Akibat kesalahan di masa lalu. Akibat kelakuan ibunya yang dulu pernah merebut suami orang memunculkan dendam di hati mantan istri ayah dari Olivia dan sialnya perempuan itu malah melampiaskan rasa sakit hatinya dengan menghancurkan hidup Olivia.
"Renggut kesuciannya dan kau akan mendapatkan motor ini!" Seorang perempuan setengah baya menepuk moge di sampingnya.
Tentu saja wanita setengah baya tidak main-main dengan ucapannya. Selain dia memang terobsesi untuk menghancurkan pelakor melalui anaknya dia juga memiliki posisi tinggi di sebuah perusahaan. Branch manager, bukankah posisi itu sudah tidak diragukan lagi tentang gajinya?
Tentu saja pemuda yang diperintahnya sangat senang. Selain dia bisa mendapatkan mahkota dari gadis secantik Olivia, dia juga mendapatkan bonus motor mahal.
Segera pria itu menjebak Olivia dengan cara memesan nasi uduk dalam jumlah banyak dan meminta gadis itu untuk mengantarnya pada suatu tempat.
"Jangan Tuan, jangan lakukan ini padaku!" Olivia memohon dengan tatapan melepasnya.
Pria yang ada di depannya tersenyum menyeringai.
"Jangan sentuh aku, aku mohon!" Berjalan mundur ke belakang sedangkan pria di hadapan terus maju, berjalan mendekat.
"Tuan lepaskan aku!"
Sreeek.
Dengan sekali hentakan pria tersebut merobek baju Olivia.
"Jangan!" Olivia menutup dadanya yang sekarang memperlihatkan bra berwarna merah muda.
Olivia berbalik, menggedor-gedor pintu yang terkunci dengan teriakan minta tolong.
"Berteriaklah sekencang mungkin karena tidak akan ada yang bisa menolong!" Pria itu mendekatkan wajahnya pada wajah Olivia.
Plak.
Reflek Olivia menampar wajah pria itu dengan keras. Dia tidak suka disentuh sembarangan oleh pria apalagi oleh pria yang sama sekali tidak dikenalnya.
Pria itu meringis sambil mengusap pipinya. Matanya melotot ke arah Olivia. Kemarahannya memuncak sebab Olivia telah berani menampar dirinya.
Dengan kasar pria itu menangkap tangan Olivia dan memegang dengan erat sedangkan bibirnya segera mencumbu bibir Olivia dengan kasar.
Olivia masih mencoba memberontak dan mencoba melepaskan diri. Tidak berhasil terpaksa dia menggigit bibir pria tersebut dengan kasar sehingga pagutan pria itu terlepas begitu saja karena bibirnya yang terasa sakit.
Pria itu mengusap bibirnya. "Oh kau suka main kasar rupanya, baiklah akan aku ladeni."
"Cuih!" Olivia meludahi pria tersebut.
"Tolooong!"
"Hahaha." Pria itu semakin menggila, mendorong tubuh Olivia ke belakang hingga terpelanting ke atas sofa.
Pria itu menyeringai dan langsung mengungkung tubuh Olivia.
"Lepas!"
Tak ingin Olivia memberontak pria tersebut segera mengikat tangan Olivia.
Beberapa menit kemudian pria itu telah berhasil menggagahi dan merenggut mahkota Olivia.
Olivia menatap sendu dirinya sendiri yang sudah kacau. Air matanya menetes begitu saja tanpa bisa ditahan. Pedih dan perih mengiris hatinya saat itu.
Sesaat kemudian Olivia dipersilahkan keluar dari rumah kosong tersebut oleh pria tadi.
Olivia berlari sambil menangis saat dirinya baru lepas dari orang yang telah mengambil kesuciannya secara paksa.
Sebelum pergi dia menatap tajam wajah pria itu penuh dendam. Seumur hidup dia tidak akan pernah melupakan wajah pria brengsek ini yang telah merenggut kesuciannya yang selama ini susah payah dia jaga.
Sampai di depan di rumah sang ibu langsung menyambut Olivia di depan pintu dengan senyum yang sumringah.
"Kenapa sudah kembali? Apakah orang itu memborong semua nasi uduk kita?"
Olivia hanya menggeleng lalu menunduk.
"Mana uangnya?" tanyanya lebih lanjut.
"Tidak ada Ibu."
"Mana mungkin tidak ada sedangkan nasinya habis semua!"
"Pria itu menjebakku." Olivia meneteskan air mata.
"Alah kau pasti berbohong kan, kau ingin menggunakan uang itu sendiri, bukan?"
"Tidak Ibu saya tidak berbohong."
Biar kuperiksa." Tangan sang ibu terulur menyentuh seluruh tubuh Olivia berharap akan menemukan uang di sana.
"Auw sakit Ibu, jangan kasar-kasar." Olivia merasakan sakit di sekujur tubuhnya akibat ulah pria tadi.
Nihil, tak ada uang sepeserpun yang dia temukan.
"Katakan Olivia kamu menaruh uangnya dimana!" bentak sang ibu.
"Kalau begitu mana nasi uduknya?!"
"Tertinggal di sana Bu."
"Dasar anak tak tahu diuntung!" Sejak kehadiranmu, ibumu ini selalu menderita tahu. Saat hamil dirimu toko kami bangkrut. Ayahmu meninggal karena kecelakaan di hari kelahiranmu. Kau benar-benar anak sialan. Ah, menyesal ibu melahirkanmu jika harus mengorbankan segalanya!"
Olivia mengurungkan niatnya untuk mengadu kepada sang ibu sebab malah mendapatkan amarah karena telah meninggalkan nasi uduknya begitu saja tanpa membawa uang sepeser pun hari itu, bahkan sumpah serapah keluar dari mulut ibunya sendiri sehingga Olivia enggan untuk memberitahukan apa yang telah terjadi sebenarnya kepada dirinya hari itu. Dia menyimpan kesedihan dan kesakitannya seorang diri.
Bersambung.
”Olivia bangun Nak!”
Oivia kaget dan langsung duduk. Dia mengucek matanya yang masih ingin terpejam. Maklum semalaman dia menangis dan baru tidur jam 2 dini hari.
”Ya Tuhan sudah jam 6.” Olivia melempar selimut begitu saja dan langsung berlari ke arah pintu dan membuka pintu kamar. Cahaya matahari yang terlihat menyilaukan mata langsung menembus ke dalam kamar tatkala Olivia membuka pintunya.
”Maaf Bu saya terlambat bangun, saya akan membasuh muka dulu sebelum membantu ibu membungkus makanan.”
”Tidak perlu kau mandilah dan berdandan yang cantik!”
Olivia menggaruk kepalanya. Tidak biasanya sang ibu berkata lembut seperti itu. Biasanya jika Olivia telat bangun sang ibu akan berteriak dan melempar benda apa saja yang menghasilkan bunyi nyaring.
Semoga saja ibu ketempelan jin baik terus.
”Ibu tidak lagi bercanda, bukan?”
”Apa ibu pernah bercanda padamu? Segeralah mandiri, ibu akan mengajakmu makan di restoran.
Apa! Makan di restoran? Semoga saja ibu tidak sedang tidur sambil berjalan dan kata-kata itu keluar tanpa sadar.
Olivia pikir ibunya sedang ngelindur.
”Kenapa masih bengong? Kaget ya ibu mau ajak kamu ke restoran? Ibu sadar tidak pernah mengajakmu makan di luar sedangkan kita selama ini sudah bekerja keras. Jadi, sekali-kali bersantai dulu."
Olivia mengernyit, wanita di depannya kini seperti bukan ibunya.
”Jadi hari ini kita tidak jualan Bu?”
”Tidak, cepatlah bersiap jangan mengulur waktu!”
”Baiklah.” Tanpa berbicara panjang lebar lagi Olivia langsung bergegas ke kamar mandi yang letaknya berada di samping dapur.
Setelah menyelesaikan mandinya Olivia langsung merias diri. Dia menutup kantung matanya yang menghitam akibat tidak tidur dan menangis semalaman dengan concealer.
”Apakah ada sesuatu sehingga ibu menyuruhku berdandan cantik? Jangan-jangan ibu mau menjual ku.” Mulai berpikir macam-macam sebab Olivia tahu ibunya si ratu tega.
”Oliv, cepetan dong nanti kita bisa telat ini.”
”Iya Bu tunggu sebenar!" Olivia bangkit dan mengambil tas lalu keluar menemui sang ibu yang berdiri menunggu di depan pintu.
”Loh, loh mana lipstiknya?”
”Tidak usah deh Bu, katanya takut telat.” Sebenarnya sengaja tidak jadi berdandan cantik agar tidak menarik perhatian kaum lelaki. Olivia masih curiga ibunya mau menjual dirinya.
"Sana dandan yang benar, ibu kasih waktu 15 menit!"
Akhirnya Olivia duduk lagi dan mengoleskan lipstik di bibirnya sebab tidak mau penyakit ibunya yang suka menjambak rambut ketika membantah perintahnya akan kumat lagi.
”Coba lihat!”
Olivia menoleh.
”Manis, tapi pipinya pucat kasih sapuan blush on sedikit!"
Olivia menarik nafas panjang. Mau makan saja ribet pikirnya. Jujur Olivia tidak suka berdandan. Dia terpaksa membeli alat kosmetik sebab di perpisahan sekolah beberapa bulan yang lalu diharuskan berdandan karena semua siswa yang lulus diharuskan naik panggung dan teman-temannya akan berdandan semua.
Dia tidak ingin berbeda sendiri dengan teman-temannya dan merasa malu juga jika setiap kali ada acara di sekolah selalu numpang make up pada teman-temannya.
”Sudah.” Olivia berdiri.
”Coba ibu lihat!”
Olivia dengan enggan melihat ke arah sang ibu.
"Bagus, sempurna dan cantik."
Olivia tersenyum, lebih tepatnya tersenyum yang dipaksakan.
”Kita berangkat sekarang!”
Mereka keluar dari rumah dengan berjalan beriringan. Di depan rumah mereka sudah menunggu sebuah taksi.
”Kita naik taksi Bu?”
”Iya.”
”Kenapa tidak naik angkot saja biar ongkosnya lebih murah?”
”Sudahlah kau tidak perlu memikirkan, semua adalah tanggung jawab ibu.”
Baiklah. Olivia tidak berbicara lagi. Dia bungkam dengan sejuta pertanyaan di dalam dada. Semoga saja kecurigaannya tidak benar. Setega-teganya ibu pada anak kandungnya bukankah tidak mungkin akan tega menjual anaknya sendiri pada lelaki hidung belang?
Satu jam melakukan perjalanan akhirnya mereka sampai juga di sebuah restoran. Restoran Aguarius adalah restoran terlengkap dan termewah di kota tersebut.
”Ibu yakin mau makan di sini?” Olivia khawatir budget di tempat ini terlalu mahal dan tidak sesuai dengan isi kantong mereka.
”Bukankah ibu sudah mengatakan tidak perlu bertanya lagi. Cukup diam dan nikmati yang ada dan yang terpenting turuti kemauan ibu, maka kau akan bahagia.”
Olivia menelan ludah. Sejak kapan ibunya memprioritaskan kebahagiaan dirinya. Yang ada dia akan mengorbankan Olivia untuk kesenangannya sendiri.
"Kau pesanlah makanan yang kamu mau!" perintah sang ibu pada Olivia.
Seorang waiters datang dan membawa buku menu kemudian menyodorkan ke depan Olivia.
Olivia terbelalak saat membaca harga setiap menu yang tertera, dia yakin ibunya tidak akan mampu membayar satu menu pun di restoran itu.
”Kenapa bengong?”
”Ibu ini sayur kangkung saja harganya–”
”Ngapain pesan kangkung? Nggak bosan makan sayur itu setiap hari? Sini biar ibu saja yang pesan!” Merampas buku menu dan memesan menu sesuai kehendaknya.
”Tidak ada lagi Bu?”
”Tidak ada Mas, mungkin untuk sementara cukup dulu."
Olivia menggeleng melihat sang ibu malah memesan beberapa menu sekaligus. Dalam hati sudah terbersit akan melarikan diri saja setelah menikmati hidangan yang dipesan.
Tidak menunggu lama pesanan pun datang. Bersamaan dengan itu pula 3 orang berjalan ke arah mereka.
Marisa sang ibu mempersilahkan ketiganya duduk sedangkan Olivia malah terbengong melihat lelaki yang pernah dilihatnya di suatu taman mengobrol dengan sahabatnya dan mengatakan Olivia gadis kampungan.
"Apa kabar Bu Marisa?"
Pria setengah tua itu mengulurkan tangan kepada ibu dari Olivia dan mereka berjabatan tangan.
"Baik."
"Senang bertemu denganmu lagi," ujar istri dari pria tadi."
"Senang juga bertemu denganmu Bu Wati."
Marisa mengangguk dengan senyuman manis yang terus menghias di bibirnya.
"Ini putrimu?"
Marisa mengangguk dan menyenggol bahu Olivia yang saat ini tidak fokus karena terlalu berpikiran macam-macam.
"Ini yang namanya Nak Reza?"
"Iya Ris."
"Oke cantik juga," puji Wati.
"Ah iya." Olivia mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri kepada pasangan suami istri tadi. Namun, dia enggan menyalami tangan Reza padahal pria itu mengulurkan tangan ke arahnya.
"Cantik juga kalau berdandan, tapi sayang sok jual mahal," batin Reza.
Marisa melotot ke arah Olivia karena tidak mau menerima jabatan tangan Reza. Melihat sang ibu melotot akhirnya Olivia terpaksa menerima jabatan tangan pria yang tidak disukainya itu.
"Reza."
"Olivia."
"Wah kalian benar-benar pasangan yang serasi," puji Wati.
"Silahkan duduk!" perintah Marisa.
Mereka semua pun duduk termasuk Olivia dan Marisa yang tadi harus berdiri menyambut ketiganya.
"Bagaimana Ris sudah diomongin sama putrimu?"
"Sudah Tomi Barata, dia sudah setuju," jawab Marisa.
Tentu saja Olivia kaget sebab sang ibu tidak pernah membicarakan apapun padanya kecuali mengenai jualannya.
"Bagus kalau begitu. Saya harap mereka berjodoh."
Deg.
Jantung Olivia berdetak kencang tatkala mendengar kata berjodoh yang keluar dari mulut pria setengah baya yang duduk di hadapannya.
"Apa tandanya aku akan dijodohkan?" Olivia ketar-ketir, dia benar-benar tidak suka pada pria di hadapannya kini. Berbeda dengan Reza yang mulai menyukai Olivia.
Bersambung.
"Bu apa maksud ini semua?" tanya Olivia dengan suara berbisik di telinga Marisa, sang ibu.
"Kau harus menikah dengan Nak Reza," jawab Marisa dengan berbisik pula.
"Aku tidak mau Bu, aku tidak menyukai pria itu." Olivia menunjuk Reza dengan ekor matanya.
"Ada apa Ris?" tanya Tomi Barata -ayah dari Reza- saat melihat anak dan ibu yang duduk di depannya berbisik-bisik.
"Ehem." Marisa pura-pura terbatuk.
"Tidak ada apa-apa Tom, hanya saja Olivia mengatakan sakit perut tadi dan aku mengatakan tidak baik meninggalkan semua orang di meja ini," kilah Marisa.
"Ya ampun Ris, kau tega sekali. Sudah sana bawa putrimu ke toilet. Kau ingin anakmu masuk rumah sakit hanya gara-gara menahan ingin buang hajatnya," protes Tomi.
"Hehe iya juga ya, saya hanya takut kalian tersinggung kalau kami berdiri beranjak dari tempat ini sebab dia minta ditemani."
Olivia hanya memijit pelipisnya melihat sang ibu yang begitu lihai berakting seolah-olah itulah kenyataannya.
"Sudah, sudah! Cepat antar dia!"
"Baiklah, saya permisi ya semuanya."
Semua orang yang duduk mengangguk. Marisa menarik tangan putrinya.
"Ayo katanya kebelet, nanti kamu bisa beol di sini!"
Olivia berdiri dengan enggan dan mengikuti langkah sang ibu ke arah belakang.
"Hei Bu toiletnya di samping sana." Reza menunjuk arah samping dari tempatnya duduk.
"Eh begitu ya Nak Reza? Maklum ibu belum pernah ke tempat ini." Marisa cengengesan dan Reza hanya mengangguk lalu melihat ke arah lain.
Segera Marisa membawa Olivia ke toilet restoran. Sampai di depan toilet baru melepaskan pegangan tangannya yang erat terhadap tangan Olivia.
"Kenapa ibu membawaku ke sini?"
"Aku hanya ingin memperingatkan agar jangan sampai kau menolak perjodohan ini dan jangan sampai menunjukkan raut wajahmu kalau kau sebenarnya terpaksa."
"Olivia tidak mau Bu, mengertilah," ujar Olivia dengan tatapan memelasnya.
"Bukan kamu yang menentukan tapi Ibu," tekannya.
"Tapi Bu ...."
"Sudahlah Olivia, Pak Tomi Barata itu yang membantu kesulitan ayah dan ibu di masa lampau disaat toko kami bangkrut. Dialah pula yang membiayai persalinan ibu saat melahirkanmu. Apakah kamu ingin menjadi manusia yang tidak tahu berterima kasih?"
"Ada cara lain untuk berterima kasih Bu bukan dengan jalan menjodohkan seperti ini."
"Tapi mereka membutuhkan pertolongan kita dengan cara kau mau menikah dengan Reza."
"Olivia akan menurut apa saja permintaan ibu, tapi tidak untuk yang satu ini." Tidak pernah Olivia membantah perintah sang ibu sebelumnya.
"Olivia berani kau ya! Kalau kamu tidak menurut permintaan ibu ini, ibu bersumpah akan menjual dirimu pada orang kaya dan ibu juga akan menaruh nenekmu di panti jompo." Itu yang ditakutkan Olivia, ibunya akan tega menaruh ibu dari ayahnya di panti jompo, kalau tidak dia mungkin sudah kabur dari rumah sedari dulu.
"Ibu!" Olivia menggeleng, benar-benar tidak percaya dengan apa yang ibunya ucapkan tadi.
"Kenapa? Masih mau bertahan dengan keras kepalamu itu hah?!"
"Bu izinkan Olivia menentukan siapa yang akan menjadi jodoh Olivia nantinya," mohon Olivia.
"Tidak ada tawar-menawar dan kamu tahu kan bahwa ibu orang nekat? Dan jangan coba-coba lari dari ibu jika kamu tidak ingin terkena masalah."
Olivia menggeleng lemah. "Ibu tega sekali."
"Apa kau bilang aku tega?" Marisa mencengkram bahu Olivia dan wanita itu hanya meringis kesakitan.
"Auw sakit Bu, lepaskan!"
"Aku akan melepaskanmu jika kamu setuju akan kami nikahkan dengan Reza." Melirik ke belakang sebentar karena takut ada yang melihat.
"Kalau tidak jangan salahkan ibu jika hari-harimu penuh dengan siksaan."
Olivia menghela nafas kasar. "Baiklah terserah ibu." Pasrah dan berharap hidupnya akan lebih baik jika menikah dan pergi dari rumah.
Semoga saja seiring berjalannya waktu hatinya bisa menerima Reza di hatinya begitupula sebaliknya, Reza bisa menghargai dirinya apabila nanti benar-benar menjadi istri dari pria itu. Olivia juga tidak mau jika hari-harinya seperti neraka jika masih hidup bersama sang ibu yang suka mengatur ini itu.
"Bagus, jangan bikin ibu marah lagi."
Olivia menggeleng lemah. "Asal Ibu berjanji akan merawat nenek dengan baik dan tidak menempatkan beliau di panti jompo."
"Baiklah ibu setuju. Sekarang kita kembali ke sisi mereka lagi dan pasang senyuman manis, jangan cemberut terus!"
Olivia mengangguk lagi.
"Sudah lega Nak Olivia?" tanya Wati saat keduanya hendak duduk kembali di tempat duduk mereka semula.
"Iya Tante."
Wati mengangguk.
"Bagaimana apakah kamu mau menikah dengan anak saya?" tanya Wati untuk memastikan perkataan Marisa tadi memang benar adanya.
Olivia menatap sang ibu kemudian kembali menatap calon mertuanya dan langsung mengangguk.
"Wah terima kasih kalau begitu. Kami berdua sebenarnya dulu sempat berencana untuk menjodohkan kalian berdua saat kami berkunjung di hari kelahiranmu. Iya nggak Pa?"
"Iya," jawab Tomi lalu tersenyum.
Olivia mengangguk lagi sebab tidak tahu harus berkata apa. Ekor matanya melirik Reza yang tampak terlihat bahagia. Hari ini pria itu benar-benar terlihat manis tidak seperti waktu pertama kali Olivia melihatnya.
"Baik kalau begitu kami akan langsung menikahkan kalian berdua besok," terang Tomi.
"Besok?" tanya Olivia kaget. Dia saja belum bisa meyakinkan dirinya bahwa akan baik-baik saja jika menikah dengan Reza kenapa pernikahannya malah terlalu cepat seperti ini?
"Iya Nak Olivia, Nak Olivia tidak perlu khawatir semua persiapan sudah kami persiapkan," terang Wati.
"Secepat ini?" Tentu saja Olivia merasa aneh. Bukankah dirinya baru menyetujui sekarang kenapa persiapan pernikahan sudah rampung. Atau ini adalah ulah ibunya?
"Ah terserahlah," ucap Olivia dalam hati.
"Iya Nak Olivia, kita sekarang hanya perlu mencarikan baju pengantin yang pas di tubuhmu. Setelah makan-makan nanti kita langsung ke butik."
"Iya Bu Wati kami setuju." Marisa yang menjawab sedangkan Olivia hanya memilih diam saja.
Seorang waitres meletakkan makanan pesanan keluarga Reza dan mempersilahkan pelanggannya untuk menikmatinya.
"Ayo-ayo kita makan sekarang!" perintah Tomi. Mereka semua pun makan bersama dengan lahap kecuali Olivia. Menu yang lezat terasa hambar saja di lidah Olivia.
"Ayo makan!" Marisa menyenggol bahu Olivia.
Olivia mengangguk dan mengunyah makanan dengan tidak bersemangat.
"Yang benar makannya! Kita tidak akan bisa makan seenak ini lagi," bisik Marisa di telinga putrinya.
Persetan dengan makanan enak, Olivia sama sekali tidak bisa menikmatinya.
"Nak Olivia kenapa? Menunya tidak cocok?" tanya Tomi melihat ekspresi Olivia yang memang terlihat tidak bergairah.
Marisa menyenggol bahu Olivia dengan kasar hingga wanita itu mengusap-usap bahunya.
"Ah tidak Om saya hanya sariawan saja." Terpaksa berbohong.
"Sariawan?"
Olivia mengangguk.
"Kalau begitu habis ini kita langsung ke rumah sakit. Kau harus segera ditangani dokter sebab besok di hari pernikahanmu harus vit."
"Ah tidak perlu Om nanti saya akan beli minuman pereda panas dalam saja di warung. Bisanya dengan minum itu sariawan saya bisa sembuh."
"Hem, sudahlah jangan bercerita saja, lanjutkan makan kita!" Marisa pun kembali mengunyah makanannya.
Olivia hanya menatap Marisa tanpa kata melihat ibunya makan dengan rakus.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!