Rumah megah itu sudah didekorasi dengan sangat cantik. Sudah banyak tamu yang datang untuk menghadiri sebuah pernikahan dari keluarga Ehsan Pradipta dan Hanan Pradana. Dua keluarga yang sudah bersahabat sejak lama itu, hari ini akan menikahnya putra-putri mereka. Vanya Anindira dan Ikram Pradana.
Raut bahagia terpancar dari keluarga besar Pradipta saat ini, karena putri tunggal mereka akan segera melepas masa lajangnya hari ini. Vanya masih di dalam kamarnya bersama beberapa penata rias.
Wanita bergaun pengantin itu terlihat begitu cantik dan anggun. Vanya memang wanita yang cantik dengan bulu mata lentik. Bola matanya berwarna hitam sama seperti sang papi.
"Masya Allah cantiknya," ucap penata rias bernama Keynara itu. Wanita itu baru saja menyelesaikan tugasnya.
"Mbak Key, bisa aja deh." Vanya tersipu malu.
"Ih, serius tahu kamu cantik banget, pasti calon suaminya nanti pangling." Key sedikit merapikan rambut Vanya.
Vanya hanya tersenyum saat mendengar penuturan penata riasnya mengenai calon suaminya. Dia tidak tahu bahwa pernikahan ini tak pernah Vanya inginkan,bahkan mungkin calon suaminya juga berpikir hal yang sama.
Pernikahan yang terjadi karena perjodohan ini tiba-tiba saja harus dilalui oleh Vanya. Pria bernama Ikram Pradana itu selalu menatapnya dengan sinis, saat awal pertemuan mereka. Namun desakan keluarga membuat mereka harus menerima semua keputusan besar ini.
Hari sudah mulai siang, tetapi masih belum ada kabar bahwa pihak mempelai pria akan datang. Tamu undangan sudah mulai berdatangan.
Ehsan Pradipta papi dari Vanya mencoba menghubungi pihak Hanan Pradana calon besannya. Pria paruh baya itu terlihat menghela nafas lega saat mendengar bahwa pihak mempelai pria sedang dalam perjalanan.
Sementara itu, Vanya masih duduk di kamarnya dengan gaun pengantin indahnya. Awalnya wanita cantik itu ingin kabur dari pernikahan tak diinginkan ini, tetapi mengingat nama baik keluarganya, ia pun akhirnya bertahan dengan perasaan yang tidak baik-baik saja.
Waktu terus berjalan dan wanita bergaun pengantin itu masih juga belum dipanggil untuk menghadap ke penghulu, padahal sudah terdengar bahwa pihak mempelai pria sudah datang. Vanya mulai merasa khawatir menghadapi pernikahannya. sampai seseorang datang ke kamarnya.
"Nya, lo nggak usah turun, udah diem aja di sini pokoknya, ya?" ucap Thea sepupu dari Vanya.
"Kenapa, The?" Vanya menatap bingung ke arah sepupunya itu.
Wanita dengan kebaya biru itu sesekali menengok ke belakang. "Udah pokoknya lo diem di sini." Thea memegang bahu Vanya agar tetap duduk di tempatnya.
Vanya yang makin penasaran pun akhirnya menepis tangan Thea dan beranjak dari duduknya. Baru saja wanita bergaun pengantin itu akan membuka pintu, terdengar suara ribut dari luar.
"Ini beneran pernikahan mereka batal ya?" Terdengar suara seorang perempuan.
"Iyalah udah siang gini mempelai prianya nggak datang juga," sahut suara lainnya.
"Padahal kalau di cerita novel biasanya diganti tuh sama saudaranya." Kali ini terdengar kekehan dari mereka.
"Yakali calon suaminya kan cuma punya saudara perempuan."
Vanya terdiam antara senang dan sedih mendengar ocehan para perempuan tadi. Senang karena ia tak jadi menikah dengan pria yang tak ia sukai, sedih karena bagaimanapun hal ini tentu saja telah mencoreng nama baik keluarganya.
Pesta pernikahan yang sudah dipersiapkan sang papi dengan megah ini, berakhir begitu saja. Ada rasa sesak di dadanya. Vanya pun terduduk di depan pintu dengan wajah menunduk. Bukan karena pengkhianatan yang dilakukan oleh calon suaminya, tetapi lebih pada perasaan orang tuanya.
Hari yang sudah sangat siang ini, membuat para tamu makin banyak dan makin banyak pula yang tahu tentang kegagalan pernikahan ini.
Hanan dan Ehsan sebagai orang tua dari kedua mempelai akhirnya benar-benar mengumumkan tentang pembatalan pernikahan putra-putri mereka.
"Kami mohon maaf atas kejadian tidak menyenangkan ini. Namun, pernikahan putra-putri kami akan diundur pada waktu lain. Terima kasih." Ehsan menahan sesak di dadanya saat mengumumkan berita yang sangat buruk ini.
Para tamu yang sudah hadir pun satu per satu mulai meninggalkan kediaman Pradipta. Ehsan dan Hanan kembali ke dalam dan duduk di ruang tamu. Keluarga Ikram memang hadir, tetapi tidak dengan Ikram. Pria itu sudah menghilang sejak semalam.
Awalnya Hanan dan sang istri, Manda mengira jika putra bungsunya itu hanya pergi untuk merayakan pesta melepas masa lajang bersama teman-temannya, tetapi sampai pagi menjelang pria itu tak kunjung kembali dan sulit sekali dihubungi karena ponselnya juga mati.
Ayudia dan Manda langsung menuju ke kamar Vanya. Wanita paruh baya itu takut putri tunggalnya terpukul dengan kejadian ini. Saat kedua wanita itu sampai di kamar putrinya. Terlihat Vanya sedang duduk di lantai sambil kedua tangannya bertumpu pada lututnya yang ditekuk. Wanita bergaun pengantin itu menelungkupkan wajahnya di kedua tangannya.
"Vanya, ini Mami, Sayang." Ayudia langsung memeluk tubuh putrinya. Sementara Manda, mami dari Ikram juga ikut duduk di hadapan calon menantunya.
Namun, tanpa diduga Vanya malah tersenyum tanpa air mata sedikit pun di wajahnya. "Vanya?"
"Vanya senang Mas Ikram nggak dateng, Mi. Vanya tahu dia nggak akan datang." Wanita cantik itu berkata tanpa beban.
"Vanya, apa maksud kamu?" Ayudia mengerutkan keningnya.
"Mas Ikram nggak cinta sama Vanya, Mi. Vanya juga sama." Wanita yang masih dengan riasan pengantin itu terus berceloteh.
"Astagfirullah, Vanya. Kamu sadar nggak sih apa yang kamu katakan?" Ayudia mengguncang bahu putrinya.
"Mas Ikram bilang akan kasih hadiah pernikahan buat Vanya, Mi." Vanya masih tetap fokus pada maminya tanpa melihat ke arah Manda mami dari Ikram.
"Hadiah macam apa yang mencoreng nama baik keluarga kita, Vanya?" Ayudia kini mulai naik pitam.
"Yang penting kan Vanya nggak jadi nikah sama dia, Mi."
"Apa kamu bilang?" Tiba-tiba Ehsan datang dari arah pintu dan tanpa diduga langsung menampar wajah mulus putrinya.
"Pi!" Ayudia tersentak saat melihat putrinya tersungkur ke lantai.
"Kita sedang menanggung malu akibat kegagalan ini, dan dia dengan entengnya bilang kalau yang penting dia nggak jadi nikah? Mikir!" Ehsan benar-benar sudah tersulut emosi.
"Pernikahan ini juga bukan kemauan Vanya, Pi. Harusnya Mas Ikram yang Papi salahin bukan Vanya." Gadis itu mulai berteriak histeris dengan air mata yang mulai membasahi pipinya.
"Diam kamu!" Ehsan sudah kembali mengangkat satu tangannya, tetapi ditahan oleh sang istri. "Sudah, Pi."
"Anak kita cuma satu, tetapi sudah bikin malu keluarga. Apalagi yang bisa diharapkan dari dia, Mi."
"Papi! Jangan bicara seperti itu. Semua ini bukan sepenuhnya kesalahan Vanya, tapi Ikram juga." Ayudia juga sudah mulai tersulut emosi, bagaimana pun Vanya adalah putri tunggal mereka.
"Papi jahat!" Vanya makin histeris.
Bersambung
Happy Reading
Hai-hai akoh balik lagi dengan cerita balu ya bestie. Awalnya aku mau lanjutin Bang Kaivan, tapi nggak dapat ilham mulu ya ampun maafkan akoh.
Jan lupa gerakin jempolnya ya buat like, komen sama tap lovenya juga ya.
Timamakasih.
Malam pun tiba, setelah keluarga Ikram pulang dan berjanji besok akan kembali untuk membahas masalah ini lagi. Namun, keributan di rumah itu masih terus berlanjut. Karena Vanya adalah anak tunggal dan tentu saja dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Sehingga gadis itu memiliki sikap yang keras kepala.
Pertengkaran antara anak dan ayah itu terus berlanjut, sampai akhirnya sebuah kalimat kasar benar-benar keluar dari mulut pria paruh baya itu.
"Pergi kamu dari sini! Mulai saat ini kamu bukan lagi bagian dari Pradipta!"
"Papi!" Ayudia menjerit saat mendengar ucapan suaminya.
"Oke, Vanya akan pergi dari sini dan tak akan pernah kembali." Vanya berdiri dan berbalik untuk membereskan pakaiannya.
"Nya, lo jangan gitu Om Ehsan cuma lagi emosi," bujuk Thea yang masih berada di rumah itu dan tentu saja menyaksikan semuanya. Sementara itu, Ayudia menghubungi Manda saat melihat perdebatan putrinya.
"Terima kasih, Mbak Manda atas semuanya, selain mencoreng nama baik keluarga kami, kalian juga telah berhasil merusak hubungan antara anak dan ayahnya." Ayudia berucap sinis pada Manda yang saat ini hanya terdengar terisak lewat sambungan telepon.
"Maafkan kami, Mbak Ayu. Kami akan berusaha mencari Ikram dan menebus semuanya." Manda menjawab dengan suara tersekat di tenggorokan.
"Kata maaf tidak akan bisa mengembalikan semua ini ke keadaan semula, Mbak." Ayudia mulai sedikit histeris.
"Maaf." Manda makin terisak dan suaranya pun sangat pelan.
Ayudia pun kemudian menutup sambungan teleponnya.
Vanya yang sudah berganti pakaian langsung menarik kopernya, tanpa memedulikan sang mami.
"Vanya, jangan tinggalin Mami, Sayang!" Ayudia menarik tangan putrinya agar tak pergi.
"Papi udah nggak mau ngakuin Vanya lagi, Mi." Gadis yang memakai kaus dan celana jeans itu terus menarik kopernya.
Vanya baru saja akan menggunakan mobilnya, tetapi tiba-tiba suara bariton yang sejak tadi terus memusuhinya itu berseru, "Jangan pernah menggunakan fasilitas yang Papi berikan, termasuk mobil dan juga credit card kamu!" Pria paruh baya itu berkata dengan sinis.
"Mas Ehsan! Vanya itu anak kita, kenapa kamu begitu kejam?" bentak Ayudia pada suaminya.
Namun, pria dengan kumis tipis itu tak menghiraukan ucapan sang istri. Pria itu tetap dengan pendiriannya.
"Oke, mulai saat ini Vanya bukan anak kalian lagi." Vanya membanting pintu mobilnya dan berjalan ke arah sang papi. Lalu ia mengeluarkan ponsel dan dompetnya, lalu mengeluarkan credit cardnya.
"Terima kasih sudah menjagaku selama ini, Tuan Pradipta." Vanya memberikan semua barang pemberian papinya.
"Vanya, kamu mau ke mana, Nak? Ini udah malam, kita masuk ya, Sayang." Ayudia mencoba membujuk putrinya.
"Biarkan saja, Mi. Papi yakin besok juga dia akan pulang," timpal Ehsan yang tetap melipat kedua tangannya di depan dada. Setelah itu, pria paruh baya itu pun kembali masuk ke rumahnya dan membanting pintu.
"Vanya, Mami mohon jangan kaya gini, ayo masuk, Nak!"
"Nggak, Mi. Papi udah benar-benar ngusir aku." Vanya mencoba menahan tangisnya.
"Besok aja, ini udah malam, Sayang. Mami khawatir." Wanita paruh baya itu benar-benar sudah kehabisan cara membujuk putrinya.
"Mami, jangan ngada-ngada deh masa kabur diundur sih, cukup nikah aja yang gagal, Mi." Vanya menjawab sambil terkekeh.
Ayudia yang menangis, jadi mencubit pipi putrinya gemas. "Kamu ada uang nggak?" Vanya menggeleng dan tanpa diduga, Ayudia memberikan kartu ATM-nya. "Pinnya tanggal lahir kamu."
Akhirnya Vanya pun pergi meninggalkan rumah yang selama 22 tahun ini ia tempati.
Vanya tak menyangka kemarahan sang papi benar-benar membuatnya terusir dari rumah. Walaupun sang mami sudah mencegahnya, tetapi kemarahan pria paruh baya itu sudah mencapai puncaknya.
Wanita itu kini sudah berada dalam taxi. Namun, dia bingung harus pergi ke mana. Sampai akhirnya ia berhenti di sebuah taman kota. Sebenarnya bisa saja ia menyewa sebuah kamar di hotel dengan uang yang ada dalam ATM sang mami. Namun, ia berpikir bahwa ia harus mulai berhemat saat ini.
Tidak ada ponsel untuk menghubungi sahabatnya, akhirnya ia pun hanya duduk dengan memeluk kopernya. Bahunya mulai naik turun, wanita itu kini menangis. Papi yang begitu menyayanginya dengan tega mengusirnya karena pria yang berstatus sebagai calon suaminya.Pria bernama Ikram Pradana itu telah membuat hidup Vanya berubah 180 derajat. Malam ini yang seharusnya menjadi malam pertama pernikahan mereka, justru menjadi petaka untuk Vanya yang terusir begitu saja karena kesalahan Ikram.
"Aku, Vanya Anindira akan buktikan bahwa aku bisa mandiri walau sudah terhapus dari kartu keluarga Pradipta," tekad Vanya sambil mengusap kedua pipinya yang basah.
Malam semain larut dan asa kantuk pun mulai menyergapnya, tetapi saat akan terlelap perutnya juga yang sejak siang belum terisi makanan ikut protes. Akhirnya, wanita itu pun beranjak dari duduknya dan berniat ke ATM terdekat untuk mengambil beberapa jumlah uang.
ATM terdekat ternyata memang tak jauh dari taman yang ditempati oleh Vanya. Akhirnya wanita itu pun mengambil uang dari sana sekitar tiga juta rupiah. "Tabungan mami ternyata sebanyak ini, Vanya minjem doang ya, mi. Nanti kalau udah sukses Vanya ganti." Wanita yang kini menggunakan sweater putih itu bergumam.
Wanita itu kemudian membeli makanan di sebuah minimarkt yang selalu buka 24 jam. Vanya mebeli semua makanan kesuakaannya dan juga membeli beberapa kebutuhan lainnya, hingga total belanja wanita itu mencapai satu juta rupiah. Anak orang kaya emang kalau jajan nggak ada lawan.
Saat keluar dari mini market itu, Vanya membawa beberapa barangnya dalam kantong belanja.
"Duh, kebanyakan mau ditaro di mana coba?" Vanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Aku nginep di hotel terdekat aja dulu kali ya," gumamnya.
Keputusan itu pun akhirnya Vanya ambil dan dia berjalan untuk mencari hotel terdekat. Sebenarnya ia bisa menggunakan taxi, tetapi wanita itu ingat kalau di dekat taman ini ada sebuah hotel, wlaupun bukan bintang lima, tetapi terpaksa Vanya harus menginap di sana.
Tak berselang lama, wanita cantik itu pun sampai ke Hotel Prima. Vanya kemudian menuju resepsionis dan memesan sebuah kamar. Untung saja masih tersisa satu. Akhirnya, Vanya mendapatkan kunci dan bisa tidur dengan nyenyak malam ini.
Berada di lantai atas membuat Vanya bisa menikmati pemandangan kota pada malam hari. Pikirannya masih saja kalut, mengingat kedua orang tuanya. Tidak ada ponsel membuat Vanya ingin membeli benda itu.
"Ah, besok aku beli ponsel baru deh, nggak apa-apa kan ada uang dari mami." Vanya mulai merebahkan tubuhnya.
Sementara itu di tempat lain, Ayudia dan Ehsan masih ady\]u mulut tentang putri mereka.
"Yang salah itu bukan putri kita, Mas, kenapa kamu dengan tega mengusir dia?" Ayudia berucap sambil terus terisak.
"Tapi dia juga sudah menentang aku sebagi papinya." Ehsan tetap dengan sikap keras kepalanya.
"Seharusnya kita menjaga mental anak kita yang baru saja gagal menikah karena calon suaminya yang tidak bertanggung jawab, Mas." Ayudia mengusap pipinya yang basah dan beranj dari duduknya.
"Kamu mau ke mana?"
Dua minggu sebelumnya Vanya baru saja akan pergi bersama teman-temannya. Namun dicegah oleh Ehsan sang papi karena akan ada tamu yang datang siang ini.
"Kenapa Vanya harus hadir sih, Pi. Kan tamunya Papi," ucap gadis cantik itu dengan manja seperti biasa.
"Kali ini tamunya spesial, pokoknya bilang sama teman-teman kamu, hari ini kamu absen oke," balas sang papi sambil mengusak rambut putrinya yang sudah rapi.
"Mami." Vanya kini mengadu pada maminya.
"Udah kali ini aja, lagian dari kemarin-kemarin juga kamu udah sering main, udah gede juga," gerutu Ayudia.
Vanya pun cemberut dan menghentakkan kakinya kesal, lalu kembali ke kamarnya. Gadis yang sudah cantik dengan outfitnya itu pun mengambil ponsel keluaran terbarunya dan menghubungi sahabatnya.
"Maaf gue nggak bisa ikut hari ini, Fin," ucap Vanya lewat sambungan teleponnya.
"Kenapa sih lo, tumben banget?" jawab Fina dari seberang sana.
"Ada acara keluarga dadakan, udah pokoknya kali ini gue nggak bisa hadir, salam buat anak-anak dari gue," pungkas Vanya kemudian menutup sambungan teleponnya.
Wanita itu masih tetap merebahkan tubuhnya di atas ranjang king sizenya. "Awas aja kalau mau jodoh-jodohin aku lagi, aku nggak mau pokoknya."
Vanya memang baru saja menyelesaikan kuliahnya beberapa bulan lalu. Namun, anak manja itu masih saja belum memikirkan masa depannya. Ia hanya sibuk bermain bersama teman-temannya.
Orang tuanya juga sepertinya masih menganggap hal yang wajar apalagi dengan harta mereka yang berlimpah. Terlalu dimanjakan membuat Vanya menjadi anak yang keras kepala dan egois.
Waktu kedatangan tamu yang dianggap spesial itu pun datang. Ternyata mereka adalah Hanan Pradana salah satu pengusaha sukses di Indonesia. Sahabat dekat dari Ehsan Pradipta. Mereka datang bersama kedua anaknya.
Anak sulung dari Hanan dan Manda adalah Tania Putri Pradana dan putra keduanya adalah Ikram Pradana. Tania baru saja menikah sekitar tiga bulan yang lalu, sementara Ikram meneruskan salah satu cabang perusahaan milik Hanan.
Ehsan menyambut mereka dengan bahagia. Ayudia juga berlaku hal yang sama, tetapi tidak dengan Vanya.
"Vanya kenalin ini Om Hanan sama Tante Manda," ucap Ayudia pada putri tunggalnya.
"Cantiknya, sini duduk sama Tante." Manda menepuk sofa kosong di sebelahnya.
Vanya pun mendekat dan duduk di samping wanita paruh baya yang tetap terlihat cantik itu. Namun, saat melihat ke arah lain, tatapan seorang pria yang disebut sebagai putra bungsu dari keluarga Hanan itu membuat Vanya mengerutkan keningnya.
"Kalau suka bilang ngapain liatin aku kaya gitu," gumamnya pelan.
"Kenapa, Sayang?" tanya Manda.
"Eh, nggak apa-apa kok, Tante."
Mereka pun kembali berbincang sampai akhirnya mereka membahas inti permasalahannya.
"Sebenarnya kami ke sini untuk melamar putri kalian untuk putra kami, Ikram." Hanan berhenti sejenak untuk menarik nafasnya.
"Maksudnya?" Ehsan sepertinya belum mengerti dengan maksud dari sahabatnya itu.
Hanan mencoba untuk menjelaskan kembali maksudnya yang memang terkesan begitu tergesa-gesa. "Maaf, Ehsan sebenarnya ... ayahku sedang sakit dan beliau meminta agar putraku, Ikram segera menikah ...."
"Lalu?" Ayudia mulai menimpali.
"Aya meminta agar Ikram menikah dengan putri kalian, hanya itu yang beliau minta." Akhirnya Hanan menyelesaikan perkataannya.
"Kenapa mendadak begini? Kalau aku bagaimana Vanya saja, dia sudah besar dan sudah punya pilihan sendiri." Ehsan menjawab dengan bijak dan tentu saja membuat Vanya sangat bahagia.
"Tolong bantu aku, Ehsan. Ikram juga sudah setuju dengan keputusan ini." Hanan membujuk agar Ehsan menyetujui rencananya.
"Memangnya Nak Ikram belum punya pacar?" tanya Ayudia yang merasa berat untuk melepas putri kesayangannya.
"Jawab dong, Kram," ucap Tania sang kakak yang duduk tepat di sampingnya.
"Belum, Tante." Ikram menjawab dengan cepat.
"Takutnya Nak Ikram udah punya pacar, terus nanti nyakitin anak kita ya kan, Pi." Ayudia menatap suaminya.
"Vanya itu anak tunggal kami, hanya dia yang kami punya," imbuhnya.
Hanan dan Manda mengangguk mengerti. "Bagaimana kalau besok Vanya ikut Ikram ke rumah sakit untuk bertemu dengan kakek?" usul Hanan akhirnya.
Vanya hanya menatap kedua orang tuanya tanpa berucap sepatah kata pun. Wanita itu terpaku dengan apa yang didengarnya. Sampai akhirnya, kedua pria paruh baya utu pun memutuskan untuk kembali berunding setelah Vanya dan Ikram bertemu dengan kakek.
Setelah pembahasan mereka selesai, Ayudia pun mengajak tamunya untuk menikmati makanan yang sudah dihidangkan. Ikram dan Vanya duduk bersebelahan, mereka terlihat tak acuh. Vanya sibuk dengan makanannya begitu juga Ikram.
Keduanya tidak terlihat ada niat untuk saling menyapa. Setelah makan siang mereka selesai. Ehsan menyuruh Vanya untuk ke taman belakang bersama Ikram. Vanya sebagai anak yang baik hanya menuruti perintah orang tuanya.
Mereka berdua kini berada di taman belakang dengan kolam ikan yang cukup besar. Vanya memberi makan ikan-ikan besar itu sambil sesekali mengajak main mereka.
"Siapa nama lo?" Tiba-tiba Ikram bertanya dari belakang dengan tangan dilipat di depan dada.
"Apa? Lo nanya?" Vanya menoleh sekilas sambil kembali memberi makan ikan-ikannya.
"Nggak usah sok cantik, lo bukan tipe gue," sinis Ikram.
Vanya menyimpan kotak makanan ikan tadi di tempatnya, lalu berkacak pinggang sambil menatap menantang ke arah pria yang jauh lebih tinggi darinya.
"Terserah gue, nggak sok cantik juga gue udah cantik dari sononya, masalah buat lo?"
"Hah, nggak masalah sih, tapi segimanapun lo ngerayu gue, lo tetep bukan tipe gue," ucap Ikram sambil terkekeh.
"Siapa yang maksa buat jodohin gue sama lo? Bokap lo, kan?" Vanya kini melipat kedua tangannya di depan dada.
Ikram memalingkan wajahnya dari Vanya, kemudian melihat ikan berwarna-warni yang saling berebut makanan. Vanya pun akhirnya terdiam dan kembali menatap ikan-ikannya.
Tak berselang lama, seseorang memanggil mereka ke dalam. Vanya pun langsung pergi meninggalkan Ikram yang tampak masih kesal.
Saat keduanya sampai di ruang keluarga, Hanan langsung mengajak Ikram untuk pulang, karena mereka harus segera ke rumah sakit.
"Besok Ikram akan jemput Vanya untuk ketemu kakek Fathan. Om harap Vanya mau ketemu kakek ya?" Hanan mengusap rambut panjang gadis cantik itu.
Vanya hanya diam, tak menjawab maupun mengangguk.
Keesokan harinya, Ikram benar-benar menjemput Vanya untuk bertemu kakek Fathan di rumah sakit. Selama dalam perjalanan, mereka hanya diam. Vanya sibuk dengan ponselnya sementara Ikram sibuk menyetir.
Saat sampai di rumah sakit, Ikram langsung mengajak Vanya ke ruangan sang kakek. Pria itu menarik tangan Vanya agar mengikutinya. "Gue bisa jalan sendiri." Vanya menepis kasar tangan Ikram.
Saat sampai di ruang VIP rumah sakit itu. Pemandangan pertama yang dilihat Vanya adalah beberapa alat kedokteran yang menempel di tubuh rapuh seorang pria tua. Hal itu membuat hatinya tersentuh.
"Kek, Ikram udah ajak ...."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!