Tengah malam di kota Jakarta...
Ketika sebagian besar orang terlelap dalam tidur setelah seharian mereka membanting tulang untuk mencari rupiah. Sebagian lain menikmati waktu di saat malam demi sebuah hiburan.
Tapi kehidupan malam kota Jakarta berbanding terbalik dari keramaian kota ketika siang, mereka yang menguasai dunia malam adalah para mafia, bergerak diantara warung remang-remang, penjualan obat-obatan terlarang, bisnis prostitusi dan jasa angkut barang tanpa permisi.
Termasuk juga dengan para Assassin atau pembunuh bayaran, mereka yang hidup untuk membunuh siapa pun targetnya demi mendapatkan uang. Hanya saja kehadiran mereka adalah hal rahasia yang tidak sembarang orang ketahui secara umum.
Bahkan ada satu guild Assassin yang bekerja dibawah perintah langsung dari pemerintah, mereka diberikan tugas untuk menyingkirkan penjahat-penjahat kelas kakap yang terkadang lolos dari jerat hukum.
Suara letusan senjata terdengar di dalam sebuah gedung bertingkat, perlahan langkah kaki seorang lelaki melewati dua tubuh yang kini tergeletak dilantai bersimbah darah.
Tidak ada penyesalan dari wajah lelaki yang sudah membunuh dua orang itu, sikapnya tenang dan santai, bahkan ketika dia menyadari ada empat orang lain datang dari sisi kiri dan kanan.
Cekatan tangannya menarik pelatuk senjata, mengarah lurus ke depan kepala mereka bergantian, satu peluru, satu nyawa melayang, dan mereka berempat sudah jatuh bahkan sebelum melepas tembakan.
Mengisi kembali magazen hingga penuh, dia pun berjalan naik menuju lantai kedua dimana sudah ada sepuluh orang penjaga yang bersiap dengan senjata mereka.
Lelaki itu mengambil sesuatu dari balik jas hitamnya, sebuah granat asap yang dia lepas kuncinya kemudian dilempar ke tempat para penjaga berkumpul.
Asap yang keluar membuat pandangan mata sulit melihat keberadaan musuh, tapi jumlah penjaga jauh lebih banyak, sehingga tidak mungkin untuk siapa pun lolos dari kepungan mereka.
Satu orang yang menjadi ketua penjaga memberi instruksi...."Tiga orang, pergi ke sebelah kiri cari posisi untuk membidiknya, dua orang maju lawan dia secara langsung."
"Baik." Kompak mereka menjawab.
Barulah tiga orang berjalan keluar melewati kepulan asap untuk mencari posisi, tiga tembakan meletus dan tepat bersarang di kepala mereka masing-masing.
Dan dua orang yang baru saja maju untuk melawan kini tubuh satu orang dilempar dengan luka tusukan di bagian dada.
"Sial, tembak...." Seakan tidak ragu rentetan tembakan diarahkan ke depan.
Seakan semua sudah selesai, ketua itu pun mengangkat tangan sebagai tangga berhenti melakukan serangan.
Namun ketika suara tembakan terdengar, satu persatu penjaga jatuh, orang yang menjadi ketua itu pun bingung, jelas sekali antara mereka dan lawannya sama-sama kesulitan melihat karena asap.
Tapi lawan seakan memiliki indra keenam yang tahu kemana harus mengarahkan bidikan senjata, ajaibnya semua peluru tepat sasaran.
"Apa kau tahu, suaramu itu terlalu berisik, jika memang ingin menyerang, jangan banyak bicara."
"Kau...." Ditariknya pelatuk senjata dan melepas peluru yang menembus kepala.
Semua penjaga bersenjata telah habis di singkirkan, langkah santai naik ke lantai atas menggunakan lift.
Terlihat percaya diri ketika satu lelaki bertubuh buntal duduk santai memperhatikan monitor layar komputer yang tetap memperlihatkan setiap ruang gedung dalam kondisi sepi.
Kepulan asap keluar dari mulutnya dengan bentuk lingkaran sempurna, dia sudah menyewa pasukan penjaga guild Assassin demi melindungi diri dari ancaman kematian.
Tapi tiba-tiba saja lampu ruangan padam, sebuah pistol mengarah tepat di belakang kepalanya, hanya butuh satu tarikan pelatuk dan nyawa lelaki buntal itu akan lewat.
"Zang Jian, komisaris utama PT Jiang Long Way. Kasus penggelapan dana jalan Tol, membunuh dan mengancam penduduk untuk melepas hak kepemilikan tanah dengan harga murah dan lima kali lolos dari pidana penjara atas pembunuhan berencana. Apa ada pertanyaan dari itu semua ?." Ucap seseorang dari belakang.
"Bagaimana mungkin kau berhasil masuk kemari."
"Itu tidak ada dalam daftar pertanyaan ku, dan juga apa perlu kau tahu ?. Karena malaikat maut tidak butuh jawaban ku."
Pintu ruangan terbuka, dimana ada dua anak muda berjas hitam muncul dengan senjata di tangan mereka. Melihat Zang Jian berada dalam ancaman seseorang yang siap membunuh, keduanya segera melepaskan tembakan langsung untuk melindungi Zang Jian.
Seakan ajaib untuk di lihat, dua peluru yang harusnya tepat bersarang ke kepala lelaki di belakang Zang Jian berhasil di hindari dengan mudah.
"Ternyata benar informasi dari lelaki itu, jika sosok Assassin yang dikirim membunuh Zang Jian adalah pembunuh terbaik, Askar."
"Meski pun tahu namaku dan bersikap sok akrab, kalau memang menghalangi misi ini, kalian juga akan aku singkirkan."
"Aku takut....." Ucapnya berbeda dari ekspresi yang di tunjukkan.
"Om, bolehlah kau menjadi assassin terbaik dan keahlian membunuh tingkat tinggi, tapi aku tidak takut sama sekali, bahkan pertemuan kita ini akan menguji kemampuan ku untuk mengalahkan orang tua seperti mu." Ucap pula satu remaja itu.
"Jangan salahkan aku, jika kau harus mengganti otakmu itu saat berlubang terkena peluru." Sosok Askar menjawab dengan santai.
Dua assassin itu berlari cepat membagi arah antara sisi kiri dan kanan, Askar tanpa perlu mengalihkan pandangan dari Zang Jian. Meski kekuatan langkah kaki mereka sangat cepat, tapi pengalaman Askar dalam pertarungan dua lawan satu hingga lima lawan satu bisa di uji.
Dua letusan peluru mengarah ke setiap sisi kepala Askar, dia hanya perlu bergeser ke belakang untuk menghindarinya karena memang setiap Assassin bersertifikat haruslah memiliki refleks super cepat dalam mengambil keputusan.
Satu lawan kini maju dalam jangkauan serang jarak dekat, melepas tembakan yang hanya setengah meter dari tempat Askar. Bagi lawan itu tidak mungkin di hindari, beranggapan malaikat maut sudah bersiap menarik nyawa Askar.
Tapi satu kaki menjadi penghalau, dalam sepersekian detik sebelum peluru keluar, Askar mepelas tendangan keras yang melempar pistol itu dari tangan lawan.
Di sisi sebelah kanan, satu lawan yang lain sudah bersiap menarik pelatuk, namun Askar juga mengetahui tujuan Assassin muda itu. Menghindar dari peluru dan memang tepat sasaran untuk menembus kepala partnernya.
Tidak ada rasa bersalah, dia masih melanjutkan niat membunuh dengan menarik kembali pelatuk untuk melepas lima peluru secara beruntun.
Askar menunjukkan keajaiban, dimana tidak ada satu peluru pun mengenai tubuhnya. Askar hanya perlu satu tembakan untuk membalas serangan dan secara langsung menembus titik tengah dari kepala lawan.
Zang Jian menganggap bahwa ada kesempatan lolos ketika Askar beradu tembakan dengan dua Assassin yang dia sewa. Merangkak perlahan menuju pintu untuknya keluar.
"Kalian masih perlu berlatih sepuluh tahun lagi untuk bisa menyamai kemampuan ku, tapi sayangnya penyesalan selalu datang belakangan."
Tapi selagi Askar membersihkan jas dari noda darah, dia sudah melepas satu tembakan yang menembus kaki Zang Jian.
"Apa kau pikir bisa kabur dariku."
Zang Jian segera bersujud...."Tolong ampuni aku, aku akan bayar berapapun yang kau inginkan, sepuluh milyar, dua puluh milyar, ambil semua."
"Pada akhirnya, puluhan milyar yang kau miliki itu bukanlah uangmu, setelah kau mendapat penghakiman ini, semua aset itu akan kembali ke mereka yang telah kau buat sengsara."
Tidak ada keraguan di wajah Askar untuk menarik pelatuk senjata, mata tidak berkedip ketika darah membasahi wajahnya.
Hingga akhirnya, dia pun lenyap dari balik bayangan gelap dari dalam ruangan.
Pagi mulai datang, matahari sudah bercokol tangguh tanpa lawan dengan kemiringan 30° namun terhalang tingginya apartemen yang berdiri sombong tidak bergerak.
Seorang lelaki perlahan terbangun ketika mendengar seruan motor bebek terbatuk-batuk dari kenalpot rongsok setelah melewati jalan setapak dari depan kontrakan yang dia sewa.
Itu ibarat alarm yang biasa dia gunakan untuk bangun dan beraktivitas seperti masyarakat normal pada umumnya. Karena siapa yang menyangka dibalik pekerjaan sebagai seorang assassin terbaik dalam membunuh target. Dia tidak lebih menjadi penjaga meja kasir di minimarket.
Melihat dari jendela kamar di lantai dua, dia sudah memantau sekumpulan ibu-ibu tetangga yang menikmati percakapan di pagi hari, membicarakan tentang permasalahan suami istri dalam masalah sidang cerai, atau sekedar menyombongkan dirinya sendiri karena habis makan empal sapi dan kepala kakap.
Mereka tertawa terbahak-bahak puas hingga batuk karena menghirup asap hitam dari kenalpot motor butut yang lewat tanpa permisi didepan acara gosip mereka.
Ini menjadi kegiatan yang selalu dilihatnya setiap pagi, siang, sore dan malam, 24 jam full dalam acara gosip dari soal ekonomi, politik, selebriti, kawin cerai, harta Gono gini, hak asuh, saling tuntut atas nama baik.
Ketika para ibu-ibu melihat lelaki yang keluar kamar kontrakan dengan bertelan*jang dada, membuat setiap ibu-ibu berdaster itu diam sejenak dan menyapa. "Noe, selamat pagi."
"Pagi juga, ibu Reni, ibu Salma, ibu Yuyu, ibu sarmi." Balas Noe itu tersenyum, dia sudah terbiasa harus berpura-pura tersenyum sopan.
Walau Noe juga mendengar beberapa pembicaraan tentangnya.
Nama Noe sendiri adalah nama asli yang dia gunakan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan Askar adalah nama samaran atau julukan dari guild tempat para Assassin berada.
Sesekali Noe mendengar percakapan para tetangga, kalau dia sering keluar malam dan pulang pagi.
Wajah yang cukup tampan, tubuh atletis berotot, dada bidang dan perut berbentuk enam gelombang naik turun, tentu membuat mereka berprasangka negatif kepada Noe. Dikatakan sebagai seorang gig*olo. Itu yang mereka semua pikirkan.
Tapi Noe tidak perduli tentang pendapat mereka, hanya tersenyum layaknya orang bodoh yang tidak tahu apa pun soal kegiatan gibah mereka.
Di kehidupan Askar sebagai seorang Noe, dia berkerja paruh waktu sebagai seorang penjaga minimarket dengan nama awal huruf 'A' berakhiran 'Mart'. Sangat jelas, tapi ini bukan sponsor.
Berpenghasilan kecil, kebutuhan hidup yang mahal dan gaji dipotong karena kehilangan barang, tapi ini satu-satunya tempat untuk bekerja selagi menyembunyikan identitas sebagai Assassin.
Setiap hari Noe harus menghadapi pelanggan sok kaya, dimana uang didalam dompet mereka hanya cukup untuk membeli kuaci dan tetap Noe harus tetap tersenyum .
Itu hanya sebagian kecil dari masalah hidup Noe di kota ini untuk bermasyarakat, tapi dia tetap tidak memperdulikannya dan terus bekerja seperti biasa.
"Selamat datang ."
Noe menyambut pelanggan dengan senyum palsu secara terpaksa untuk menyapa menggunakan suara lembut, walau terkadang membuat Noe malu.
Tapi bertindak nekad jelas berbahaya untuk menjaga kerahasiaannya, jadi tanpa perduli jika dia harus menaruh harga diri di wajah dengan senyuman terpaksa, dia akan tetap lakukan.
Bahkan Noe sempat berpikir.
'Membunuh orang bahkan jauh lebih mudah untukku.'
Setiap kali Noe menyapa dengan senyuman, para pelanggan tidak menanggapi, hanya melirik dengan tatapan sinis dan mungkin berkata dalam hati mereka.
'Dih sok akrab banget, cuma karyawan aja belagu .'
Tapi itu memang tugas yang harus Noe lakukan.
Sungguh, baru tiga jam dia masuk dalam sift kerja. Sudah lebih dari Tujuh orang menunjukkan wajah mengejek dan bersikap sombong kepadanya.
Cobaan yang Noe dapat, jauh lebih berat dari pada harus masuk ke dalam gedung dengan seratus penjaga untuk membunuh seorang direktur bede*bah yang suka menghamili anak orang tanpa mau bertanggung jawab.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.15 semua penderitaan yang Noe hadapi di tempat kerjanya untuk hari ini.
Tapi barulah Noe berganti kostum, Seorang lelaki paruh baya dengan wajah kaku seperti orang yang menahan sembelit seharian, kini datang mengadang Noe sebelum pulang.
"Noe, bisa kita bicara di kantor sebentar." Panggil Saman.
Noe menjawab dengan senyum yang terlatih...."Iya pak."
Perasaan Noe tidak nyaman jika harus berurusan dengan lelaki model Saman ini, bagaimana pun dia adalah manager toko yang memiliki otoritas untuk mengatur semua karyawan, termasuk juga Noe.
Tapi perihal perilaku Saman, dia adalah manager yang sewenang-wenang, seenaknya sendiri, tidak tahu malu dan hobi memotong gaji karyawan. Beranggapan jika bisa berbuat apa pun karena jabatan. Terkadang Saman membawa karyawan wanita untuk pergi berjalan-jalan.
Meski pun Noe tahu, namun dia masih bersikap masa bodoh selama Saman tidak mencari masalah kepadanya.
"Jadi begini Noe, karena kondisi toko kita sedang sepi dan penjualan menurun drastis, akan ada pemecatan untuk beberapa orang karyawan." Ucap Saman terdengar sendu.
"Termasuk juga berlaku untukku."
"Ya, tepat sekali, aku senang melihat karyawan yang cepat tanggap. Karena itu aku harus memilih siapa karyawan dengan kinerja kurang maksimal agar tidak membebani toko."
"Tapi pak, bukannya setiap hari target penjualan tercapai, dan juga misal ada kehilangan barang, karyawan sendiri yang harus menggantinya. Bagaimana mungkin toko ini merugi ?." Noe coba menyanggah perkataan Saman dengan fakta.
Saman tertawa, dia pun menunjuk ke depan wajah Noe...."Ini, ini dia karyawan yang sok tahu soal keuangan toko. Apa kau meragukan tindakanku untuk memecat karyawan, harusnya kau sadar Noe, semua yang aku lakukan adalah demi kita semua."
Noe sudah bosan dengan ucapan Saman yang seakan-akan dia adalah pahlawannya, berkorban demi semua karyawan dan memberi keputusan berat meski itu sangat menyedihkan.
Perihal kehilangan barang, kurangnya hasil penjualan dan semua masalah yang terjadi di keuangan toko. Itu karena perbuatan Saman sendiri. Sedangkan dia melempar kesalahan kepada para karyawan dan mengorbankan mereka agar dirinya selamat.
"Jadi apa yang bapak inginkan dari semua ini, apa aku akan dipecat ?." Noe tidak masalah hanya tidak senang dengan alasan yang diberikan.
"Harusnya begitu, tapi berhubung aku adalah orang yang tidak tegaan, baik hati dan selalu menyantuni kaum miskin. Aku berpikir untuk memotong gaji karyawan demi menutup kerugian toko. Agar kita sama-sama senang."
Sontak Noe terkejut, meski di tempat ini dia berkerja hanya untuk menyamar, tapi perihal uang dari gajinya, itu tidak bisa diganggu gugat.
"Jadi apa kau setuju untuk kebijakan ini Noe."
"Tidak." Singkat jawaban Noe.
"Tidak ?. Tunggu apa kau tega melihat toko ini bangkrut dan mungkin menelantarkan karyawannya yang sudah bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup." Terdengar dramatis tapi Saman hanya ingin menyembunyikan keburukannya sendiri.
"Aku tidak peduli. Jika memang harus dipecat, silakan saja. Kau hanya perlu membayarkan gajiku di bulan ini, setelah itu selesai." Tidak ada tanggapan lain dari Noe.
Wajah saman terlihat bingung, semua yang dia katakan hanya akal bulus karena kantor pusat sudah merasakan kejanggalan atas kerugian toko yang dialami mereka. Saman tentu merasa khawatir, jika kerugian itu tidak di tutupi maka setatusnya sebagai manager akan diragukan, kemudian dia juga akan dipecat.
Cara terbaik yang dia pilih adalah memberi ancaman kepada para karyawan agar mau menyisihkan gaji demi menutupi uang yang dicuri olehnya, dengan begitu dia akan selamat dari pengawasan kantor pusat.
"Kalau memang begitu. Aku bisa melaporkan mu ke polisi Noe." Ancam Saman.
Noe mulai emosi atas ucapan Saman..."Apa hubungannya dengan polisi, aku tidak melakukan kejahatan disini, hanya bekerja dan tersenyum bodoh sepanjang hari."
Saman menunjuk tegas di depan wajah...."Aku memiliki dugaan kalau uang yang hilang dari meja kasir itu karenamu."
Jika di hadapan Saman adalah orang lain yang bodoh perihal hukum, tentu saja mereka mengikuti permainan manager tidak tahu diri ini. Tapi Noe tidak mungkin terpancing hanya karena dia akan dilaporkan ke polisi.
"Oh. Jadi kau ingin melempar kejahatan mu sendiri kepada orang lain."
"Tentu saja aku memiliki alibi seperti itu, karena siapa yang bertindak untuk menjaga kasir, tentu saja kau."
"Sungguh lawakan yang sangat lucu." Jawab Noe tanpa sedikitpun merasa takut.
"Kau pikir ini lawakan ? Baik, besok aku akan memanggil polisi untuk menangkapmu." Ucap Saman seakan bisa melakukan apa pun.
Suasana hati Noe semakin panas, dia yang sudah bersabar untuk tersenyum bodoh di depan para konsumen sombong demi pekerjaan bergaji kecil, kini harus menanggapi perkataan lelaki durjana Seperi Saman.
Seketika Noe menggebrak meja di depan Saman, dia juga meletakkan sebuah flashdisk untuk diberikan kepadanya.
"Apa ini ?."
Mata Noe tajam menatap Saman...."Sebenarnya aku sudah sangat bersabar dengan sikapmu, tapi kau harus tahu, aku tidak senang jika ada orang yang mencoba memanfaatkan jabatannya demi mengancam orang lain. Di dalam flashdisk ini, ada semua kejahatan yang kau lakukan, kau bisa melihatnya sendiri."
"Kau sekarang berani melawan ku."
"Terserah kau saja. Tapi file di dalam itu tidak bisa di ubah, aku juga memiliki salinannya." Balas Noe.
Noe berbalik pergi dari meja Saman untuk keluar. Tapi sebelum membuka pintu, dia pun berbalik.
"Untuk pertama kalinya, aku berharap hari esok akan datang lebih cepat. Dan satu lagi, jangan lupa kirim gajiku dengan penuh." Noe tertawa terbahak-bahak.
Noe keluar dengan membanting pintu keras. Wajah Pak Saman menjadi pucat pasi ketika di coba mengakses isi folder dari flashdisk yang Noe berikan.
Semua jelas terbukti, dari video rekaman pencurian, rekap data penjualan, sadapan telepon ketika dirinya meminta layanan wanita di tempat hiburan dan juga pemotongan gaji yang tidak sesuai aturan.
Saman berlari cepat mengejar Noe, tapi sayangnya dia sudah lenyap dari tempat itu.
Noe berjalan pulang bersama Yuna, dimana dia juga sama-sama karyawan minimarket.
Lelaki tua yang sekarang bersama Noe adalah Jatmiko 42 tahun ayah dari Yuna. Hanya seorang penjual buah di pasar sebelah terminal, berpenghasilan tidak lebih dari 50 ribu setiap hari.
Tempat tinggal Noe dan Yuan tidak terlalu jauh dari minimarket tempatnya bekerja, hanya butuh beberapa kilometer melewati pasar ikan, pasar baju, terminal bus, sungai, jembatan dan tempat pembuangan sampah.
Sedikit jauh memang, tapi jarang ada kendaraan umum yang mau melintasi tempat tinggal mereka. Terlebih lagi, mengeluarkan ongkos, hanya menjadi pilihan terakhir bagi Noe jika terjadi keadaan darurat.
Di Sebuah kawasan kumuh dipinggiran kota Jakarta, dekat dengan pembuangan sampah. tembok-tembok tua penuh lumut, selokan hitam, bau menyengat, sampah-sampah berserakan, teriakan para pedagang, klakson mobil bobrok, keringat supir, cerobong pabrik berasap hitam, rayuan pela*cur murah di warung remang-remang. Padahal masih sore. Dan kedatangan petugas satpol PP yang membuat kacau semua orang.
Lokasi ini menjadi tempat tinggal para perantau di kota Jakarta, mereka semua hidup terlunta-lunta, rumah triplek beralaskan kardus, berjuang dengan penghasilan kecil setiap hari.
Miris, sangat miris.
Tinggal di rumah sewaan, hidup sederhana dengan perabotan usang termakan usia, terlebih harus merawat diri, karena penyakit asma yang dia derita.
Sekali batuk, naik turun napas Jatmiko seperti nyawanya berada diujung tenggorokan. Tapi keinginan untuk menyekolahkan anak perempuan semata wayang hingga lulus kuliah menjadi satu-satunya alasan Jatmiko tidak menyerah kepada nasib.
Di rumah triplek bercat hijau tua, tepat dipinggiran sungai, sekali musim hujan tiba, banjir pun datang, hanyut semua harta benda yang keluarga Jatmiko miliki, walau pun satu-satunya benda mewah itu, hanya sebuah televisi tabung keluaran Fuji tahun 2004, dibeli Jatmiko karena tidak tega melihat kawan tidak punya uang.
"Noe maaf karena sudah membantuku ."
Lelaki tua yang sedang menikmati waktu istirahat setelah menarik gerobak buah sejauh 2 kilometer, masih terlihat lelah sembari mengipasi tubuh dengan kertas koran yang Jatmiko lipat.
"Bukan masalah, pak Jat, aku juga senang bisa membantu."
"Kau sangat baik, jarang sekali aku bertemu dengan anak muda seperti mu." Puji pak Jat sambil tertawa.
Noe tersenyum dengan rasa hormat tinggi kepada lelaki paruh baya kurus yang berjuang mati-matian demi menghidupi keluarganya.
"Pak Jat, apa hari ini banyak yang terjual."
Jatmiko tertawa sendiri, tawanya itu tidak menunjukkan sebuah kebahagiaan, hanya sekedar tawa yang menertawakan dirinya sendiri, karena membayangkan hidupnya penuh dengan lelucon.
"Ya begitulah, ada saja yang beli, dan ada pula yang memintanya." Sebuah kiasan tersirat didalam ucapan Jatmiko.
Raut wajah Jatmiko menunjukkan arti dari kata yang dia ucapkan, tertawa sendiri, mengeluh sendiri dan terdiam sendiri.
"Noe maafkan aku, mungkin butuh waktu lama untuk mengembalikan uang pinjaman yang kau berikan, tadi saja, para anak buah Rohan, mengambil separuh dari uang hasil jualanku hari ini."
"Tidak perlu dikhawatirkan pak Jat, aku juga masih belum membutuhkan uang itu, jadi simpan saja dulu, sampai nanti pak Jat memiliki uang lebih." Noe dengan tersenyum menjawab perkataan Jatmiko.
"Jika kau berkata begitu, aku bahkan lupa, kapan aku memiliki uang lebih." Kembali Jatmiko tertawa, karena hampir 22 tahun kehidupan yang dia jalani setelah menikah, tidak sekali pun pernah memiliki uang lebih.
Semua tabungan, harta benda, warisan, keuntungan jualan, semuanya berakhir untuk menyekolahkan Yuna dan termasuk meminjam uang, kepada Noe untuk mengoperasi istrinya yang mengalami pendarahan organ dalam.
Terbuka pintu dari rumah triplek Jatmiko, seorang wanita paruh baya yang cantik, namun terlalu kurus karena kekurangan asupan gizi dan nutrisi. Boro-boro berpikir tentang gizi atau nutrisi, asalkan itu bisa dikonsumsi sudah menjadi berkah bagi keluarga Jatmiko.
Tapi setelah anaknya ikut berkerja di minimarket bersama Noe, walau tidak bergaji besar, setidaknya mampu memberikan sedikit tambahan penghasilan keluarga. Anggap saja, awalnya mereka langganan warteg, kini naik kasta menjadi penikmat nasi Padang.
"Noe silakan masuk, mari kita makan dulu."
Dengan senyuman manis diwajahnya yang keriput, Juminah menyambut kedatangan Noe untuk sekedar mampir dan ikut makan malam bersama.
"Tidak perlu Bu Jum, aku masih kenyang jadi ...."
Pak Jatmiko memotong perkataan Noe..."Jadi apa Noe, memang kau kenyang makan apa ?."
Balas Noe dengan senyuman kecut, karena memang, tidak ada makanan yang dia masukan kedalam perutnya itu sejak siang.
"Makan emosi pak Jat."
Sedikit hati Noe ingin menolak ajakan pak Jat dan Bu Jum untuk ikut dalam makan malam mereka, karena Noe tahu, apa yang menjadi hidangan hanya nasi putih, telur dadar, sambal terasi dan doa sebelum makan. Kandungan nutrisi dari telurnya pun seakan tertutupi oleh tepung terigu untuk membuatnya lebih besar.
"Baiklah kalau begitu, aku tidak bisa menolak permintaan dari Bu Jum yang sudah repot-repot mengajakku untuk ikut makan malam." Kata Noe sembari menggaruk kepalanya yang belum keramas.
Semerbak aroma wangi dari arah kamar Yuna tercium dengan jelas, parfum murah yang dia beli dari kios, tidak mempengaruhi harum alami dari tubuhnya. Gadis itu memang memiliki kecantikan luar dalam yang alami, sekali pun harus seharian berkeringat aroma tubuh Yuna tidak ada ubahnya dari wangi bunga melati.
"Aku harus ke kamar kecil sebentar." Kata Noe yang ingin membasuh tangannya sebelum makan.
Kamar mandi rumah Jatmiko berada di bagian belakang, tanpa sengaja berpapasan dengan Yuna yang masih berselimut handuk setelah mandi. Dia terkejut dan terpeleset dilantai yang licin, sigap Noe menangkap tubuhnya.
Noe merasa canggung dimana sensasi kenyal dari aset pribadi milik Yuna terasa nyata bersentuhan dengan tubuhnya, Segala perabotan yang sesak di segala tempat, membuat Noe kebingungan, maju salah, mundur pun tidak bisa.
Noe terdiam, Yuna terdiam, bahkan kucing yang sejak tadi mengeong ingin kawin pun ikut terdiam, sembari memperhatikan, wajah malu dari Rea.
"Yuna maaf." Noe yang tidak bisa maju atau pun mundur, memutar tubuhnya untuk memberikan jalan agar Yuna segera pergi.
Menunduk layu Yuna sembari pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Noe merasa bersalah atas kejadian ini, dia pun tidak tahu, jika Yuna sedang mandi dan dia tidak sengaja lewat.
Di tempat Jatmiko dan Juminah, keduanya berbicara serius mengenai permasalahan tentang Noe. Ekspresi tidak menyenangkan ditunjukan oleh Juminah.
"Pak, tidak perlulah kau untuk meminta Yuna menjadi istri Noe, kita sudah miskin, kalau anak kita satu-satunya menikah dengan Noe, maka masa depannya hanya akan berantakan." Juminah memberikan argumen tentang masa depan Yuna.
"Jum, Noe itu orang baik, dia sudah banyak membantu kita, apa salah dengan menikahkan Yuna kepada Noe, setidaknya mereka saling suka."
Jatmiko serius menanggapi perkataan istrinya itu, apa yang Jatmiko pikirkan tentang Noe karena sosoknya yang selalu baik kepada keluarga mereka.
Juminah menggelengkan kepala, ekspresi rumit yang memikirkan masa depan putrinya, sangat jelas terpahat di wajah keriputan itu.
"Pak, dua tahun lagi Yuna lulus, pasti akan memiliki pekerjaan yang lumayan, kita bisa membalas hutang Noe dan memilihkan calon yang cocok untuknya."
"Terserah ibu, aku akan mengikuti apa yang Yuna inginkan, jika memang dia menyukai Noe, sekali pun Bupati datang untuk melamar, aku akan menolaknya." Tegas Jatmiko dengan suara lantang.
Di balik tirai kamar, Yuna hanya mendengarkan setiap ucapan dari ibunya, berbaring lemas memejamkan mata dan sejenak melepaskan masalah di dalam hidup yang serba salah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!