Happy Reading All.
***
Waktunya memang tidak lama. Tapi bahagianya, akan selalu teringat selamanya.
***
17 Agustus, dua tahun lalu.
Seorang gadis menyeruak di antara keramaian yang tercipta di lapangan. Matanya menangkap pemuda bertubuh agak gembul di sana. "Kak Her, lihat Kak Gege nggak, ya?" tanyanya begitu sampai di hadapan si pemuda gembul itu.
"Gege? Eh, nggak nih. Maaf, ya." ucap laki-laki tersebut menjawab pertanyaan gadis di depannya tersebut yang kini menghembuskan nafas pelan. Dengan memaksakan senyumnya, ia berterima kasih dan meninggalkan lapangan yang semakin ramai.
Seperti sudah tradisi bahwa setelah upacara Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus, para alumni SMP Titanium akan berkunjung. Tahun ini adalah tahun pertama Genathan menjadi alumni di SMP Titanium. Teman-teman seangkatan Genathan, berdatangan dengan memakai seragam putih abu-abu. Beberapa ada yang memakai tambahan atribut SMA mereka, seperti almamater contohnya.
Namun, sedari tadi Resha tidak menemukan sosok Genathan. Padahal, biasanya cowok itu akan bersama Herlambang—kakak kelas yang tadi Resha tanyai soal keberadaan Genathan.
"Terus gimana, Res? Masih mau lanjut cari atau pulang aja?" tanya seorang gadis yang kini berjalan di samping Resha menatap sahabatnya tersebut dengan iba karena sahabatnya tak juga kunjung menemukan keberadaan laki-laki yang menjadi idola Resha.
Resha hanya diam menanggapi pertanyaan Delia—sahabat Resha yang sedari tadi menemaninya mencari keberadaan Genathan. Detik selanjutnya, ia mengangkat kedua bahu tak bersemangat. "Ya udah deh, pulang aja. Mungkin belum takdirnya ketemu Kak Gege hari ini.”
"Beneran nggak papa?" tanya Delia memastikan.
Resha mengangguk. Mungkin memang seharusnya dari awal ia tidak melakukan ide nekat yang tiba-tiba ada di pikirannya. Menghampiri Genathan dan mengajaknya berfoto? Sepertinya, Resha harus mengubur keinginannya yang satu itu.
Dengan langkah lemas Resha berjalan menyusuri koridor. Angan-angannya bisa melihat figur dirinya dan Genathan berada dalam satu frame yang sama tidak bisa terwujud hari ini. Entah kapan semesta akan memberinya kesempatan untuk sebentar saja mendapat kenangan yang bahagia bersama Genathan.
"Resha lihat, Res! Itu Res, itu!"
Resha sontak mendongak dan menengok ke kanan dan kiri gelagapan. Tersentak karena Delia menggoncangkan tubuhnya terlalu bersemangat.
"Kenapa, sih, Del? Apa? Ada apa? Ngagetin, ih!" omel Resha kesal.
Delia berdecak. Ia merapatkan tubuh ke samping Resha. "Res, ada Kak Gege itu," bisik Delia berusaha menahan pekikan agar tidak kelepasan lagi. Karena sekarang, cukup banyak pasang mata yang menatap mereka. Resha menajamkan pandangannya mengikuti jari telunjuk Delia. Benar saja, sosok Genathan ada di sana. Dalam balutan almamater berwarna abu-abu tua, membuat cowok itu semakin memesona.
Seketika, dunia Resha menjadi damai. Kebisingan di sekitarnya tidak terdengar lagi. Ia seolah sudah terperangkap dalam pesona seorang Genathan.
"Res, jangan ngelamun dulu. Sana samperin, ajak fotbar," tegur Delia ketika melihat Resha yang hanya diam.
Hanya mendapat bungkam, Delia memukul lengan Resha. Berusaha menyadarkan gadis itu untuk keluar dari dunia lamunan. "Buruan, Res. Ajak fotbar, mumpung orangnya ada."
Resha menggeleng kecil. Nyalinya mendadak menciut. "Takut. Nggak usah, deh. Ayo pulang."
"Tadi udah lo cari kemana-mana ya kali udah dapet dilepas gitu aja. Itu mumpung ada. Ayo, keburu deket sini!" desak Delia yang gemas sendiri dengan tingkah Resha.
"Tapi, Del-" belum sempat Resha melanjutkan ucapannya kini Delia malah lebih dulu memotong ucapannya tersebut.
"Sekarang atau enggak sama sekali?" potong Delia tegas yang mendapat bungkam dari Resha. Delia berdecak melihat sahabatnya yang terus saja bungkam tersebut.
Selanjutnya, Resha pasrah saja diseret oleh Delia untuk mendekat pada Genathan yang tengah tertawa, bercanda bersama dengan temannya. Begitu sampai di hadapan Genathan, Delia justru memundurkan langkahnya. Mendorong Resha pelan seolah memberi kode untuk segera menyampaikan maksudnya.
Sedangkan Resha sudah mati kutu di tempat. Detak jantungnya melompat-melompat. Berpacu seolah meronta meninggalkan tempat. Dengan tangannya yang sudah gemeteran.
"Halo?" sapa Genathan dengan nada bingung ketika melihat gadis yang tidak ia kenal ada di depannya. Tangan laki-laki tersebut sudah melambai menyadarkan Resha yang masih saja terdiam. Suara Genathan yang menyapa indra pendengarannya membuat Resha kembali pada kesadarannya.
Pelan-pelan, ia mendongakkan kepalanya. Menatap netra beriris hitam terang milik Genathan yang mampu membuatnya jatuh berkali-kali. "Eung ... Kak Ge, bo-boleh ... minta ... foto?” Sebuah kalimat pertanyaan akhirnya dapat ia lontarkan meski harus terbata-bata. Resha menunduk lagi. Takut jika harus mendengar kalimat penolakan yang Genathan beri sebagai balasan.
Tapi di luar dugaan, Genathan justru mengangguk meski awalnya bingung. "Boleh," jawabnya singkat.
Satu kata, tapi mampu membuat Resha bergejolak bahagia. Secara naluri senyumnya mengembang indah begitu saja. "Se-sebentar, Kak." Resha buru-buru menghampiri Delia yang berdiri tidak jauh dari mereka.
Menahan teriakan bahagia dan menjulurkan ponselnya. "Del, Kak Gege mau. Fotoin, ya, Del? Please ...."
Delia tertawa dan mengambil ponsel Resha. "Sini, gue fotoin."
Resha tersenyum ria. Lalu kembali menghampiri Genathan dengan bahagia. Sorakan-sorakan menggoda dari teman-teman Genathan yang lain, ditangkap oleh indra pendengaran Resha. Namun, Resha memilih menulikannya. Walaupun sebenarnya, sorakan itu membuat debaran jantung Resha semakin gila.
"Ciee Kak Gege ciee!"
"Kak Gege, mau foto juga dong."
"Kak Gegee, udah dapet degem uyy."
Genathan hanya tertawa menanggapinya. "Udah, lo pada duluan aja sono," usirnya pada teman-temannya yang sedari tadi mengejeknya. Mereka semua tergelak. Lalu pergi dari parkiran, masih dengan menyoraki Resha dan Genathan.
Kini, mereka berdua berdiri berdampingan. Seulas senyum bahagia terbit dari bibir Resha. Akhirnya hari itu, Resha bisa mendapat satu-satunya kenangan paling menyenangkan bersama Genathan. Berdiri berdampingan, lalu diabadikan dalam sebuah gambar.
Hari itu, Resha bahagia. Benar-benar bahagia. Tapi, malamnya ia baru teringat.
Ia belum memperkenalkan diri.
Apakah Genathan akan mengingatnya lagi ketika mereka bertemu di lain hari?
“Ah kenapa gue segala lupa memperkenalkan diri sih,” rutuk Resha kala itu sambil menatap hasil jepretan Delia yang memperlihatkan dirinya dan Genathan yang bersisian.
Senyumannya mengembang dengan sempurna kala melihat foto tersebut, sepertinya ia harus mencetak foto tersebut dalam ukuran besar selain untuk mengabadikan momennya bersama dengan Genathan juga sebagai apresiasi pada dirinya yang begitu berani mengajak Genathan untuk berfoto bersama.
“Nyali gue ternyata gede juga,” ucap Resha dengan kekehannya.
Kini gadis tersebut sudah merebahkan tubuhnya dengan tangannya yang masih menggenggam ponselnya yang kini masih menampilkan foto dirinya dan Genathan. Bahkan kini Resha sudah mengubah wallpaper maupun lockscreen ponselnya dengan foto yang Resha dapat tadi.
“Cocok sebenernya cuma gue sadar diri dia siapa gue siapa,” ucap Resha dengan dengusanya. Setelahnya gadis tersebut memutuskan untuk memasuki alam mimpi dengan senyumannya yang masih mengembang. Sepertinya malam ini ia akan bermimpi indah.
***
Hai semua aku balik lagi nih dengan cerita baru dan kisah baru yang pasti gak akan kalah seru dari cerita lain yang aku tulis.
Kali ini aku balik lagi bawa cerita Teenfiction nih, yang spesialnya kali ini aku nulis cerita ini gak sendiri tapi sama temen aku yang namanya Safira.
So, aku harap kalian akan suka sama cerita ini ya.
Jangan lupa buat like, komen, vote, juga love buat tambah ke perpustakaan biar kalian gak ketinggalan update terbarunya.
See you next chapter guys.
Thanks for Reading All.
Jangan lupa buat baca karya aku yang lain juga ya Guys, cek profil buat liat karya aku yang laion. Jangan lupa di follow ya
Happy Reading All.
***
Memanggilnya lirih, bersama diam yang semakin lama terasa perih. Ingin berlari walau tertatih, tapi sudah terlanjur nyaman pada posisi pengagum rahasia meski tau itu perih.
***
"Resha, ada Kak Gege!" Suara itu sukses membuat Resha langsung menutup novelnya dan celingukan mencari keberadaan pemuda yang namanya disebutkan Delia. Tetapi, hasilnya nihil. Tidak ada Genathan disana. Hanya ada beberapa anak yang sedang memarkirkan kendaraannya sebelum memasuki lobi sekolah.
Resha berdecak. Kesal karena ternyata ia hanya menjadi korban kejahilan sahabatnya. "Del, kenapa, sih nggak berubah sistem jahilnya? Pasti bawa-bawa Kak Gege, deh," rutuk Resha dengan menatap Delia geram.
Delia justru nyengir seolah tidak berdosa. "Ya habisnya lo kalau soal Kak Gege aja cepetnya nggak ada obat. Pas gue manggil tadi, nggak ada respon."
Resha menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. "Emang lo manggil, ya?" tanyanya bingung.
Delia memukul lengan Resha dengan paper bag berisi seragam olahraganya. Sekarang ini, mereka berada di depan pos satpam. Delia memang meminta tolong Resha untuk menemaninya menunggu driver ojek online yang ia pesan untuk mengantarkan seragam olahraganya yang ketinggalan. Gadis itu lupa tidak memasukkan seragam olahraga ke tas.
"Duh, kok gue dipukul, sih?" protes Resha.
"Gue tuh dari tadi manggil-manggil ya, Naresha! Lo nya diem aja malah tambah asik baca novel. Kalau dah ketemu novel, dunia serasa punya lo. Yang lain cuma ngontrak. Giliran nama Kak Gege disebut aja, langsung tuh ndongak. Cih," sewot Delia sambil merotasikan bola mata malas.
Dalam hati, Resha membenarkan ucapan Delia. Bagi Resha, membaca novel memang seasik itu. Ia sering lupa segalanya ketika sudah bertemu dengan tumpukan novelnya. Tapi, pengecualian untuk Genathan.
Seasik apapun ia dengan novelnya, telinganya peka dan responnya sigap kapanpun nama Genathan disebut. Karena memandang Genathan, nyatanya lebih asik dari membaca novel.
"Tuh kan ngelamun lagi. Ayo dah Res buruan ke kelas. Bentar lagi bel masuk, kita belum ganti baju olahraga juga," tegur Delia sambil merangkul bahu Resha.
"Ya kan belum ganti baju olahraga gara-gara nunggu lo dulu, Delia! Pikun, nggak bawa seragam olahraga. Prihatin gue. Kasihan, mana masih muda," cibir Resha yang mulai melangkahkan kakinya. Secara otomatis Delia juga mengikuti, mengingat ia sedang merangkul Resha.
Delia terkekeh. "Ya gimana dong? Namanya lupa. Untung ini baju udah kering. Kalau belum kering gimana coba?" gerutu Delia.
"Ya nggak gimana-gimana. Lo nggak boleh ikut pelajaran olahraga terus dihitung nggak hadir. Nggak papa, Del, tinggal ke kantin aja kalau gitu," sahut Resha sambil terkikik geli melihat wajah muram Delia.
"Resha mah sesat ngajarinnya. Masa Delia yang rajin ini diajarin bolos?" gerutu Delia.
Resha menoyor kepala Delia gemas. "Halah, rajin apanya. Rajin bikin emosi, sih, iya! Lagian, yang kenalin gue ke dunia perbolosan itu lo, ya, Del! Pas SMP, inget nggak? Pamitnya ke kamar mandi, tapi nggak balik dua jam pelajaran."
Tawa Delia pecah begitu saja. "Dulu, gue nggak mood pelajaran IPA. Mana gurunya nggak bisa kalem. Sensi mulu bawaannya kalau lihat gue," sungut Delia ketika ingatannya berkelana ke masa biru putihnya.
"Tapi, sekarang nyasarnya ke IPA tuh," lontar Resha.
Delia berdehem. "Gue memang anak IPA yang tersesat," tandasnya dengan menggelengkan kepala. Seolah terbawa suasana.
Resha justru terbahak melihat ekspresi Delia yang seolah-olah meratapi nasibnya. Namun, tak urung ia menepuk-nepuk bahu Delia.
"Omong-omong, Res, lo sama Genathan masih gitu-gitu aja?" tanya Delia tiba-tiba membahas Genathan.
"Kak Gege," ralat Resha membenarkan.
Delia berdecak. "Iya-iya, sama aja. Nggak ada kemajuan sama Gena—ah maksud gue Kak Gege?"
Resha menghembuskan napas pelan. "Iya, gini-gini aja. Emang mau gimana lagi? Inget gue aja kagak," jawabnya pasrah.
"Maju selangkah, Res. Biar ada kemajuan. Hampir empat tahun loh," usul Delia.
Resha tersenyum miris. "Udahlah, nggak papa. Toh, Kak Gege bahagia."
Jika sudah begitu, Delia hanya bisa mengangguk. "Apapun itu, gue bakal dukung lo. Gue yakin, suatu saat lo bakal nemuin titik cerah sama Genathan," ungkap Delia tulus.
Resha mengangguk. Dalam hati meng-aamiin-kan ucapan Delia.
Keduanya berjalan bersama dengan rangkulan Delia. Resha bersyukur mendapat sahabat seperti Delia sejak duduk di bangku SMP. Delia sabar menghadapinya di berbagai situasi. Delia juga yang menegurnya tiap kali Resha melakukan kesalahan. Delia tidak pergi meskipun tahu kebiasaan buruk Resha.
Di zaman sekarang yang cenderung sulit menemukan yang benar-benar sahabat, Resha bersyukur mengenal Delia. Meski kadang menyebalkan, Delia tetaplah menjadi sahabat yang baik untuk Resha.
"Res, kalau itu beneran Kak Gege," celetuk Delia sambil menepuk-nepuk bahu Resha dan menunjuk pemuda yang tengah berjalan bersama teman-temannya di koridor kelas dua belas.
Meski Resha hanya memandang dalam jarak, Resha bisa melihat persis paras tampan Genathan. Tubuhnya tinggi tegap dengan kulit putih bersih, meskipun sering terjun ke lapangan untuk bermain basket.
Tatapan Resha tidak sekalipun luput dari pesona Genathan, walaupun cowok itu tidak pernah menyaksikan. Bahwa dari kejauhan, ada perempuan yang sering kali memandangnya dalam keheningan.
"Kak Gege," lirih Resha memaku di tempatnya. Bodohnya, ia berharap Genathan mendengarnya. Padahal, Delia di sampingnya saja tidak bisa menangkap suara Resha.
Satu lagi, Genathan juga tidak menyadari. Bahwa ada seseorang yang gemar melirihkan namanya, di tengah bisingnya cakrawala.
***
Resha tahu persis bahwa yang sedang ia lakukan saat ini akan menyakiti dirinya sendiri. Menghancurkan hatinya untuk kesekian kali. Membuka kesempatan untuk sang lara bersinggah lagi. Resha mengerti, tapi tidak peduli.
Resha memilih abai pada dirinya sendiri.
Di atap sekolah, lagi-lagi Resha berteman sepi. Tadi, Delia harus izin pulang lebih dulu karena harus berangkat ke kampung halaman untuk persiapan lamaran tantenya. Tidak ada Delia, Resha bingung harus melakukan apa. Hingga pilihannya jatuh pada atap sekolah dengan sarayu yang berhembus tenang. Setidaknya, rasa tenang yang dibawa sang bayu kali ini dapat membuat gejolak di dadanya sedikit teredam.
Ponsel yang ada di tangannya tergenggam lemas. Tatapannya menunduk. Menatap hampa gambar yang ada di layar ponselnya. Hasil ia stalking menggunakan akun fake-nya.
Potret Genathan dan Ayunindya yang tengah tersenyum ria. Satu tangan Genathan mencapit kedua pipi Ayunindya, sedangkan tangan lainnya untuk memegang ponselnya. Foto itu diambil hari Minggu kemarin. Ada keterangan tanggal dan lokasi yang dicantumkan. Mereka tampak serasi di foto itu. Ekspresi keduanya sama-sama lucu. Sebenarnya, Resha enggan mengakui kata orang-orang bahwa mereka adalah pasangan pacar yang sempurna.
Resha merasa, hubungan Genathan dan Ayunindya tidak sejauh itu. Firasatnya yang mengatakan, bahwa keduanya tidak lebih dari teman. Atau, itu hanya cara untuk menenangkan diri sendiri?
Tangannya bergerak menekan layar ponsel. Kini, tampilannya sudah berganti. Tidak lagi foto. Melainkan video boomerang Genathan dan Ayunindya. Kepala Ayu bersandar pada bahu Genathan. Sedangkan tangan Genathan, bertengger apik untuk mengacak rambut Ayu gemas.
Resha ikut tersenyum melihatnya.
Ikut tersenyum ketika melihat Genathan tersenyum walau untuk gadis lain.
Tidak apa-apa. Memangnya, apa yang diharapkan Resha? Tiba-tiba Genathan melihatnya lalu memberi senyumnya dengan sukarela? Buru-buru saja Resha menepis khayalan konyol ini. Hidupnya tidak seindah cerita fiksi. Di mana tiba-tiba si pengagum rahasia akan mendapat titik balik dari si tuan yang sempurna.
Semesta tidak sebaik itu.
Bahkan, membiarkan Resha untuk singgah di bagian ingatan Genathan saja, semesta tidak mengizinkan. Resha tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Terlalu lama, hingga akhirnya ia terjebak tenang di dalam zona nyaman.
Yaitu, sebagai pengagum dalam diam.
***
Kalian pernah gak sih ada di posisi Resha gitu?
Mencintai dalam diam tapi dia nya udah deket sama yang lain. Sakit? Jelas. Tapi mau marah juga gak ada hak.
Buat yang lagi ada di posisi ini haru ekstra sabar ya.
Aku balik lagi dengan cerita teenfiction nih, semoga kalian suka ya sama cerita ini. Karena cerita ini juga gak kalah seru dari cerita aku yang lain loh.
So, jangan lupa buat like, koment, vote, dan love untuk menambahkan cerita ini ke perpustakaan ya! Biar kalian gak ketinggalan update tersebaru dari cerita ini.
Cek profil aku juga ya buat baca cerita aku yang lain, dan jangan lupa buat follo akun ini ya.
See you next chapter all.
Thanks for reading all.
Manik netranya berbinar cerah, mengantarkan bahagia yang merekah, bagi siapapun yang tengah menatapnya.
***
Hari ini Delia tidak masuk sekolah. Ia masih berada di kampung halaman. Lagi-lagi, Resha kesepian. Selama ini ia sudah terbiasa menjalani hari-hari di sekolahnya bersama Delia. Resha memang masih mempunyai teman yang lain. Tetapi, Delia berbeda. Seasik apapun bersama teman baru, tetap sahabat lama yang mengerti kita dan paling cocok dengan kita. Namun, hidup harus terus berjalan. Ada atau tidaknya seseorang yang berharga di samping kita, kita harus melanjutkan hidup sebagaimana mestinya.
"Resha, ayo buruan ke lab kimia!" Teguran dari Lidia—si ketua kelas membuat Resha terperanjat kecil. Gadis itu mengerjap lalu mengangguk kikuk. Gadis tersebut menoleh ke sekeliling dan ternyata di kelas memang hanya tersisa dirinya juga Lidia.
Tangannya merogoh laci meja. Mencari jas praktik yang memang ia taruh di sana. Usai mendapatkannya, Resha buru-buru memakai jas praktik seperti teman-temannya. Peraturan sebelum masuk lab kimia, murid-murid harus sudah memakai jas praktiknya terlebih dahulu. "Resha ayo, kelasnya mau dikunci," desak Lidia lagi.
"Iya, bentar ini lagi ambil tempat pulpen," jawab Resha terburu-buru. Begitu selesai dengan persiapannya, Resha segera menyusul teman-temannya yang lain untuk keluar kelas.
Baru saja Resha hendak melangkah menuju laboratorium kimia, sebuah suara menghentikan pergerakannya. "Tunggu ngunci pintu, Res. Masa gue sendirian?" rajuk Lidia yang masih berkutat dengan kunci kelas.
Resha mengangguk, dengan sabar menunggu Lidia. Harusnya, ini tugas seksi keamanan. Tetapi, Mahendra yang menjadi seksi keamanan justru sudah berhamburan duluan paling depan.
Setelah mengunci pintu, Lidia segera menyusul Resha dan menepuk bahu gadis itu. "Yuk, jalan!" ajaknya yang mendapat anggukan dan senyuman dari Resha. Sepanjang perjalanan, Resha mendengarkan Lidia yang merutuk. Objek rutukan si ketua kelas kali ini adalah Mahendra.
"Tau gitu, dulu gue nggak pilih dia jadi seksi keamanan. Gaji buta gitu," geram Lidia dengan mencengkram buku di genggamannya kuat.
Resha hanya terkekeh, "Kan enggak digaji, Lid. Sabarin aja, tumbenan itu si Maman antusias sama kimia. Biasanya cari masalah mulu sama Pak Eko," timpal Resha.
Lidia berdehem. "Ya bener juga, sih. Tapi, perasaan gue nggak enak. Takutnya, dia buat ulah di lab. Gue bosen kena tegur Pak Eko terus karena dikira nggak becus ngurus kelas," papar Lidia.
Resha mengerti apa yang dirasakan gadis itu. Resha akui bahwa Lidia adalah perempuan yang tegar dan kuat. Meski sering menjadi bahan celaan anak-anak yang tidak menyukainya, Lidia tetap pasang badan paling depan ketika teman sekelasnya kesusahan.
"GENTALA, SAYA BILANG BERHENTI!"
Resha dan Lidia kompak terkejut mendengar teriakan Bu Mia selaku guru BK. Seorang murid laki-laki dan seorang guru perempuan kini terlihat sedang kejar-kejaran di koridor sekolah.
"Bu Mia, Genta ada ulangan geografi. Nanti nggak bisa nyontek. Istirahat, deh, saya mampir ke ruang BK," jawab pemuda yang dipanggil Gentala tanpa menghentikan langkahnya.
"GENTA!" teriak bu Mia yang sudah tak tahan lagi dengan murid badungnya yang satu itu. Dan baru kali ini dia mendengar ada maling yang mengaku. Biasanya orang mencontek selalu sembunyi-sembunyi namun Gentala malah memaparkannya terang-terangan.
Saking asiknya lari-larian bersama Bu Mia, cowok itu sampai tidak bisa menghentikan langkahnya ketika berada di depan Resha. Resha sudah hampir beranjak untuk menjauh, tetapi terlambat. Tubuh cowok itu sudah lebih dulu menyenggolnya membuat Resha terhuyung jatuh. Sedangkan Gentala tersandung kakinya sendiri.
Lidia segera membantu temannya. Mengulurkan tangannya dan membantu Resha untuk berdiri. "Ada yang lecet nggak, Res?" tanya Lidia khawatir.
Resha berdiri susah payah dengan bantuan Lidia. Lalu menggeleng pelan. "Nggak papa, kok."
Lidia berdecak. Menghampiri cowok bernama Gentala yang juga baru saja bangkit dari jatuhnya. "Hati-hati dong, Kak! Ini koridor sekolah, bukan area lomba lari!" amuk Lidia.
Benar 'kan? Lidia akan menjadi orang yang paling marah ketika temannya terluka.
"Maaf, Dek. Serius gue nggak sengaja. Gue duluan, ya, sebelum dikejar lagi. Sekali lagi maaf, ya!" Gentala lanjut berlari. Masih diiringi oleh pekikan Bu Mia yang terdengar semakin dekat.
"Aduh, sialan!" umpat Gentala keras ketika salah satu pintu kelas terbuka dan ia sedang lewat di depannya. Gentala jatuh lagi. Cowok berkacamata yang menjadi pelaku pembuka pintu, menciut takut. Sepertinya yang dikatakan pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula, sedang Gentala hadapi saat ini.
"Kalau buka pintu yang bener!" sewot Gentala dengan memegang sikunya. Cowok berkacamata tersebut menundukkan kepalanya terlalu takut pada Gentala.
"Harus jatuh dulu baru mau berhenti, hm?"
Tidak hanya Gentala yang mendelik, Resha juga sama mendeliknya ketika tiba-tiba saja Bu Mia sudah ada di sana dan menjewer telinga Gentala. Resha terkekeh geli melihat Gentala yang terlihat kesal bercampur cemas.
Hari itu Resha lalui seperti biasa walau paginya, sudah disuguhi dengan pemandangan keributan oleh Gentala. Semua berangsur damai hingga pada malam harinya, rencana Resha untuk tidur lebih awal harus pupus ketika perutnya justru berbunyi. Gadis itu tidak akan bisa tidur nyenyak dengan perut lapar.
Hal itulah yang membuat Resha kali ini berada di minimarket dekat rumah. Mampir sebentar membeli roti untuk mengganjal perut, lalu lanjut ke warung tenda nasi goreng di depan komplek.
"Dek, uangnya kurang lima ribu," ucapan petugas kasir membuat gadis di depan Resha gelagapan. Sepertinya, ia tak membawa uang lagi.
Resha tersenyum tipis. Agak menggeser tubuhnya untuk meletakkan dua buah roti dan satu botol minuman kemasan. "Dijadiin satu sama kurangannya adik ini aja, Mbak," ucap Resha ramah.
Petugas kasir itu mengangguk. Segera memproses belanjaan Resha dan milik gadis itu. Resha menolak saat akan diberi plastik. Setelahnya, ia berjalan lebih dulu dari gadis tadi.
"Kak!" Langkah Resha berhenti. Tubuhnya berbalik untuk menatap gadis yang tingginya mencapai lehernya.
"Makasih, ya, Kak. Ini gara-gara Kak Tata! Dia enak-enakan makan nasi goreng di warung, aku suruh belanja di minimarket. Mana ngasih uang kurang lagi," rutuk gadis itu dengan bibirnya yang sudah mengerucut lucu.
Resha terkekeh. Mengangkat tangannya untuk mengacak gemas rambut gadis itu. "Nama kamu siapa?" tanyanya.
"Aku Gadis, Kak. Kakak mau nggak ikut aku ke warung nasi goreng? Biar aku minta ganti uangnya sama Kak Tata," usul Gadis.
Resha tersenyum. "Nggak usah diganti nggak papa. Tapi, aku memang mau ke warung nasi goreng. Yuk, bareng. Oh, ya, ini buat kamu, buat ganjal perut," jawab Resha dengan menyerahkan satu roti yang disambut oleh Gadis.
Selanjutnya, mereka berjalan bersama menuju warung nasi goreng. Memang tidak jauh dari rumah Resha. Ternyata, rumah Gadis juga daerah sini.
"Tuh, Kak, lihat! Dia malah enak-enakan minum es teh. Dasar, kakak nggak ada akhlak!" umpat Gadis sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki yang kini terlihat begitu asik dengan nasi gorengnya..
Resha tertawa. "Gitu-gitu kakak kamu. Samperin sana. Aku mau pesen nasi goreng dulu buat di rumah."
"Eits nggak, Kak! Biar Kak Tata yang mesenin. Ayo, Kak, samperin Kak Tata. Minta ganti uang ke dia." Gadis menarik tangan Resha ke tempat kakaknya dengan paksa, padahal Resha sama sekali tidak keberatan jika Gadis tidak mengganti uang nya karena ia ikhlas membantu gadis tersebut.
"Kak Tata tuh, ya, ngasih uang kurang, malah enak-enakan makan disini! Ganti kak, dua puluh ribu!" omel Gadis begitu sampai di depan cowok yang dipanggil Tata.
Cowok itu mendongak. Tatapannya tak sengaja menangkap Resha yang tengah mengerjap. Mereka sama terkejutnya.
"Loh? Lo yang tadi nggak sengaja gue tabrak, ya?" tunjuk cowok itu kepada Resha.
Resha mengangguk kaku. "Kak—"
"Gentala. Nama gue Gentala. Panggil Genta aja, jangan ikut-ikutan Gadis manggil Tata. Kayak cewek," potongnya dengan menjulurkan tangan bermaksud berkenalan.
Resha menyambut jabatan tangan itu agak kikuk. "Resha," ucapnya memperkenalkan diri.
Resha akui senyuman Gentala memang manis. Dari tatapan matanya yang hitam kecoklatan memantulkan binar kehangatan bagi siapapun yang melihatnya. Resha mengerjap, lalu menarik tangannya dari kungkungan Gentala.
"Makasih, ya, udah bantu adik gue. Nggak usah dibantu nggak papa, sih, sebenernya," kekeh Gentala yang sontak membuat Gadis memelotot tajam pada kakaknya yang akhlaknya minus itu.
Cowok itu merogoh sakunya, mengeluarkan uang berwarna hijau. "Kata Gadis, dua puluh ribu, ‘kan? Nih." Gentala menyodorkan uang itu.
Resha menggeleng. "Nggak papa, Kak. Sebenernya cuma lima ribu kok."
"Wah, lo mau bohongin gue ya, Dis?" geram Gentala pada Gadis yang menyengir seolah tak berdosa.
"Oke kalau nggak mau diganti pakai uang. Gue ganti pakai nasi goreng, ya. Tunggu bentar gue pesenin."
Resha belum sempat menjawab, tapi Gentala sudah terlebih dulu beranjak.
"KAK TATA, GADIS SEKALIAN!" Teriak Gadis menggelegar, sepertinya gadis tersebut memang hobi tarik suara.
***
Di sini ada yang punya kakak cowok gak sih? Aku tuh pengen punya kakak cowok tapi sayang banget aku malah jadi anak pertama.
Kayaknya seru ya kalau punya kakak cowok, ada temen berantem sekaligus pengawal pribadi gitu.
Aku balik lagi dengan cerita teenfiction nih, semoga kalian suka ya sama cerita ini. Karena cerita ini juga gak kalah seru dari cerita aku yang lain loh.
So, jangan lupa buat like, koment, vote, dan love untuk menambahkan cerita ini ke perpustakaan ya! Biar kalian gak ketinggalan update tersebaru dari cerita ini.
Cek profil aku juga ya buat baca cerita aku yang lain, dan jangan lupa buat follo akun ini ya.
See you next chapter all.
Thanks for reading all.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!