"Ingat, dan dengar baik-baik! Kamu harus bersikap manis, dan jangan pernah punya rencana untuk kabur dari laki-laki itu."
Suara Julaeha penuh dengan penekanan. Wanita paruh baya itu tidak menghiraukan lolongan menyayat hati gadis berambut cokelat dan bermanik hitam itu.
"Ibu.. ampuni saya, jangan lakukan itu pada Lupi bu."
Tangis gadis itu seakan bukan lagi sebuah rintangan untuk seorang ibu yang seharusnya melindungi dan memberikan nasihat bijak.
"Sudah ikuti saja perintah ibu, ini untuk kebaikanmu juga, lama-lama kamu juga akan ketagihan, dan hidup dengan nyaman. Tinggal pilih saja mana yang kamu suka."
Riris kakak perempuannya, gadis yang berdandan menor berusia tidak jauh terpaut dengan usianya itu, seolah memberikan percikan api kepada Palupi yang sedang tersedu.
"Ibu, saya akan melakukan apapun untuk Ibu dan kak Riris, tapi izinkan saya untuk tidak pergi malam ini Bu, saya tidak mau!"
Kembali ia mencoba menawar perintah sang ibu. Namun sang ibu tidak bergeming sama sekali, bahkan masih juga menyibukkan diri untuk persiapan gadis itu. Senyum puas menghiasi bibir seorang Ibu, tanpa kelembutan hati itu.
"Lihatlah kehidupan kita. Apa iya kamu mau jadi kèrè dengan cara hidup begini. Sudah waktunya kamu membalas kebaikan ibu yang selama ini membesarkan kita."
Kembali suara Riris begitu menyakitkan siapapun yang mendengarnya.
Dari balik pintu kamar yang sempit itu muncul kembali wanita dengan menenteng kotak besar.
Dengan tidak sabar ia membuka isi kotak tersebut, gaun malam sexy warna merah maroon, dan belahan dada yang sangat rendah, tentu akan sangat menggiurkan bagi siapapun yang melihatnya.
Tubuh sintal Palupi memang beda dengan gadis yang usianya sebaya, dua onggok buah aprikot itu sedang ranum-ranumnya, berisi dan menggoda. Hidung mancung, kulit putih bersih dengan rambut yang cokelat alami anugerah Yang Mahakuasa memang luar biasa indahnya.
"Palupi lakukan saja! Kapan lagi, seratus juta bukan uang yang sedikit, kita bisa mengubah kehidupan kita yang mulai membosankan ini. Kamu juga harus membantu biaya kuliah mbak Riris, biar kelak dia jadi wanita karir seperti mereka, dan kehidupannya tidak dipandang rèmèh oleh para tetangga kita."
Wanita paruh baya itu lancar mengucapkan kata dengan enteng di depan kedua gadis yang ia besarkan bersama.
"Ibu, saya akan bekerja dengan keras, saya akan membantu mbak Riris, tapi jangan menyuruh Lupi untuk bersama pria itu ibu, saya mohon."
Kembali Palupi menautkan kedua tangannya, dan bersimpuh di kaki wanita paruh baya itu.
Dengan pandangan mata sinis, Riris mendekatkan tubuhnya dan duduk di samping Palupi.
"Lupi, ini adalah kesempatan emasmu meraih dari awal, lupakan tentang harga diri. Apa yang akan kamu dapatkan dengan harga diri?"
"Mbak, Lupi tidak mencintainya, Lupi tidak tau siapa laki-laki itu. Kenapa harus Lupi, mbak? Apakah dengan begini akan mengubah kehidupan kita?"
"Mbak, kenapa bukan mbak saja yang ibu tawarkan? Kalau mbak ingin menjadi wanita karir, aku juga ingin menjadi wanita baik-baik tanpa harus menjual kehormatan." Desis Palupi geram demi mendengar jawaban yang Riris berikan soal harga diri.
"Tak guna kamu melawanku Lupi, kamu harus sadar kamu bukan siapa-siapa di sini. Sudah sewajarnya kamu membalas kebaikan ibuku yang telah membesarkanmu hingga sampai saat ini."
Riris dengan suara lantang membentak Palupi gadis malang itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, saat Palupi harus menyiapkan diri dengan bantuan seorang penata rias, orang suruhan Juleha.
"Kamu cantik Lupi, maafkan tante tidak bisa menolongmu dalam keadaan seperti ini. Yang sabar Lupi, semoga ibu dan mbakmu akan sadar dengan semua perbuatannya, kamu yang ikhlas ya nak."
Tante Zahra, seorang perias pengantin dari kompleks perumahan sebelah yang disewa Juleha untuk memberikan sentuhan make-up pada wajah Palupi. Dia hanya bisa memberikan semangat, tidak lebih dari harapan seorang Palupi.
"Tante, apakah kehidupanku kelak akan berubah hanya sebagai seonggok sampah saja?"
Isak Palupi tanpa bisa dibendung lagi. Duka nestapa yang harus dirasakan saat ini.
Sentuhan demi sentuhan lembut memoles wajah cantik Palupi dengan warna natural, tidak membutuhkan polesan berlebihan, sudah membawa pada keelokan seorang Palupi.
Gaun merah maroon sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih bagaikan pualam nilakandi, membungkus tubuh Palupi dengan sempurna. Tampilan lekuk rambutnya yang indah ikal dan bergelombang, dalam gelungan sehingga menyisakan leher jenjang, dengan beberapa sulur yang dibiarkan berjuntai indah, menambah nuansa dewasa dan anggun bagi sosok Tan Palupi Gulizar, yang baru saja menginjak usia genap tujuh belas tahun.
Tiba juga waktu yang telah dinanti-nantikan Juleha. Mata tuanya menyorotkan kepuasan, dan angan tentang cek seratus juta menari lincah di kepalanya.
Mobil hitam bernuansa mewah itu pelan merapat di ujung halaman sempit milik Julaeha.
Dengan sigap wanita paruh baya itu menghampirinya, dan membungkukkan tubuh kurusnya ke hadapan seorang laki-laki muda yang duduk di dalam mobil bagian belakang.
Seorang sopir turun, berjalan memutar lalu membuka pintu untuk Palupi.
Dengan ragu Palupi berjalan, sedikit mendapatkan dorongan tubuh dari tangan Riris yang tidak sabar sambil mencibir.
"Pergilah nak. Hati-hati di sana semoga Tuhan selalu melindungimu." Bisik tante Zahra, dengan airmata yang menganak dan siap meluncur di pipinya.
"Sabar nak."
Langkah berat kaki indah Palupi memasuki mobil, yang telah dibukakan oleh sopir pribadi itu.
Tidak ada salam perpisahan, tidak ada ucapan kekhawatiran yang ia harapkan dari seorang ibu, yang selama ini dia anggap tulus dan penuh kasih.
Lelaki yang berprofesi sebagai sopir itu menyodorkan amplop berwarna cokelat kepada Juleha.
Namun dengan sigap Riris merebut, bungkusan kecil persegi panjang itu.
Bu Zahra menatap kelakuan ibu dan anak tersebut dengan mengelus dada, dan mengusap sisa bening yang meleleh di pipinya.
"Bu Zahra, ini upah untuk merias Palupi tadi, dan ingat jangan pernah menceritakan apa yang ibu lihat kepada siapapun. Kalau ibu tidak ingin menanggung malu, sebab ibu juga punya anak perempuan!" Seringai ancaman juleha kepada Zahra.
"Bu Leha, saya ikhlas. Tidak usah dibayar juga tidak apa-apa, saya tidak tega memakan uang hasil dari kesusahan Palupi, saya juga akan melindungi anak saya dari kenistaan terima kasih, permisi." Zahra berlalu dengan sembilu yang mengiris jiwa yang ia rasakan sebagai seorang perempuan dan Ibu.
"Oh.. belagu sekali, orang miskin saja bertingkah sok kaya." Cibir Riris sambil berlalu masuk ke dalam rumah.
Hi... Favouritenya donk Emak, Om, Akak 😂 hadir lagi di sini.
Mohon dukungan dan semangat dari kalian semua dengan karya baru ongoing Rhuji.
Jangan lupa komen, like dan rate ⭐🖐️
Selamat membaca 😘
"Lepaskan aku tuan, jangan bawa diriku pergi. Aku tidak mau ikut bersama tuan. Oh... Tolong tuan."
Aku berusaha meronta, namun tidak mengubah hati kedua pria itu menjadi belas kasihan.
"Aku bukan pel*cur, tuan! Jangan paksa aku untuk melayani dan melakukan kemauan tuan. Aku tak sudi melakukan seperti yang dilakukan mereka pada pria hidung belang itu."
Tangis ku tetap saja menulikan pendengarannya.
"Hei tuan...! Kenapa uang begitu berharga bagi ibuku dan mbak Riris? Mereka tega menawarkan tubuhku dengan nilai seratus juta." keluarkan aku tuan.
"Kalaupun aku hanya anak pungut, lalu siapakah kedua orang tuaku?"
Palupi mengadukan semua rasa. Andaikan boleh memilih, ia tentu tidak pernah ingin terlahir sengsara.
Palupi meraih tissue yang disodorkan laki-laki itu padanya.
Air matanya terus mengalir. Ingin mati saja rasanya. Palupi membuang pandangan mataku ke arah gemerlapnya kota metropolitan, sambil mengelap air mata.
Belum pernah sekalipun ia menjejakkan kakinya ke tempat seramai ini. Bahkan walaupun sekedar hang out dengan sesama kawan sebayaku.
Waktu santai seperti itu sangatlah langka baginya. Jangankan hang out, keluar rumah pun tidak ada kesempatan bagiku. Waktunya tersita penuh dengan pekerjaan rumah yang setiap saat ada saja yang harus ia kerjakan.
"Haruskah aku membenci sosok ibu yang membesarkan ku? Haruskah aku menaruh dendam padanya? Sedangkan tanpa ibu aku bukan siapa-siapa, tanpa ibu tidak mungkin aku menjadi besar seperti ini." Palupi bermonolog dalam batinnya.
Tubuhnya menggigil karena dinginnya air conditioner, yang menerpa kulit Palupi dengan pakaian minim dan terbuka seperti ini.
"Sampai kapan kamu harus menangis? Aku tidak suka wanita cengeng sepertimu! Hilangkan suara isakan itu, atau kubuang dan kulempar kamu ke bawah jembatan itu."
Suara bariton yang penuh ancaman itu, membuat nyali Palupi menciut dan semakin ketakutan.
"Antarkan saya pulang kembali tuan, saya takut."
Palupi melirikkan ekor matanya pada laki-laki yang duduk melipat kaki di sebelahnya, laki-laki itu melepas jas hitam yang dipakainya lalu mengulurkannya pada Palupi.
"Pakailah ini, tubuhmu tidak pantas untuk dinikmati pandangan pria lain, sebelum kunikmati terlebih dulu."
Aku tak tahu apakah pria itu mengancam atau sekedar bercanda, senyum miring itu membuatku tidak nyaman di buatnya.
"Tuan... , air mata ini sulit kutahan. Biarkan aku menangis dulu. Setelah itu aku akan diam seperti yang tuan inginkan." Ucap Palupi lirih.
Palupi membatin,
"Suatu saat pasti aku akan kabur darimu tuan, lihat saja! Aku tidak mau menjadi budak nafsumu tuan."
Palupi hanya pasrah mau ditendang atau dibuang ke jurang sekalipun akan ia terima. Toh ia akan menjadi sampah yang tidak berharga setelah ini.
Palupi meraih jas itu lalu memakainya untuk menutupi tubuh, dan itu memberikan sedikit kehangatan yang ia rasakan.
Palupi merasa sedikit nyaman, wangi bau jas ini membuatnya sedikit terhibur dari rasa takut dan kebencian itu.
Palupi meraih ujung gaun yang ia pakai, lalu Palupi menggunakan untuk mengusap air mata serta ingus beningnya.
Srootttt....srooottttt.
"Hei, kamu! Sudah cengeng jorok juga kamu rupanya heh..!"
Bentak pria itu bagaikan petir.
Merah padam wajah pria itu membuat Palupi ingin pingsan saja.
Gemetar tubuh nya, demi mendengar bentakan yang jelas dia tujukan padanya. Palupi menyesal dengan semua tindakan yang ia lakukan barusan.
Tapi sungguh, ia tetap tidak peduli.
"Ray, kita ke butik Liana dulu," terdengar perintah itu menuntut untuk segera, dan tidak bisa ditangguhkan.
"Baik kita ke sana," jawab Ray.
Tidak lama kemudian mobil berhenti. Kami tiba di rumah yang indah dengan taman kecil yang asri di halamannya.
'Liana's Boutique'
"Oh..., kenapa boss datang tanpa nelfon dulu? Iihh... kebiasaan deh...," Suara kemayu itu mengorek telingaku, membuatku merinding geli.
"Ubah penampilan dia, aku tidak ingin ada lalat hinggap di pundaknya yang terbuka dan terlihat menjijikkan itu."
"Kuberi waktu sepuluh menit."
Perintah laki-laki itu, membuat sedikit lega, dan tentu saja tidak menutup kemungkinan Palupi akan memakai baju yang tertutup.
Kaki kecil itu melangkah mengikuti wanita jadi-jadian, yang berjalan melenggok gemulai seperti cacing menggeliat di atas aspal panas. Tubuhnya sexy seperti boneka Barbie.
"Duh say... Kamu cantik, matamu itu loh say..., cantik sekali. Kamu harus melayani boss John itu dengan bagus loh, seperti ini."
Wanita jadi-jadian itu menjulurkan lidahnya seperti sedang menghisap sesuatu, dan meliukkan tangan dan tubuhnya persis seperti cacing kepanasan saja.
jijik...
" Bantu aku, mau kabur saja dari suasana seperti ini." iba Palupi lagi pada Liana
'Tuhan..., selamatkan hamba, dari tempat yang mengerikan ini' Batin Palupi.
Laki-laki gemulai itu menuntunnya kembali ke ruangan semula setelah selesai mengubah penampilannya, Awalnya memakai gaun dengan dada terbuka. Bentuk pakaian itu mengekspose tonjolan buah aprikot milik Palupi. Bentuknya sedikit menyembul menampakkan wujudnya.
Sekarang penampilan Palupi telah berubah. Ia tampil dengan gaun yang lebih elegan dan tertutup.
Pakaian yang memberikan kenyamanan pada dirinya saat menggunakan.
"Apakah dengan dandanan seperti ini, aku sudah menjadi wanita ja*lang...?"
Aku tidak mau mas.
"Say... Ingat yah... layani boss ini dengan benar."
Liana kembali berbisik, "Dia perkasa loh kamu lihat tuh yang dia sembunyikan."
Mata Liana berkedip sebelah kiri, sambil menjulurkan alat pengecap rasanya itu.
Palupi menatap mas Liana dengan tatapan bingung
Liana kembali berbisik, "Itu loh... belalai gajah Afrika miliknya. Ooh baby ..."
Kemudian Liana melangkahkan kakinya dan mendekat ke arah pria yang dipanggil dengan sebutan Ray itu.
Sekelebat tangannya sudah mendarat dengan sengaja pada pangkal area pertandingan milik Ray si sopir itu.
"Sekali lagi kamu berani melakukan itu padaku, akan kugantung terbalik tubuhmu di pohon yang ada di depan itu!"
Ancam Ray ketus, sambil mendelik ke arahnya.
Liana tidak peduli, ya memang dia sudah terbiasa dengan ulahnya yang tidak wajar itu.
Dia tetap berlalu dan berjalan semakin genit saja, sambil mendekat ke arah pria yang bernama John Norman.
Laki-laki bernama John Norman itu memandang Palupi dengan tidak berkedip. Sorot matanya membuat merinding.
"Boss, dia masih tersegel ya. Jangan sembarangan menancapkan belalai gajah Afrika mu. Kasihan bila dia menjadi trauma, ha..ha..ha..."
Tawa nge-bass mas Liana, membahana dalam ruangan itu.
Mata John Norman melotot, mewakili malaikat pencabut nyawa memandang ke arahLiana.
Liana yang menyadari itu, buru-buru berlalu menyelamatkan dirinya dari pandangan dua laki-laki ini.
Berbeda dengan Ray yang langsung membukakan pintu mobil untuk pasangan itu.
Pandangan mata John beralih menatap Palupi tanpa berucap, seolah-olah ia hendak menerkamnya hidup-hidup.
Mobil melaju dengan tenang, mengarah pada jalanan remang dan lengang. Ke manakah Palupi akan dibawa oleh pria ini?
Apakah setelah dia merenggut kesucianku, dia akan membunuh dan membuang, atau mencampakkan Palupi ke dasar jurang.
Oh Tuhan...
Tragis nian nasib Palupi. Dijual dengan nominal seratus juta.
Berkelebat bayangan demi bayangan dalam benak palupi tentang hal buruk yang mungkin akan terjadi padanya.
Semua itu membuat Palupi lelah berpikir dan akhirnya membawanya ke alam mimpi.
palupi terlelap entah berapa lama, dan berapa jauh jarak yang telah mereka tempuh bersama dua pria yang belum kenal siapa mereka.
Happy reading baby
To be continued 😘😘
Hawa dingin dan harum membuatku membuka mata dan ingatanku sedikit normal kembali.
Oh ..., di mana aku berada?
Gaunku? Siapa yang menggantinya? Apa yang terjadi padaku?
Apakah kesucianku sudah terenggut?
Kusingkap selimut yang menutupi tubuhku, mataku sibuk mencari sesuatu di seprei, tetapi tak setitik noda pun kutemui.
Baju tipis yang aku kenakan serasa telanjang, aneh rasanya. Apa laki-laki itu sudah menikmati tubuhku? Ah ... Entahlah!
Aku menatap seluruh ruangan tertutup ini, kucoba buka pintu kokoh itu namun terkunci rapat. Ingin aku melompat dari jendela ini saja, tetapi terlalu tinggi untukku dan aku jelas tidak mau mati konyol.
Kuamati tubuhku melalui pantulan cermin, tubuhku hanya terbalut kain tipis bahkan lekuk tubuhku jelas terlihat.
Buah aprikotku menonjol jelas berwarna pink pada ujungnya kecil mencuat.
Mataku menatap risih dengan pemandangan pada diriku sendiri, kembali aku termenung sendiri di tempat asing ini, sejuta pikiran untuk kabur mengusik asaku.
Samar kudengar suara orang bersiul, aku melongok ke arah jendela, kucari darimana suara siulan itu berasal.
Brugh... Sreet, srett...
"Mau bunuh diri rupanya kamu heh?" Suara itu membuatku membalikkan badan pelan-pelan.
Kelu rasa lidah ini, ingin 'ku menjerit saja atau berlari mencari tempat untuk sembunyi.
Buru-buru kuraih selimut lalu menutupi tubuhku yang terbalut kain yang kurang bahan benang ini.
"Aaaahhkkk!" Teriakku.
"Pergi kamu! Dasar laki-laki mesum tidak tau sopan-santun. Pergi..., atau kudorong kamu ke dasar lantai itu." Aku tidak perduli dengan siapa lawan bicaraku, dalam benakku hanya terbesit untuk tidak lemah di depan siapapun.
Jantungku serasa mau lepas saat melihat sosok tinggi besar itu, begitu saja melenggang tanpa satu helai benangpun yang melekat pada tubuhnya, dengan rambut yang masih basah dan dada bidang serta perut bentuk six pack persis seperti iklan film India yang pernah kulihat di tv.
Serasa mataku ternoda ketika jelas kulihat sesuatu terjuntai mengikuti gerakan tubuhnya.
Kututupi mataku dengan selimut tebal dan sembunyi di baliknya.
Tidak kudapatkan jawaban sepatah katapun, aku beringsut menjauh dari laki-laki itu.
Sepi, tak ada suara.
Kemana dia?
Perlahan aku keluar dari balik selimut.
"Ganti bajumu dengan yang benar, dan jangan pernah coba-coba untuk melarikan diri dari tempat ini, kalau tidak ingin kupotong kakimu yang jelek itu."
"Tuan, saya ingin pulang! Saya akan mengembalikan uang yang telah ibuku terima dengan cara mencicil, saya mohon tuan," aku lupa dengan keadaanku, aku berjalan mendekat dan menautkan kedua tanganku memohon pada laki-laki bernama John Norman itu.
"Hmm ya, kamu akan bekerja padaku, dan itu sudah termasuk cicilan utang-utang kakak dan ibumu padaku." Aku terpana demi mendengar jawaban itu. Ibu dan kakakku mempunyai utang padanya.
"Baiklah tuan, saya mau bekerja sekarang saja. Biar segera lunas utang mereka dan saya bisa pulang berkumpul kembali dengan mereka." Semangatku memacu harapan untuk aku segera mendapatkan jalan dan mencoba keluar dari calon neraka ini.
John Norman menatapku tajam, perlahan dia berjalan mendekat ke arahku.
Tubuhku diangkat dan dilempar jatuh di atas tempat tidur king size. Tangan kekar itu mendorong tubuhku dan menatap nanar ke arahku.
"Tu..tuan, lepaskan saya! Apakah ada ucapan saya yang salah?" Aku coba meronta namun tenaga yang kumiliki tidak seberapa.
Tangan kekar itu merobek baju tipis yang kupakai tanpa menghiraukan jeritanku.
"Ini yang kamu mau kan, hmm! Kamu sudah menantangku untuk membayar semua utang-utang keluargamu itu."
Dia menarik dan merobek paksa baju yang kukenakan hingga terlepas semuanya. Diambilnya dasi dan menarik ke atas kedua tanganku, kemudian dia mengikatnya.
"Jangan tuan, jangan...! Ouh sakit tuan." Dia mere*mas dan menggigit tonjolan kecil buah aprikotku, gelenyar rasa aneh bercampur sakit jadi satu.
Tangan kuat itu tidak mampu kulawan dengan kekuatan yang kumiliki.
"Tolong! Siapapun yang mendengar tolong aku, keluarkan aku dari sini."
"Diam..! Atau kurobek mulutmu." John menjambak kuat rambutku hingga kepalaku mendongak ke atas, perih aku rasakan kembali pada leherku dengan gigitan dan isapan menyakitkan itu.
"Jangan menangis, aku tidak suka wanita cengeng!"
Air mataku berderai, aku meronta sekuat tenaga kupejamkan mataku, Ibu..., tolong aku.
John menyentuh seluruh tubuhku, gelenyar aneh memberikan sensasi menakutkan bagiku. Menggigit dan meremas apapun yang ia sentuh pada bagian tubuhku.
Sakit...
Kuremas jari-jari tanganku yang terikat kuat, kupejamkan mataku serasa ingin mati saja.
Tangannya perlahan mengarah pada area imoet. "Tuan..., jangan..., jangan lakukan itu tuan, oh..., sakiiit, tuan."
Dengan tangan dan kaki terikat tidak banyak yang bisa aku lakukan, selain menangis dan menjerit hingga kerongkongan ini serasa terbakar.
Belalai gajah Afrika itu bermain di area imoet, dan tiba-tiba hentakan kuat membuatku hampir pingsan dan rasa sakit di area imoetku. Kembali kurasakan gigitan bersama erangan mungkin itu yang dinamakan kenikmatannya, tapi bukan padaku.
Tekanan yang ia berikan sangat sakit dan ngilu, aku meronta kembali.
"Tuan, jangan! Ampuni saya tuan jangan."
Akhirnya aku pingsan.
Senyap...
Kubuka mataku, dan aku melihat John melangkah tergesa menuju pada sebuah ruangan, kuduga itu adalah kamar mandi.
Samar aku mendengar suara erangan dan umpatan, yang tidak aku pahami.
Sekian puluh menit telah berlalu, dan aku masih dalam posisi pasrah, apalagi yang bisa aku lakukan dengan tubuh terikat begini.
John sudah memakai pakaian lengkap dengan aroma parfum menyeruak dalam indera penciumanku.
"Sebentar lagi Liana akan datang, menurutlah padanya dan jangan pernah sekalipun kamu berusaha kabur dariku! Karena aku akan membunuhmu bila aku menemukanmu kembali." Kurasakan sebuah kecupan mendarat di pucuk kepalaku, lalu ia berlalu meninggalkan ruangan.
Tidak lama muncul seorang perempuan paruh baya masuk dan menghampiriku.
"Mohon maaf saya akan membantu nona, membersihkan tubuh dan sebentar lagi Liana akan datang."
Wanita itu Perlahan membuka ikatan tangan ku.
Aku tidak peduli siapa dia, kupeluk dia dan menangis sepuasnya dalam pelukannya.
Kurasakan nyeri di bagian bawah perutku.
"Sabar non, tuan Norman tidak akan berbuat kejam kalau nona menurut apa yang dia inginkan."
"Panggil saya Merry, saya pengasuh tuan Norman sejak kecil." Senyum Merry membawaku pada sebuah semangat untuk kembali merajut mimpi esok hari.
"Sebentar lagi Liana akan datang dan membantu nona ."
"Membantuku? Apakah dia akan membantuku untuk kabur dari sini Merry?"
"Kenapa harus kabur Nona? Tuan Norman bertahun-tahun mencari jejak nona, tidak mungkin nona akan mudah lepas darinya."
"Sudah jangan pernah punya mimpi untuk itu nona, semua akan sia-sia." Merry menekankan kata-katanya dengan berkacak pinggang dan tersenyum menatapku.
Air hangat yang telah Merry siapkan, menguyur tubuhku segar dan sejuk, Perih rasa bekas gigitan John membuatku meringis menahan sakit.
"Pelan Merry! Sakit. Sampai kapan aku harus mengalami seperti ini Merry, apa aku akan mati setelah tuan John menikmati tubuhku seperti tadi?"
Merry hanya tersenyum lembut, lalu membimbingku berbaring lagi pada spring bed king size ynag sudah rapi saja, entah kapan dan siapa yang telah merapikannya.
Yang jelas aku hanya bisa pasrah dan menyusun siasat sendiri untuk kabur dan selamat dari neraka kecil ini.
Pof Palupi end
...****************...
To be continued
Satu pintaku pada mu 🤭
like, rate ⭐🖐️ and then komen 👍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!