil. Dia berhasil mendapatkan predikat cowok terkeren dan berhasil mendapatkan mobil sport keluaran terbaru.

Setelah Monica mengangguk, teman-teman Juan keluar dari persembunyiannya dan menghampiri mereka.

"Bagaimana? Gua berhasil menjalankan tantangan dari kaliankan?" tanya Juan dengan bangganya.

"Apa ini?" tanya Monica bingung.

"Thanks, ya Monic. Berkat dirimu, gua berhasil mendapatkan mobil sport keluaran terbaru," ucap Juan. Tanpa merasa bersalah dia mencium kunci mobil yang baru diberikan oleh teman-temannya.

"Wah, loe memang keren Juan. Loe berhasil membuat Monica mau menjadi pacar loe," puji salah satu temannya.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Juan. "Dasar brengsek! Beraninya kamu menjadikan aku bahan taruhan. Brengsek kamu Juan, brengsek!" maki Monica.

Juan hanya mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan yang diberikan oleh Monica.

"Sudah puas?" tanya Juan santai.

"Kau!?"

"Kita putus!" ucap Juan. Kemudian dia dan beberapa temannya meninggalkan Monica.

*****

Setelah berpesta dengan teman-temannya, Juan kembali ke apartemen, tempat dia menginap selama belajar di Amerika. Dia tidak tinggal di apartemen itu sendiri, tapi, bersama dengan dua orang sahabatnya, Nando dan Rangga Wijaya.

"Taruhan lagi, Loe?" tanya Rangga yang sedang  duduk di depan layar televisi.

"Sepertinya menang," imbuh Nando yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Juan Rahardian tidak pernah kalah dalam taruhan," ucap Juan bangga.

"Juan, berhentilah bermain taruhan! Jangan sampai karena permainan bodoh loe, loe kehilangan cinta sejati loe." Rangga berusaha mengingatkan.

"Hedeh. Rangga, Rangga. Loe saja yang terlalu bucin sama Livya. Memangnya loe yakin, Livya bakalan setia sama loe?" Juan malah balik tanya.

"Yakin, kenapa tidak," jawab Rangga yang merasa tidak senang karena kekasihnya dibilang tidak setia.

"Livya kelihatan cinta sama loe kan karena loe sering manjain dia, memenuhi semua permintaan dia. Coba saja sekali kamu nggak ngabulin keinginan dia, loe bakalan langsung ditinggalkan olehnya," ujar Juan.

"Livya bukan orang seperti itu." Rangga merasa tidak terima dengan pendapat Juan tentang Livya.

"Menurut gua yang dikatakan Juan ada benarnya, Livya itu cewek matre. Lihat saja, kalau dia sudah mendapatkan mangsa yang lebih tajir dari loe, loe bakalan ditinggal olehnya," Nando ikut menyahut. Dia mendaratkan bokongnya di sofa.

"Tuhkan, si Nando saja tidak buta." Juan masuk kedalam kamarnya.

"Kalian yang buta," ucap Rangga jengkel.

"Menurut gua yang paling tulus itu Mentari, dia tidak pernah minta macam-macam pada Juan, walaupun tahu kalau Juan adalah anak orang kaya. Bahkan waktu Juan mau membelikannya cincin berlian, dia menolak dan malah meminta cincin yang sederhana."

Mendengar nama Mentari, Juan langsung keluar dari kamarnya. Dia baru ingat kalau tadi Mentari marah karena melihatnya menyatakan cinta kepada Monica.

"Kenapa loe?" tanya Nando heran melihat kepanikan Juan.

"Gua baru ingat kalau tadi Mentari lihat gua nembak Monica."

"Serius, loe?" tanya Nando dan Rangga bersamaan.

Juan mengangguk.

"Dan loe ngebiarin dia pergi begitu saja?"

Juan mengangguk.

"Demi mobil dan rasa gengsi loe, loe ngebiarin Mentari pergi gitu saja?!"

Juan kembali mengangguk.

"Astaga, Juan. Kalau Mentari beneran ninggalin loe, gimana? Ternyata loe sama bodohnya seperti Rangga."

Perkataan Nando sontak membuat Juan dan Rangga menoleh ke arahnya bersamaan.

"Iyalah, loe berdua bodoh. Yang satu bodoh karena terlalu bucin, yang satu lagi bodoh karena mengejar gengsi. Benar-benar tidak masuk diakal," jelas Nando.

Juan dan Rangga sama-sama melempar pulpen ke arah Nando.

"Gua gak ada waktu buat ngedengerin ocehan loe berdua. Gua harus ke tempat Mentari."

Juan segera memakai jaket yang sempat dia lepaskan. Dengan setengah berlari, dia pergi meninggalkan apartemennya.

Namdo dan Rangga hanya menggeleng.

"Menurut loe, Juan berhasil gak ya?" tanya Nando pada Rangga.

"Kayaknya nggak akan berhasil," jawab Rangga.

"Baru kali ini jawaban kita berdua sama," tambah Nando.

"Meski gua berharap Juan berhasil mendapatkan maaf dari Mentari," Rangga ikut menambahkan.

*****

Juan tiba di depan mes perempuan tempat mentari tinggal selama menempuh pendidikan di negara tersebut. Maklumlah, dia bisa berkuliah di tempat itu karena beasiswa.

"Maaf, Pak. Bisa saya bertemu dengan Mentari sebentar?" tanya Juan pada seorang security yang menjaga di depan mes.

"Mentari?" tanya Sang security memastikan.

"Iya."

"1 jam yang lalu dia pergi, sepertinya dia pulang ke Indonesia."

"Apa!?"

"Iya, karena tadi dia sempat mengucapkan salam perpisahan kepada semua penghuni tempat ini," jelas Sang security.

Juan masih tidak percaya mendengar penuturan dari Sang security. Dia memaksa untuk melihat sendiri kedalam kamar Mentari. Agar tidak terjadi keributan, security itu mengijinkan masuk untuk melihat kamar Mentari. Dan benar saja, semuanya sudah kosong, semua barang-barang Mentari sudah tidak ada di tempatnya.

J & M - Bagian 2

Dengan perasaannya yang kacau, Juan kembali ke apartemennya. Dia langsung masuk ke dalam kamarnya, tanpa menyapa dua sahabatnya yang sedang sibuk bermain game.

Rangga dan Nando saling tatap, seolah paham dengan isi hati masing-masing keduanya sama-sama mengedikkan bahu. Nando memberikan kode kepada Rangga untuk untuk bertanya kepada Juan. Rangga meletakkan stick game yang masih ada di tangannya, kemudian berjalan mendekati pintu kamar sahabatnya.

"Juan, loe nggak apa-apakan?" tanya Rangga sambil mengetuk pintu kamar sahabatnya itu.

Namun Juan hanya menjawabnya dengan "Hemm."

"Apa Mentari marah sama loe?" tanya Rangga lagi. Dia masuk ke dalam kamar sahabatnya.

"Mentari kembali ke Indonesia," jawab Juan. "Dan itu salahku, aku tidak mengejarnya tadi dan malah mementingkan gengsi."

"Kenapa loe tidak susul dia?" tanya Rangga. "Ujiankan sudah selesai."

"Gus kan masih harus menyelesaikan wajib kerja dokter gua yang tinggal beberapa bulan lagi."

"Ya sudah, satu minggu lagi gue yang akan susulin si Mentari buat loe," ucap Rangga.

"Makasih ya, Ngga. Loe memang sahabat terbaik gue." Juan menepuk bahu sahabatnya tersebut.

"Gue lanjut main game dulu," ucap Rangga sebelum meninggalkan kamar Juan.

Juan mengambil foto Mentari yang terpajang di meja yang ada di kamarnya, "Maafkan aku Tari. Maafkan aku karena aku lebih mementingkan gengsi itu dari pada dirimu. Aku janji setelah program kerja spesialisku selesai, aku akan langsung menyusulmu."

Juan kembali meletakkan foto tersebut ke tempat semula.

*****

Setelah hampir 22 jam perjalanan, akhirnya Mentari tiba di Bandara internasional Soekarno Hatta. Dia tersenyum saat melihat adik dan ibunya melambaikan tangan ke arahnya. Dengan setengah berlari, Mentari segera menghampiri adik dan ibunya.

"Akhirnya kamu pulang, Nak. Ibu kangen banget sama kamu, sudah hampir 2 tahun, ibu tidak melihatmu."

Ratih, ibu Mentari memeluknya dengan sangat erat. Bukan maksud Mentari tidak kembali ke Indonesia selama dia menempuh pendidikan S2nya di Amerika. Tapi lebih kepada kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, jika dia sering kembali ke Indonesia, maka akan banyak uang yang dia habiskan untuk membeli tiket pesawat. Dan uang itu lebih baik dia gunakan untuk biaya hidupnya sehari-hari selama di Amerika atau hanya untuk sekedar mengirimkannya kepada ibunya di Jakarta.

"Tari juga kangen sama Ibu," jawab Mentari.

"Ayo, Nak. Kita segera pulang! Iwan dan keluarganya sudah menunggu kepulanganmu dirumah," seru Ratih.

"Iya, Bu."

"Kak, memang Kakak mau menerima perjodohan itu?" tanya Bintang kepada kakaknya dengan sedikit berbisik.

Mentari mengangguk.

"Kenapa? Bukankah, Kakak bilang akan membawanya pulang bersama Kakak. Kenapa Kakak tidak melakukan itu?"

Hati Mentari kembali berdenyut nyeri karena harus mengingat pengkhianatan yang dilakukan oleh Juan. Dia masih tidak habis pikir, bagaimana kekasihnya tersebut tega mengkhianatinya.

"Tidak apa-apa, Kakak sudah putus dengannya," jawab Mentari sembari tersenyum. Namun senyum itu semakin menampakkan kesedihan yang ada di dalam hatinya.

"Tapi kenapa?" tanya Bintang.

"Bintang, kamu masih terlalu kecil untuk mengetahui semuanya. Kelak jika kamu sudah dewasa kamu akan paham dengan semua yang terjadi," tutur Mentari lembut. Dia mengusap rambut adiknya dengan lembut.

"Kak, aku ini sudah besar, sudah kelas dua SMA."

"Iya, iya, kamu sudah besar. Tapi, tetap saja bagi Kakak kamu adalah adik kecilku yang manis."

Bintang hanya menghela napasnya, dia memang tidak mengerti dengan ucapan kakaknya. Namun dari senyum yang ditunjukkan oleh kakaknya, mengguratkan kesedihan yang sedang dialami olehnya.

Mentari bersama adik dan ibunya segera meninggalkan area bandara. Mereka segera menaiki sebuah taksi online yang sudah mereka pesan sebelum nya. Dan taksi itu pun melaju meninggalkan bandara.

Setelah hampir satu jam, taksi yang mereka tumpangi pun tiba di depan sebuah rumah kontrakkan sederhana. Keluarga Mentari memang bukan orang kaya, untuk bisa bersekolah saja kedua kakak beradik itu harus berusaha keras agar bisa mendapatkan beasiswa. Dan beruntungnya kerja keras mereka membuahkan hasil. Mentari berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2-nya di luar negeri, sementara Bintang, adiknya, bisa bersekolah di salah satu SMA favorit di Jakarta.

Setelah Sang sopir mengeluarkan dua koper milik Mentari dari dalam bagasi, Mentari bersama dengan ibu dan adiknya bergegas turun dari taksi tersebut. 

"Terimakasih ya, Pak," ucap Mentari sambil memberikan uang kepada sang sopir. Mereka segera melangkah masuk kedalam rumah. Di dalam rumah tampak Iwan dan keluarganya sudah menunggu mereka.

"Nak, kenalkan ini Iwan. Orang yang akan menjadi suamimu kelak," Ratih memperkenalkan Iwan kepada putrinya.

"Iwan."

"Tari."

Iwan dan Mentari saling berjabat tangan. Iwan langsung terpesona begitu melihat wajah cantik Mentari. Berbeda dengan Mentari yang sebenarnya merasa risih dengan tatapan yang Iwan berikan kepadanya.

"Iwan, jangan menatap Mentari seperti itu!" tegur Handoko, ayah Iwan.

Handoko adalah seorang yang terkenal dermawan di kota itu. Dia sering membantu warga sekitarnya termasuk, Ratih, ibu Mentari. Sejak suaminya meninggal, Handoko dan keluarganya sering membantu keuangan keluarga Ratih. Meskipun Ratih sering menolaknya.

"Saat kalian sudah menikah, kamu bisa menatapnya sepanjang hari," tambah Handoko.

"Maaf, Om. Saya ijin ke kamar, saya masih lelah karena menempuh perjalanan jauh." Mentari meminta ijin, dia merasa tidak nyaman dengan tatapan yang diberikan oleh Iwan.

"Silakan, Nak. Yang pentingkan kamu dan Iwan sudah saling kenal. Dan untuk selanjutnya biar saya dan ibumu yang melanjutkan pembicaraan ini," ujar Handoko.

"Terimakasih, Om, atas pengertiannya, Permisi." Mentari langsung masuk kedalam kamarnya.

"Cewek itu benar-benar cantik," ucap Iwan dalam hati.

"Iwan, kamu sudah melihat wajah Mentarikan? Apa kamu masih mau melanjutkan perjodohan ini atau ...."

"Iwan setuju menikah dengan Mentari, Pah," jawab Iwan sebelum Handoko menyelesaikan pertanyaannya.

"Bodoh sekali jika aku sampai menolak menikah dengan dia. Selain pintar, gadis itu juga sangat cantik," Iwan membatin.

"Nyonya Ratih, sesuai kesepakatan kita sebelumnya, kita akan melangsungkan pernikahan anak-anak kita dua minggu lagi."

"Semua terserah Pak Handoko, kalau putriku sudah setuju, kapan pun Kami siap menerima pinangan putra Pak Handoko," jawab Ratih.

"Nyonya Ratih dan keluarga tidak usah repot-repot menyiapkan pernikahan mereka. Biar Kami yang akan mengatur segalanya, Nyonya Ratih sekeluarga tinggal terima beres nya saja."

"Sekali terimakasih ya, Pak Handoko," ucap Ratih.

"Bu, Bintang mau ikut ke kamar Kakak ya!" pamit Bintang. Dia sangat yakin kalau ada sesuatu yang terjadi dengan kakaknya.

"Kamu boleh ke kamar kakakmu, tapi jangan ganggu istirahatnya ya Nak," jawab Ratih.

"Iya, Bu."

Bintang berlari menyusul kakaknya dan sebelum masuk, dia terlebih dulu mengetuk daun pintu yang ada di depannya.

"Kak, ini Bintang."

"Masuklah, Bi!" seru Mentari dari dalam kamar.

Bintang kemudian masuk ke kamar kakaknya. Dia berjalan mendekati Mentari yang sedang sibuk mengeluarkan baju-bajunya dari dalam koper.

"Kak, kenapa Kakak putus dengan Kak Juan? Bukankah waktu itu, Kakak bilang, Kak Juan pasti akan datang untuk melamar kakak. Tapi kenapa Kakak pulang sendiri dan bilang kalau Kak Juan dan Kakak sudah putus? Kenapa Kak?" desak Bintang. Gadis yang masih berumur 16 tahun itu penasaran dengan hubungan kakaknya.

Mentari menghentikan aktivitasnya, dia menyuruh adiknya untuk duduk disebelahnya.

"Bintang, tidak semua hal yang kita inginkan bisa terjadi. Kakak memang menginginkan Kak Juan agar bisa datang bersama Kakak kesini untuk melamar Kakak. Tapi, Tuhan tidak menghendaki itu terjadi. Mungkin inilah cara agar kita bisa membalas kebaikan Pak Handoko kepada keluarga kita selama ini." Mentari mencoba memberikan pengertian kepada adiknya yang baru saja menginjak remaja.

"Tapi, Kak. Jika ibu tahu, Kakak sebenarnya tidak menginginkan pernikahan ini, ibu pasti juga akan sedih." protes Bintang.

"Makanya jangan sampai ibu tahu, biar ini menjadi rahasia kita," tambah Mentari.

"Tapi ...."

"Berjanjilah, kalau kamu akan diam saja!" seru Mentari kepada adiknya.

Bintang mengangguk.

"Malam ini, kamu mau tidur bersama Kakak atau tidur di kamarmu sendiri?"

"Aku ingin tidur bersama Kakak," jawab Bintang bersemangat. Dia naik ke atas tempat tidur dan menutup dirinya dengan selimut. "Selamat malam, Kak."

"Selamat malam," jawab Mentari. Dia tersenyum sambil menatap adiknya yang sudah memejamkan matanya.

J & M - Bagian 3

Setelah memastikan adiknya sudah terlelap, Mentari kembali keluar dari kamarnya. Dia menemui ibunya yang sedang sibuk membereskan piring.

"Biar Tari saja, Bu. Yang menyelesaikan ini," ucap Mentari.

"Tidak usah," jawab Ratih.

"Tari, apa kamu yakin ingin menerima pinangan dari Iwan?"

Pertanyaan Ratih, membuat Mentari menoleh kearahnya.

"Kenapa Ibu menanyakan hal itu?" tanya Mentari.

Ratih mencuci tangannya, kemudian dia menatap putrinya. "Ibu cuma ingin kebahagiaanmu. Jika kamu memang tidak ingin menerima perjodohan itu, ibu pasti akan mendukungmu."

Mentari menggenggam tangan ibunya, "Bu, Tari yakin dengan pilihan ibu. Tari percaya, kalau Ibu, tidak akan salah memilihkan jodoh untuk Tari."

"Tapi, Nak. Jika kamu memang memiliki calon lain, yang kamu cintai dan yang mencintai kamu. Ibu, pasti akan menolak lamaran Pak Handoko. Karena bagi Ibu, kebahagiaanmulah yang paling penting."

"Tidak Ibu. Saat ini tidak ada orang yang Tari cintai ataupun yang mencintai Tari. Jadi Tari pasti bahagia dengan pilihan Ibu," ucap Tari yang berusaha untuk meyakinkan ibunya.

"Mungkin dengan menikahi Iwan, aku akan bisa melupakan perasaanku pada Juan," batin Mentari.

"Syukurlah, jika seperti itu. Ibu hanya tidak mau memaksakan kehendak Ibu."

Tari tersenyum.

"Sudah, istirahat sana! Ibu yakin, kamu pasti masih capek!" seru Ratih.

"Nggak apa-apa, kok, Bu. Tari bisa tidur setelah ini."

Mentari mengambil piring yang berada di tangan sang ibu.

"Ya, sudah. Tapi, setelah selesai langsung tidur ya, Nak!"

"Iya, Bu," jawab Mentari sambil tersenyum. "Sana, ibu istirahat saja. Serahkan semuanya pada Tari."

"Baiklah, ibu tidur duluan ya!" Ratih mengusap tangan sang putri pelan.

Tari mengangguk kemudian tersenyum. Setelah menyelesaikan pekerjaanya, Tari kembali masuk kedalam kamar. Dia merebahkan tubuhnya di samping Bintang yang sudah terlelap. Mentari menatap wajah Bintang sejenak kemudian mengambil gawainya. 

Mentari menghidupkan gawai yang ada di tangannya. Ternyata banyak pesan dan panggilan tak terjawab di layar gawainya tersebut dan itu dari kekasihnya, Juan. Mentari hanya membaca semua pesan itu tanpa berniat membalasnya. Hatinya masih terlalu sakit, ketika mengingat pernyataan cinta Juan kepada Monica.

"Aku memang tidak sebanding dengan Monica," gumam Mentari, dia kembali meletakkan gawainya di atas nakas.

"Bintang, adikku yang ceroboh. Semoga kelak kamu bisa mendapatkan pria yang benar-benar mencintaimu. Tidak memandang harta dan kedudukan kita. Semoga nasib cintamu lebih beruntung dibanding Kakak," ucap Mentari kepada adiknya yang terlelap. Dia mencium kening adiknya, kemudian ikut memejamkan matanya yang memang sudah lelah.

*****

Di tempat lain.

Juan terus melihat ponselnya dan berharap, Mentari akan membalas pesan yang sudah dia kirim. Tapi, sepertinya dia harus memupus keinginannya tersebut. Karena meskipun pesan itu sudah dibaca, belum ada pesan balasan dari kekasihnya itu. Juan hendak menelpon kekasihnya itu. Namun, perbedaan waktu 12 jam, membuat ia mengurungkan niatnya. Terlebih dia tahu, kalau Mentari baru saja menempuh perjalanan jauh dari Amerika ke Jakarta.

"Kenapa?" tanya Rangga dan Nando bersamaan.

Saat ini mereka bertiga sedang duduk di restoran yang tidak jauh dari apartemen.

"Mentari belum membalas pesan gua," jawab Juan.

"Mungkin dia belum baca," sahut Nando.

"Dia sudah membacanya. Tapi, sepertinya dia memang tidak ingin membalas pesan gua."

"Sabar saja. Beri dia waktu sendiri," tambah Rangga.

"Tapi, kalau dia beneran nggak pernah balas pesan gua gimana?"

"Itu namanya resiko. Siapa suruh loe main taruhan itu."

"Iya, gua tahu, gua salah. Tapi, loe jangan terus ngingetin gua soal itu lagi," tukas Juan.

Nando hanya mengedikkan bahu.

Juan menghela napasnya. Dia menatap mobil mewah hasil taruhannya waktu itu. Mobil yang harus membuat dia kehilangan orang yang dia cintai, Mentari.

"Harusnya gua nggak ikut taruhan itu," sesal Juan, dia kembali menghela napas panjangnya. "Ternyata mobil itu tidak lebih berharga dari Mentari."

"Bukankah gua sama Rangga sudah ngingetin loe sebelumnya, kalau permainan konyol yang loe ikuti, bisa bikin hubungan loe hancur. Dan lihat, semua jadi kenyataan kan sekarang."

"Gua nyesel."

"Makan tuh penyesalan," jawab Juan. 

"Sialan loe, bukannya ngasih kata-kata yang bisa bikin hati gua tenang. Malah bikin gua tambah galau. Bener-bener teman nggak ada akhlak."

"Emang. Habisnya selama ini loe susah kalau diingetin."

Juan mencebikkan bibir mendengar ucapan Nando.

"Dasar, teman durhaka kalian!"

"Ya sudah, kalau ngerasa galau, susul dia gih sekarang!" seru Rangga.

"Untuk saat ini gua nggak bisa," jawab Juan.

"Berarti ya nunggu minggu depan. Gua baru pulang minggu depan. Nanti begitu gua pulang, gua langsung nyari Mentari buat loe."

"Thank ya, Ngga."

"Terimakasihnya, nanti saja kalau gua sudah berhasil bujuk Mentari," tukas Rangga.

Ketiganya kembali melanjutkan makan mereka.

***

Satu minggu kemudian ….

Sesuai janjinya kepada Juan, begitu tiba di Indonesia Rangga langsung mencari keberadaan Mentari. Berbekal alamat yang diberikan oleh sahabatnya, dia memulai pencarian.

"Apa ini rumah Tari?" tanya Rangga dalam hati. 

Rangga menatap rumah sederhana yang berada di hadapannya.

"Tapi menurut alamat yang diberikan oleh Juan, ini memang rumah Tari." Rangga menatap secarik kertas yang diberikan oleh Juan sebelum dia berangkat. 

Rangga melepaskan seat belt dan turun dari mobil yang dia kendarai. Sebelum melangkah ke rumah Mentari, dia mengambil kotak titipan dari sahabatnya yang ada jok belakang.

Rangga mulai mengangkat tangannya saat berada tepat didepan pintu. Namun sebelum dia sempat mengetuk pintu tersebut, pintu itu sudah terbuka. Seorang gadis berpakaian putih abu-abu keluar dari dalam rumah.

"Siapa kamu?" tanya gadis itu. Dia menatap Rangga dari atas hingga bawah.

"Aku Rangga, sahabat Juan sekaligus teman Mentari," jawab Rangga sambil memperkenalkan diri, dia mengulurkan tangannya.

Gadis itu tidak membalas uluran tangan Rangga. "Tunggu disini!" seru gadis itu kepadanya.

"Sabar Rangga, sabar. Dia cuma anak kecil yang belum tahu tata krama," batin Rangga. 

"Iya, Dek. Aku akan menunggu di sini," jawab Rangga yang berusaha tetap tersenyum dihadapan gadis itu.

Gadis itu kembali masuk kedalam rumah. Tidak lama kemudian dia kembali dengan membawa seember air dan menyiramnya ke tubuh Rangga.

"Hei, apa yang kamu lakukan?!" suara Rangga meninggi.

"Bilang sama teman Kakak yang bernama Juan, jangan ganggu kakakku lagi! Karena sebentar lagi Kak Tari akan menikah."

Untuk sesaat Rangga terdiam, dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

"A--apa katamu? Tari akan menikah?" tanya Rangga memastikan.

"Iya, minggu depan dia akan menikah. Jadi jangan ganggu dia lagi!"

"Tolong ijinkan aku bertemu dengan Mentari sebentar!"

"Kak Tari tidak ingin bertemu dengan siapapun. Jadi pergilah!" seru gadis itu.

"Baiklah, aku akan pergi. Tapi berikan ini pada Mentari, ada surat dari Juan juga di dalamnya." Rangga menyerahkan kotak yang dia bawa kepada gadis itu.

"Aku akan berikan ini kepada Kak Tari, jadi pergilah sekarang!" 

Setelah menerima kotak dari Rangga, gadis itu menutup pintu dengan sangat keras.

"Dasar cewek gila!" Rangga meneriaki gadis tadi. Dia segera berjalan dan kembali masuk kedalam mobilnya.

"Juan, jika kamu sudah tidak sibuk, hubungi aku. Ini soal Mentari dan ini penting." Rangga mengirim pesan suara kepada sahabatnya. Usai melakukan itu, dia kembali menghidupkan mesin mobilnya, kemudian meninggalkan halaman rumah Mentari.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!