NovelToon NovelToon

Babad Angkara Murka

Kitab Obong - Satria Piningit

Cerita ini dimulai sekitar lima belas tahun yang lalu, atau mungkin lebih. Laki-laki bernama lengkap Satria Piningit itu tak lagi bisa menghitungnya dengan pasti. Yang jelas pertama kali Satria Piningit melihat anak laki-laki itu adalah di malam hari ketika ia sedang berjongkok di tepi kali, alias sungai kecil yang selain berfungsi sebagai saluran irigasi sawah, juga digunakan untuk kegiatan dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari seperti mandi, mencuci dan keperluan kakus.

Memang saat itu adalah zaman dimana belum tersedia internet dan smartphone. Kedua hal ini bahkan belum menjadi sebuah konsep di kala itu, mungkin hanya ide belaka. Jadi wajar kalau di beberapa desa di banyak tempat, juga di pulau ini di tempat dimana Satria Piningit tinggal sekarang, untuk buang air besar pun ia harus melakukannya di kali. Tidak semua orang memiliki toilet atau sekadar tempat buang air di rumahnya. Mungkin hanya pak lurah yang memiliki kemampuan membangunnya di dalam rumahnya yang besar.

Meski bila dipikir-pikir, sebenarnya rumah mbah kakung dan mbah putri Satria Piningit termasuk yang terbesar di desa ini. Ada satu buah WC di bagian belakang rumah, tapi kelak akan dijelaskan mengapa Satria Piningit enggan buang air di WC itu, selain karena bagaimanapun 'budaya' buang air besar di kali tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat desa.

Jadi di desa ini wajar sekali kalau ada orang malam-malam antre untuk buang air besar. Untuk amannya, malam menjadi pilihan agar tak terlalu sulit menyembunyikan malu. Tapi tetap saja, bila ada orang yang juga akan atau sedang buang hajatnya, warga lain yang juga berniat melakukan kegiatan yang sama juga perlu tahu diri untuk menunggu sebentar atau sekalian saja pergi jauh-jauh ke area lain bila sudah tidak dapat menahan hasrat untuk buang air besar. Untuk hal ini, biasanya ke arah hilir sungai.

Anak laki-laki yang sedang berjongkok di tepi kali itu mungkin sebaya dengan Satria Piningit, tapi tubuhnya jauh lebih kecil, kurus kering dan berkulit gelap bagai tembaga yang dipoles dan digosok terus sampai berkilauan. Sorotan kedua matanya yang menatap kosong lah yang menyadarkan Satria Piningit bahwa ada seseorang di tempat gelap itu. Sosok anak laki-laki berkulit berwarna tembaga itu tersentak ketika tiba-tiba melihat Satria Piningit.

Tentu saja ini membuat Satria Piningit juga ikut tersentak. Tapi kemudian Satria Piningit sendiri lah yang merasa bersalah karena telah mengagetkan anak tak dikenal itu, meski padahal harusnya Satria Piningit lah yang berhak merasa kaget terlebih dahulu. Bagaimana tidak, anak laki-laki itu bertelanjang dada di pukul sepuluh malam di udara luar yang yang lumayan dingin merangkak merembet merambat di atas lapisan kulit hanya dengan mengenakan celana pangsi hitam sebetis, tanpa alas kaki dan berjongkok di tepi kali di sela-sela rimbunnya pepohonan tebu.

Merasa sebagai warga pendatang di desa ini, Satria Piningit memutuskan menyapa anak laki-laki itu dahulu. "Kulonuwon, mas," ujarnya. Satria Piningit bingung mau bagaimana menjelaskan kepada anak ini bahwa ia hendak buang hajat dan ingin menggunakan area kali tersebut. Satria Piningit berharap anak laki-laki itu paham dengan tujuannya, karena logikanya, untuk tujuan apa lagi jam sebegini malam ia ke kali, 'kan?

Benar saja, anak itu, yang walaupun sebaya dan Satria Piningit panggil mas tadi, berdiri dengan tiba-tiba, membuat dirinya kembali tersentak. Namun anak laki-laki misterius itu mendadak berbalik dan pergi menghilang ke rerimbunan pohon tebu tanpa satu kata pun, bagai terhisap ke dalam pusaran air.

Hantu mungkin, pikir Satria Piningit. Tapi ia tak acuh lagi bila memang sosok itu benar hantu adanya. Ia sudah merasa kebelet, hasrat itu mendorong perutnya dengan paksa sampai kepalanya terasa pusing.

Kali kedua Satria Piningit bertemu dengan anak laki-laki itu lagi adalah selang dua hari kemudian. Masih di tempat serupa, berjongkok dengan pandangan kosong ke arah kali kecil itu, bertelanjang dada dan bercelana pangsi hitam dengan simpul tali di pinggangnya.

"Kulonuwon mas," sapa Satria Piningit lagi dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih permisi. Anak laki-laki itu tidak capek-capek memandang ke arah Satria Piningit namun keduanya sama-sama tidak terkejut kali ini.

"Mau buang air besar lagi? Kenapa tidak cari tempat lain?" balas anak laki-laki itu juga dalam bahasa Jawa.

Terus terang Satria Piningit butuh sepersekian detik untuk memahami bahasa Jawa yang anak laki-laki itu ucapkan dengan suaranya yang serak bagai meraba kulit pohon kering itu. Satria Piningit berpikir mungkin karena sebenarnya ia bukan sepenuhnya orang Jawa dan juga bukan orang asli desa ini maka ia tak dapat dengan segera paham dengan apa yang diucapkan anak laki-laki itu.

Ayah Satria Piningit lah yang dulunya asli warga desa ini yang pernah tinggal bersama orangtua dan adik-beradiknya. Tapi setelah ia menikah dengan ibu Satria Piningit yang berdarah suku Dayak di Kalimantan, sang ayah sudah jarang pulang ke Jawa.

Sebenarnya Mbah kakung dan mbah putri Satria Piningit yang meminta kepada ayahnya untuk menyekolahkan salah satu anak nya, yaitu Satria Piningit, di Jawa agar hubungan anak-beranak tersebut tetap terjaga. Jadi, bisa dikatakan ini adalah tahun kedua Satria Piningit bersekolah di pulau Jawa. Padahal ayah ibu Satria Piningit awalnya menginginkan dirinya untuk melanjutkan studi ke pulau Jawa pada saat ia beranjak ke masa Sekolah Menengah Atas alias SMA nanti. Tapi hasilnya malah Satria Piningit snediri yang begitu bersemangat untuk bersekolah di Jawa sedari kelas satu Sekolah Menengah Pertama karena ingin merasakan kehidupan di kota lain. Toh, di rumah nya di Kalimantan masih ada abang, kakak dan adik perempuan Satria Piningit yang paling kecil sehingga kedua orangtuanya harus tak akan mudah merindukan dirinya. Begitu pikirnya sederhana.

Hasilnya, selama dua tahun ini Satria Piningit sudah terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Tapi tetap saja sedikit banyak ia sering kehilangan kosakata dan terpleset lidah dalam mengucapkan atau menangkap kata. Oleh sebab itu, kali ini setelah kira-kira paham makna kata-kata yang diucapkan, ia langsung meminta maaf pada anak laki-laki itu dan hendak beranjak pergi. Tapi tiba-tiba anak laki-laki misterius bertubuh kurus itu berdiri, "Sudah-sudah. Aku saja yang pergi. Kamu berak di sini saja," ujarnya.

"Wah, tidak apa-apa, mas? Saya bisa ke tempat lain kok," balas Satria Piningit jujur. "Kamu sepertinya sudah biasa di sini," lanjutnya pendek. Sang anak laki-laki itu yang justru kemudian berbalik dan menghilang lagi di balik rimbunan pohon tebu, lenyap bagai tersedot masuk dan menjadi kelam itu sendiri.

Satria Piningit tersenyum. Memang hantu sepertinya anak itu, pikirnya. Tapi memang tempat ini adalah tempat yang paling pas untuk buang hajat setelah lama berpindah-pindah dari satu spot ke spot lainnya. Kali ini berbeda jauh dengan sungai yang ada di Kalimantan. Melihat ukuran lebarnya yang hanya bisa diisi oleh dua sampai tiga orang dewasa bila jongkok berjongkok berdampingan - Satria Piningit merasa jijik ketika membayangkan gambaran perbandingan ini, kali ini hanya pantas disebut parit, bukannya sungai atau anak sungai yang memang lebar-lebar di Kalimantan.

Tepian kali dibangun dari bebatuan yang disusun dan disemen dengan rapih. Tapi tempat dimana Satria Piningit berjongkok untuk buang hajat ini ada cuilan bebatuan yang rompel dari tepian kali yang disemen. Cuilan bebatuan itu jatuh dan sebagain terbenam di tengah arus, sebagian lagi menumpuk menonjol ke atas membelah air. Satria Piningit biasanya berjongkok di atas batu-batu itu dan membenamkan sedikit pantat nya ke aliran air sembari merenung dan memainkan gelang kulit kayu bahar yang melingkar di lengannya.

Posisi buang air besar terbaik menurutnya, walau terdengar konyol dan tak nyawan bila menilik cara buang air besar yang umum di tempat lain atau di masa modern ini. Jadi jelas memang Satria Piningit suka tempat ini. Sedangkan anak laki-laki misterius bagai hantu itu yang selama kurang lebih setahun Satria Piningit tinggal di desa ini belum pernah terlihat. Maka sudah barang tentu, anak itu yang harusnya mengalah dengan dirinya. Lagipula ia tak tahu jelas tujuan utama sang anak laki-laki tersebut nangkring di tempat terbaiknya ini.

Kitab Obong - Priyam

Langit kala itu berwarna jingga dengan retakan abu-abu menjadi latar belakangnya. Saat itulah masa pertemuan selanjutnya Satria Piningit dan anak laki-laki misterius tersebut. Satria Piningit sedang menyobek kulit tebu dengan giginya sepulang sekolah dengan masih mengenakan seragam biru putih karena tak langsung pulang ke rumah, ketika ia sedang mengunyah batang tebu, menyesap airnya, dan menyemburkan ampasnya dengan perasaan puas dan jemawa, anak laki-laki itu itu berdiri di depan Satria Piningit entah darimana.

Waktu itu sekitar jam lima sore dimana mentari masih mencoba bertahan dari kekalahannya dimamah sang Kala sehingga Satria Piningit masih bisa melihat jelas sosok sang anak laki-laki. Tungkai kakinya yang kurus kering menyeruak dari balik batang-batang tebu. Kulitnya hitam kelam, bahkan Satria Piningit bisa mencium bau terbakar dari tubuhnya. Mungkin anak ini terlalu lama bekerja di bawah matahari, pikir Satria Piningit

"Sialan! Kaget aku. Aku pikir kau hantu," seru Satria Piningit meski detik itu juga ia sadar bahwasanya hantu tak mungkin muncul di sore hari yang masih terbilang terang ini.

"Apa kau tidak lihat penjaga kebun ini sedang memperhatikanmu?" ujar si anak laki-laki itu tanpa memedulikan reaksi keterkejutan Satrua sebelumnya tadi.

"Hah? Paklik Sarta maksudmu? Dia udah pulang kok. Lagipula dia kan kerjanya hanya membantu menjaga kebun tebu ini dari binatang liar, bukan anak remaja seperti aku ini. Juragan tebunya aku rasa juga tidak akan ambil pusing kalau sebatang saja tebunya aku makan," ujar Satria Piningit berlagak cuek sembari kembali menggerogoti batang tebu yang berkeringat air manis itu. Detak jantung nya perlahan menjadi normal kembali.

"Penjaga tebu itu maksudku," kata anak laki-laki itu sembari menunjuk ke arah sebelah kiri Satria Piningit dengan jari telunjuknya yang juga kurus kering.

Sontak Satria Piningit memalingkan wajah nya ke arah yang ditunjukan sang bocah. Satria Piningit tak melihat apa-apa, tak ada apapun selain batang-batang jangkung pohon tebu dan helai-helai daunnya yang sebagian sudah berwarna coklat gelap.

"Jangan suka main-main," kata Satria Piningit dengan suara bergetar. Kali ini ia tak bisa menutupi detak jantungnya yang kembali berpacu dengan begitu cepatnya.

Sang bocah laki-laki mengernyitkan kedua matanya. "Jadi kau tidak melihat dia?" suara seraknya kembali terdengar dengan bahasa Jawa yang tidak terlalu baik ditangkap dan dipahami Satria Piningit.

Mendengar ini, Satria Piningit menghela dan menghembuskan nafas dengan kasar. Anak itu jelas-jelas mengerjainya, pikir Satria Piningit. Ia langsung saja duduk berselonjor. "Baik, baik. Seperti apa sebenarnya bentuk penjaga kebun yang sedang memperhatikanku itu?" tanya Satria Piningit kepada sang anak laki-laki, namun suaranya tidak lagi bergetar akibat terkejut dan sedikit gentar tadi. Satria Piningit sudah paham mau anak ini, jadi ia bertekad mencoba mengikuti permainannya saja.

Tak seperti yang Satria Piningit duga, anak laki-laki itu yang justru sekarang malah terlihat seperti kebingungan kemudian menjawab perlahan, "Orang itu tinggi jangkung melewati pepohonan tebu. Ia juga besar dengan hampir seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu kasar, dan sepasang taring panjang mencuat dari mulutnya."

Satria Piningit kini malah merasa lega. Ia tertawa pelan karena paham keadaan ini serta benar-benar yakin bahwasanya anak itu sedang mengerjainya. "Gendruwo maksudmu? Aku tak tahu apa yang anak-anak desa ini ceritakan kepadamu. Sejak mereka tahu aku anak pindahan dari Kalimantan dua tahun yang lalu, mereka selalu menggunakan bahan ejekan yang sama. Katanya orang Kalimantan suka makan daging orang, menyimpan kepala manusia sebagai hiasan rumah, atau paling jelek sebagai orang Kalimantan harusnya aku bisa melihat hantu atau mahluk-mahluk gaib. Tapi kau harus yakin, aku tidak dapat melihat hantu, itu pun kalau memang hantu itu ada," balas Satria Piningit benar-benar tertawa lepas kali ini.

"Katamu kau darimana tadi?" tanya sang bocah laki-laki itu.

"Kalimantan. Emakku orang Dayak. Bapakku yang asli dari desa ini," jawab Satria Piningit kemudian.

Anak laki-laki itu terlihat berpikir keras, namun kemudian menggeleng menyerah.

"Kau tak tahu Kalimantan? Juga belum pernah mendengar kata Dayak'?' anak itu menggeleng lagi. "Bukankah kau diajarkan di sekolah masalah pengetahuan umum semacam ini?" kata Satria Piningit sedikit sebal. Bisa-bisanya anak laki-laki itu tidak mengetahui nama salah satu pulau terbesar di negeri ini itu.

Seperti yang Satria Piningit duga, anak itu menggeleng lagi.

"Jadi kau juga tidak sekolah?" tanya Satria Piningit.

Selesai bertanya, sesegera itu pula Satria Piningit merasa menyesal. Tidak heran kalau anak ini tidak sekolah. Memang ada beberapa anak dari desa ini yang tidak bersekolah karena orang tua mereka termasuk kaum yang tidak mampu meski ada pula yang cenderung merasa tidak terlalu penting untuk bersekolah. Mayoritas warga remajanya di desa ini malah hanya lulusan Sekolah Dasar. Ingin hati Satria Piningit meminta maaf, tapi anak laki-laki itu sudah berbalik arah hendak pergi.

"Hei, siapa namamu? Aku Satria Piningit," seru Satria Piningit tepat sebelum anak laki-laki itu menghilang di balik batang-batang tebu itu.

Ia berhenti, "Aku Priyam," jawabnya tanpa memalingkan wajah. "Kalau kau pulang melewati gapura di utara sana, jangan lupa bilang permisi. Penjaganya, mbah Wijanarko tidak terlalu suka dengan anak-anak desa yang kurang ajar kerap kencing di sana. Jaga-jaga saja, biar beliau tidak salah menyangka kau dengan anak-anak yang lain," ujarnya sambil berjalan meninggalkan Satria Piningit yang terbengong bingung entah ingin melakukan apa.

"Dasar anak itu. Sempat-sempatnya mengerjai ku. Mana wajahnya dan cara biacaranya serius pula," gumam Satria Piningit dengan suara yang begitu rendah sampai hanya ia sendiri yang dapat mendengarkannya.

Namun lucunya, ketika melewati gapura yang terbuat dari batu bata merah itu, Satria Piningit tetap mengucapkan, "Permisi, Mbah," sambil melihat sekeliling, meski tak mendapatkan satu apapun.

Priyam nampaknya berhasil mengerjai Satria Piningit.

Tak lama Satria Piningit bertemu dengan Priyam kembali pada suatu malam yang begitu gerah dan panas, seakan entah di sudut mata, kerak neraka sedang retak dan menyemburkan percikan apinya. Panasnya suhu memang tidak membakar layaknya mentari siang bolong, namun udara begitu gerah, seperti ada ratusan orang yang sedang membakar satu hektar kebun di sebuah tempat entah dimana.

Saat itu adalah giliran Satria Piningit berjaga, ronda, bersama anak-anak sebayanya. Kegiatan ini belum menjadi kewajiban anak-anak seusia mereka, namun berhubung besok adalah hari minggu dan bersama-sama dengan anak-anak sebaya, Satria Piningit memutuskan untuk ikut meronda semalam suntuk saja.

Setelah mengobrol dengan anak-anak dan remaja di pos ronda, Satria Piningit berjalan sendirian memisahkan diri dari rombongan. Ia mencoba berburu tiupan angin yang bisa melawan panasnya udara.

Disanalah ia berada. Priyam di tempat biasa. Tapi ia tidak sedang berjongkok, ia berdiri, lagi-lagi bertelanjang dada, dan melihat lurus langsung ke arah Satria Piningit.

"Priyam. Sedang apa sih kau selalu di situ?" sapa Satria Piningit. "Setiap aku mau buang air kau pasti ada. Seperti tidak ada kerjaan saja. Tapi kali ini aku tidak ada niatan berak, ayo ikut aku cari angin saja," lanjutnya.

Tanpa kata untuk membalas pertanyaan Satria Piningit, Priyam melompat ringan melangkahi kali kecil itu dan berdiri di samping Satria Piningit.

Di malam yang udaranya panas bergulung-gulung di udara itu, mereka berdua berjalan beriringan menyusuri jalan setapak bertanah merah. Keduanya melewati ladang tebu, persawahan, pepohonan pisang dan petai Cina. Bohlam lampu kuning yang menggantung di tepi jalan menerangi jalan dengan cahaya temaram, hampir tak kuat melawan kekelaman malam. Lagi-lagi Satria Piningit mencium bau terbakar dari tubuh Priyam.

"Kau sebenarnya tinggal dimana, Priyam?" tanya Satria Piningit setelah beberapa saat mereka tenang tanpa suara keluar dari mulut mereka.

Priyam menunjuk ke arah kegelapan malam. Terlihat jalan setapak kecil di antara sawah dan sebuah pohon beringin, "Lor ndeso. Utara Desa," ujarnya. Jalan setapak kecil itu hanya terlihat di bagian depannya saja, setelahnya entah menuju ke mana karena hanya terlihat secernah sinar di ujung jalan nun jauh di sana.

"Gelap sekali," respon Satria Piningit.

"Jadi, kau benar-benar tidak bisa melihat ... itu?" tanya Priyam, tiba-tiba, seperti memotong pembahasan sebelumnya tanpa menanggapi reaksi Satria Piningit.

"Hantu maksudmu? Setahuku tidak. Tapi kalau kau adalah hantu, berarti aku bisa melihatnya," kata Satria Piningit bercanda. Tapi Priyam tak tertawa dan terlihat serius.

"Kau yakin bahwasanya kau tak bisa melihat perempuan berbaju merah yang mengambang di atas pohon pisang itu?" kedua matanya mengarahkan Satria Piningit ke jejeran pohon pisang di tegalan sawah.

Kitab Obong - Bakar

Sentakan rasa ngeri sekaligus terkejut yang sangat menyebar ke tengkuk Satria Piningit sehingga membuat bulu kuduknya merinding. Ia melihat cepat ke arah yang ditunjukkan Priyam.

Kegelapan menggumpal di angkasa sebagai latar belakang barisan pepohonan pisang yang daunnya bergoyang-goyang malas diterpa angin malam. "Kampret kau Priyam. Sengaja mengerjaiku ya. Aku bukan penakut, tapi bukan berarti aku sok berani juga," seru Satria Piningit demi menanggapi kata-kata Priyam yang serba tiba-tiba itu dengan sedikit sebal. Apagi ternyata tak didapati apapun yang Priyam tadi jelaskan.

Perlahan detak jantung Satria Piningit memelan dan normal kembali.

"Tapi sebenarnya manusia lebih menakutkan," kata Priyam, lagi-lagi dengan tiba-tiba tidak mengacuhkan reaksi Satria Piningit yang sungguh ketekutan tadi.

Mendadak Satria Piningit terdiam mendengar ucapan Priyam. Kata-kata anak laki-laki itu menghentak bagai palu di dadanya. Kali ini mau tidak mau ia setuju dengan apa yang dikatakan Priyam. Apalagi ketika ia melihat kedua mata Priyam yang tiba-tiba sendu dan begitu kompleks dengan perasaaan campur aduk yang entah apa dan bagaimana beratnya. Priyam kemudian menunduk.

"Iya, kau mungkin benar, Priyam. Manusia menurutku lebih sadis dan lebih jahat dibanding hantu. Andaikata aku bertemu perampok atau begal, aku pasti mati dibunuhnya. Kalau hantu, ya meski aku juga mungkin akan kencing di celana, tapi mungkin aku cuma pingsan saking takutnya. Sedangkan manusia pasti tak tidak ragu menghabisi nyawa orang lain."

Priyam mengangguk, "Kau tahu mengapa nama desa ini Obong?" tanya Priyam. Satria Piningit diam, meski setahunya sebenarnya kata obong dalam bahasa Jawa berarti bakar.

"Karena orang-orang desa ini suka sekali dengan api," lanjut Priyam melihat Satria Piningit tak menjawab.

"Mereka suka bermain-main api dalam rupa pedukunan, santet, pesugihan, dan kegiatan lain yang menuntut mereka untuk bekerja dengan iblis. Mereka suka membakar perasaan orang, keluarga dan diri mereka sendiri dengan perjudian, pelacuran, dan arak. Tapi mereka semua adalah orang-orang munafik. Kau tahu, bapakku yang bernama Ngalimun, mati matian menjaga keseimbangan dengan berbicara dengan alam gaib dan dunia lain agar dapat berdamai dengan mereka. Tapi balasannya, keluargaku dituduh syirik. Padahal bapakku lah yang menangkap tuyul yang mencoba mencuri di salah satu rumah warga. Bapakku lah yang mendapati Pak Lurah memelihara jin yang membuatnya tetap kaya walau tak terlihat pernah bekerja sedikitpun," lanjut Priyam kemudian panjang lebar sekaligus berapi-api.

Satria Piningit terus terang bingung harus menjawab apa atau merespon bagaimana. Karena setahunya nama Obong yang disematkan ke tempat ini berkenaan erat dengan hal-hal yang dilakukan para nenek moyang desa. Ia sering mendengar, bahkan terlalu sering, bahwa keluarganya di desa ini secara turun-temurun dianggap sebagai keluarga yang terhormat dan terpandang. Mereka dianggap sebagai orang-orang awal yang berani membakar alat-alat praktik perdukunan dan ilmu gaib di desa ini. Sederhananya, nenek moyang Satria Piningit di desa ini adalah orang-orang yang berani melawan kesyirikan. Maka dari itu sebagai bentuk penghormatan kepada leluhurnya itu, orang-orang desa sepakat menamai desa ini sebagai Desa Obong.

Tapi memang dari satu sisi, Satria Piningit melihat Priyam ada benarnya juga mengatakan bahwa desa ini dahulu terkenal dengan praktik ilmu gaib mereka, tapi dari cerita simbah kakung dan simbah putri Satria Piningit, keluarga nya lah yang sedari awal menjaga agar desa ini tidak terjerumus ke dalam kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral yang baik, bukan sebaliknya. Jadi Satria Piningit agak bingung dengan cerita versi Priyam ini. Tapi ia tak mengacuhkannya, namanya juga cerita pasti sebenarnya hanya dua sisi dari uang logam yang sama, bukan?

Jadi Satria Piningit memutuskan untuk diam saja.

"Kau lihat kepala terbang itu?" kata Priyam mendadak tanpa aba-aba sama sekali sembari menunjuk dengan hidungnya ke arah atas. Tentu Satria Piningit tidak melihat apa-apa selain dedaunan pohon kelapa yang panjang-panjang berbayang bagai jari-jemari. Lama-kelamaan bisa-bisa Satria Piningit akan benar-benar terbiasa dengan petunjuk mengejutkan dan menakutkan Priyam tersebut.

Tanpa menunggu balasan jawaban Satria Piningit, Priyam melanjutkan berkata, "Sudah entah berapa lama mereka terus mempraktikkan ilmu hitam itu. Mereka saling balas meneluh, menyiksa orang lain, bahkan tidak terkecuali tetangganya sendiri, dengan penuh benci."

Satria Piningit menjadi sedikit gelisah dengan sikap Priyam, selain ia juga tetap merasakan ngeri. "Kau melihat sebuah kepala terbang?" tanya Satria Piningit perlahan meyakinkan.

"Kau tahu, Satria, malam ini iblis berpesta pora. Kau merasakan panasnya 'kan? Perempuan berbaju merah di atas pohon pisang tadi adalah perempuan yang diperkosa oleh pejabat desa bersama para pemuda. Ia selama ini di alam kematiannya penasaran menunggu sebuah pembalasan. Begitu terus. Entah untuk berapa lama."

Tak pelak Satria Piningit melongo dan menelan ludahnya sendiri dengan keras. "Maaf selama ini aku selalu bercanda, Priyam. Tapi sepertinya kau memang bisa melihat hal-hal yang tak dapat aku lihat. Aku juga tidak sampai berpikir sejauh itu soal desa ini. Bahkan, sebenarnya tidak banyak sebenarnya yang aku pahami di tempat ini," kata Satria Piningit jujur meski bingung juga harus benar-bernar percaya atau meragukan segala cerita yang Priyam sampaikan.

"Kau saat ini hanya bisa melihat hal-hal baik yang ada di depan matamu. Tunggu setelah kau mau membuka pikiran atau menunggu agak dewasa sehingga mampu melihat keburukan-keburukan, maka mata batinmu akan terbuka pula," ujar Priyam.

Perasaan Satria Piningit kembali berubah drastis terhadap Priyam yang misterius ini. Ia hampir saja tertawa mendengar ucapan Priyam. Melihat perawakannya, umur Satria Piningit saja mungkin lebih tua setahun dari Priyam, tapi Priyam berlagak sok bijak dan dewasa bagi Satria Piningit.

Priyam memang anak yang aneh. Satria Piningit sadar itu. Tapi entah bagaimana, Satria Piningit suka dia. Priyam selalu serius dan dipenuhi dengan kesedihan. Itu kerap membuat Satria Piningit kadang kasihan dengan apa yang sudah dirasakan Priyam selama ini, entah apapun itu. Satria Piningit sendiri melihat dirinya sedikit banyak memiliki kesamaan dengan Priyam. Awal pindah ke desa ini, Satria Piningit masih merasa sendirian dan kesepian. Ia sadar bahwa semua ini adalah karena keputusan nya sendiri yang sudah bulat untuk menetap bersama mbah kakung dan mbah putri nya yang tidak begitu ia kenal, apalagi ia masih SMP, masih terbilang kecil untuk bisa tinggal di tanah orang.

Tapi itulah tekadnya untuk mengetahui dan mengalami kehidupan di pulau Jawa yang ia dengar penuh dengan warna, bahkan kerap gemerlap. Hanya butuh sekejap untuk tahu bahwa nyatanya ia tinggal di sebuah desa.

Memiliki sebuah keluarga yang terpandang di desa ini sebenarnya membuatnya memiliki banyak keuntungan. Orang-orang penasaran dengannya sewaktu pertama ia sampai di tempat ini. Teman-teman sebaya di desa nya tersebut menawarkan 'bantuan' mereka untuk mengenal desa ini lebih baik. Setiap hari mereka mengajak Satria Piningit bermain dan berkeliling desa. Pergi ke arah selatan desa, melalui kebun tebu, bermain di belakang bangunan pabrik gula yang sudah berdiri sejak jaman Belanda, menyusuri kali kecil ke arah timur sampai ke sungai Pratama; yaitu sungai utama yang berbatu besar-besar dan berarus kuat, untuk menyetrumi ikan-ikan kecil, berburu bajing melewati sawah sampai ke desa tetangga, atau ke arah utara bermain bersama teman sebaya di bekas candi kuno yang sudah tinggal puing-puingnya saja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!