Sejatinya, pernikahan adalah momentum yang diinginkan setiap orang.
Bukan hanya saling menyatukan hati, tetapi turut mengikrarkan janji suci untuk mencapainya bersama.
Bukan hanya menyatukan dua insan, tetapi juga dua keluarga yang nantinya saling memiliki ikatan kuat.
Pernikahan itu sakral adanya.
Namun, tidak bagi Zaneta Romero. Wanita itu harus mengubur dalam impian terbesar dalam hidupnya, tatkala sang calon suami membatalkannya secara sepihak ....
... lalu menghilang.
Dua-puluh-tujuh angka dalam hidup, pada titik ini Zaneta merasakan malu yang teramat besar. Mungkin, bisa ia masukkan menjadi aib yang paling 'mematikan' di sepanjang usia.
Bagaimana tidak? la sudah terlanjur membeberkan 'berita panas' kepada keluarga besarnya bahwa ia akan menikah bulan depan. Padahal ia baru saja ditimpa 'musibah'.
Undangan sudah siap disebar, sepasang gaun pengantin sudah dirancang, berbagai persiapan tempat dan 'dekor-dekornya' sudah dipersiapkan. Matang sekali.
Jika gagal menikah? Pastilah malu yang ia dapat. Belum lagi, ini adalah pernikahan impian yang sangat ia nantikan. Seumur hidup.
Tanpa malu, ia pun membuat papan iklan di internet untuk mencari seseorang yang mau dijadikan 'calon suami' bayaran kali ini.
Berapa pun itu akan ia sanggupi.
Seminggu, dua ... Bahkan hampir tiga Minggu pun belum ada tanggapan.
Hingga ....
...PART 1...
...|You Make my dopamine levels go all silly|...
Menangis? Jangan singgung satu kata itu, yang jelas Zaneta sudah lelah sekali.
Setiap ia menyambangi apartemen temannya, hanya satu hal itu yang selalu ia lakukan.
Tak ada yang mengupas bawang di dekatnya, tetapi wanita berambut kehitaman itu terus menderaikan air mata.
Zaneta memilih menyandarkan diri pada sofa, menaikkan batang kacamata hitamnnya, lalu merenung ... menyesali diri.
Di depannya, Lindka bergidik. Ingin sekali ia mencampakkan champagne yang memang sengaja dibawa sahabatnya itu. Ternyata orang patah hati semengerikan ini rupanya.
Ya. Siapa juga yang tidak menyimpan luka di hati, kala ditinggal pergi, tetapi hari pernikahan tinggal menunggu belasan hari lagi?
Jika sudah diizinkan bunuh diri, mungkin Zaneta lebih memilih hal brutal itu sejak dini.
"Sudah ada ... yang berminat?" Zaneta menggoyangkan tangkai gelasnya, sesekali cegukan.
Lindka menaikkan batang kacamata, lalu menggeleng takut. "Belum..." Macbook di depan matanya ia biarkan menyala, mendiamkan inbox email-nya yang sengaja terkoneksi.
Ini memang ide 'gila' Lindka-membuat 'sayembara' ataupun promosi bahwa; dibutuhkan pria dewasa untuk dapat memainkan peran sebagai suami bayaran di hari pernikahan Zaneta, harga dapat dirundingkan bersama. Alias berapa pun akan disanggupi jika kinerja yang diperbuat memuaskan.
Sebenarnya bukan tidak ada, ada belasan balasan email yang menawarkan diri atas 'iklan' itu. Namun, Lindka sangat selektif kali ini, sangat-sangat-sangat dan sangat selektif.
Para pria yang meladeni email-nya belum ada satupun yang cocok untuk Zaneta, menurutnya.
Lindka tak mau Zaneta mendapat pilihan buruk kali ini, sekalipun itu hanya lelaki bayaran.
Namun, ini sudah lebih dari tiga minggu...
"Apa Alvar akan marah, aku ... mabuk-mabukan di sini?" racau Zaneta setelah meneguk sedikit wine.
"Alwar-ck," potong Lindka geram. Selalu saja salah panggil, Alvar itu 'kan mantannya. "Bukannya kau sering melakukannya?" Lindka mencebik.
"Hmm ...." Angguk Zaneta. "Haruskah aku menaruh foto body-goals ku agar kaum 'Mars' it-itu berminat kali ini?"
"Tidak! Jangan berpikir gila seperti itu ....”
Pintu pun berdenting kecil.
Lindka langsung beranjak, menghampiri kekasihnya yang baru saja menukar sendal rumah di lorong. "Kau dari mana saja?" desisnya sembari membuka jaket di tubuh jangkung itu.
"Membantu pindahan temanku." Alwar mengacak kecil rambut atas Lindka, kemudian melirik ankle-boots dekat kakinya. "Zaneta... datang?"
"Sshh...." Telunjuknya mengarah pada bibir.
"Aku ... hanya membawa porsi dua orang." Alwar menyodorkan paperbag yang sedari tadi ia genggam
"Zaneta sudah minum, ia tak akan lapar lagi." Lindka melongok ke arah ruang tamu. “Mungkin sebentar lagi akan pulang."
Alwar mengangguk.
"Oh you, Net." Sapaan Alwar terpental di udara, nyatanya Lindka langsung mendorong pelan punggungnya agar mandi saja. Menyapa orang mabuk tak akan membawa pengaruh apa pun.
Lindka meletakkan kantung makanan di atas meja. "Kau lapar, Neta?"
Zaneta menggeleng. Wanita Romero itu sudah pasrah di sofa, rupanya.
"Bagaimana nanti kalau kau kami antar pulang saja? Kau sudah mabuk berat,” ujar Lindka hati-hati.
"Kau... beruntung sekali. Punya seseorang yang ... menjadikanmu alasan untuk kembali pulang."
"Ck, Neta...." Lindka benar-benar frustrasi kali ini. Bagaimana tidak? Itu sudah kalimat yang kesekian kali Zaneta ucapkan sejak sahabatnya itu ditinggal patah hati. Kali ini Lindka benar-benar menaruh dendam pada pria itu, seenaknya saja mempermainkan perasaan sahabatnya.
Wanita berpotongan rambut medium itu kembali dikejutkan oleh Zaneta yang beranjak gontai dari sofa. "Neta, k-kau mau ke mana?"
Zaneta menepis halus tangan Lindka yang membopongnya. "Aku akan pulang-sendiri. Grazie...."
Tubuh itu hanya bisa Lindka antarkan hingga muka pintu, rasa khawatir masih memuncak dalam dirinya. Menatap Zaneta yang menyusuri koridor apartemen dengan sempoyongan, ia semakin tidak tega.
"Sial. Neta, aku akan membantumu mencari 'mempelai pria' yang pantas untukmu, ku jamin, si Brengsek itu akan menyesal beribu kali nantinya." Lindka ber-monolog pelan sembari terus menatap iba tubuh yang mulai menghilang di pintu lift.
***
"My very good friend and the neighbours says ...."
"They've been-watching little ... things I do...." Nyanyian sumbang itu memecahkan lorong yang sunyi.
"And they... believe that love you..." Zaneta menumpukan tangannya sebentar pada sisi dinding, semua yang berada di depannya berbayang dua kali. Matanya memicing, seakan melihat sesuatu dari kejauhan.
"So... I... suggest ... that ...." mengingat sebentar lirik yang berputar di kepalanya, “... you should marry ... me ..." Tawa kecilnya mengusik kesunyian.
Mau apa lagi si keparat itu di sini? Zaneta menggeleng kuat, berusaha melenyapkan pandangan gilanya.
Masih dengan mata terpejam, Zaneta melepaskan perlahan kacamata lalu menyelipkan di antara siku kerah kemeja. kembali ia melanjutkan langkah. "And they suggest you should ...."
Zaneta telah tiba di pintu apartemennya, menekan beberapa digit angka sebisa mungkin.
Beep-bunyi sumbang pertanda 'salah-sandi' itu pun terdengar beberapa kali, meskipun Zaneta telah memasukkan sandi seingat kepalanya. Ia belum pikun, tentu saja.
Sial sekali, sepertinya.
"... marry-damn...." Nyanyian itu langsung berganti menjadi pekikan kecil. Kenop pintu ia gerakkan paksa, wajahnya tetap tak lepas melongok pada interkom.
Password-nya sudah diganti, kah?
Calon perawan tua, calon tunawisma, calon orang gila-lengkap lah sudah julukan baru untuknya.
"Open the door, Bastard!" bentaknya tepat di muka pintu. Gedoran itu terus saja ia layangkan, pasti si 'Brengsek' itu menyimpan ja****g di dalam sana.
"Good morning, Blueeeess Blueeess, how do you dooo."
Sementara itu...
Suara keran pada wastafel berhenti begitu saja, bersama dengan aksi kumur yang juga berhenti.
Sial, tetangga gila mana yang mengetuk pintu tengah malam begini? Pria itu mengelap air di mulut dengan kausnya, memutuskan keluar dari toilet. "Breng ...."
"I love my man... but he doesn't ... love meee ...."
Tubuh itu hampir terjungkal saat pintu terbuka. Zaneta memicing perlahan menatap pria berambut hitam di depannya-Si Brengsek (Zaneta menjulukinya begitu). "I love ... America ...."
Wanita itu ambruk begitu saja di sandaran prianya, diikuti ciuman brutal yang memeriahkan semaraknya keterkagetan dari satu pihak.
Rasa kecewa, rindu, menuntut balasan-semua berpadu 'gila' dalam ******* itu. Bahkan Zaneta langsung menarik tengkuk sang prianya untuk semakin memperdalam ....
Oh, ****.
Bukan 'pria-nya rupanya.
Bruk!
Pria 'asing' itu menatap kaget wanita 'asing' yang sudah tersungkur di lantai. Dorongannya begitu kuat ternyata, wah.
Pupilnya tak hentinya membesar-pertanda kaget, jantungnya tak hentinya bertabuh gaduh, seakan berada dalam atraksi sirkus gajah terbang.
Kelu pada bibirnya masih terasa ... bercampur dengan aroma wine yang terus saja menusuk.
Glek.
Bagaimana bisa ******-gila' semacam ini berkeliaran pada kawasan apartemen yang-katanya memiliki tingkat pengamanan terbaik itu? Temannya satu itu menipu sekali.
Blam!
Diero La Martin-si pemilik apartemen itu langsung bersandar di balik pintu.
Insiden barusan benar-benar membuatnya hampir mati muda sesegera mungkin. Kepalanya bagai baru saja dihantam hujan es, ia tak bisa berpikiran jernih kali ini.
Bagai perjaka polos yang baru pertama kali berciuman, begitulah gambaran keadaannya sekarang. Tangannya tanpa henti mengusapi dada.
Mengenaskan.
Bersambung ....
Halo, Lee datang dengan cerita baru. semoga suka.
...|l'amore domina senza regole.| ...
...(Cinta mengatur tanpa peraturan)...
...^^^...
"Tak usah anggap serius semua ini, tak-"
"Tak usah-apa maksudmu? Kau sudah membuatku malu, hancur, lalu ... dengan mudahnya kau menyuruhku untuk tak menganggap serius semua ini?"
"Neta, jangan biasakan memotong ucapan ku. Aku punya alasan untuk ini. Please...." Si pria hampir saja tidak kuat menghadapi Zaneta.
"Kembali dan laksanakan pernikahan kita, hanya itu yang ku minta. Sulit?" tanya Zaneta keras kepala.
"Aku tak bisa, maaf."
"Haaaah!" Pekikan itu diikuti oleh tubuh yang baru saja terduduk.
Sial, lagi-lagi bunga tidur. Dan, apa lagi ini? Zaneta menyeka pipinya yang tiba-tiba basah, peluh pun turun mem basahi dahi.
Mimpi sialan. Zaneta menatap sekitar ruang tamu, sesekali memijit pelipis yang agak pusing. Bahkan ia tak mengingat apa pun yang ter jadi semalam.
Apa dia mabuk lagi? Ter akhir kali ia melalui hari, ya itu ... mendatangi Lindka dan ... ia lupa. Sungguh.
Ah, mungkin Lindka dan Alwar yang mengantarnya lalu membawanya tidur di sini.
Drrt...drrt....
Zaneta mencari sumber getaran itu, fokusnya pun teralih pada clutch hitam keluaran Chanel yang terletak di lantai tepat di dekat kakinya.
Isi tas kecil itu pun ia rogoh dengan malas, kemudian mengangkat satu kaki pada sofa.
Lindka?
"Ya, apa?"
"Oh? Sekarang? Tapi... aku belum mandi."
Zaneta menggigit bibir gusar. “Okay, beri aku waktu!" Ponsel itu pun ia campakkan pada selipan sofa. Rambutnya yang sudah acak sejak tadi semakin ia garuk tak karuan.
Tadi itu telepon dari Lindka, yang menyuruhnya untuk bergegas ke Cafe biasa.
Tumben sekali, sahabatnya itu membuat janji secara mendadak. Dan lagi ... ia mendengar seperti ada suara Alwar saat Lindka berbicara.
Ck, pasti 'dua merpati' itu mau menebar kemesraan lagi pada saat jam sarapan begini.
Air mata pun rasanya terlalu bosan untuk terkuras dari pelupuknya, Zaneta meratapi nasib me lajang nya untuk kesekian lagi.
"Ck, kenapa aku tiba-tiba ingin punya pacar lagi," racau Zaneta sembari beranjak malas ke kamar mandi.
...SUAMI BAYARAN...
Setengah dua belas siang di Cafe dekat Rumah Sakit tempat Alwar bekerja, Lindka dan Zaneta bertemu janji. Pada meja nomor sembilan, dua wanita itu duduk bersebelahan.
Zaneta belum tahu alasan jelas sahabatnya itu mengajak berjumpa di tempat ini. Ia pikir Lindka mengada-ada, rupanya sudah menunggunya sejak tadi.
Huft untunglah ini jam makan siang.
Dengan setelan kantor yang masih melekat, Lindka menyantap kudapan yang sudah terhidang. "Kau belum ke kantor Penerbit?"
Zaneta menggeleng lesu. “Aku ... pengangguran lagi. Maksudku, akan."
"Menjadi penulis itu susah, ya. Harus mengikuti mood."
"Entahlah." Frappucino dalam cangkir disesapnya pelan.
Biasanya frappucino melambangkan kebahagiaan dan energi setiap orang, karena terdapat krim dan gula dalam racikan itu. Namun, Zaneta menyangkal diri. Kopi semacam ini tidaklah cocok untuknya.
Americano yang pahit, pantas sekali dengan kesakitannya yang tak berujung. Ck, sial. Sampai kapan ia akan merenungi diri terus?
Alunan lagu Jazz era 1920 menggema halus memenuhi ruangan berdesain kayu tersebut. Orang-orang selain mereka mulai masuk keluar satu persatu.
Pasangan-pasangan muda berseragam kantoran mulai memilih meja untuk berdua. Di saat begini lah Zaneta kembali ber gundah-gulana.
"Kita menunggu Alwar, okay?"
"Kenapa harus menunggunya?"
Lindka me nyengir, kemudian membentangkan jas kantornya pada punggung kursi. "Tak apa. Tunggu saja."
Lagi-lagi Zaneta ber hela. Apa lagi ini? Ia paling malas disuruh tebak-menebak. Kembali ia berpangku tangan, dan ... jangan salahkan matanya karena menangkap hal membuatnya panas kali ini. "Lindka, bukankah itu...."
Lindka mengikuti arah pandang Zaneta-pada sepasang kekasih yang sedang memunggungi mereka di meja dekat pintu masuk.
Pria berambut hitam, ber bahu lebar, dan jika dilihat sekilas memang mirip sekali dengan...
"Bukankah itu ... dia?" Zaneta menoleh gusar pada Lindka. Hampir saja ia beranjak jika tak langsung dicegat oleh sahabatnya itu.
"Tidak. kau hanya salah lihat, Neta."
"Itu pasti dia, Lindka. Aku yakin sekali!" Zaneta ber desis tak sabar.
Lindka tak kalah ber desis. "Tidak, Neta! Kau salah lihat, percayalah padaku."
Serius. Sejak insiden buruk itu terjadi, Zaneta suka sekali membayangkan apa yang dilihatnya secara tidak-tidak.
Bukannya tak ingin memahami, tetapi Lindka tak ingin bila nanti Zaneta akan merugikan sekitar dengan sikapnya itu.
Zaneta mengenakan kacamata hitamnya lagi— item andalannya untuk menutupi air mata yang dengan mudahnya meluap akhir-akhir ini.
Pria di meja ujung berhasil membuat matanya sakit, terlebih saat dua orang itu saling berangkulan. Ingin sekali ia mengutuki para pasangan yang berada satu ruangan dengannya.
Tak bisakah mereka memahami ada makhluk yang baru saja patah hati di sekitar mereka?
Lonceng kecil pada pintu pun ber denting, membuat Lindka menoleh. Terdapat dua pria yang melangkahkan kaki ke arah meja mereka.
Untung saja cepat datang, Lindka bergumam lega.
"Hai, Neta ...," sapa Alwar dengan senyuman ringannya. Jas putih pada tubuh itu telah ditanggalkan, hanya tersisa kaus biasa.
Oh, membawa teman ternyata.
Zaneta tak bergeming, kepalanya masih dikurung oleh kecemburuan pada meja seberang.
Mendapati sapaan kekasihnya hanya dibalas angin, Lindka pun me nyikut Zaneta. "Neta, Alwar membawa teman. Aku pikir, dia bisa membantumu kali ini."
Barulah Zaneta terkesiap kecil, semacam niat tak niat kau bodoh, Neta. Seharusnya kau menyadari betapa tampannya sosok yang berhadapan denganmu sekarang.
Namun siapa peduli? Zaneta Romero masih dibayang-bayangi oleh figur mantan calon suami.
Kecanggungan mengisi meja itu, membuat 'tamu' Alwar melemparkan isyarat tak tenang. Merasa bahwa Alwar harus bertanggung jawab atas keadaan 'jangkrik' semacam ini.
"Oh... Neta, kenalkan ini Diero La Martin ... Teman kuliahku dulu."
Uluran tangan kaku dari Diero hanya dibalas deheman, Zaneta yang melipat tangan pada dada. "Zaneta Romero."
Sial. Diero kembali menarik tangannya. Biasanya para gadis tak akan menolak setiap uluran yang ia berikan, tapi untuk ‘j****g-gila' seperti ini harus dibuat pengecualian. Apa wanita itu tak ingat dengan apa pun yang terjadi semalam? Diero berhela samar.
"Dia ... orang yang ... ku maksud itu, Neta." Alwar menunjuk kaku pada Diero. "Ah, aku keluar sebentar. Ada telepon." Alwar menarik diri dari meja itu, lebih tepatnya keluar dari ruangan itu secara halus.
"Aku juga... ingin ke toilet." Lindka menyusul beberapa detik kemudian, menyisakan Zaneta dan lawan bicaranya pada satu meja yang sama.
Dan ini akan berujung tak baik sepertinya, membiarkan dua orang asing pada satu meja bukanlah hal yang baik. Terlebih mereka bukanlah pasangan yang dipertemukan oleh kencan-buta. Jadi....
"Baiklah, Zaneta. Aku diminta Alwar untuk-"
"Panggil aku Kakak ...," potong Zaneta ketus.
"Kau gila? Seharusnya kau yang panggil aku kakak."
"Wajahmu terlihat lebih muda lima tahun dariku."
"Oh, tentu saja. Wajahmu juga masih pantas memakai seragam murid Menengah Pertama."
"Jadi, kita memperdebatkan usia atau masalahku, Uncle?"
"Sialan. Cepat ceritakan masalahmu.“
Zaneta menyentuh pinggiran cangkir dengan telunjuknya. "Kau tak mencermati iklanku dengan baik rupanya, aku juga malas mengulang cerita. Jika kau benar-benar hanya ingin mempermainkanku, lebih baik segera angkat kaki dari tempat ini."
"Apa?" Rahangnya tak habis-habisnya menggertak.
Sumpah, baru kali ini ia mendapati seorang wanita 'gila tak beradab' seperti ini. Bahkan pernak-pernik mewah yang melekat pada tubuh wanita itu tak akan melunturkan image yang sudah terlanjur buruk di mata pria itu.
Dia gila.
BERSAMBUNG ....
So, aku cuma bisa up sehari sekali, sampai aku nggak sibuk lagi atau pekerjaanku selesai. Dan ini baru permulaan ya, enjoy aja dulu.
...|l'amore domina senza regole.|...
...(Cinta mengatur tanpa peraturan)...
...^^^...
"Bagaimana kau bisa memintaku untuk membantu wanita-gila semacam itu?"
Alwar menghela kecil, fokusnya teralih pada jalanan yang masih sepi. “Memang se-'gila' apa dia?"
"Bahkan dia belum bisa melupakan mantannya."
"Justru itu tantangan yang harus kau jalani.“
"Damn."
Setelah mengobrol kecil dengan Zaneta, Diero memang meminta waktu untuk keluar sebentar. 'Mendinginkan kepala' di mobil Alwar, sembari merundingkan langkah apa yang selanjutnya mereka lakukan.
Tak ingin menampik, bahwa ia memang butuh uang. Namun, bukan semacam ‘ini' tantangan yang harus ia penuhi.
"Dia sudah men ...."
"Men... apa?" Alwar menoleh antusias. Memilih menunda meminum kopinya demi kelanjutan ucapan yang akan dilontarkan pria itu.
Tangan Diero mengibas ringan di udara. "Lupakan." Bagaimana bisa ia menceritakan dengan mudah apa yang baru saja menimpanya semalam? Itu bukanlah keberuntungan, lebih tepatnya malapetaka ataupun kutukan seumur hidup.
Ciuman dari seorang ‘j******g-gila' tak akan pernah ia anggap sebagai berkat-begitulah anggapannya.
"Aku tak yakin dia bisa memberi bayaran sesuai dengan yang ku minta."
Kali ini, Alwar benar-benar ingin menunjukkan bakat terpendamnya selama dua-puluh-delapan-tahun, mengumpat dalam bahasa Rusia.
Seharusnya Diero tahu bahwa ia dan Lindka mengorbankan jam makan siang mereka demi hal ini.
"Kau tak tahu berhadapan dengan siapa? Zaneta. Zaneta Romero. Ayahnya punya beberapa ressort mewah di Italia, dan dia adalah penulis novel, Bung. Bestseller. Buku trilogi-nya laku keras kurang dari dua tahun. Dan salah satu judul yang difilmkan itu kalau tidak salah... Bed... ah! Rocking bed," terang Alwar antusias.
"Hell ...." Diero melirik norak. “Judul macam apa itu? p******o sekali."
"Otakmu saja yang p****o. Dan lagi, film itu dimainkan oleh aktor terkenal. Die ... Die..."
"Diero La Martin...," potong Diero jengah.
"Sudahlah, tolong aku untuk membantunya kali ini."
Diero melemparkan pandangan ke jendela luar.
"Kau butuh uang juga ‘kan? Aku juga butuh bantuanmu untuk mengobati rasa sedihnya. Aku tak tega melihatnya terus mabuk-mabukan tak jelas, membagi kesedihan berturut-turut pada kami, dan itu selalu terjadi berulang kali. Terlebih lagi aku berhutang budi padanya, karena dia lah aku bisa mengenal Lindka."
Melihat Diero masih tak mengacuhkannya, Alwar kembali menambahkan, "Die, kau bilang kau ingin menjadi aktor, kan? Di sini lah kau menunjukkan skill-mu. Jika di teater kau hanya 'menipu' belasan penonton, nanti kau akan 'menipu' ratusan ... atau mungkin ribuan hadirin undangan."
Kembali Alwar menyambungkan. "Tentu saja penghargaan yang kau dapat lebih berharga dari sekedar medali biasa, uang tunai. Uang yang berkali-kali lipat kau dapatkan daripada sepuluh kali bekerja paruh waktu di teater." Alwar mulai berapi-api. “Uang itu nanti, ku sarankan untuk jangan kau foya-foyakan. Tabunglah dengan baik, karena kau butuh dana pernikahan bersama Nidia, bukan? Pergunakan kesempatan ini sebaik mungkin."
Benar juga. Setelah ia berpikir agak lama, Diero kembali berperang pada diri sendiri.
Di sini ia mempunyai tujuan yang tak kalah pentingnya. Gengsi harus ia runtuhkan, demi impian yang harus ia rangkai. Ada wanita yang sedang ia prioritaskan di sisi lain, itu berarti ia....
Merasa lawan bicaranya mulai terdiam, Alwar tersenyum kecil. Masih ada waktu belasan menit tersisa untuk makan siangnya bersama Lindka. "Jadi... bagaimana?"
***
Choco volcano pada piring Zaneta sudah habis, begitu pula kudapan ketiga teman se-mejanya.
Sepertinya suasana yang terjadi kali ini tidaklah se-'kelam' yang tadi. Sekarang ... agak cerah, mungkin.
"Sebelumnya aku ingin bertanya, apa kau sedang menjalin hubungan ‘khusus'? Aku hanya tak mau terjadi hal yang merugikan nama baikku di kemudian hari."
Belum saja Diero menarik napas, Alwar langsung memotong secepat kilat. "Diero baru saja putus dengan pacarnya. Jadi, tak masalah."
****! Diero memendam rasa geramnya beberapa detik. Alwar benar-benar kurang ajar kali ini baginya. Namun ... ya, uang memang bisa menutup mulut siapa saja.
Zaneta menyibukkan diri pada selembar kertas, ada sesuatu yang sedang ia hitung-hitung di sana. Bahkan Lindka pun juga tak bisa memastikan dengan jelas apa yang sahabatnya itu lakukan.
Sepasang kekasih itu hanya bisa berkomunikasi lewat isyarat mata.
"Sediakan 300 tamu undangan untuk nanti.“
Zaneta meletakkan bolpoin tumpulnya di atas kertas.
"Aku tak punya kenalan sebanyak itu.“
"Ck." Zaneta berhela. "Kalau begitu 150. Usahakan mereka memakai pakaian terbaik."
Dua pria itu saling memberi lirikan beberapa detik, kemudian Diero mengangguk mantap. Baiklah, seratus-lima-puluh sepertinya tidaklah sulit. Teman-teman klub teater bisa membantunya nanti. “Okay, deal." Untuk pertama kali, ia menjabat ujung bolpoin yang baru saja diulurkan Zaneta.
Sungguh, bentuk 'kontak fisik' yang aneh sekali ia rasa.
Terus saja begitu, menganggap seolah klien-nya ini memiliki penyakit menular yang pantang sekali disentuh.
Tanpa mereka ketahui, ada dua orang lain yang mensyukuri perjanjian itu. Jam makan Alwar dan Lindka tak tercuri habis rupanya.
Sekilas Zaneta melirik arlojinya, kemudian mengemasi clutch. "Baguslah, kalau begitu ikut aku sekarang." Kenapa dia baru ingat ada janji, ck.
"Mau ke mana?" tanya Diero ragu-ragu.
"Rumah sakit, menemui papaku.“
"Tapi... aku..." Mendadak kosakatanya habis begitu saja. Sial. Bahkan Diero belum mengemasi diri untuk apa pun itu, tetapi sekarang...
"Pakaian mu akan ku belikan, pakaian dalam mu juga," ucap Zaneta kurang ajar.
"Bfft-" Alwar dan Lindka serentak me nahan tawa, mem biar kan Diero mem beri kan tatapan 'mematikan' itu secara ber gantian pada mereka.
"Brengsek!" Baru kali ini urat malu nya di paksa putus begitu saja, dan lagi ... harga diri nya benar-benar tumpah detik itu juga.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!