Dalam mengerjakan sesuatu,kita manusia dituntut untuk lillahi ta’ala. Begitupun dalam berumah tangga dalam menerima qodho dan qadar kita. Terlebih Ketika musibah datang dalam hidup seseorang. Begitulah yang dialami Widya.
Ibu dua anak itu sedang mendapatkan cobaan dalam biduk rumah tangganya. Hari ini ia baru saja pulang dari pemakaman. Ia duduk terpaku dalam kamar yang biasanya menjadi tempat ia dan suami saling berbagi rasa cinta, berbagi s3ntuhan untuk saling membahagiakan. Kini kamar itu tak akan lagi melihat sosok lelaki yang akan memijat dirinya kala ia merasa lelah, yang akan bangun lebih dulu dari sang istri bahkan akan membiarkan sang istri kala ibu dua anak itu sedang merasa tak enak badan.
Widya menangis sambil memeluk sebuah foto.
Foto suaminya yang baru saja siang tadi dimakamkan di pemakaman umum. Baginya hal ini begitu berat, ia merasa gamang. Bagaimana ia akan menjalani hari-hari tanpa sang suami. Siapa yang akan mencari nafkah. Karena selama ini ia akan hanya duduk manis dirumah merawat buah hati dan mengurus semua kebutuhan untuk suami dan anak-anaknya. Belum lagi sulungnya baru saja masuk salah satu Sekolah Menengah Atas Favorit lewat jalur beasiswa prestasi yang diraih Ketika SMP.
Separuh hatinya kini telah pergi, ia tak pernah merasakan kecewa akan setiap takdirnya. Akan tetapi kehilangan suami tercinta disaat dua buah hati mulai beranjak dewasa, membuat ia bingung akan masa depan ia dan anaknya. Walau kedua orang tuanya orang yang cukup berada.
Widya adalah seorang ibu rumah tangga yang berusia tiga puluh lima tahun, dengan sepasang anak yang masih duduk dibangku VIII SMP dan X SMA di kota Semarang. Satu bulan lalu, Dika, suami Widya mengalami kecelakaan pesawat, profesinya sebagai pilot ikut menjadikan dirinya menjadi salah satu korban yang baru dinyatakan meninggal dunia hari itu.
Widya terpaku di kamarnya. Matanya menelusuri kamarnya yang didominasi warna putih dengan gorden berwarna hijau, warna kesukaan Dika, terngiang dibenak Widya saat dimana dirinya dan Dika berdebat hanya karena menentukan perbedaan warna gorden saja, simpul senyum pasi di bibir manis milik Widya. Tempat tidur, meja rias, lampu meja yang Nampak senada dengan warna coklat kayu Jepara.
Air mata mengalir deras dan tersedu-sedu dengan alunan istighfar dibibir Widya. Gamang, Widya terbawa pada kenangan-kenangan yang dirasa teramat manis, namun kini berubah sunyi . Sarah, anak kedua Widya dengan nalurinya ingin melihat keadaan mamahnya yang sedang berduka. Menurut Sarah, kita semua sedang berduka atas meninggalnya papah, jadi kesedihan harus berbagi jangan dipendam sendirian.
Widya sangat beruntung memiliki anak-anak yang lembut dan perhatian kasih sayangnya ke dirinya sebagai mamahnya. Walaupun sudah masuk satu bulan meninggalnya Dika, rasa sedih ini, tidak berangsur membaik sampai saat ini. Kesedihan ini, membuat Widya tertidur ditemani sarah dan Ridwan anak pertama Widya, di kamarnya.
Hari demi hari di lalui oleh Widya dengan kesedihannya. Hampir satu minggu Widya mengurung diri di dalam kamarnya. Putra sulungnya pun mencoba memberikan semangat pada sang Ibu, ia meyakini Mamanya bahwa hidup mereka harus tetap berlangsung walau kepala keluarga mereka telah tiada.
“Ma…” Ucap Ridwan pada Widya yang masih duduk menatap sebuah pigura foto milik suaminya yang merupakan seorang pilot.
Widya menoleh kearah putra sulungnya dengan tatapan sendu.
“Ridwan harus Kembali ke asrama, besok Ridwan sudah harus masuk sekolah.” Ucap Ridwan sambil duduk di sisi tempat tidur.
Widya memegang wajah putranya yang memang mirip sang suami, hidung mancung dan alis yang tebal membuat wajah nya begitu mengingatkan Widya pada sang suami yang telah tiada. Ia mengusap pipi Ridwan pelan.
"Papa sudah tidak ada Wan." Ucap Widya lirih.
"Tetapi Mama harus tetap ada untuk kami anak-anak Mama. Apakah Mama tidak ingin mengantarkan anak-anak Mama menjadi sukses seperti apa yang menjadi cita-cita Mama dan Papa?" Tanya Ridwan pada Widya.
Suami Widya memang begitu berharap anak-anaknya memiliki kesuksesan dalam hidup. Ia ingin dua anaknya menjadi orang yang memiliki pekerjaan yang mapan. Hal itu ia lakukan dengan memberikan anak-anaknya Fasilitas kursus ditempat terbaik. Agar anak-anaknya kelak bisa masuk perguruan tinggi yang diharapkan.
Ridwan baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Ia memang indekost di kota sebelah karena ingin dekat dengan tempat kursus. Berharap bisa diterima di salah satu Universitas Favorit di kotanya.
Widya merenungi apa yang diucapkan oleh Ridwan. Selepas kepergian Ridwan, janda beranak dua itu pun menghela napasnya pelan. Hari itu ia harus ikut kedua orangtuanya untuk tinggal bersama. Hampir satu bulan ia mencoba bangkit. Hal itu tak mampu ia lakukan. Terlalu banyak kenangan di rumah itu, psikolog yang menjadi tempat ia konsultasi menyarankan dirinya membuka lembaran baru agar memiliki semangat hidup baru.
Widya Pun akhirnya mengikuti saran kedua orang tuanya untuk sementara waktu tinggal bersama mereka. Ia ikut pindah ke kediaman orang tuanya yang tak jauh dari rumahnya.
Disana ia memulai hidup barunya sebagai seorang janda beranak dua. Ia mulai mencari passion nya agar bisa bekerja. Ia selama menikah tak diizinkan suaminya bekerja. Ia hanya menjadi ibu rumah tangga. Maka ia mencoba menekuni hobinya yaitu memasak kue. Disanalah ia mulai bangkit dari rasa kesendirian, kehilangan dan kesepiannya.
Sampai tiga tahun menjanda. Ia sudah memulai bisnis kue onlinenya. Ia tak memiliki toko tetapi pesanan pre order terus berdatangan. Sampai di suatu sore orang tuanya membahas sesuatu padanya.
Keesokan harinya ternyata Papanya Widya, Pak Handoko, dan Mamanya sudah bercanda dengan putri Widya. Setelah putri bungsu Widya sudah berangkat ke sekolah. Widya Pun merapikan meja makan.
“Widya, ayo duduk sini. Papa dan Mama ada yang ingin dibicarakan sebentar sama Kamu” kata Pak Handoko tegas menyuruh putrinya duduk di sofa. Matanya yang masih lekat menatap sang putri yang keliatan gugup. Widya pun menuruti perintah sang Papa.
“Umur kamu masih tiga puluh lima tahun sekarang, usiamu masih terbilang masih muda, anak-anak juga sudah besar dan sudah mandiri. Sudah saatnya kamu menikah lagi. Papa dan Mama merasakan kamu tetap harus menjalani hidup dengan memiliki pendamping. Anak-anak mu butuh figur ayah."Ucap Pak Handoko.
Ucapan sang Pak Handoko membuat hati Widya berdegup kencang. Widya yang masih gugup dan bingung dengan matanya menatap sang Mama yang hanya diam dan tersenyum tanda setuju dengan ide Pak Handoko. Widya sudah menduga kemana arah pembicaraan ini. Karena hal yang sama terjadi saat perjodohan Widya dan Dika dulu.
“Pa, Widya belum siap menikah lagi, Pa”. Widya berusaha menolak, agar sang Papa membatalkan niat perjodohannya dengan lelaki manapun.
“Papa harus menunggu sampai kapan lagi, Ya? Berapa lama lagi kamu dirundung duka terus?” Kali ini nada Pak Handoko sedikit naik. Ia sudah mulai bosan melihat anaknya bahkan sebulan bisa berapa kali ia kenakan suaminya. Belum lagi sudah berapa lamaran dari teman-teman nya ketika sekolah dulu di tolak dengan alasan ia tak ingin mengkhianati suaminya.
“Papa nggak mau tahu, pokoknya kamu harus menikah dengan lelaki pilihan Papa ini, dia anak teman Papa dulu. Papa juga tau selera kamu, kali ini Papa ingin kamu menikmati hari-hari tuamu Bersama lelaki pilihan Papa. Papa lelah mendengar omongan miring teman-teman tentang kamu. Belum lagi harus berkali-kali menolak lamaran lelaki yang datang untuk melamar kamu." Ucap Pak Handoko kesal.
Pak Handoko adalah seorang Papa yang tidak bisa dibantah jika sudah mengambil keputusan. Widya lalu berjalan cepat menuju kamarnya sambil menangis. Dari pintu kamar Widya masuk, sosok Wanita cantik dan lembut berusia sekitar lima puluh tahunan. Dia adalah Ainun Wijaya, Ibunda Widya.
“Widya." Panggil Bu Ainun.
Ainun mendekati sang putri yang sedang tidur dengan posisi tubuh tertelungkup, bahunya bergetar sepertinya anaknya tengah menangis. Mendengar panggilan sang mamah, Widya membalikkan badannya.
“Ma, Widya belum siap Ma."
Ainun mendekat dan memeluk Widya, anak kesayangannya, ia menghapus jejak air mata yang turun di pipi Widya.
Widya mengadu pada sang Mama. Ainun kemudian menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah sang putrinya ke balik telinganya.
“Widya ingat dulu kita mengalami masa-masa sulit waktu itu?”
Ingatan Widya kemudian terlempar Kembali ke waktu dimana dia masih duduk dibangku kelas VIII SMP. Waktu itu sang papah tidak mempunyai pekerjaan dan tidak bisa memberikan nafkah untuk anak-anak untuk sekolah.Teringat dibenak Widya lelahnya Pak Handoko saat pulang, Lelah belum juga mendapatkan pekerjaan.
“Dan kamu tahu kenapa Papa bisa bangkit lagi dan Papa bisa mempunyai perusahaan sampai sekarang? itu karena ada kawan lama Pak Handoko yang menyuntikan dananya. Sebagai balas budi, Papa ingin menikahkan kamu sama putra mereka. Dia dosen di kampus sambil mengambil S2 di Amsterdam." Jelas Bu Ainun
Mendengar penjelasan sang Mama yang setuju dengan keputusan Papa, membuat Widya merasa tubuhnya Kembali lemas, jadi dia harus menikah lagi hanya untuk membalas budi keluarga mereka?
“Tenang sayang, kamu masih bisa berkenalan dulu dengannya sebelum menikah, setidaknya mengenal satu sama lainnya. Dan Papa dan Mama sudah menyiapkan tiket pesawat terbang ke Amsterdam buat kamu." Ucap Bu Ainun.
“Tapi Mam, bagaimana dengan Sarah dan Ridwan? Bagaimana sekolah mereka, Ma?” Widya mencari alasan agar tidak jadi berangkat ke Amsterdam.
“Tenang, anak-anak aman bersama Papa dan Mama. Mereka juga sudah setuju dengan rencana kami untuk menjodohkan kamu, mereka malah senang jika kamu menikah lagi, demi kebahagiaan mu. Toh disana kamu bisa ikut kursus membuat kue yang bisa mengasah kemampuan Mu. Untuk kelak mengembangkan usaha mu setelah pulang dari sana." Jelas Bu Ainun lagi.
“Widya tinggal sama siapa di Amsterdam Ma? Widya kan belum pernah kesana," Widya berusaha mengelak sebisa mungkin, tanpa harus berdebat dengan orang tuanya.
“Tenang, kamu ingatkan kan dengan Lira, anak Bu lek Cici?. Nah Lira itu menikah dengan orang Amsterdam dan menetap di Amsterdam. Nah, Mama sudah minta izin agar kamu bisa tinggal dengan Lira di Amsterdam untuk sementara mengikut kursus memasak kue. Dan Lira senang setelah mendengar kalau kamu mau datang untuk main ke Amsterdam. Kamu masih ingat Lira kan Wid, teman main kamu saat kamu masih SD dulu?" Jelas Bu Ainun.
Widya manggut-manggut kepalanya sambil mengerutkan keningnya, mengingat-ingat dan menelaah cerita Bu Ainun. Widya hanya diam dan pasrah pada keadaan.
Setelah dua hari Widya dipaksa untuk mengurus dokumen-dokumen pendukung agar mendapatkan visa keberangkatan ke Amsterdam, akhirnya Widya mendapatkan visa berkunjung dengan batas usia visa selama 6 bulan dan menetap di Amsterdam.
Setelah mendapatkan Visa, dua hari kemudian Widya pun berangkat ke negara yang belum pernah ia kunjungi, asing dan bingung. Kata Bu Ainun nanti Lira akan jemput Widya di airport, Bu Ainun juga sudah mengirimkan foto Widya agar Lira mengenal wajah Widya sekarang.
“Widya, setelah kamu sampai ke Amsterdam, kamu telpon nak Rafa ya. Dia tau kok kamu akan datang ke Amsterdam” perintah pak Handoko.
Di Bandara, Widya diantar oleh Pak Handoko, Bu Ainun, Sarah. Demi mencari pengalaman untuk mengembangkan bakatnya juga demi masa depan anak-anaknya. Widya berangkat, walau orang tuanya berpikir jika ia akan menyetujui perjodohan itu.
Waktu 6 bulan itu akan dimanfaatkan oleh Widya betul-betul mencari ilmu agar bisa mandiri secara finansial dan kemampuan nya memasak kue.
Selama dua belas jam berjalanan Widya tempuh, akhirnya jam dua belas siang Widya sampai di Amsterdam, Belanda. Setelah melewati pemeriksaan-pemeriksaan prosedur dokumen di bandara, akhirnya tepat jam satu siang selesai dan keluar dari pintu bandara airport Schiphol, Amsterdam.
Seorang perempuan memanggil namanya.
"Hei! Widya!"
Lira adalah Wanita blasteran Belanda, karena tante Cici adalah keturunan Belanda. Namun setelah Tante Cici menikah dengan Om Dahlan yang kelahiran Cirebon, maka semenjak itu tante Cici dan om Dahlan menetap di Semarang karena bisnis om Dahlan sebagai pemilik showroom mobil sport yang berdomisili di Semarang.
Terdengar suara yang memanggil-manggil nama Widya. Mata Widya melihat ke kiri dan ke kanan untuk mencari arah suara yang memanggil-manggil dirinya. Terlihat Wanita cantik, tinggi, putih, dengan rambut Panjang ber gelombang melambaikan tangannya kearah Widya sambil memanggil-manggil nama Widya. Terlihat ada lelaki bule, yang mendampingi Lira.
“Mungkin suami Lira” pikir Widya
Sambil bercipika-cipiki kiri dan kanan dengan Lira, kemudian dilanjutkan dengan berjabat tangan dengan Anthony,suami bule Lira. Dengan gugup, Widya berusaha berkomunikasi dengan Anthony. Dengan tertawa kecil, Anthony membalas dengan Bahasa Indonesia dengan lancar. Widya dengan wajah memerahnya menahan malu ternyata Anthony bisa berbahasa Indonesia.
Lira dan Anthony menikah beda agama. Di negara Belanda, menikah beda agama adalah hal yang sangat wajar dan biasa. Lira dikaruniai seorang gadis kecil yang cantik yang masih berusia lima tahun. Dan Widya tak ingin ikut campur perihal masalah pribadi sepupunya itu.
Sudah empat hari Widya tinggal di rumah Lira, hari-hari Widya habiskan hanyalah menyiram bunga-bunga indah yang tertanam di kebun belakang milik Lira di setiap pagi setelah sholat subuh. Setelah membantu Lira memasak di dapur, dan sarapan pagi Bersama dengan Anthony sebelum Anthony berangkat ke kantor.
Setelah Anthony pergi ke kantor, Widya pun berangkat jalan-jalan ditemani Lira naik tram keliling Amsterdam. GVB mengoperasikan tram, bus dan metro di dalam Amsterdam. Pembelian tiket cukup mudah. Untuk tram juga bisa dibeli langsung di dalam tram dengan pembayaran kartu kredit. Dengan sekali beli tiket tram, bisa digunakan seharian jalan-jalan mengelilingi kota Amsterdam.
Setelah seharian Widya dan Lira puas jalan-jalan di kota Amsterdam, dan menikmati keindahan kota Amsterdam, akhirnya Widya dan Lira mampir ke sebuah café yang mereka lihat di jalan. Di Cafe tersebut, mata Widya melihat sekeliling ruang café itu, nuansa hangat, dengan perpaduan corak beberapa warna di dinding café. Meja-meja kayu yang tertata cukup klasik dipadukan dengan bangku-bangku yang didesign modern hanya diam, karena belum mengerti Bahasa Belanda. Harum khas roti bakar yang menyebar ke seluruh ruangan café membuat Widya tampak nyaman dan sangat suka dengan café tersebut. lalu Lira memesan dua cangkir kopi dan dua porsi roti bakar.
Widya dan Lira memilih tempat duduk yang tampak nyaman dan strategis untuk menikmati hangatnya secangkir kopi dan sepotong roti bakar yang siap disantap. Sepoy-sepoy angin berhembus dipadukan dengan pemandangan lalu lintas yang ramai namun tidak padat. Widya dan Lira mengobrol kenangan-kenangan yang dulu pernah mereka lalui, ternyata Lira ingat semua moment-moment yang Widya anggap sepele, yang lama sudah widya lupakan. Lucu dan menggelikan.
Saat mereka menertawakan kenangan-kenangan mereka dahulu, terlihat oleh sudut pandang mata Widya, ada mata lelaki yang selalu memandang Widya dan Lira. Netra yang dianggap mata yang dimiliki lelaki yang suka menggoda Wanita sesuka hatinya. Widya mengacuhkan kecurigaan terhadap pemilik mata nakal itu, sambil menyambung obrolan Lira, entah Lira menyadari atau tidak, Widya seperti asal tertawa saja tanpa lepas. Akhirnya Lira pun menyadari Widya tidak berada pada obrolan mereka.
“Kamu kenapa sih Wid? Dari tadi sepertinya kamu aneh, kamu capek ya, kalo gitu kita langsung pulang saja yaa,”tanya Lira pada Widya
“Enggak kok, capek memang, tapi aku suka jalan-jalan sama kamu Lir,”jawab Widya
“Lalu kenapa sepertinya pikiran kamu menghilang, saat kita mengobrol beberapa waktu lalu?” tanya Lira penasaran.
“Lir, jangan menengok kebelakang ya, aku perhatikan ada cowok yang memperhatikan kita deh. Sejak dari tadi dia ngeliatin kita terus” akhirnya Widya mengakui.
Dengan penasaran, Lira mengacuhkan perintah Widya, dan spontan akhirnya badan Lira diputar kebelakang untuk melihat sosok cowok yang Widya maksudkan.
Karena mengetahui kalau Widya dan Lira menyadari Cowok itu, akhirnya terlihat oleh Widya dan Lira, kalau cowok itu berjalan mendekati mereka.
“Hai… Steward, apa kabar? sapa Lira pada orang asing tersebut.
“Hai Lira… “ jawab cowok itu sambil berjabat tangan tidak lupa dengan cipika-cipiki. Widya hanya terpaku seperti melihat sinetron luar negeri saja, tidak mengerti dengan Bahasa yang mereka gunakan.
Setelah beberapa menit percakapan yang Widya tidak mengerti bagaikan kambing congek, akhirnya Lira pun sadar akan keberadaan Widya yang mematung beberapa saat.
“Oiya, Steward, kenalkan ini Widya, teman lamaku dulu di Indonesia. Dia datang ke Indonesia untuk jalan-jalan. Widya ini Steward, sepupuku. Dulu kan pernah ke Indonesia main ke rumahku, saat kita sedang mengobrol di kamarku itu loh. Kamu kan naksir dia dulu”, sapa Lira memperkenalkan Widya pada sepupunya itu. Wajah Widya kaget dan malu, tapi leganya Lira menggunakan Bahasa Indonesia yang steward pasti tidak mengerti.
“Widya” sapa Widya menjulurkan tangannya kearah steward sambil mengingat-ingat masa-masa itu.
“Hai, steward.” jawab Steward
Steward adalah sepupu Lira, anak ketiga dari kakaknya tante Cici yang pertama. Steward memiliki wajah yang tampan, postur tubuh yang tinggi dengan bahu yang bidang,kulit putih dengan rambut merahnya yang bergelombang.Kesempurnaan ciptaan Allah ada pada Steward. Dia pasti model pikir Widya.
Widya, Lira dan steward akhirnya duduk bertiga dalam satu bangku kecil. Jengkel rasanya Widya pada Steward, sudah tahu bangku kecil hanya untuk dua orang saja, dipaksakan oleh Steward bergabung dengan menarik bangku dari meja lain. Setelah manggut-manggut saja dan senyum sopan mendengar obrolan Lira dan steward karena percakapan mereka menggunakan Bahasa Belanda yang tidak widya mengerti akhirnya selesai juga. Baru saja Widya menghembuskan nafas lega karena akhirnya selesai juga percakapan Lira dan steward. Tapi Lira membuat jantung Widya berdegup kencang dan kaget, karena entah tiba-tiba Lira memutuskan untuk pulang sendiri meninggalkan Widya dengan orang asing menurut Widya. Katanya ada hal penting yang harus dikerjakan Bersama Anthony.
“Widya, aku pergi pergi dulu yaa, kamu pulang diantar Steward ya, dia tau kok rumahku,” kata Lira pada Widya sambil buru-buru pergi.
Widya yang hanya terbengong bingung mau jawab apa pada Lira kawannya itu.
Setelah kira-kira menghabiskan sepuluh menit sepi tanpa bicara, akhirnya steward mengawali percakapan dengan Bahasa Inggris. Untunglah, Steward menggunakan Bahasa Inggris yang bisa dimengerti Widya dan Widya bisa menjawab setiap pertanyaan—pertanyaan steward.
Entah kemana saja cerita Widya dan Steward di meja itu, tertawa, manggut-manggut tanda mengeri diantara Widya dan Steward, memesan minuman lagi dan seporsi roti bakar dengan varian lain. Ia pun menceritakan jika kedatanganya ke negeri itu untuk mengasah kemampuannya memasak Kue. Lira telah merekomendasikan tempat ia bisa belajar.
Dan ternyata Steward memiliki teman yang merupakan Koki. Maka ia akan memperkenalkan Widya pada temannya itu. Teman Steward akan libur jika malam. Dan bisa digunakan untuk ngobrol jika Widya mau. Kebetulan teman Steward itu dari Malaysia. Widya pun setuju.
Widya seolah melupakan perjodohan dirinya karena begitu semangatnya ia untuk mengikuti kursus memasak aneka kue.
Akhirnya Widya dan Steward pulang dengan berjalan kaki. Perjalanan dua puluh kiloan jarak antara café dan rumah, tidak Widya dan Steward sadari karena sepanjang perjalanan Widya dan Steward memiliki persamaan dan hobby yang sama. Dan ternyata lelaki itu bisa berbicara bahasa Indonesia sedikit-sedikit walau masih terbata-bata.
Dan hal itu kadang mengundang tawa Widya, dan juga membuat Widya harus menjadi guru bahasa Indonesia bagi Steward yang memang tertarik belajar bahasa Indonesia. Ia belajar otodidak dari Lira.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!