Hallo selamat datang di karyaku yang ke-7 di Noveltoon. Yuk ikuti kisah Arfa dan Bella. Jangan lupa masukkan ke rak biar gak ketinggalan update.
Semoga kalian suka ya.
Selamat membaca^^
🦋🦋
Isabella Puspita adalah gadis cantik berusia 24 tahun, yang saat ini menjabat sebagai staf divisi marketing. Ia bekerja di sebuah perusahaan Day Rio Skin. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produk kosmetik. Isabella Puspita yang biasa dipanggil Bella, gadis itu memiliki sifat yang ceria, serta jiwa sosial yang begitu tinggi, terkenal suka menolong seseorang. Hal itu membuat ia disukai banyak orang di sana, terutama kaum pria. Sayangnya, hatinya telah terpaut sejak lama untuk seseorang yang bertahun-tahun tak kunjung jumpa.
“Aku gak sabar untuk melihat direktur kita yang baru, Bel.” Asima salah satu teman satu divisinya berkata dengan kedua mata yang berbinar penasaran.
Bella yang saat itu tengah sibuk dengan pekerjaannya, menoleh. “Direktur baru?” tanyanya penasaran.
“Iya. Masa kamu gak tahu Bel. Kan beritanya udah tersebar di grup.” Sima menatap heran temannya yang begitu kurang update.
Bella terkekeh. “Kau kan tahu ponselku mati, dan sedang aku servis di konter. Dan laptopku semalam kan aku gunakan untuk lembur.”
Sima tak heran lantaran temannya itu memang selalu menomor satukan kerjaan, di bandingkan dengan urusan pribadi, apalagi mengenai berita seperti itu. Ia bahkan tahu Bella selalu bersikap biasa terhadap kaum lelaki baik dari yang mapan, tampan, dan sederhana. Bahkan ia sempat berfikir kalau Bella tak menyukai lelaki. Saat di tanya jawabannya hanya satu.
“Hatiku sudah ada yang mengisi.”
Begitulah jawaban Bella. Entah di isi siapa, Sima tak mengerti. Apakah perempuan itu mempunyai kekasih di kampungnya atau bagaimana. Yang jelas satu tahun ia berteman dan berbaur di perusahaan itu, tak pernah sekalipun ia melihat Bella jalan atau dijemput oleh seorang lelaki.
“Namanya Arfa. Cakep ya namanya pasti orangnya juga cakep kaya namanya." Sima menepuk kedua pipinya. Sementara, Bella terdiam mematung mendengar nama yang di sebutkan oleh Sima.
“Arfa siapa?” Bella mendesak Sima, entah kenapa ia menjadi tertarik obrolan Sima soal direktur barunya. Sima sedikit terkejut pasalnya tak biasanya Bella begitu tertarik membahas soal lawan jenis.
“Arfa Ad.. Ad siapa ya? Kok aku lupa.”
“Adiyaksa,” tebak Bella kemudian.
“Iya itu namanya Arfa Adiyaksa. Cakep kan kan,” pekik Sima girang ketika kembali mengingat nama lengkap calon direktur barunya. Sementara, Bell tak sadar menjatuhkan bolpoin di tangannya, seiring dengan detakan jantung yang berdebar kencang. Tidak mungkin kan jika Arfa yang di maksud adalah sosok cinta pertamanya dulu. Kalau memang benar apa yang harus ia lakukan saat bertemu dengannya. Berpura-pura menjadi orang asing atau bersikap manis seperti dulu saat bersamanya. Tak pungkiri hatinya masih mengharapkan lelaki itu. Ada setitik rasa senang jika memang ia akan berjumpa dengannya setelah sekian lamanya tak bersapa.
“Tapi kok kamu bisa tahu namanya?” tanya Sima heran, yang membuat Bella tersadar dari lamunannya.
“Hanya asal menebak.” Bella menjawab dengan asal, wajahnya terlihat merona salah tingkah, takut bila mana Sima mencurigai, padahal dugaannya sendiri pun belum tentu benar.
“Ku pikir kamu mengenalnya,” celetuk Sima.
“Sudahlah kembali bekerja. Yang lain saja sedang sibuk, kita malah asyik-asyikan mengobrol,” tukas Bella seraya melirik ke arah rekan kerjanya yang terlihat begitu sibuk di depan komputer masing-masing. Sima mengikuti arah pandang Bella, kemudian terkekeh.
“Tapi Bella, masih ada satu info lagi tentang Pak Arfa,” kata Sima yang begitu semangat, karena untuk pertama kalinya Bella tertarik soal lelaki, jadi apa salahnya kali ini ia menciptakan gosip.
“Apalagi, Sim?" tanya Bella dengan kedua mata yang mencoba fokus pada layar monitor komputer di depannya.
“Gosip yang beredar mengatakan jika Pak Arfa ini sudah mempunyai pasangan."
Deg! Bella sontak menghentikan gerakan jarinya yang tengah mengetik beberapa angka. Perempuan itu tampak terkesiap lalu menoleh pada Sima.
“Kau tahu dari mana?” desaknya. Semburat wajah kecewa melingkupi wajahnya, padahal dugaannya pun belum tentu benar jika itu Arfanya.
“Hanya mendengar dari beberapa karyawan di sini," jawab Sima menghela nafas kesal. “Kalau itu benar. Artinya, aku patah hati sebelum berperang dong,” sambungnya kemudian.
Bella kembali menghela nafas lega, pasalnya gosip itu belum terbukti. Artinya jika itu memang benar Arfa yang ia maksud, masih ada harapan untuknya kembali merajut cinta lamanya.
“Emang mau kemana kok berperang?” celetuk Bella terkekeh meskipun saat ini hatinya ketar-ketir.
“Ahh... Kamu sih gak tahu istilahnya orang jatuh cinta dan patah hati dalam waktu yang bersamaan.” Sima mengerucutkan bibirnya ke depan, kemudian kembali fokus pada pekerjaannya.
Pukul satu siang, manager Agus meminta para staf untuk berbaris rapi di pintu masuk, demi menyambut kedatangan direktur baru. Para karyawan wanita tampak semangat, bahkan tak segan beberapa kali melihat penampilan wajahnya yang dirasa ada yang kurang. Karena mereka menginginkan penampilan yang sempurna, agar direktur barunya Sudi melirik ke arahnya.
Salah satunya Sima yang tampak heboh, berkali-kali bertanya pendapat penampilannya pada Bella. Sementara, Bella memilih tampil apa adanya asal ia merasa sudah rapi. Karena yang ia tahu, Arfa hanya menyukai perempuan yang tampil apa adanya.
Sebuah mobil mercy tiba di loby perusahaan, kedua penjaga sigap membukakan pintu. Seorang lelaki tampan, tinggi, rambutnya di sisi ke belakang, rahangnya tegas, menggunakan balutan jas biru, serta kacamata hitam yang bertengger di hidungnya, keluar dari dalam mobil. Ia melangkah masuk dengan gaya elegan, seraya melepaskan kacamata hitamnya. Di belakangnya tampak tiga orang pengikutnya pun turut andil mengikutinya.
Bunyi gesekan sepatu fantovel dengan lantai marmer terdengar semakin dekat. Bella yang semula menunduk pun memberanikan diri mengangkat wajahnya. Bersamaan dengan pintu kaca kantor terbuka, sosok lelaki yang merupakan Direktur barunya melangkah masuk. Bella terkejut mendapati dugaannya sama sekali tidak meleset.
“Arfa,” gumamnya hampir tak terdengar.
Seperti sebuah magnet, gumaman Bella membuat Arfa pun menoleh ke arahnya. Sama seperti Bella, lelaki itupun tampak terkejut melihatnya.
Bella merasa bahagia, ia memasang senyum semanis mungkin, berharap Arfa akan membalasnya. Namun, lelaki itu justru memalingkan mukanya, bersikap seolah keduanya hanyalah orang asing. Wajah bahagia Bella, kini menjadi muram. Kekecewaan menghantam keras relung hatinya yang paling dalam.
Namun, di sisi lain otak kecilnya mencoba berfikir positif jika mungkin saja Arfa hanya tengah bersikap profesional karena saat ini kedua tengah berada di perusahaan bahkan di depan banyak orang. Bella mencoba kembali tersenyum, mengenyahkan pikiran negatifnya.
“Gantengnya Pak Direktur. Aaah, aku meleleh,” pekik Sima seraya menangkup kedua pipinya.
Bella hanya mendengus, ketika para karyawan banyak yang memuji ketampanan Arfa. Memang harus di akui jika Arfa adalah lelaki tampan yang pernah dilihatnya, dengan rahang kuat, sepasang alis lebat, hidungnya mancung, sepasang bola mata hitam, matanya sedikit sipit. Sayangnya, kini Bella harus menelan rasa kecewa, saat melihat sikap Arfa padanya yang begitu acuh seperti tak saling mengenal. Padahal selama ini ia menutup hatinya untuk lelaki lain, demi perasaannya pada Arfa yang kian bertambah besar.
Setelah memastikan direktur masuk ke dalam ruangannya. Manager Agus membubarkan para staffnya. Bella menurut, tapi Sima justru masih bergeming di tempat dengan pandangan yang mengarah ke lift khusus direktur. Hal itu membuat manager Agus kesal.
“Ehh SIM card kamu gak dengar perintah saya. Buruan balik ruanganmu.”
“Atuhlah Aa Suga teh galak pisan. Main ganti-ganti namaku jadi SIM card pula,” dumel Sima kesal. Bella hanya terkekeh mendengarnya. Padahal apa bedanya, sama Sima yang mengganti nama Agus jadi Suga.
“Kamu juga ganti-ganti namaku kok,” celetuk Agus tak kalah sewotnya.
“Itu hanya aku balik, biar keren. Dasar gak gaul,” celetuk Sima kemudian, seraya menarik tangan Bella untuk kembali ke ruangannya. Tak memperdulikan umpatan kesal yang Agus berikan. Satu-satunya orang yang begitu berani dengan seorang manager hanyalah Sima. Kebetulan mereka berasal dari kota yang sama, Garut.
“Kamu itu kenapa kalau bertemu dengan Pak Agus bawaannya pengen adu mulut terus,” keluh Bella heran ketika keduanya telah tiba di ruangannya.
“Suka aja. Lucu gitu kalau ngeledek dia.” Sima mendudukkan dirinya di kursi, sementara matanya menatap ke arah depan, di mana ruangan Direktur terlihat. Perusahaan itu memiliki 22 lantai, dan divisi mereka berada di lantai 12. Terdapat 3 ruangan di sana yaitu ruangan Direktur, HRD, dan divisi marketing yang merupakan ruangan bebas tanpa sekat.
“Awas nanti jadi jatuh cinta,” celetuk Bella.
“Gak lah. Kan hanya untuk seru-seruan aja,” sahut Sima santai.
Bella mengangguk, otaknya berusaha fokus pada pekerjaannya. Namun, ternyata susah saat bayangan sikap Arfa justru menghantuinya, ia justru merasa gelisah dan gundah saat tak kunjung mendapatkan jawaban dari sikap cuek dan datar lelaki itu.
“Kamu kenapa sih, gelisah gitu Bell? Kaya aku dong, semangat kan ada direktur baru,” ujar Sima bahagia.
“Emm... Kayaknya aku butuh kopi deh.”
“Oh ngantuk? Ya udah panggil OB aja suruh buatin,” seru Sima.
Bella menggeleng. “Aku buat sendiri aja deh. Soalnya kalau dibuatin suka gak sesuai selera.” Perempuan itu beranjak menuju pantry. Sima mendengus melihat sikap Bella yang menurutnya ribet, apa salahnya tinggal duduk santai menunggu kopi tiba. Tapi apalah daya itu haknya Bella.
Bella hendak membuatkan kopi untuk dirinya, saat tiba-tiba ia tak sengaja mendengar obrolan dua orang staf OB, membuatnya mengurungkan niatnya.
“Bud, tolong dong buatin kopi buat direktur. Aku kebelet banget soalnya, kayaknya masuk angin ini.”
“Lah kamu yang disuruh, kok jadi aku,” sahut Budi.
“Udah gak apa-apa, takutnya kalau nunggu aku kelar, keburu marah Pak Arfanya,” ujar Rudi seraya berlalu ke kamar mandi.
“Dasar si Rudi sableng. Gak tahu kerjaan ku banyak apa,” dumel Budi bersungut kesal.
Bella yang mendengarnya, kemudian tersenyum ketika menemukan sebuah ide untuk bisa segera bertemu dengan Arfa.
“Kamu lanjutin kerjaannya Budi. Biar aku yang buatin kopi, untuk Pak Arfa. Kebetulan aku juga lagi buatin kopi kok,” ujar Bella.
“Tapi mbak Bella, apa gak apa-apa?” ujar Budi khawatir takut bila ia melakukan kesalahan.
“Tidak masalah. Nanti sekalian biar aku yang antar, kebetulan aku sekalian mau kesana.”
“Baiklah kalau mbak maksa, aku lanjutin kerjaan ku dulu ya mbak,” pamit Budi.
Sepeninggal Budi. Bella mulai meracik kopi untuk dirinya, dan Arfa. Tiga tahun masa SMA ia menjalin hubungan dengan Arfa selama dua tahun, tentu ia mengetahui selera kopi Arfa. Ia dengan cekatan meraciknya sembari menunggu air di dalam panci yang ia rebus mendidih. Setelahnya, ia menuangkan air itu ke dalam gelas. Bella mengaduknya dengan pelan. Ia meninggalkan kopi miliknya di atas meja. Sementara ia memilih mengantarkan kopi untuk Arfa lebih dulu. Dengan senyum bahagia dan jantung yang berdebar kencang, Bella terus melangkah menuju ruangan direktur.
Tok! Tok! Tok!
Bella mengetuk pintu menggunakan salah satu tangannya.
“Masuk!"
Terdengar seruan dari dalam. Perempuan itu segera membuka peluang pintu, ketika sudah terbuka ia tersenyum mendapati Arfa tengah sibuk dengan kerjaannya. Bahkan ia tak menoleh ketika ia sudah berada tepat di depannya.
“Ar, aku mengantarkan kopi.”
Mendengarnya suara Bella, sontak lelaki itu mengangkat wajahnya. Tampak Bella sudah memasang senyum manisnya, berharap mendapatkan sahutan yang sama. Namun, wajah Arfa tetaplah datar tanpa ekspresi.
“Aku letakkan di sini kopinya ya.” Bella menyingkirkan beberapa berkas yang terlihat berantakan sebelumnya. Dengan pelan ia meletakkan kopinya di atas meja. “Spesial, ini kopi kesukaan mu lho. Gula dan kopinya sesuai takaran,” sambung Bella yang masih tak kunjung mendapatkan tanggapan dari Arfa.
“Siapa yang menyuruhmu membuatkan saya kopi?” tanya Arfa dengan tatapan tajamnya. Tak ada tatapan rasa hangat Arfa seperti dulu.
Senyum yang terpancar di bibir manis Bella, langsung meredup, wajahnya menggelap, berganti rasa sedih dan kecewa.
“Arfa... A–aku.”
“Panggil saya, Pak!” titahnya.
Bella mengangguk, “Iya Ar. Maksud saya Pak Arfa."
“Saya itu atasan kamu, tolong panggil saya yang sopan.”
Sekali lagi Bella hanya mengangguk meski hatinya terasa perih.
“Dan saya tidak memintamu untuk membuatkan kopi,” seloroh Arfa.
“Itu saya tadi sebenarnya–”
“Saya tidak suka ada yang menyela ucapan saya,” sergah Arfa semakin menjadi. Bella bahkan sampai terkesiap mendengarnya.
Arfa menekan tombol intercom meminta seorang staf OB untuk ke ruangannya. Tak berapa lama Budi datang dengan raut wajah takut.
“Kamu tahu kesalahan kamu?” tanya Arfa to the point.
“Pak saya–”
“Saya memintamu untuk membuatkan saya kopi. Kenapa jadi dia yang membuatkannya.” Arfa menunjuk ke arah Bella. Perempuan itu tampak meringis tak menduga jika reaksi Arfa begitu sangat membencinya. Apa yang terjadi pikirnya.
.
...
Ini tuh visual versi aku. Kalau kalian gak sreg bisa kok pake visual yang kalian mau. Kalian bebas berhalu guys. Ini aku suka aja pasangan ini😂
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!