"Bisa bicara dengan Bapak Danuarta?" Seseorang berbicara di dalam sambungan telepon sana.
Orang yang dimaksud pun mengangguk, lalu dia menatap sang istri yang saat ini duduk tidak jauh darinya, dengan tatapan bingung penuh tanya.
"Ya, saya sendiri. Dengan siapa saya berbicara?" Pria yang akrab dipanggil Danu itu menjawab.
Namun sosok wanita yang duduk di samping terus mengguncang lengannya, bertanya terus-menerus, siapa orang yang menghubunginya selarut ini dengan raut wajah yang tak biasa.
Herlin tampak ketakutan.
"Jadi begini, Pak Danuarta. Kami dari Polsek Tangerang Selatan, ingin memberitahukan jika putri anda yang bernama Nona Jasmine Kiana Danuarta, kini tengah kami amankan untuk kesekian kalinya, karena kami menemukan Nona Kiana saat dia hendak melakukan balap liar." Jelasnya.
Deg!
Mata Danu membulat seketika, saat mendengar penuturan seseorang dari kantor polisi tersebut.
"Pah? Ada apa?" Herlin bertanya kepada suaminya, tapi Danu mengangkat tangan, seolah memberi isyarat agar istrinya itu diam dan sedikit tenang.
"Apa keadaan putri saya baik-baik saya, Pak?"
"Beruntung kami menemukannya sebelum balapan liar itu benar-benar terjadi. Jadi kami bisa mengamankan nya dengan keadaan sangat baik." Katanya.
Danu menghembuskan nafasnya lenga, dia memejamkan mata, lalu menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa, yang segera saja membuat kepanikan Herlin sang istri meningkat.
"Pah!?" Cicit Herlin.
"Bapak bisa tahan dia saja malam ini. Saya akan menjemput Kiana besok siang, … masukan dia ke sel tahanan, agar dia benar-benar kapok, ini sudah kesekian kalinya saya mendengar kabar jika dia selalu terkena razia." Ujar Danu.
"Tahanan? Sel? Apa putriku terkena masalah, sayang?" Herlin semakin panik.
Danu tidak menjawab, dia masih mendengarkan Polisi berbicara lewat sambungan teleponnya. Mengangguk saat dia paham, menjawab saat dia setuju, dan sambungan telepon pun terputus.
Pria paruh baya itu meletakan ponselnya di atas meja, lalu menoleh dan menatap istrinya yang mulai menangis.
"Anak itu benar-benar. Dia tertangkap lagi!" Danu kesal.
"Razia lagi?" Suaranya melemah.
Danu mengangguk.
"Kurang apa aku ini? Mobil, ATM, dan semua fasilitas yang kita berikan. Tapi tetap saja dia melakukan balapan itu hanya untuk taruhan, yang menjanjikan sedikit uang."
"Lalu bagaimana putriku sekarang?"
"Dia aku biarkan menginap di kantor polisi, setidaknya ada efek jera agar Kiana tidak melakukan itu lagi dan lagi."
Herlin menolak, dia menggelengkan kepala.
"Sayang? Ayo kita jemput Kiana sekarang. Aku tidak bisa membiarkan dia tidur kedinginan disana." Herlin memohon.
Danu bungkam, dia memandang lurus ke arah depan, dimana televisi tengah menyala, dan menyiarkan berita-berita kriminal malam hari.
"Pah!?" Dia sedikit memohon, tapi Danu menggelengkan kepalanya.
"Untuk kali ini tidak, Ma." Danu menolah, dan tentu saja itu membuat istrinya sangat sedih.
"Pah? Tapi kita tidak bisa membiarkan Kiana tidur di sel tahanan. Bagaimana kalau ada nyamuk? Kasurnya kotor? Atau bahkan badannya akan terasa sakit, karena dia tertidur hanya beralaskan tikar atau kasur tipis?"
Danu menatap istrinya dalam diam, mendengarkan setiap rengekan penuh ketakutan, tapi itu tidak akan mampu menggoyahkan keputusannya, dia harus benar-benar tegas kepada putri tunggal mereka yang baru saja beranjak dewasa, jiwa muda terus bergejolak, membuat Kiana sedikit ceroboh dalam segala hal, apalagi dia memiliki sifat keras kepala dan sedikit suka membangkang.
"Putrimu akan baik-baik saja, aku janji. Ini hanyalah pelajaran kecil, agar dia tidak terus melakukan hal buruk itu. Masih beruntung dia ditemukan polisi dalam keadaan baik-baik saja, … bayangkan jika Kiana ditemukan dalam keadaan tak berdaya dan berdarah-darah karena mengalami sebuah kecelakaan akibat tingkah lakunya sendiri." Dia mencoba menjelaskan.
Dan itu dapat membuat Herlin sedikit tenang, setidaknya anak kesayangannya itu kini dalam keadaan baik-baik saja. Meski Kiana pulang dalam keadaan sakit, dia bisa memanggil Dokter untuk merawat pemulihan Kiana agar lebih cepat.
"Tidurlah, ini sudah malam. Papa mau hubungin Denis dulu." Kata Danu yang langsung dijawab anggukan oleh istrinya.
Danu kembali meraih ponsel yang tergeletak diatas meja, mencari nomor salah satu orang kepercayaannya, lalu melakukan sambungan telepon.
"Halo, Pak? Anda butuh sesuatu?"
"Ya, saya minta salah satu anak buat terbaikmu. Datangkan dia besok untuk menjadi pengawal pribadi Kiana, malam ini dia berulah lagi." Danu memijat pelipisnya yang terasa sedikit pening.
"Razia? Clubbing?"
"Tidak, kali ini balap liar." Jelas Danu.
Denis terkekeh di seberang sana.
"Satu cukup? Atau Bapak mau lebih banyak?"
"Satu saja, hanya untuk Bodyguard pribadi Kiana." Jelas Danu.
"Baik, besok pagi saya minta salah satu anak buah terbaik saya datang ke rumah Bapak." Jawabnya.
"Terimakasih Denis. Maaf mengganggu waktu istirahatmu."
"Tidak apa-apa, Pak."
***
Kiana duduk memeluk lutut, menyembunyikan wajah diantaranya, menunggu seseorang datang, dan mengeluarkan dia dari tempat menyeramkan itu.
Ya, rasanya dingin, dan aneh. Walaupun dia sering keluar-masuk kantor polisi karena kasus yang berbeda-beda tapi itu tidak membuat seorang Jasmine Kiana Danuarta terbiasa.
Suara langkah sepatu terdengar, membuat Kiana mengangkat pandangannya.
"Bu? Orang tua saya datang kan?" Kiana bertanya, dengan raut wajah sendu penuh ketakutan.
"Sepertinya orang tuamu akan datang besok pagi, jadi ayo ikut saya." Perempuan berambut pendek nan cantik itu berbicara dengan nada suara yang begitu lembut, namun tetap berwibawa.
Kiana diam.
"Ayo! Tunggu apa lagi?"
"Duh, memangnya saya mau dibawa kemana? Saya nungguin disini sajalah."
"Apa tidak takut sendirian disini? Sementara teman-teman mu sudah dibawa pulang oleh orang tuanya?" Perempuan cantik itu tersenyum.
Mau tidak mau akhirnya Kiana mengikuti perintah polwan cantik tersebut. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti, saat dia hendak dimasukkan kedalam sebuah sel kosong, hanya ada kasur kecil juga bantal disana.
Tidak ada bed cover yang sangat nyaman, tempat tidur besar yang empuk, tidak ada pendingin ruangan, atau apapun semua yang selalu dinikmatinya selama ini.
"Nona Kiana? Mari masuk."
Kiana gelagapan, dia menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mundur beberapa langkah.
"Balap liarnya belum kejadian lho, Bu! Saya masih memanaskan mesin di start. Tapi kenapa saya harus sampai tidur di sel segala?" Dia tersenyum getir, berusaha menutupi ketakutannya.
Iyalah, malu. Udah badung masa sama sel tahanan aja takut.
Setan dalam dirinya berbicara.
"Mau saya ingatkan? Berapa kali kamu masuk dan keluar dari sini? Pertama, kebut-kebutan sampai mengganggu pengendara lain. Kedua, tertangkap di Clubing saat razia. Ketiga, berkendara di bawah pengaruh alkohol. Dan keempat, pelaku balap liar yang sangat meresahkan warga sekitar."
Kiana diam, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Langganan ya, Waa!" Kiana bergumam, dia sedikit memaksakan senyum.
"Ayo masuk, istirahatlah di dalam sampai ada orang yang menebus kamu."
"Kalau nggak ada?"
"Kamu menjadi penghuni resmi sel ini."
Kiana membulatkan mata, lalu menggelengkan kepala.
"Maka dari itu masuklah, biar hukumannya saya ringankan sedikit."
Kiana menghela nafasnya kencang, memutar kedua bola mata, lalu berjalan gontai memasuki sel tersebut.
"Bu? Telepon Papa saya lagi yah! Suruh jemput sekarang."
Polwan tersebut hanya menganggukan kepala, dengan senyum tipis yang selalu terlihat.
"Makanya, sudah di kasih mobil bagus itu di gunakan sebaik mungkin. Ini malah dipakai balap liar, mana taruhan lagi, … lihat! Mana teman-temanmu? Apa ada yang setia menunggu? Tidak. Mereka bahkan mementingkan dirinya sendiri."
"Jiwa muda, Bu! Ibu juga pasti pernah muda."
"Ya, tapi alangkah baiknya jika jiwa muda kamu dipakai untuk hal yang lebih positif. Belajar di rumah, atau menambah ekstra kurikuler, nilai kamu bagus lho padahal, kok bisa terjun ke dunia seperti ini? Sampai menjadi langganan kantor polisi."
Kiana tidak menjawab lagi, dia berjalan ke arah ujung, lalu duduk diatas kasur kecil sana, termenung dengan segala penyesalan.
Namun itu hanya berlaku sementara, jika dia keluar, maka dia akan kembali berulah.
Ting tung!
Suara bel pintu apartemen berbunyi nyaring.
Ting tung!
Bel itu berbunyi kembali, membuat pria yang baru saja selesai membersihkan diri, berlari ke luar kamar, seraya memakai kaos rumahannya sambil terus berjalan cukup tergesa-gesa.
Klek!
Dia segera membuka, dan betapa kesalnya saat dia mendapati sosok yang sangat dia kenali.
"Astaga! Ku kira siapa, nyatanya kau." Dia membukakan pintu Apartemen nya lebar-lebar, mempersilahkan Denis masuk.
"Ada tawaran besar." Temannya berbicara tanpa basa-basi, melenggang masuk melewatinya begitu saja.
Setelah temannya benar-benar masuk, dia segera menutup pintu apartemennya rapat-rapat, dan berjalan ke arah sofa sedang yang berada di ruang tengah apartemen tersebut. Denis duduk, dia terus mengangkat pandangan, menatap temannya, dengan senyum seringai yang begitu terlihat mencurigakan.
"Tawaran apa?" Tanyanya tanpa basa-basi busuk.
"Tadi Pak Danu menghubungiku, dia meminta satu orang, anak buah terbaik untuknya." Denis tersenyum.
"Terus?" Keningnya berkerut.
"Aku menunjukmu, Jovian Alton!" Denis berujar, menatap temannya yang kini tengah duduk di sofa lain, yang berada tidak jauh darinya.
"Aku?" Pria yang akrab disapa Jovian itu menunjuk dirinya sendiri.
"Ya."
"Tapi aku bukan anak buahmu!" Dia terkekeh kencang.
"Maka dari itu. Aku menunjukmu, … bukan karena kau ada dibawah naungan ku, melainkan aku lebih percaya kepadamu. Dengan kemampuanmu!" Ucap Denis sedikit serius. "Yang harus dijaga seorang anak gadis berusia 20 tahun, aku tidak mau sembarangan menunjuk orang." Katanya lagi.
Jovian menyandarkan punggung, menatap Denis yang tak lain adalah teman dekatnya, lalu menumpangkan satu kaki, pada kaki yang lain.
"Pak Danu akan membayarmu dengan gaji yang cukup besar."
"Apa kamu tidak cukup? Apa keadaannya sangat berbahaya sampai dia butuh tambahan Bodyguard?"
"Sudah ku jelaskan, bukan untuknya, Jo!" Jelas Denis.
"Lalu?" Kening Jovian berkerut, dan itu membuatnya terlihat semakin mengeluarkan aura ketampanannya.
Jelas jika Denis adalah wanita, sudah pasti dia memuja pria itu dengan sejuta pesona yang Jovian miliki.
"Dia butuh Bodyguard untuk putrinya. Nona Kiana, gadis cantik, tapi kelakuannya sedikit membuat orang-orang di sekitarnya pusing, … bayangkan! Dia keluar masuk kantor polisi bahkan hampir setiap Minggu." Denis menghela nafas.
"Kasus apa?" Jovian mengubah posisi duduknya, dia mulai penasaran dengan sosok gadis, yang temannya ceritakan.
"Banyak." Denis melipat kedua tangannya diatas dada.
"Beri aku contoh, untuk mempertimbangkan." Jovian sedikit memaksa.
"Berkendara dibawah pengaruh minuman ber-Alkohol, berbuat onar, kebut-kebutan di jalanan, terkena razia saat berada di Clubbing karena masih di bawah umur, dan semalam karena hendak melakukan balapan liar, dengan jaminan uang untuk pemenangnya." Denis membeberkan.
Jovia bungkam, dia melongo, lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil bertepuk tangan.
"Gadis yang luar biasa."
"Ini tantangan untukmu, Jo! Biasanya kau hanya menjaga wanita tua, istri dari konglomerat yang butuh pengawasan lebih. Tapi sekarang kau akan menjaga gadis yang baru saja beranjak dewasa dengan sejuta pesonanya." Denis sediki menggoda, berbicara berlebihan agar temannya itu mau dia ajak bekerja.
Jovian tampak berpikir.
"Tapi sepertinya akan sangat sulit, aku harus mengikuti kemanapun gadis itu, … siapa tadi namanya?"
"Kiana."
"Ya, aku harus membuntuti kemana pun Kiana pergi, seperti Kaka yang sedang melindungi adiknya?" Jovian tertawa kencang.
"Tidak, tidak. Bukan Kaka, tapi paman. Dia tujuh belas tahun lebih muda dariku."
Jovian mengangguk, tersenyum mirip dengan satu alis terangkat.
"Bagaimana? Selain upah yang lumayan, kau juga dapat setiap hari menatap wajah cantik Kiana."
Jovian diam, dia tampak berpikir.
"Mau tidak? Kalau mau cepat siap-siap, ganti pakaianmu."
"Kisaran berapa gajiku?" Matanya memicing, seolah bersiap dengan tawaran yang luar biasa. Tentu saja, dia tahu siapa sosok Danuarta, seorang yang selalu Denis agung-agungkan karena kebaikannya.
"Sekitar 20jt, tapi jika kinerja mu bagus,apalagi dapat merubah kebiasaan buruk Kiana menjadi lebih baik, mungkin kau bisa meraup 35jt sama sebulan."
"Wow."
Jovia bertepuk tangan lagi.
"Jadi tunggu apa lagi? Cepat bersiap dan kita berangkat bersama."
"Memangnya siapa, Pak Danuarta itu?" Katanya sambil bercanda.
"Bos baru bara. Tambangnya sangat besar di Kalimantan sana!" Jelas Denis.
Mereka berdua tertawa.
"Ya, bos yang sangat kau kagumi!" Jovia menunjuk temannya.
Pria itu segera bangkit, lalu melenggang ke arah luar, membuat Jovian mengerutkan keningnya.
"Cepat! Aku tunggu di basement." Tukas Denis sebelum dia benar-benar keluar dari apartemen mewah milik temannya itu.
***
"Pak Denis? Tumben pagi-pagi sekali sudah datang." Seorang wanita dengan kisaran usia 50 tahun menyapa.
Denis tersenyum manis, seraya menghampiri wanita yang sedang menyiram tanaman-tanaman cantik, yang berjejer rapih di teras depan rumah.
"Mbok, Pak Danu ada?" Denis membuka kacamata hitam miliknya.
"Ada, baru saja selesai sarapan, ada di taman belakang rumah, duduk di dekat kolam koi seperti biasa. Masuk saja!" Katanya, dengan pandangan tertuju ke arah belakang, dimana Jovian berdiri.
Pria itu terlihat lebih tinggi dari pria dihadapannya, postur tubuh yang ideal, mata elang yang tajam, bulu mata yang sangat lentik, juga alis yang tebal, membuat Jovian terlihat sempurna di mata para perempuan, termasuk wanita tua di hadapannya.
"Ini Jovian, Mbok. Calon Bodyguard nya Non Kiana." Denis menjawab rasa penasaran asisten rumah tersebut, yang sudah mengabdi bahkan sebelum Denis bekerja disana.
Mbok mengangguk, dia tersenyum kepada Jovian. Sementara Jovian tampak sedikit risih saat setiap kali perempuan menatapnya dengan pandangan seperti tadi.
Entah itu dengan perempuan tua atau muda, rasanya sama-sama membuat tidak nyaman.
"Cepatlah astaga!" Jovian menggeram pelan, membuat Denis sedikit menoleh saat menyadarinya.
"Mbok, kami permisi dulu." Denis berpamitan.
"Iya, Pak."
Dua pria berparas tampan itu berjalan memasuki rumah besar milik Danu, berjalan tegap penuh wibawa dengan sorot mata tajam.
"Pak? Selamat pagi!" Denis menyapa terlebih dulu.
Danu yang tengah duduk di tepi kolam ikan koi pun menoleh, menatap dua pria dengan pakaian serba hitam.
"Kalian sudah tiba?" Dia bangkit.
Denis mengangguk.
"Duduklah dulu, mau saya panggilkan Bibi untuk membuatkan minuman?"
"Terimakasih, Pak. Tapi tidak usah, kami sudah sarapan di jalan tadi sebelum sampai kesini."
Danu pun mengangguk, dia ikut duduk setelah dua pria yang jauh lebih muda darinya duduk terlebih dulu. Matanya menatap Jovian lekat-lekat, memperhatikan calon Bodyguard untuk putrinya dengan sangat teliti, dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Siapa namamu?" Danu menatap Jovian.
"Jovian Alton." Jawabnya tenang.
"Kamu siap menjaga Kiana?"
Jovian mengangguk.
"Menjaga dia 24 jam, dan menjauhkan dia dari hal-hal buruk?"
Jovian mengangguk lagi, karena memang itulah pekerjaan para penjaga, menjauhkan sang tuan dari hal dan kemungkinan terburuk.
Tentu saja aku tahu!
Kata Jovian dalam hati.
"Bela diri apa yang kamu kuasai?" Danu bertanya, tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun.
"Hanya jujitsu dan taekwondo." Jovian merendah.
Seketika Danu membulatkan matanya, dengan ekspresi penuh kekaguman.
"Dia lebih baik darimu?" Danu tertawa pelan saat menatap Bodyguardnya, Denis.
Pria yang dia maksud pun mengangguk, sambil tersenyum samar.
"Baiklah, kalau begitu kamu saya terima. Sekarang jemput dia di kantor polisi, bawa pulang!"
Jovian dan Denis mengangguk bersamaan. Kemudian bangkit saat Danu mulai berdiri, dan berjalan beriringan meninggalkan kolam ikan koi yang terletak di bagian belakang rumah tersebut.
Jovian menunggu di dalam mobil, duduk santai menatap ke arah luar dimana Denis dan seorang gadis belia berjalan beriringan. Dia menarik kacamata hitamnya agar dapat menatap Kiana lebih jelas lagi. Gadis cantik, berkulit putih pucat, dengan rambut pendek di atas bahu berwarna hitam mengkilat.
"Dia akan sangat menyusahkanmu, Jo!" Gumamnya saat menangkap gelagat gadis itu yang memang sedikit berbeda dari gadis lainnya.
Dreuk!
Denis tampak membukakan pintu untuk gadis tersebut, yang terus bungkam dengan bibir yang mengerucut.
"Pakai sabuk pengamannya, Kia!" Ucap Denis sebelum dia menutup pintu di samping Kiana.
Gadis itu mendelik, menatap Denis tajam dan berdecak sebal.
"Jasmine Kiana!"
"Iya iya, … astaga Om Denis bawel banget kaya Papah." Dia memekik kesal.
Sementara Jovian mengenakan kacamatanya lagi, dengan senyum yang tampak tertahan saat mendengar perselisihan antara teman juga gadis yang akan berada dalam pengawasannya itu.
Denis menutup pintunya, lalu dia beralih membuka pintu penumpang samping kemudi, masuk dan duduk di samping Jovian yang kali ini mengambil alih mobil tersebut.
"Pulang, Jo." Titah Denis.
Jovian mengangguk, lantas memutar setir mobil, dan keluar dari parkiran kantor polisi sana dengan kecepatan sedang.
Mereka bertiga sama-sama diam, Jovian fokus mengemudi, Denis menatap sekitar jalanan yang begitu padat, sementara Kiana memejamkan mata, sepertinya dia masih merasa dongkol, karena telah semalaman dibiarkan berada di dalam kantor polisi, bahkan sampai tertidur di dalam sel sana, dengan hanya kasur kecil dan tipis.
"Om? Mampir ke all you can eat, yah!" Kiana mulai membuka suara.
Dua pria di depan seketika melihat ke arah spion depan.
"Lain kali, sekarang Pak Danu meminta kita pulang lebih dulu." Jawab Denis tegas.
"Tapi aku laper Om!" Kiana merengek.
"Iya kapan-kapan kamu bisa pergi, dengan Jo. Sekarang kita harus pulang dulu, Om tidak mau terkena marah lagi, … sudah cukup Om disalahkan terus hanya karena menuruti keinginanmu!" Jelas Denis.
Kiana menghela nafasnya kencang, kembali menyandarkan punggung pada sandaran kursi mobil, lalu memejamkan mata. Rasa kesalnya jelas kembali meluap, dia mempunyai semuanya. Tapi Kianan benar-benar merasa keinginan dia semakin dibatasi.
***
Empat puluh lima menit berkendara, akhirnya Jovian memberhentikan mobil Audi RS6 berwarna hitam pekat diantara mobil-mobil yang terparkir lainnya.
Dengan segera gadis yang duduk di kursi belakang melepaskan lilitan sabuk pengamannya, membuka pintu mobil, meraih tas dan segera berlari ke arah dalam membiarkan pintu mobil terbuka begitu saja.
Denis menghela nafas, lalu dia menoleh kepada rekan kerjanya.
"Bayangkan jika aku juga yang harus mengurus dia! Rambut di kepalaku pasti akan benar-benar rontok." Dia berbisik.
Jovian tertawa pelan, membuka seatbelt dan segera turun, hendak menyusul gadis yang tadi berlari ke arah dalam terlebih dulu.
"Dia tidak takut padamu. Makanya dia bersikap seperti itu!"
"Dia tidak pernah takut kepada siapapun. Contohnya Kiana langganan kantor polisi hampir setiap Minggu, itu karena dia memang bandel."
Mereka berdua berjalan memasuki rumah besar itu. Dan teriakan Danu juga Kiana terdengar saling bersahutan.
"Astaga! Bahkan balapannya belum dimulai, tapi Papah sudah bertindak sejauh ini." Kiana berteriak.
"Jangan membangkang Kia!"
"Papah jahat!" Dia semakin meninggikan suaranya.
Sementara Herlin terus memeluk tubuh suaminya, berusaha meredam amarah yang tampak sudah berkobar.
"Semua fasilitas Papah tarik. Tidak ada mobil, tidak ada kartu Atm, hanya uang cash dan itu akan Papa batasi juga!" Danu berujar.
Kiana menatap wajah Danu dengan tatapan tak percaya.
"Ini nggak adil."
"Papa tidak peduli. Jika kamu mau keluar, pergilah bersama Jovian, … hari ini dia bekerja sebagai Bodyguard khusu untukmu." Danu menatap ke arah pria yang baru saja masuk.
Membuat Kian menoleh, dan menatap tidak suka pria bertubuh tinggi besar itu.
"Aku tidak mau. Aku sudah besar, aku tidak butuh Bodyguard, aku bisa menjaga diriku sendiri!" Nafasnya memburu, dengan wajah dan mata yang sangat memerah.
"Terserah saja, tidak bersama Jovian. Atau tidak ada izin sama sekali untukmu."
"Pah!" Herlin mengusap-usap dada suaminya, lalu dia menoleh menatap Kiana yang masih berdiri disana, dengan tatapan tajam tertuju kepada ayahnya.
Kiana menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah tengah kecewa kepada mereka. Kedua orang tuanya.
"Kia, masuk kamar sayang, nanti Mama nyusul." Pinta Herlin dengan suara lembut.
"Sial!" Dia berteriak, lalu beranjak pergi menaiki setiap anak tangga, lalu membanting pintu kamarnya dengan sangat kencang setelah dia masuk kedalam sana.
Danu hendak kembali berteriak, namun Herlin Segera meraup wajahnya, lalu menggelengkan kepala, wanita itu meminta suaminya untuk berhenti.
"Dia tidak akan luluh hanya karena kamu berteriak. Dia adalah dirimu, versi Kiana. Sifat kalian sama-sama keras, tidak akan ada yang mau mengalah aku tahu, tapi sekali ini saja kamu diam dan biarkan Kia menumpahkan kemarahannya." Herlin berucap.
Danu bungkam, dadanya naik turun dengan sangat cepat.
"Jovian, Denis? Tolong tinggalkan kamu berdua, kami akan memanggil jika ada sesuatu." Pinta Herlin kepada dua Bodyguardnya.
"Baik." Sahut Denis juga Jovian bersamaan.
Mereka segera berbalik badan, lalu menghambur keluar rumah besar itu, dan berjalan ke arah salah satu bangunan yang memang disiapkan untuk mereka bersantai menghabiskan waktu luang.
"Keluarga yang rumit." Jovian duduk di sofa besar yang tersedia, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia mulai berpikir, tugasnya kali ini akan sangat berat. Akan banyak menguras kesabaran karena memang pribadi Kiana yang sedikit berbeda.
"Sudah aku katakan, Kiana tidak takut kepada siapapun. Jangankan kepadaku, kepada Pak Danu saja dia berani berteriak." Denis terkekeh, dia memberikan satu botol minuman kaleng, lalu ikut duduk di sofa yang sama.
Jovian menengakan duduknya, dan membuka kaleng tersebut, lalu meminumnya perlahan.
"Tugasmu akan sangat sulit, Jo!" Denis terkekeh, setelah menyesap soda dingin miliknya.
"Benarkah?" Jovian tampak tenang seperti biasa, meski dia mulai was-was dan harus segera menata strategi agar bisa membuat seorang Kiana menjadi gadis penurut.
"Ya, kau harus bisa mengatasi egonya, mengubah pribadinya, dan membuat dia terjauh dari hal-hal buruk, yang sangat dia sukai."
"Mungkin. Kelihatannya akan sedikit sulit, … tapi aku akan berusaha membuatnya menjadi gadis yang sangat penurut kepadaku, kau tahu Denis, aku mempunyai caraku sendiri."
Denis mengangguk, lalu dia menepuk-nepuk bahu kokoh temannya.
"Tapi ingat, dia gadis belia. Terlalu keras juga tidak baik, bukannya menurut, dia justru akan semakin menjadi-jadi."
"Sekarang, aku harus tahu pribadinya dulu, dan hal itu kau yang lebih tahu karena sudah cukup lama mengabdi pada keluarga ini." Jovian mulai serius.
Denis mengangguk lagi.
"Kiana sangat keras kepala, dia akan melakukan apapun yang menurutnya benar. Ingat! Yang menurutnya benar, Jo. Dia tidak manja seperti anak-anak orang kaya pada umumnya, dia sedikit mandiri, nekad, dan seperti yang ku katakan tadi, dia tidak pernah takut kepada siapapun, tapi dia ceroboh, sangat ceroboh. Dia sangat mudah dimanfaatkan teman-temannya sehingga dia benar-benar sangat mudah di jebak."
Jovian mengangguk paham.
"Baik, aku sudah tahu harus bagaimana menanganinya."
"Benarkah?"
Jovian mengangguk lagi.
"Kalau begitu aku akan mendekatinya dulu, membuat dia merasa bahwa aku adalah temannya, bukan seorang Bodyguard yang menyebalkan seperti dirimu." Setelah itu dia tertawa kencang.
Denis memutar kedua bola matanya, lalu mendorong bahu Jovian sampai membuat pria itu sedikit terhuyung ke samping.
"Aku sudah serius, tapi kau malah bercanda." Geram Denis.
"Jangan terlalu serius, pekerjaan kita sudah sangat menegangkan, jadi santailah jika kita sedang ada waktu rehat." Jelasnya.
"Kau menyebalkan."
"Tenanglah Denia, aku pasti bisa mengatasinya." Dia menepuk-nepuk pundak Denis cukup kencang.
Dan akhirnya kedua pria itu diam, menikmati soda dingin dalam kemasan kaleng dengan perisa lemon segar, yang Denis bawakan tadi.
*
*
*
...Jangan lupa like, komen, hadiah dan vote kalo ada. Pencet love juga biar dapet notif kalo si Om yang satu ini gentayangan :)...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!