NovelToon NovelToon

Menikah Dengan Setan

MDS #01

"Mbok! Mbok!" teriak seorang gadis dari arah kamar mandi yang berada di belakang rumah.

Perempuan yang dipanggil mbok itu pun lantas menghampiri sumber suara.

"Ono opo to, Nduk,? Esuk-esuk kok ws bengak-bengok. Isin Karo Tonggo teparo"

(Ada apa sih, Nak? Pagi-pagi begini sudah teriak-teriak. Malu sama tetangga).

"Celana dalamku hilang lagi!"

"Hah?!"

"Dalam sebulan ini sudah lima kali celana dalamku hilang. Apa ada genderuwo yang jahil padaku ya, Mbok?"

"Hussh! Hati-hati kalau bicara! Paling-paling celana dalammu dipakai si Gendhis."

Obrolan di atas terjadi antara seorang ibu bernama Sumirah dengan puteri sulungnya yang bernama Sekar yang usianya menginjak dua puluh tahun. Sekar sendiri memiliki seorang adik perempuan bernama Gendhis yang usianya terpaut tiga tahun darinya. Meskipun terlahir dari rahim yang sama, Sekar dan Gendhis memiliki sifat yang jauh berbeda. Gendhis cenderung pendiam dan penyendiri, sementara Sekar adalah gadis yang periang dan mudah bergaul. Wajar jika cukup banyak pemuda di kampung itu yang menaruh hati padanya.

"Bapak lihat ****** ***** Sekar nggak?" tanya gadis berkepang dua itu pada pria paruh baya yang baru saja selesai menyadap pohon kelapa.

"Kok ono-ono wae to yo. Moso takon njeroan Karo bapak.

(Ada-ada saja. Masa tanya ****** ***** sama bapak)

"Sekar sudah sering kehilangan ****** *****, Pak. Tinggal dua potong saja yang tersisa. Satu kupakai, satu lagi di tempat jemuran."

"Bu ne, kasih duit buat anakmu ini buat beli ****** ***** ke pasar. Duit hasil penjualan gula Jawa kemarin masih ada kan?"

Sumirah atau yang kerap disapa Mirah itu menganggukkan kepalanya.

"Sudah selesai menyadapnya, Pak ne? Bu ne sudah menyiapkan kopi hitam dan ubi rebus di meja dapur."

"Ayo masuk, tenggorokanku juga sudah kering. Ini dimasak *badeg nya."

Pria yang kerap disapa pak Darman itu meletakkan sepuluh *bumbung berisi hasil sadapan pohon kelapa pagi ini.

*Tempat menyimpan air sadapan pohon kelapa yang terbuat dari bambu.

Senyum mengembang di bibir Mirah saat melihat ke sepuluh bumbung itu hampir penuh yang artinya gula Jawa yang akan dihasilkan hari ini lumayan banyak.

"Gendhis sudah berangkat sekolah?" tanya pak Darman.

"Sudah dari jam enam pagi tadi."

"Jalan kaki atau bareng temannya?"

"Jalan kaki."

"Dari rumah jalan kaki, nanti di pertigaan pasar dijemput teman laki-lakinya."

"Bapak jangan mengada-ada. Mana mungkin Gendhis begitu."

"Sudah banyak selentingan yang mengatakan jika anak itu suka berboncengan sepeda motor dengan pemuda yang juga anak sekolah."

"Tidak usah berpikir macam-macam, Mungkin Gendhis memboncengnya biar cepat sampai di sekolah."

Mirah mengangkat *bumbung berisi hasil sadapan pohon kelapa lalu membawanya masuk ke dalam dapur.

"Kucing kurang ajar! Sudah diberi makan kepala pindang masih saja mencuri!" seru Mirah saat mendapati ikan pindang di atas yang tadinya berjumlah lima ekor hanya tersisa di ekor saja.

"Bu ne ki piye, ngerti kucing e cluthak kok ndeleh lawuh sak enggon-enggon."

(Ibu ini bagaimana? Sudah tahu kucing nya culas, naruh lauk sembarangan)

"Bu ne cuma tinggal sebentar ke belakang tadi saat Sekar manggil Bu ne."

"Yowes, pancen rejekine kucing. Nduk, Yen ning pasar mengko tukokno bapak mbako karo cengkeh, ojo lali garet e sisan."

(Ya sudah, memang rezekinya kucing. Nak, kalau kamu ke pasar nanti belikan bapak tembakau sama cengkeh, jangan lupa kertas nya juga)

"Pak ne ini kapan mau berhenti merokok. Apa nggak kapok batuk sampai keluar darah kemarin?"

"Kalau nggak ngerokok bibir bapak kecut."

"Iki, Nduk. Duite nggo tuku njeroanmu karo tukokno bapakmu mbako lan konco-koncone. Yen isih turah tukokno tahu tempe,"

(Ini, Nak, uang buat beli celana dalammu sama belikan bapakmu tembakau dan kawan-kawannya. Kalau masih ada sisa belikan tempe sama tahu)," ucap Mirah sembari menyodorkan selembar uang pecahan lima puluh ribu pada anak gadisnya itu.

"Srek! Srek! Srek!"

Obrolan mereka terhenti saat tiba-tiba terdengar suara langkah seseorang dari arah halaman belakang rumah.

"Siapa itu?!" seru Sekar.

Bersambung …

Halo, Kak. Novel ke empatku sudah meluncur. Meskipun judulnya agak horor tapi tidak melulu membuat yang baca merinding kok.

Jangan lupa beri dukungannya ya.

Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰

Happy reading…

MDS#02

Sekar meninggalkan dapur dan berkas menuju halaman belakang rumahnya. Aneh, tak ada siapapun di sana padahal tadi jelas-jelas yang mendengar suara seseorang yang menyeret langkah kakinya.

"Siapa, Nduk?" tanya sang ibu saat Sekar kembali ke dalam dapur.

"Tidak ada siapa-siapa, Mbok."

"Aneh."

"Ya sudah, aku ke pasar dulu, Mbok," ucap Sekar seraya meraih tangan sang ibu lalu mencium punggung tangannya.

"Hati-hati, Nduk, di pasar banyak copet," ucap sang ayah.

"Aku hanya membawa a selembar uang saja kok pak, apanya yang mau dicopet?"

"Uang satu lembar pun kalau kamu tidak hati-hati menyimpannya bisa apes," ucapkan pak Darman seraya mengupas ubi rebus.

Setelah mengenakan kain kerudungnya ia pun meninggalkan ruangan tersebut.

Jarak dari rumahnya menuju pasar tidak sampai 1 km. Sekar pun memilih menempuhnya dengan berjalan kaki.

"Eh, Sekar. Mau ke pasar ya, Cah ayu?" sapa Hasan saat gadis itu melintasi sebuah pos ronda.

"Ho.oh."

"Aku antar pakai sepeda motor yuk, biar cepat," ucap Hasan seraya menarik salah satu lengan sekarang.

"Jangan pegang-pegang!" sentak gadis berkerudung itu.

"Nggak usah sombong begitu. Nanti nggak laku-laku."

Hasan. Pemuda berusia 20 tahun itu adalah teman sekolah Sekar. Waktunya sehari-hari hanya dihabiskan dengan nongkrong dan bermain-main saja. Baginya bekerja bukan hal yang penting. Jabatan ayahnya sebagai kepala desa membuat apapun yang menjadi keinginannya bisa terwujud dengan mudah tanpa harus bekerja seperti kawan-kawan sebayanya. Hasan sendiri memiliki perasaan lebih pada Sekar. Entah sudah berapa kali ia mengungkapkan perasaannya pada gadis berambut panjang itu, namun segar selalu menolaknya dengan alasan dia belum ingin memiliki pacar apalagi menikah.

"Ayo, biar ku antar. Nanti aku akan mentraktirmu makan bakso di warung pak kumis." Kali ini ajakan Hasan terdengar sedikit memaksa. Iya bahkan berani melingkarkan salah satu tangannya di pinggang ramping Sekar.

"Sudah kubilang jangan pegang-pegang!"

"Ayolah, aku hanya ingin mengajakku makan bakso saja."

"Maaf aku harus cepat-cepat ke pasar sebelum pasar tutup."

Pasar di desa tempat tinggal Sekar hanya buka di hari pasaran tertentu saja yakni Wage dan pahing. Selain hari itu pasar tidak dibuka untuk umum.

Rupanya pemuda pengangguran itu semakin nekat. Dia menarik kerudung Sekar hingga terlihat sebagian rambutnya.

"Kamu ini lama-lama kurang ajar ya?! Apa aku perlu berteriak agar warga beramai-ramai datang ke sini?!" ancamnya.

"Ja-ja-ngan!"

Sekar mendengus kesal sebelum akhirnya meninggalkan pos ronda tersebut.

Setelah berjalan kaki selama kurang lebih 15 menit, sampailah ia di pasar.

"Tembakau, cengkeh, sama kertas nya 20 ribu, Mbah," ucapnya pada seorang kakek tua yang menjual tembakau dan kawan-kawannya.

Dengan sikap laki-laki berusia lebih dari 60 tahun itu menimbang barang pesanan Sekar lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik.

Dari penjual tembakau dia bergeser menuju seorang pedagang yang menjual pakaian.

"Cari apa, Nduk?" tanyanya.

"Ehm … anu … ****** *****."

"Berapa? Satu lusin? 2 lusin?"

"Tidak sebanyak itu kok, Bu. Mau saya pakai sendiri."

"Harga per bijinya sepuluh ribu," ucap wanita paruh baya itu seraya menyodorkan beberapa potong ****** ***** ke arahnya.

"Kok mahal, Bu," protes nya.

"Memangnya di zaman sekarang ini apa yang nggak mahal, Nduk? Lha wong harga garam saja naik."

"Kemarin saya beli ****** ***** di pasar ini juga masih dapat 5000 per biji nya."

"Kemarin itu kapan?"

"Belum lama, baru sekitar sebulan yang lalu."

"Ya sudah sana, beli di pedagang yang jual ****** ***** seharga 5000," sungut si pedagang. Ya lalu mengambil kembali pakaian dalam itu dari hadapan Sekar dengan kasar.

"Kalau jadi penjual itu jangan judes-judes, Bu, nanti pembelinya kabur," ucap Sekar ditanggapi pedagang itu dengan memonyongkan bibirnya.

"Beli di sini saja, Nduk. Bapak masih menjual ****** ***** dengan harga lama," ucap seorang pria saat Sekar melintas di depan lapak jualannya.

"Beneran?"

"Beneran. Kamu hanya perlu membayar 5000 rupiah saja untuk setiap bijinya."

Sekar tampak berpikir sejenak.

"Kalau uangnya aku belikan ****** ***** semua, nanti aku tidak dapat tahu dan tempe," gumamnya.

"4 biji saja ya, Pak."

"Nggak sekalian setengah lusin? Nanti bapak kasih diskon."

"Nggak, Pak. Uangnya tidak cukup."

"Nggak apa-apa, lain kali kamu bisa kembali ke sini. Kamu warga daerah sini kan?"

"Iya, Pak, saya tinggal di kampung Sukasari."

Tiba-tiba pedagang pakaian itu mengamati wajah Sekar.

"Sepertinya wajahmu mirip dengan seseorang yang kukenal. Apa Bapak boleh tahu siapa nama bapak dan ibumu?

"Nama bapak saya pak Darman, dan nama ibu saya ibu Sumirah."

"Oalah anaknya Sumirah toh. Pantas saja wajahmu mirip sekali saat ibumu masih muda dulu."

"Bapak kenal dengan ibu saya?" tanya Sekar.

"Ya jelas kenal toh yo. Bapak dan ibumu itu dulu sering bermain bersama waktu kecil di kampung Banyubiru. Punya anak berapa sekarang si Mirah?"

"Dua, Pak. Saya dan adik perempuan saya."

"Wah! Cocok sekali. Kebetulan kedua anak saya laki-laki dan kedua-duanya belum menikah. Mungkin ibumu dan saya bisa menjadi besan." Pria berkumis tebal itu terkekeh.

"Oh ya, Pak. Ini uangnya," ucap Sekar seraya menyodorkan uang pecahan 20.000 pada pedagang pakaian itu.

"Terima kasih, Nduk, lain kali mampir lagi. Oh ya sampaikan salamku untuk Mirah dari kawan lamanya, Bambang."

"Iya, Pak, nanti saya sampaikan. Kalau begitu saya permisi dulu."

Uang Sekar kini hanya tinggal 10.000 saja. Ibunya tadi sempat berpesan untuk membelikan tahu dan tempe. Namun, entah kenapa iya begitu tertarik untuk membeli kue gethuk dari seorang pedagang yang lapaknya tidak jauh dari lapak Pak Bambang.

"Berapa harga gethuk nya, Mbah?" tanyanya.

"5000 saja, Nduk."

"Saya beli satu bungkus ya, Mbah. Ini uangnya."

Pedagang itu pun lantas memasukkan sebungkus makanan yang terbuat dari ubi itu ke dalam sebuah plastik lalu menyodorkannya pada Sekar.

"Maturnuwun ya, Nduk."

"Sami-sami, Mbah."

Tempat terakhir yang didatanginya sebelum meninggalkan pasar adalah penjual tahu dan tempe. Dengan uang 5.000 yang ia miliki, ia bisa membeli masing-masing 5 biji tempe dan 5 biji tahu.

"Ini pasti cukup untuk lauk makan siang nanti," gumamnya.

Sekar baru saja melangkah meninggalkan pasar. Di depan pasar itu lah dia memutuskan untuk duduk di sebuah bangku kosong di tempat pedagang sayuran yang hari ini libur berjualan.

"Sepertinya enak duduk sambil makan kue getuk tadi," pikirnya.

Baru saja hendak memasukkan potongan pertama gethuk itu ke dalam mulutnya, tiba-tiba raja muncul seorang perempuan tua di hadapannya.

"Sedekah nya, Nduk. Nenek dari pagi belum makan," ucapnya seraya menengadahkan tangannya."

Sekar membungkus kembali gethuk itu lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik.

"Maaf, Nek. Saya tidak punya uang tapi jika Nenak mau, Nenek bisa ambil gethuk ini," ucap Sekar.

Senyum mengembang di bibir perempuan renta itu.

"Alhamdulillah, terima kasih, Nduk. Semoga apa yang menjadi keinginanmu terkabul, dan kamu bisa punya suami yang kaya."

Meski merasa ada yang aneh dengan doa yang diucapkan nenek tersebut Sekar memilih menganggukkan kepalanya."

Tidak lama kemudian nenek itu pun berlalu dari hadapannya.

Sekar pulang ke rumahnya dengan menyusuri jalan yang sama seperti yang dilaluinya saat berangkat ke pasar tadi.

"Dapat nggak Nduk, ****** ********, Nduk?" tanya sang ibu saat Sekar tiba di rumahnya. Sang Ibu terlihat tengah menyapu teras.

"Dapat, Mbok. Oh ya tadi penjualnya titip salam untuk Mbok."

"Titip salam?" Sumirah mengerutkan keningnya.

"Namanya Pak Bambang dia bilang dia berasal dari desa Banyubiru." Sekar meletakkan kantong plastik berisi barang belanjaannya di atas meja lalu masuk ke dalam kamarnya.

"Loh, tahu tempe nya kok cuma sedikit, Nduk?" tanya sang ibu saat memeriksa kantong plastik tersebut.

"Maaf, Mbok. Tadi aku kepingin sekali makan gethuk."

"Terus sekarang gethuk nya di mana?"

"Ehm … anu … anu."

"Apa sudah habis kamu makan sendiri?"

"Nggak, Mbok. Tadi ada peminta-minta. Karena aku kasihan, aku kasih saja gethuk itu untuknya," jelas Sekar.

"Ya sudah kalau begitu. Nanti tahu sama tempenya dibacem saja. Mbok mau berangkat ke sawah bantuin bapakmu panen cabai."

"Ya, Mbok. Setelah selesai memasak aku nyusul ke sawah."

Begitulah pekerjaan sehari-hari Sumirah dan suaminya, Darman. Mereka memanfaatkan satu-satunya petak lahan yang mereka miliki untuk bercocok tanam. Harga cabe sekarang sedang tinggi, itulah alasan Pak Darman pergi ke sawah pagi-pagi sekali. Dia takut hasilnya bercocok tanam dicuri orang.

Sekar tengah masak di dapur. Lagi-lagi ia mendengar suara orang menyeret langkah kaki dari arah halaman belakang rumahnya. Sekar pun mengintip dari celah-celah balik bambu di bagian dapur rumahnya. Benar saja, ia mendapati seorang laki-laki tengah mengendap-endap di sana. Perlahan ia mendekati tali yang ia gunakan untuk menjemur pakaiannya. Diantara pakaian-pakaian yang masih basah itu, hanya satu yang diambilnya yakni ****** ********!

"Tunggu! Berhenti! Wong edan! Pantes aja celana dalamku pada hilang ternyata kamu pencurinya!" teriak Sekar seraya berlari mendekati pria tersebut.

(Orang gila!)

Laki-laki bertopi itu pun atas menoleh ke arahnya. Sayang, laki-laki itu berhasil melarikan diri sebelum Sekar melihat wajahnya.

"Sebenere sopo wong edan iku?"

(Sebenarnya siapa orang gila itu?)

gumamnya.

Bersambung …

Hai, pembaca setia, dukung terus karyaku ya. Jangan lupa beri like, komentar positif, fav, vote dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author.

Happy reading …🥰🥰

MDS#3

Setelah selesai memasak sayur oseng daun singkong dan bacem, Sekar berangkat ke sawah untuk menyusul ayah dan ibunya memetik cabai.

Jantungnya berdegup kencang saatnya melintasi sebuah kebun. Kebun milik keluarga Zainal. Ya, sebenarnya sudah cukup lama Suci memendam perasaan pada guru mengaji itu. Sebagai perempuan tentu saja dia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya, apalagi ia mendengar jika pemuda lulusan pondok pesantren ternama di kota Jawa timur itu sudah dijodohkan dengan seorang anak ustadz dari kampung sebelah bernama Hanum.

Sekar berjalan dengan wajah menunduk, ia berharap tidak bertemu dengan Zainal di sana.

"Assalamualaikum, Sekar," sapa seorang laki-laki bersuara lembut. Tidak salah lagi, dia lah Zainal atau yang kerap disapa Zain.

"Wa-wa-alaikumsalam," sahut Sekar masih dengan wajah tertunduk. Ia tidak memiliki keberanian untuk menatap wajah si penghafal Alquran itu.

"Mau ke sawah, ya?" tanyanya.

"Iya membantu bapak dan mbok panen cabai."

"Alhamdulillah, kalian beruntung, bisa panen di saat harga cabe sedang melonjak tinggi. Pohon cabe milik keluargaku baru mulai berbunga."

"Zain! Sudah mengobrolnya. Kita harus cepat cepat memupuk tanaman-tanaman sayuran kita!" Teriakan pak Sanusi, ayah Zainal terdengar dari kejauhan. Sekar paham, kyai itu tidak menyukai jika Zaenal mengobrol dengan dirinya.

"Ya sudah,kamu hati-hati. Aku kembali bekerja. Awas jalanan licin," ucap Zainal.

Sekar mengangguk paham.

"Ya sudah aku pergi dulu, Assalamualaikum."

Entah benar atau hanya perasaannya saja, Sekar merasa Zainal memandanginya setelah ia berlalu dari hadapannya.

"Kamu kenapa, Nduk, kok senyum-senyum sendiri begitu?" tanya Sumirah saat Sekar sampai di kebun miliknya.

"Oh … tidak kok Mbok. Ini Sekar bawakan minum," ucapnya salahnya meletakkan poci berukuran sedang di gubuk kecil yang sengaja dibuat sang ayah sebagai tempat mereka beristirahat.

"Sebelah mana, Mbok, cabe yang belum dipanen?" tanya Sekar.

"Di sebelah sana."

****

"Uang hasil penjualan cabe ini nantinya akan kita pakai untuk membayar SPP adikmu, Gendhis. Sebentar lagi dia ulangan umum semester," ucap sang ayah saat mereka minum teh di gubuk sambil melepas lelah.

"Alhamdulillah ya Pak, Bu. Kita panen cabai disaat harganya melambung tinggi," ucap Sekar.

"Rezeki memang sudah diatur, Nduk," ujar sang ibu.

"Bapak minta maaf, sekolahmu hanya selesai di bangku SMP saja," ucap sang ayah."

"Tidak apa, Pak, Sekar ngerti."

Bukannya enggan membiayai sekolah Sekar, namun saat itu keadaannya begitu sulit. Sang ayah gagal panen hingga membuatnya rugi besar. Jangankan untuk membayar biaya masuk sekolah, itu makan sehari-hari saja mereka terpaksa meminjam uang dari salah seorang pengusaha terpandang di desa itu.

Gendhis sang adik lebih beruntung. Hasil panen sang ayah melimpah di saat tahun ajaran baru. Berkat hasil panen itulah iya pengen tetap melanjutkan pendidikannya ke bangku SMA.

"Oh ya, Mbok. Tadi aku hampir saja menangkap pencuri celana dalamku, tapi aku tidak melihat wajahnya karena dia mengenakan topeng," ucap Sekar.

"Oh, dadi menungso toh, sing nyolong njeroanmu. Tak kiro lelembut."

(Oh jadi manusia ya pelakunya,bapak kira makhluk halus."

"Bapak Iki ngawur. Nggo opo lelembut nyolong dalemane si Sekar."

(Bapak ini ngawur, buat apa makhluk halus mencuri ****** ******** si Sekar."

"Ya sudah, kita pulang sekarang. Bapak sudah lapar," ucap pak Darman. Dia lantas menjinjing karung besar berisi cabai hasil panennya.

Menyusuri jalan pulang, mau tidak mau Sekar harus melewati kembali kebun pak Sanusi.

"Wah, panen nih, Pak Darman," sapa Zain.

"Alhamdulillah, *Lhe (Thole)."

*Panggilan untuk anak laki-laki bagi orang Jawa.

"Punya Nak Zain sendiri bagaimana? Sudah mau dipanen belum?" Sumirah menimpali.

"Belum, Bu. Baru berbunga."

"Semoga saat panen nanti harga cabai masih tinggi."

Pemuda itu hanya menanggapi ucapan Sumirah dengan senyum simpul di bibir.

"Ya sudah kami permisi pulang dulu, Nak," ucap pak Darman.

Entah karena gugup atau kurang hati-hati, salah satu kaki Sekar terpeleset pematang sawah dengan membuatnya nyaris terjatuh ke dalam kubangan lumpur. Beruntung Zain dengan sigap menopang tubuhnya. Detik kemudian netral keduanya pun bersitatap.

"Ehm!" Pak Sanusi berdehem. Sontak keduanya pun lekas menjaga jarak."

"Ma-ma-af, saya tidak bermaksud, …"

"Ya sudah, kami pulang dulu, Assalamu'alaikum." Sekar dan kedua orang tuanya pun meninggalkan kebun tersebut.

"Ingat Zain, kamu ini sudah dijodohkan dengan Hanum. Tidak usah macam-macam dengan gadis lain," ucapan Sanusi sesaat setelah keluarga Sekar berlalu.

"Tidak kok, Pak, tadi saya hanya mencoba menolong Sekar yang hampir jatuh."

"Sepertinya sebentar lagi adzan Dzuhur. Kita pulang saja sekarang, bapak juga sudah lapar," ucap pak Sanusi.

Tidak berselang lama keduanya pun meninggalkan tempat tersebut.

Sekar dan keluarganya tiba di rumah.

"Kamu masak apa hari ini, Nduk?" tanya Darman sembari melangkahkan kakinya menuju ruang makan.

"Masak oseng daun singkong dan tempe tahu bacem, ada sambal terasi juga."

"Wah, cocok. Bapak jadi semakin lapar."

Darman menarik sebuah kursi lalu mendudukinya, lantas dibukanya tudung saji yang biasanya digunakan untuk menutup makanan di atas meja.

"Kamu ini bercanda ya, Nduk? Katanya sudah masak tapi tidak ada makanan apapun di sini."

"Demi Allah, Pak, tadi Sekar sudah masak."

"Lihat, meja ini bersih tidak ada makanan apapun."

Sekar dan Sumirah yang penasaran pun bergegas mendekati meja makan. Mata keduanya terbelalak saat mendapati isi tudung saji itu kosong. Ada makanan apapun di sana bahkan bakul nasi bersih tak menyisakan sebutir nasi pun.

Tubuh Sekar mendadak lemas, ia pun terduduk lesu di kursi makan.

"Ke mana makanan yang kumasak tadi? Siapa yang memakannya?" gumamnya.

"Saat kamu mau berangkat ke sawah tadi, apa kamu sudah mengunci semua pintu, Nduk?" tanya sang ibu.

"Iya, Mbok, aku sudah mengunci semua pintu kok."

"Terus siapa yang memakan makanan ini?"

"Apa mungkin pencuri jemuran tadi?"

"Kalaupun dia memaksa masuk ke dalam rumah kita, dia akan merusak salah satu pintu atau jendela."

"Jangan-jangan, …"

"Jangan-jangan apa, Pak?"

"Jangan-jangan ,Genderuwo pelakunya."

"Kenapa Bapak mikirnya ke arah situ? Memangnya makhluk halus itu doyan dengan makanan kampung?"

"Siapa tahu saja dia sedang lapar, yang jadi nemu makanan apa saja ya diembat."

"Sudah, jangan mikirin aneh-aneh kebetulan tadi ibu habis memetik kangkung di sawah. Bapak mandi saja dulu, lalu sholat Dzuhur. Setelah Bapak selesai nanti pasti masakannya sudah matang," ucap Sumirah.

Darman beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamar mandi yang berada di belakang rumah, sementara Sumirah berjalan menuju dapur. Sekar sendiri masih duduk termenung di kursinya. Iya masih menebak-nebak siapa sebenarnya pelaku yang sudah menghabiskan makanan di meja makan. Apakah masuk akal jika makhluk halus pelakunya?

Bersambung …

Jangan lupa beri dukungannya ya.

Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰

Happy reading…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!