Jemari itu gemetar saat melihat dua garis merah yang perlahan muncul di sebuah testpack.
"Dua garis? Itu artinya aku hamil?" Lirih seorang gadis muda yang sedang memegang testpack tersebut.
"Tidak mungkin... Bagaimana ini?" Seketika ia panik menyadari dirinya kini tengah berbadan dua.
"Tenanglah dulu." Ucap seorang pemuda yang berada di sampingnya.
"Tenang? Bagaimana aku bisa tenang? Apa kau tidak lihat kalau hasilnya positif?" Cecarnya dengan suara bergetar.
"Orang tua kita pasti akan marah dan kecewa... Kenapa kita harus melakukan hal itu? Seharusnya kita bisa menahan diri..." Sesalnya. Air matanya tak terbendung, dalam sekejap gadis muda itu sudah terisak. Pemuda yang merupakan kekasihnya langsung memeluknya.
"Semua akan baik-baik saja. Aku akan bertanggung jawab. Kita akan menikah." Pemuda itu berusaha menenangkan sang kekasih yang masih terisak.
"Bagaimana dengan orang tua kita? Apa mereka akan mengizinkan kita untuk menikah?" Terlihat raut ketakutan di wajah sang gadis.
* * * * *
Namaku Arya Firaz, usiaku kini menginjak 26 tahun. Diriku bisa di bilang cukup sukses dalam karir. Aku memiliki coffee shop dan juga rumah makan hasil dari kerja sama dengan beberapa temanku. Walaupun tempatnya tidak mewah, tapi aku sudah cukup bangga.
Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku bernama Andika Farzan. Usianya masih 18 tahun, usia kami terpaut cukup jauh. Ia baru saja lulus SMA. Aku juga memiliki seorang ibu yang sangat ku sayangi, sedangkan ayahku sudah meninggal saat aku tamat sekolah menengah atas.
Sejak saat itu, aku yang menjadi tulang punggung untuk keluargaku. Ayah memang mendapat pesangon dari tempatnya bekerja dulu. Tapi itu di pakai untuk biaya sekolah adikku dan juga makan kami sehari-hari saat penghasilanku belum mencukupi.
Aku kuliah sambil bekerja. Bekerja apa saja, hingga akhirnya aku mempunyai cukup modal dan bekerjasama dengan teman-temanku untuk membuka usaha sendiri.
Memang tidak mudah, tapi dengan kesabaran dan kesungguhan akhirnya setelah beberapa tahun usaha kami berhasil dan memiliki beberapa cabang ibu kota. Dan setelah beberapa waktu, kami memutuskan untuk membagi dengan adil hasil kerja keras kami.
Aku mendapatkan satu coffe shop dan juga satu rumah makan, yang lain pun sama. Kami sekarang mengelola masing-masing usaha kami. Tapi walaupun begitu, kami tetap menjalin silaturahmi dengan baik.
Beralih ke soal asmara, aku memiliki seorang kekasih bernama Megalicha Audrey. Dia cinta pertamaku. Mega wanita yang sangat cantik, tubuhnya tinggi semampai dan proporsional. Dia berprofesi sebagai seorang model dan saat ini sedang berada di Paris untuk meniti karirnya.
Kami mulai menjalin kasih saat kami masih kuliah. Dari dulu Mega memang bercita-cita menjadi seorang model terkenal, dan begitu ada kesempatan langsung saja ia ambil. Ketika ada agency yang menawarkan untuk berkarir di luar negeri.
Mau tidak mau aku harus merelakan kepergiannya, padahal aku ingin dia tetap di Indonesia dan merintis usaha bersamaku saja. Tapi aku tak ingin egois, aku juga ingin Mega dapat meraih cita-citanya.
"Arya, kau jangan sedih. Ini hanya sementara. Setelah aku menjadi seorang model terkenal, aku akan kembali padamu. Aku hanya ingin merasakan bagaimana rasanya berjalan di catwalk dengan jutaan mata yang memandang kagum ke arahku." Ucap Mega kala itu. Sebelum dirinya berangkat ke Paris untuk meniti karirnya.
"Kau percaya padaku kan? Aku akan selalu menjaga cinta kita. Aku tidak akan mengkhianatimu." Janji Mega padaku. Sebenarnya yang ku takutkan bukan itu. Karena aku tahu Mega mencintaiku, dan aku juga begitu mencintainya. Yang aku takutkan Mega jadi lupa diri jika dirinya sudah terkenal nanti. Tapi aku tak punya pilihan lain, selain mendukung keputusannya.
"Aku mencintaimu dan aku akan selalu mendukung apapun keputusanmu selama itu adalah yang terbaik. Aku akan menunggumu di sini." Jawabku.
Namun setelah beberapa tahun, Mega tak kunjung kembali. Walaupun komunikasi kami tetap berjalan lancar. Hingga akhirnya aku berencana untuk membuat kejutan untuknya. Sebuah kejutan yang telah ku rencanakan dengan begitu matang selama beberapa bulan belakangan ini.
Aku datang ke Paris dan berniat melamarnya di sana, di depan menara Eiffel. Tempat yang terkenal dengan keromantisannya. Dan juga, aku akan segera menikahinya agar Mega tidak perlu pergi lagi ke luar negeri.
Namun apa yang ku dapat setelah sampai di sana?
* * *
Paris, Perancis
Seorang pria berpostur tinggi dengan mengenakan long coat hitam nampak berdiri di depan pintu sebuah apartemen bercat putih. Udara di Paris terasa begitu dingin baginya, padahal sekarang bukan musim dingin. Inilah yang paling tidak di sukainya, udara dingin. Namun demi gadis yang di cintainya ia rela pergi ke negara ini.
Ting Tong.
Arya menekan bel pintu apartemen Mega. Senyum tak lepas dari wajah tampannya sejak tadi. Sambil menggesekan kedua telapak tangannya yang terasa dingin, ia membayangkan bagaimana ekspresi kekasihnya nanti saat melihat dirinya yang tiba-tiba ada di sana. Mega pasti akan sangat terkejut sekaligus senang.
Dirinya juga sudah menyiapkan sebuket bunga mawar putih kesukaan Mega, dan juga sebuah cincin yang ia simpan di saku kemejanya. Arya memang mengetahui tempat tinggal Mega selama di Paris, walau ia belum pernah ke sana sebelumnya. Karena Mega yang dulu memberikan alamatnya.
Namun setelah beberapa saat menunggu, pintu itu tak kunjung terbuka.
Apa Mega tak ada di apartemennya? Atau dia sedang bekerja? Arya bertanya-tanya dalam hati.
Pria itu melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tapi ini bukan jam kerja Mega, fikirnya.
Arya membuang nafas berat. Sudah berkali-kali ia menekan bel itu, tapi tak ada respon apapun. Senyum pun surut dari wajahnya. Pemuda itu memilih untuk pergi dari sana, kemudian menuruni lift dan melangkah untuk menuju lobby. Lebih baik menunggu di sana saja, mungkin Mega sedang keluar. Arya juga sengaja tak menghubungi Mega karena niatnya untuk memberi kejutan.
Namun langkahnya mendadak terhenti, saat sepasang netranya menangkap bayangan seseorang yang sangat di kenalnya. Seorang gadis berpostur tinggi dengan rambut panjang cokelat dan di biarkan terurai.
Mega!
Tapi kenapa gadis itu berada dalam dekapan seorang pria asing? Posisi mereka berdua bersandar di sisi dinding dengan begitu intim. Dan nampaknya tidak ada yang peduli dengan keberadaan mereka, selain Arya.
Arya perlahan melangkah mendekat, ia bisa mendengar percakapan kedua orang itu. Untungnya mereka bicara menggunakan bahasa Inggris, bukan bahasa Perancis. Jadi Arya bisa mengerti apa yang mereka katakan.
"Audrey, kau sangat cantik. Aku benar-benar mengagumi kecantikanmu. Kau wanita tercantik yang pernah ku kenal." Ujar pria bule itu, bisa di tebak pria itu umurnya jauh di atas Mega. Di lihat dari beberapa kerutan yang nampak di wajahnya.
Di Paris Mega memang menggunakan nama belakangnya, Audrey sebagai nama panggungnya.
"Benarkah Thomas? Kau hanya merayuku kan?" Jawab Mega dengan nada manjanya.
"No, Dear. Kau memang cantik. Aku sungguh tergila-gila padamu." Ucap Thomas sambil meremas pinggang ramping Mega yang nampak terbuka karena pakaian yang di kenakannya terbilang cukup seksi dan terbuka di bagian pinggangnya.
"Kalau begitu jadikan aku model utama dalam agency mu. Selama ini aku hanya selalu menjadi pendamping saja." Timpal Mega, bibirnya nampak mengerucut.
"Itu mudah, asal kau memberikan apa yang ku inginkan." Ucap Thomas dengan senyum seringainya. Tangan besarnya meraih wajah wanita di hadapannya.
"Aku tahu apa yang kau inginkan, Thomas. Tenang saja, aku sanggup melayani seberapa banyak yang kau inginkan. Asal kau menepati janjimu." Kata Mega dengan nada sensualnya. Jari telunjuk Mega menyusuri dada Thomas yang terbuka karena kancing kemejanya tak terpasang.
Thomas menangkap jari nakal itu kemudian menggigitnya pelan. Sementara Arya masih memperhatikan keduanya dari jarak yang cukup aman.
"Apapun untukmu, Dear." Thomas mendekatkan wajahnya, begitu juga dengan Mega. Keduanya saling menautkan bibir satu sama lain dengan begitu liarnya. Sontak sepasang mata Arya terbelalak melihat langsung adegan itu, tubuhnya mematung.
"Kita lanjutkan di kamarmu." Ucap Thomas setelah ciuman mereka berdua yang cukup lama terlepas. Ia mengusap bibir Mega yang nampak basah karena ulahnya.
"Tentu." Jawab Mega dengan senyum menantang. Ia menggandeng lengan Thomas, dan pergi dari sana. Dengan cepat Arya menutupi wajahnya dengan buket bunga saat kedua orang itu melewatinya. Hingga Mega tak menyadari keberadaan kekasihnya di sana.
Sepasang netra itu menatap punggung mereka berdua berjalan yang menjauh. Jemari Arya mengepal. Rahangnya mengeras, nafasnya memburu. Matanya memerah menahan amarah. Ia tidak menyangka sama sekali jika wanita yang di cintainya itu telah mengkhianati dirinya.
Sejak kapan Mega jadi wanita murahan seperti itu? Rela menjual tubuhnya hanya demi karir modelnya?
Karena setahu Arya, walaupun Mega seorang model dan berpenampilan cukup seksi tapi ia bukan gadis yang genit dan mudah dekat dengan pria manapun. Itulah yang membuat Arya jatuh cinta padanya. Namun sepertinya, ambisinya untuk menjadi seorang model terkenal telah menutup matanya dan membuat Mega rela melakukan apapun.
Dan selama mereka berpacaran, Arya juga tak pernah menyentuh wanita itu lebih dari sekedar berpegangan tangan saja. Walaupun sudah bertahun-tahun menjalin hubungan tapi Arya tak berani berbuat lebih. Karena Arya sangat menghargai wanita. Sebagaimana pesan Ibunya. Dan lagipula, bukankah sebaiknya melakukan hal seperti itu jika hubungan mereka sudah terikat janji suci?
Tapi pria bule itu berani sekali mencium Mega dan Mega juga membiarkan bahkan membalasnya. Mereka mungkin akan melakukan lebih dari itu di kamar nanti.
Arya yang sudah jauh-jauh datang ke Paris untuk bertemu dengan Mega karena ia begitu merindukan kekasihnya dan berniat melamarnya itu di buat kecewa. Hatinya patah setelah mendengar dan melihat langsung adegan mesra itu.
Untung saja mereka tidak bertemu, dan Arya belum melamarnya. Kalau tidak Arya pasti akan menyesal telah menikah dengan wanita murahan seperti Mega.
Di lemparnya buket bunga mawar putih itu ke lantai. Kakinya melangkah meninggalkan tempat itu, dan juga menghapus nama Mega dalam hidupnya untuk selama-lamanya.
* * *
Langit biru terlihat begitu terang, awan putih menari berarakan di atas sana. Cuaca di kota itu cukup cerah, namun tetap saja terasa dingin bagi pemuda itu.
Arya memandang hampa pada menara yang tak jauh dari hadapannya. Sebelum kembali ke tanah airnya, Arya memutuskan untuk singgah dulu ke tempat yang begitu terkenal itu. Menara itu nampak menjulang tinggi, di sekitarnya banyak orang-orang berlalu lalang. Tempat yang lumayan ramai, tapi tidak bagi Arya.
Harusnya sekarang ia sedang melamar pujaan hatinya di sini, tapi... Mungkin Mega masih bersenang-senang dengan pria asing itu. Arya hanya bisa tersenyum getir, apalagi mengingat bagaimana keduanya berciuman dengan begitu liarnya.
"Kenapa kau malah mengkhianati aku? Padahal selama ini aku begitu setia menunggu kepulanganmu?"
Arya memejamkan matanya. Sakit sekali rasanya hati ini. Penantian dan juga pengorbanannya selama ini hanyalah sia-sia belaka.
Pemuda itu beranjak bangun dari duduknya dan membersihkan long coatnya dari sisa-sisa daun kering yang menempel. Ia harus segera kembali ke negaranya, pesawat yang akan mengantarnya pulang akan tinggal landas beberapa jam lagi, tidak mungkin kan pesawat yang akan menunggu dirinya.
Kota Paris yang terkenal dengan keromantisannya justru malah memberikan Arya kenangan pahit.
Cinta pertama yang seharusnya menjadi cinta abadinya, malah menorehkan luka untuknya.
* * *
Jakarta, Indonesia.
Sepasang netra itu menatap kosong langit-langit kamar yang putih bersih, fikirannya melayang mengingat kejadian dua hari yang lalu. Di mana dirinya yang hendak memberikan kejutan untuk sang kekasih, justru malah dia yang mendapat kejutan.
Sebenarnya Arya sudah beberapa kali mengajak Mega untuk menikah, tapi Mega selalu menolak dengan alasan ingin meniti karier dulu sebagai seorang model internasional. Dan itu membuat Arya mencoba memahami dan tetap bertahan untuk menunggu gadisnya itu.
Walaupun sakit hati, tapi Arya bersyukur setidaknya ia sudah tahu bagaimana aslinya Mega. Wanita yang sudah enam tahun menjalin hubungan dengannya.
Dering telepon menyadarkannya dari lamunan, di raihnya benda pipih itu. Tertera nama Mega di sana. Arya membuang nafas berat dan langsung mematikan panggilan itu.
Mega memang tak mengetahui kalau Arya datang ke Paris, bahkan melihatnya dengan pria lain. Maka dari itu ia masih menghubungi Arya, dan menganggap hubungannya dengan Arya masih baik-baik saja.
Suara pesan masuk terdengar beruntun. Arya kembali meraih ponselnya. Pesan masuk dari Mega nampak berbaris di layar ponsel itu, dengan malas Arya membacanya.
"Sayang, kenapa teleponku tidak diangkat?"
"Sayang, kau sedang apa?"
"Sayang?"
"Arya, ada apa denganmu? Dari kemarin aku telepon tapi kau tidak pernah mengangkatnya? Pesanku juga tak pernah di balas?"
Arya membuang nafas berat, memilih untuk mengabaikan pesan-pesan itu. Dan meletakkan kembali ponselnya di atas nakas.
Sayang? Mega masih memanggilnya 'Sayang' dan itu terdengar begitu menyebalkan untuk Arya. Memang sebelumnya hampir setiap hari mereka selalu bertukar kabar, dan pesan-pesan dengan panggilan mesra selalu Mega kirimkan untuknya. Tapi itu sudah tidak berlaku sekarang.
Hembusan nafas berat itu terdengar, Arya ingin segera mengakhiri hubungannya dengan Mega. Tapi bukan melalui telepon, ia akan menemui Mega secara langsung setelah gadis itu kembali ke Jakarta.
Memutuskan langsung hubungan mereka, dan itu akan lebih baik di bandingkan memutuskan hubungan lewat telepon.
"ANDIKAAA!!! KAU BENAR-BENAR ANAK KURANG AJAR!!!"
Arya terlonjak kaget mendengar teriakan dari balik pintu kamarnya. Segera ia bangkit, dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Mata Arya melebar melihat Andika, adiknya sedang di pukuli oleh sang mama. Dengan cepat ia menuruni tangga dan menghampiri keduanya.
"Mama, ada apa Ma?" Tanyanya sambil mencoba memegangi Mama Dewi yang memukuli Andika tanpa ampun dengan sandalnya. Sedangkan Andika hanya pasrah menerima pukulan mamanya.
"Mama tenang dulu." Arya memeluk Mama Dewi.
"Arya..." Mama Dewi malah menangis di pelukan anak sulungnya.
"Mama tenang dulu ya." Ujarnya sambil mengusap lembut punggung mamanya.
Mata Arya melirik Andika yang terduduk di lantai dengan wajah yang lebam akibat sabetan sandal mamanya. Baju dan rambutnya juga nampak berantakan. Sudah bisa di pastikan, Mama Dewi benar-benar marah hingga memukuli adiknya seperti itu.
Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mamanya sampai tega memukuli adiknya sampai separahi itu? Karena yang ia tahu, Mama Dewi tidak pernah memukuli anaknya kecuali sudah melakukan kesalahan yang benar-benar fatal.
"Dika.. Dika..." Suara Mama Dewi tersendat-sendat.
"Dika kenapa, Ma?" Tanya Arya, ia benar-benar penasaran apa yang sudah di lakukan adiknya itu.
"Dia sudah menghamili anak orang...." Jawab Mama Dewi yang terdengar begitu lirih.
"Apa?!" Arya tersentak, dan melepaskan pelukannya. Menatap Mama Dewi tak percaya. Sedangkan Mama Dewi hanya mengangguk sambil menangis.
Bagaimana bisa adiknya yang baru berusia delapan belas tahun dan baru lulus SMA melakukan hal memalukan seperti itu?
Arya mengalihkan pandangannya pada Andika yang masih terduduk di lantai. Kedua tangannya meraih kerah baju Andika. Sementara Andika hanya menundukkan kepalanya, tak berani menatap mata kakak lelakinya.
"Apa benar yang di katakan Mama, Dika? Kalau kau menghamili anak orang?" Tanya Arya, sorot matanya terihat begitu menakutkan bagi Andika.
"A.. Aku...." Andika tergagap.
"Jawab Dika!" Bentak Arya.
"Maaf, Kak..." Andika menundukkan kepalanya. Tangan Arya mengepal erat, Andika memejamkan matanya. Antara siap dan takut menerima amarah sang kakak.
BUGH!
Satu bogem mentah mendarat di wajahnya, membuat Andika jatuh tersungkur ke lantai.
"Andika! Kau benar-benar keterlaluan!" Geramnya. Arya kembali meraih kerah baju adiknya. Mama Dewi yang melihat Arya hendak memukul Andika kembali, langsung mencegahnya.
"Arya, tenang dulu." Kini gantian Mama Dewi yang memegangi putranya.
"Bisa-bisanya kau melakukan hal serendah itu?!" Bentak Arya.
"Bukankah Kakak sudah sering bilang padamu, untuk selalu menghargai seorang perempuan? Tapi kenapa kau malah melakukan hal serendah itu?!" Bentak Arya lagi.
"Maaf Kak, kami terbawa suasana. Dan kami melakukannya atas dasar suka sama suka." Walaupun takut, Andika mencoba menjelaskan.
"Apa? Terbawa suasana? Melakukan atas dasar suka sama suka?" Arya melepaskan cengkramannya.
"I... Iya, Kak. Gadis itu pacarku, namanya Intan. Kami melakukan hal itu saat pesta setelah pengumuman kelulusan dan hanya sekali. Kami juga tidak menyangka kalau itu akan membuat Intan hamil." Terang Andika, matanya melirik Arya dan Mamanya singkat, lalu menunduk lagi.
"Pacar?" Ucap Arya dan Mama Dewi bersamaan.
"Bukannya Kakak sudah melarangmu untuk berpacaran?! Kau itu masih delapan belas tahun!" Seru Arya.
"Maaf, Kak." Hanya itu kata yang bisa di ucapkan Andika, Arya mengusap kasar wajahnya.
"Aku akan bertanggung jawab, aku akan menikahinya." Kata Andika dengan yakinnya.
"Nikah? Kau pikir nikah semudah itu? Kau baru lulus SMA, belum bekerja. Mau kau kasih makan apa istri dan anakmu nanti?" Tanya Arya sarkastik.
"Aku kan bisa kerja di rumah makan atau coffe shop milik Kakak." Jawab Andika dengan entengnya.
Mama Dewi dan Arya saling menatap. Begitu mudahnya Andika berucap seperti itu, dia tidak tahu saja bagaimana rumitnya kehidupan berumah tangga apalagi usia mereka masih sangat muda. Ego dan emosi yang masih sama-sama labil.
"Memangnya kau fikir, Kakak mau mempekerjakan orang sepertimu di tempat Kakak?" Arya balik bertanya.
"Tentu saja, karena Kak Arya adalah kakakku. Dan seorang kakak tak mungkin membiarkan adiknya kesusahan." Sahut Andika dengan yakinnya dan Arya hanya bisa menggeleng mendengarnya.
"Mama... Kak Arya... Aku mohon... Aku dan Intan saling mencintai. Aku ingin menikahinya. Aku janji akan menjadi suami dan ayah yang baik." Andika memohon, mengatupkan tangannya sambil berlutut.
"Mama tidak akan mengizinkan kau menikah!" Tegas Mama Dewi, namun Andika tidak menyerah untuk membujuk wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Mama, aku mohon... Kalau aku tidak menikahi Intan, bagaimana dengan anakku nanti? Aku tidak mau Intan melahirkan tanpa suami. Dan apa Mama juga mau, cucu Mama lahir tanpa seorang ayah di sisinya?" Tanya Andika memelas sembari memeluk kaki sang mama.
Sementara Arya diam saja, menatap mama dan adiknya bergantian. Dirinya begitu syok mengetahui tingkah laku adiknya yang sudah kelewat batas. Padahal mereka baru saja lulus SMA tapi sudah berani melakukan hal seperti itu, sementara dirinya yang sudah pacaran selama enam tahun tidak pernah berbuat lebih dari pegangan tangan saja.
Mama Dewi terlihat memijat keningnya. Lalu berucap,
"Mama tidak akan mengizinkan kau menikah, sebelum Arya, kakakmu itu menikah!" Tegas Mama Dewi lagi. Arya tercengang, sepasang netranya melebar mendengar ucapan mamanya.
"Ma, kenapa jadi Arya yang di bawa-bawa?" Arya melayangkan protes. Andika yang membuat masalah, kenapa jadi dirinya yang harus terlibat? Tapi Mama Dewi tidak mengindahkannya.
"Pokoknya Mama tidak mau tahu. Sebelum Arya menikah, jangan harap kau bisa menikahi Intanmu itu!" Seru Mama Dewi, jari telunjuknya menunjuk tepat di depan wajah Andika. Andika menelan salivanya.
Mama Dewi melepaskan pelukan Andika di kakinya, dan berlalu pergi dari sana setelah sebelumnya menatap tajam pada kedua anak laki-lakinya. Meninggalkan mereka berdua yang terpaku di tempatnya.
Ada-ada saja, fikirnya. Kedua putranya benar-benar membuatnya pusing. Kemarin kakaknya yang patah hati karena di khianati oleh kekasihnya padahal sudah hendak melamar. Dan sekarang, adiknya malah menghamili anak orang.
Tapi setidaknya ini bisa menjadi kesempatan yang bagus untuknya. Dengan begini ia bisa memaksa putra pertamanya untuk segera menikah dan itu tidak dengan Mega.
"Kakak harus cepat menikah, kalau tidak aku tak bisa menikahi Intanku." Ujar Andika sambil bangkit dari posisi berlututnya.
"Heh, kau yang buat masalah kenapa jadi aku yang ikut terlibat?" Kesal Arya.
"Karena Kak Arya adalah kakakku, jadi sudah sepantasnya jika seorang kakak terlibat dengan masalah adiknya." Jawab Andika sekenanya. Arya menganga tak percaya mendengar ucapan adiknya. Andika kemudian melenggang dengan santainya meninggalkan sang kakak. Arya mengerjapkan matanya.
"Adikku yang menghamili anak orang, kenapa jadi aku harus ikut menikah juga?" Gumam Arya sambil memijat keningnya.
* * *
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!