NovelToon NovelToon

Aku Yang Tak Diakui

Pertemuan Pertama

Anak kecil bertampang dingin dan judes itu sungguh sangat menarik perhatian Argha. Dia seperti melihat miniatur Bram yang selalu bersikap dingin kepada orang yang belum dikenalnya. Namun, kulit sawo matangnya mewarisi sang ibu.

"So, are you my dad?"

Kalimat pertama yang dia ucapkan begitu dingin. Namun, penuh ketegasan. Argha hanya mampu bergeming mendengar pertanyaan anak kecil berusia tujuh tahun itu. Dia sendiri bingung harus menjawab apa. Akankah dia mengerti jika Argha menjawab bukan? Tapi, bagaimana jika pertanyaannya berlanjut lebih spesifik lagi? pikir Argha.

"Sorry, i can't answer your question right now!" jawab Argha.

Anak itu hanya tersenyum sinis menanggapi jawaban Argha. Sejenak, dia menengadahkan wajah untuk menghindari sesuatu yang hendak tumpah. Dia rapuh. Namun, tidak ingin menampakkan kerapuhannya. Terlebih lagi di hadapan orang yang tidak dia kenali. Kembali dia menatap Argha dengan tatapan yang begitu dingin dan menusuk.

"Hmm, sudah kuduga. Dia memang seorang pembohong. Dan seumur hidup, dia akan terus membohongi aku," ucap anak kecil itu seraya berlalu pergi meninggalkan Argha.

Bingung! Sudah pasti, hanya kebingungan yang mampu Argha rasakan. Sikap dingin anak itu memang mengingatkan Argha pada sosok Bram yang tidak terlalu pandai beradaptasi dengan orang yang belum terlalu dikenalnya.

Sejenak, Argha mengelus dada melihat sikap anak itu. Namun, sejurus kemudian Argha mengayunkan langkahnya menuju kantor kepala panti asuhan. Argha hendak mengutarakan maksud kedatangannya ke panti ini.

.

.

.

Michael, nama yang sangat pendek, tanpa embel-embel marga atau keturunan seorang ayah. Hanya nama itu yang dia punya, dan dia lebih suka dengan nama panggilan yang diberikan ibu panti, Miki.

Anak berusia tujuh tahun itu duduk berselonjor di bawah pohon beringin yang cukup rindang. Pikirannya kembali melayang pada kejadian setahun silam.

"Kakak berjanji, Ki. Kakak akan membawa ayah untuk menjemput kamu dari sini," ucap seorang wanita berambut pendek berwarna kecoklatan

"Tapi kapan?" tanya seorang anak kecil yang begitu merindukan kehangatan sebuah keluarga.

"Nanti setelah Kakak menikah," jawab wanita itu lagi.

"Kenapa harus menunggu Kakak menikah? Bukankah ayah Kakak adalah ayah Miki juga?" tanya Miki dengan polosnya.

"Setelah kamu dewasa, Kakak akan menceritakan semuanya padamu," pungkas Wanita itu yang tak lama kemudian berlalu dari hadapan Miki.

Miki mendengus kesal mengingat obrolan dia dengan sang kakak setahun yang lalu.

Tidak harus menunggu aku dewasa, kak. Aku bukan anak bodoh yang tidak bisa mencium gelagat kakak setiap kali aku menanyakan ayah dan ibuku. Aku sudah tahu yang sebenarnya. Satu hal yang tidak aku ketahui, kenapa kamu tidak mau mengakui aku sebagai anakmu? batin Miki seraya memotek ranting kering yang berserakan di sekitarnya.

Rasa pilu kembali bergelayut dalam benaknya. Seandainya dia tidak mengalami kecelakaan di tebing itu, tentu sampai saat ini dia tidak akan pernah mengetahui siapa ibu kandungnya.

"Ibu mohon, Na. Jenguk Miki walau hanya sekali."

Samar-samar Miki mendengar ibu panti berbicara dengan seseorang. Dia pun tetap memejamkan mata untuk menguping pembicaraan mereka. Entah apa yang orang itu katakan hingga memancing emosi ibu panti.

"Cukup Ilona Prasetya! Sejauh apa pun kamu menghindar, itu tidak akan mengubah takdirmu jika Miki adalah anakmu, darah dagingmu! Aku tidak peduli dengan kebencian kamu terhadap laki-laki yang telah menghamili kamu. Tapi jangan lampiaskan amarahmu kepada Miki. Dia tidak bersalah. Sudah cukup dia menderita karena ayahnya tidak mengakui dia. Dan sekarang, apa kamu juga akan mengingkari dia sebagai putramu sendiri, hah?"

Ibu panti terdengar emosi, tapi Miki tak mau membuka matanya. Meskipun hatinya terasa sakit, tapi air mata seolah enggan keluar.

"Baiklah jika itu maumu. Mulai sekarang, lupakan jika kamu pernah melahirkan anak cerdas seperti Miki. Jika sampai suatu hari nanti ada orang tua yang akan mengadopsi dia, aku tidak akan pernah meminta persetujuan darimu. Seperti yang kamu katakan tadi, dia bukan siapa-siapa kamu. Ingat itu Ilona!"

Dan sekarang ... air mata yang yang dulu tidak ingin keluar, akhirnya tumpah ruah juga membanjiri kedua pipinya.

Dunia memang kejam. Bukan hanya kamu yang tidak mau mengakui aku. Tapi laki-laki itu pun tak mau mengakui aku, batin Miki mendengus kesal saat Argha tidak mau mengakuinya.

.

.

.

"Jadi, seperti itu ceritanya?" tanya Bu Maria pemilik panti asuhan St Jose.

"Jika Anda tidak percaya, saya bisa memberikan bukti tentang pesan terakhir Ilona," ucap Argha seraya menyerahkan surat terakhir dari Ilona.

Ibu Maria menerima surat tersebut dan mulai membacanya. Raut kesedihan tidak nampak di wajahnya. Seolah kepergian Ilona adalah hal yang wajar baginya.

Setelah selesai membaca surat terakhir Ilona, Bu Maria melipat kembali kertas lusuh itu dan memberikannya kepada Argha.

"Apa Anda akan mengurus anak itu dengan baik?" tanya Bu Maria penuh selidik.

"Saya akan berusaha sebaik mungkin," jawab Argha.

"Entahlah, saya sendiri tidak tahu harus berkata apa. Asal Anda tahu, dua minggu yang lalu, ada pasangan muda yang tertarik untuk mengadopsi Miki. Namun, saya belum bisa memutuskan karena saya harus menyelidiki terlebih dahulu pasangan itu," tutur Bu Maria.

Argha terkejut. Dia pun bingung harus berbuat apa. Hanya saja, Argha tidak ingin mengecewakan almarhumah Ilona. Demi persahabatannya dengan mendiang, Argha akan berusaha untuk membawa Miki dan mendidiknya dengan baik. Terlebih lagi, Miki merupakan keturunan Bram, sahabatnya. Cepat atau lambat, dia harus bisa dekat dengan ayah kandungnya.

"Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi saya sangat berharap jika Ibu bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan. Mungkin, setelah Ibu membaca surat terakhir Ilona, Ibu lebih tahu harus menyerahkan Miki kepada siapa," jawab Argha, lugas.

Bu Maria terkesima dengan jawaban lugas pria yang tengah duduk di hadapannya. Dia mulai yakin bahwa tidak ada salahnya menyerahkan Miki kepada pria itu. Toh, negara Indonesia masih kental dengan budaya timur. Jadi Bu Maria tidak terlalu mengkhawatirkan pergaulan Miki kelak di negara kelahiran ibunya.

"Baiklah, akan saya pertimbangkan keinginan Anda. Saya harus berdiskusi dulu dengan penasihat panti, saya harap Anda bisa mengerti. Akan saya kabari lagi jika sudah ada keputusan," ucap Bu Maria yang tidak lantas memberikan janji manis kepada tamu di hadapannya.

Argha mengangguk. Dia pun segera berpamitan. Sebelum dia pergi dia ingin menemui Miki terlebih dahulu. Namun, sayangnya anak itu tak mau menemui Argha.

🍁🍁🍁

Dalam perjalanan pulang, Argha mendengus kesal melihat kesombongan yang ditunjukkan oleh anak kecil itu. Ya Tuhan, sudah terlihat jelas tabiat tak mau diaturnya sedari kecil. Apa aku sanggup mengurus dan mendidik anak yang memiliki hati batu seperti itu? batin Argha

"Damn!! Bahkan setelah mati pun, kamu masih bisa membebani aku, Na," dengus Argha seraya memukul kemudi.

Sejurus kemudian, Argha membelokkan mobilnya ke sebuah mansion yang sangat mewah milik orang tua angkatnya.

Menemui Maria

"Bagaimana hasil pertemuan kamu dengan pemilik panti? Apa dia bersedia memberikan hak asuh anak itu?" sambut Tuan Hanzel begitu melihat Argha pulang. Sebelumnya, Argha memang telah menceritakan maksud kedatangannya ke negara ini kepada Tuan Hanzel.

"Entahlah, Dad. Bu Maria hanya meminta waktu untuk mempertimbangkan keinginan Argha," jawab Argha merasa tidak percaya diri.

"Sudah, tidak usap pesimis begitu. Daddy yakin kamu pasti bisa memenangkan hak asuh anak itu. Terlebih lagi, kamu memiliki surat wasiat yang sangat kuat untuk membawanya pergi dari panti asuhan itu," tutur Tuan Hanzel.

"Hmm, semoga saja Dad. Meskipun sahabat Argha telah membuat semuanya hancur, tapi anak itu tidak bersalah. Argha tidak mau melampiaskan semua kekecewaan Argha terhadap anak itu, Dad," papar Argha.

"Iya, Nak. Anak kecil itu tidak bersalah. Ngomong-ngomong, siapa nama orang tuanya?" tanya Tuan Hanzel.

"Ilona. Chantika Ilona Prasetya, orang yang sama yang telah menabrak Richard," jawab Argha.

Tuan Hanzel begitu terkejut mendengar jawaban Argha. Seketika, ingatannya kembali ke masa lalu. Masa di mana dia pernah menolong anak remaja yang hendak melahirkan dan memintanya untuk membuang bayi yang telah dilahirkannya.

Jadi, Argha hendak membawa anak yang dibuang ibunya, di mana aku sendiri punya andil dalam menjauhkan anak itu dari keluarganya? Ya Tuhan ... permainan takdir seperti apa ini?

"Permisi, Dad. Argha mau ke kamar dulu, mau istirahat," ucap Argha yang seketika membuyarkan lamunan Tuan Hanzel.

"Ah, ya ... istirahatlah Nak!" jawab Tuan Hanzel.

Setelah Argha pergi, Tuan Hanzel pun pergi ke ruang kerja. Tiba di sana, dia duduk di kursi kebesarannya. Menatap foto kedua orang yang begitu dia rindukan. Istri dan putranya yang telah tiada.

Rich, apa ini saatnya Daddy menebus dosa Daddy selama ini kepada anak itu? Jujur saja, batin Daddy sangat tersiksa setelah membuang anak itu ke panti asuhan. Meskipun Daddy sendiri tidak tahu siapa sebenarnya ayah dari anak tersebut. Namun, Daddy yakin jika dia akan merasa kesepian saat harus tinggal jauh dari anaknya. Seperti Daddy yang selalu merasa kesepian setelah kepergian kamu, Nak. Tolong bantu Daddy, Rich. Apa yang harus Daddy lakukan supaya Argha bisa mendapatkan hak asuh atas bayi yang sudah Daddy buang? Daddy juga minta maaf jika keputusan Daddy akan menyakiti kamu. Mengingat ibu dari anak itu adalah orang yang telah menghilangkan nyawa kamu. Namun, terlepas dari semua ini, Daddy yakin jika hati kamu begitu mulia. Anak itu tidak bersalah, dia berhak untuk dekat dengan keluarga besarnya. Dan Daddy yakin, kamu tidak akan pernah keberatan akan hal itu, Nak. Monolog Tuan Hanzel dalam hatinya.

Puas menatap wajah anak dan istrinya yang telah tiada. Tuan Hanzel meraih ponsel untuk menghubungi seseorang.

"Besok, antarkan aku ke panti asuhan St Jose," perintahnya kepada seseorang di ujung telepon.

🍁🍁🍁

Dering ponsel Heru berbunyi begitu nyaring. Pria berwajah oriental itu seketika menghentikan pekerjaannya. Dia kemudian merogoh saku celana untuk mengambil benda pintar berbentuk pipih. Dahi Heru sedikit berkerut saat mengetahui nama si penelepon.

"Papa? Hmm, ada apa Papa menelepon sepagi ini? Tumben," gumam Heru.

Tak ingin telepon itu menjerit lagi, Heru akhirnya menggeser tombol jawab.

"Assalamu'alaikum, Pa!" sapa Heru begitu sopan.

"Wa'alaikumsalam," jawab Tuan Satria yang tak lain adalah ayahnya Heru. "Kamu lagi apa, Her?" tanyanya lagi.

"Biasa lah, Pa. Heru lagi hitung laba bulan kemarin," jawab Heru yang memang sedang asyik berkutat dengan laptopnya.

"Kamu bisa pulang hari ini?" tanya Tuan Satria lagi.

Heru menautkan kedua alisnya. "Kok dadakan sih, Pa?" tanyanya, heran.

Biasanya jika ayahnya memerintahkan untuk pulang, jauh-jauh hari sebelumnya pasti pria paruh baya itu sudah memberi tahu Heru.

"Iya, Nak. Maaf, karena acaranya mendadak, jadi, ya teleponnya juga turut dadakan. Papa harap kamu bisa ngerti, ya?" timpal Tuan Satria.

"Sebenarnya ada acara apa sih, Pa? Apa enggak bisa ditunda untuk minggu depan?" pinta Heru berharap.

"Enggak bisa, Nak. Acaranya sudah tidak bisa diundur-undur lagi," tukas Tuan Satria.

"Harus hari ini juga?" tanya Heru lagi.

"Fix! Hari ini juga!" jawab pasti Tuan Satria.

"Baiklah, beri Heru waktu sepuluh menit, Pa. Heru beresin dulu meja Heru. Bye Papa, assalamu'alaikum!" pungkas Heru tanpa menunggu jawaban salam dari sang ayah. Heru mematikan sambungan teleponnya.

🍁🍁🍁

Keesokan harinya, Tuan Hanzel kembali menghubungi asistennya. Dia meminta Maxi untuk mengantarkannya ke panti asuhan yang sudah hampir tujuh tahun tidak pernah dia injak lagi.

Kening Maxi berkerut saat atasannya meminta dia untuk menemaninya ke panti itu.

"Maaf, Tuan. Jika boleh tahu, apa alasan Tuan kembali mengunjungi panti itu? Bukankah Tuan pernah membuat saya berjanji untuk tidak menyebutkan nama panti asuhan itu lagi? Tapi kenapa saat ini Tuan malah ingin berkunjung ke sana?" tanya Maxi yang sudah tidak mampu menutupi rasa herannya lagi.

"Apa kamu masih ingat dengan seorang bayi laki-laki yang saya perintahkan untuk kamu buang ke tempat itu?" tanya Tuan Hanzel.

Maxi menatap tuannya dari kaca spion depan, terlihat dengan jelas wajah sayu nan bersalah dari raut wajah bosnya. Ish, apa si bos berubah pikiran dan ingin mengadopsi anak itu? batin Maxi.

"Hmm, tentu saja aku masih ingat dengan bayi itu, Tuan. Tidak akan mudah untuk melupakan begitu saja bayi sehat yang begitu lucu," sahut Maxi.

"Maaf jika pertanyaan saya ini terkesan lancang. Namun, apa Tuan berniat untuk mengadopsi anak itu?" tanya Maxi lagi.

Sejenak, Tuan Hanzel menghela napasnya.

"Sebenarnya, bukan saya yang akan mengadopsi anak itu, tapi anak angkat saya yang dari negara Indonesia. Takdir itu begitu lucu, Max. Anak yang saya buang, ternyata anak dari sahabat anak angkat saya sendiri. Dan dia juga pembunuh dari anak saya," tutur Tuan Hanzel.

Tentu saja Maxi semakin dibuat bingung oleh penuturan bosnya.

Jika dia anak dari pembunuh tuan Richard, lantas kenapa Tuan Hanzel mengizinkan anak itu diadopsi anak angkatnya? Bukankah itu artinya sama saja memelihara musuh dalam selimut? batin Maxi.

"Tidak usah terlalu banyak berpikir tentang anak itu, Max. Saya sendiri tidak tahu kenapa bisa begitu saja menuruti kemauan anak angkat saya. Namun, saya masih percaya jika sebuah kebaikan yang kita tanam, pasti akan berbuah kebaikan pula," pungkas Tuan Hanzel.

Maxi hanya tersenyum seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Setelah melewati perjalanan selama 45 menit, akhirnya limosin silver yang dikendarai sopirnya Tuan Hanzel, memasuki gerbang panti asuhan St Jose yang menjulang tinggi. Ya, panti asuhan ini adalah salah satu panti asuhan terbaik yang berada di negara adikuasa ini.

Maxi segera membuka pintu limosin untuk mempersilakan tuannya keluar. Lepas itu, dia pun ikut keluar dan berjalan berdampingan menuju kantor ibu Maria. Tiba di depan kantor pengurus yayasan, Maxi mengetuk pintu ruangan tersebut.

"Masuk!" perintah suara seorang wanita dari dalam ruangan kantor yayasan.

Maxi menekan handle pintu dan membiarkan Tuan Hanzel memasuki kantor tersebut. Awalnya, Bu Maria terlihat heran melihat kehadiran pria tua yang tidak dikenalnya. Namun, saat dia melihat raut wajah orang yang berada di belakang Tuan Hanzel, Bu Maria pun sadar tentang siapa mereka.

"Mari silakan duduk," ucap Bu Maria mempersilakan tamunya untuk duduk.

"Sepertinya saya tidak harus berbasa-basi, Bu. To the point saja, Saya datang kemari untuk meminta Ibu memberikan hak asuh Miki kepada putra saya," tegas Tuan Hanzel.

Bu Maria kaget dan menatap lekat kepada Tuan Hanzel. Masih mencoba mencerna perintah yang baru saja terucap dari bibir pria itu.

"Apa maksud Anda berbicara seperti itu? Dari mana Anda tahu jika di panti saya ini ada anak yang bernama Miki, hah?" tanya Bu Maria yang rasa kewaspadaannya mulai berfungsi.

"Karena saya yang telah membuang anak itu kemari."

Adopsi

Jantung Bu Maria seakan berhenti berdetak mendengar pengakuan pria tua yang jika dilihat dari pakaiannya, tentulah pria ini bukan pria biasa.

"Apa maksud Anda?" tanya Bu Maria dengan perasaan yang mulai bergemuruh. Pikirannya mulai melayang pada praduga. Mungkinkah laki-laki ini adalah kerabat dari Miki? batinnya

"Maksud saya sudah jelas, Bu. Saya yang telah meninggalkan bayi itu di sini, dan saya juga yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan saya dengan meminta hak adopsi terhadap anak itu," tegas Tuan Hanzel.

"Dasar orang tidak waras!" dengus Bu Maria yang semakin merasa kesal dengan perkataan tak berarah dari tamu tak diundangnya.

"Hhh...."

Tuan Hanzel menghela napas. Tidak ada gunanya juga bersitegang dengan seorang wanita paruh baya yang sedang duduk anggun di depannya.

"Begini saja, Bu. Saya datang kemari untuk menebus dosa saya di masa lalu. Karena berniat menolong seorang gadis malang, saya justru telah mengambil kehidupan bayi kecil yang seharusnya tumbuh dalam sebuah keluarga. Dan bayi itu adalah Miki, anak yang akan diadopsi oleh anak angkat saya," tutur Tuan Hanzel.

"Anak angkat?" ucap Bu Maria, kaget. "Ish, apalagi ini? Tolong jangan terlalu bertele-tele, Tuan. Sungguh saya tidak punya waktu untuk melayani kekonyolan Anda," lanjut Bu Maria mulai geram.

"Baiklah Ibu Maria yang terhormat. Sekali lagi saya katakan, anggap saja permintaan saya ini adalah penebusan dosa saya terhadap anak itu. Saya mohon dengan sangat, tolong berikan hak asuh Miki kepada putra angkat saya, Argha," kata Tuan Hanzel seraya mengatupkan kedua telapak tangannya.

"Jadi, tuan Argha Putra Adisastra itu putra Anda?" tanya Bu Maria penuh penekanan.

"Benar," jawab singkat Tuan Hanzel.

"Huh, dengan latar belakang Anda yang mengaku telah membuang Miki kemari, bagaimana mungkin saya bisa memberikan hak adopsi kepada putra Anda. Jangan-jangan, putra Anda sama bejatnya dengan Anda," ucap sinis Bu Maria.

"Jaga bicara Anda, Nyonya!" seru Maxi. "Astaga, untung saja Anda perempuan, seandainya Anda laki-laki, sudah aku robek mulut Anda yang pedas itu!" lanjut Maxi geram.

Bu Maria hanya memutar kedua bola matanya, jengah dengan perkataan seorang ajudan sok jagoan yang selalu melindungi atasannya. Sekali pun sang atasan berbuat salah.

"Saya bisa pastikan jika Argha akan memperlakukan Miki layaknya Ayah kandung," ujar Tuan Hanzel.

"Hmm, sepertinya Anda yakin sekali akan hal itu, Tuan. Apa jangan-jangan, Argha memang ayah kandungnya Miki?" selidik Bu Maria.

"Jangan salah paham dulu, Bu Maria. Tidak baik berprasangka buruk. Kebenarannya adalah, saya yang membawa Miki kemari atas permohonan ibu kandungnya, Ilona. Dan laki-laki itu, dia sahabat dari Ilona. Dan saya yakin, Ilona tidak semata-mata menyerahkan Miki begitu saja kepada Argha, melainkan karena ingin memberikan yang terbaik untuk anak itu. Saya berani jamin jika Argha dan Gintani akan menjadi orang tua yang sangat baik untuk Miki," papar Tuan Hanzel.

"Gintani?" ulang Bu Maria seraya mengernyitkan keningnya.

"Ya, Gintani. Istri dari Argha."

Tuan Hanzel mengeluarkan selembar foto dari dompetnya. Rupanya, itu adalah foto Argha Gintani dan almarhum Richard yang pernah dia ambil saat pesta dulu. Sejurus kemudian, Tuan Hanzel menyerahkan foto tersebut ke tangan Bu Maria.

Senyum tipis terukir di kedua sudah bibir Bu Maria saat melihat wajah Gintani yang begitu meneduhkan. Sinar bening yang terpancar dari kedua bola mata milik Gintani, seakan menjadi magnet tersendiri bagi wanita paruh baya itu. Entah kenapa, tiba-tiba saja sebuah keyakinan muncul dalam hatinya. Ya! Bu Maria yakin jika Miki akan tumbuh menjadi pribadi yang baik dengan didikan wanita itu.

Setelah melihat foto Gintani dan Argha, hati Bu Maria pun luluh. Pada akhirnya, dia pun berniat untuk menyerahkan hak asuh Miki kepada Argha.

"Baiklah, akan saya pertimbangkan lagi keinginan putra Anda. Sepertinya pembicaraan kita sudah selesai, Tuan. Saya rasa, Anda tidak harus diberi tahu, 'kan ... di mana pintu keluar ruang ini berada?" ucap Bu Maria mengusir dengan halus kedua tamunya.

"Kau?!"

Maxi berdiri dengan wajah yang sudah semakin memerah karena marah. Namun, Tuan Hanzel memberikan isyarat agar Maxi duduk kembali.

"Baiklah Bu Maria, tidak usah khawatir. Saya tahu kapan dan ke mana kaki saya akan melangkah. Ayo, Maxi!"

🍁🍁🍁

Setelah dua hari tanpa kabar, akhirnya Argha mendapatkan panggilan juga dari pihak panti asuhan yang membesarkan Miki. Hari ini, surat adopsi Miki telah keluar, dan hari ini juga Argha sudah bisa membawa Miki keluar dari panti asuhan tersebut. Meski ada sedikit keraguan di hati Argha, tapi Argha tetap melanjutkan niatnya untuk mengadopsi Miki.

"Ayo Miki, kita pulang!" ajak Argha kepada bocah kecil itu.

Miki tak menjawab. Namun, dia pun tak membantah ajakan Argha. Sebelum Miki pergi, dia meminta waktu pada Argha untuk menemui para pengasuh dan teman-temannya.

"Apa aku boleh berpamitan kepada semua teman-temanku?" tanya Miki menatap Argha begitu dingin.

Argha mengangguk, dia memberikan izin dan membiarkan Miki untuk berpamitan kepada para warga panti.

Miki kembali masuk ke dalam. Satu per satu, dia menyalami teman-temannya dan para pengasuh di sana. Miki menghampiri Bu Maria. Dia pun memeluk Bu Maria dengan erat. Air mata perpisahan mulai menetes di kedua pipinya.

"Sst ... jangan menangis, Nak! Kamu sangat beruntung karena ada orang yang bersedia merawatmu. Baik-baik di tempat barumu ya, Nak. Patuhi semua perintah dan nasihat orang tuamu di sana. Yang terpenting, tolong jangan bertingkah yang aneh-aneh, yang bisa merugikan diri kamu sendiri," ucap Bu Maria, menasihati putra asuhnya.

Miki tak mampu berkata apa pun. Semua kalimat terasa hilang begitu saja saat dia menyadari jika setelah semua ini, semuanya akan terasa berbeda. Miki hanya bisa menganggukkan kepalanya sebagai tanda dia telah mengerti ucapan bu Maria.

"Miki pergi dulu, ya, Bu. Ibu jaga diri baik-baik. Nanti kalau Miki sudah besar dan menjadi orang sukses, Miki pasti akan datang ke tempat ini lagi untuk menjenguk Ibu," ucap Miki.

Ibu Maria merasa terharu dengan semua ucapan Miki. Dia pun kembali memeluk Miki.

Setelah selesai berpamitan, Miki kembali menghampiri Argha. Sejurus kemudian, dia mengikuti langkah Argha yang telah masuki mobilnya. Mata beningnya menatap kosong rumah yang selama 7 tahun membesarkannya hingga hilang dari pandangan.

🍁🍁🍁

Untuk sesaat, Argha membawa Miki ke rumah Tuan Hanzel. Dia hendak berpamitan karena akan kembali ke Indonesia.

"Tolong cari istri dan anak kamu, Nak. Bawa dia kemari, Daddy sangat merindukan dia," ucap Tuan Hanzel.

Argha hanya tersenyum kecut mendengar permintaan ayah angkatnya. Hatinya kembali teriris tatkala mengingat kehancuran rumah tangganya yang disebabkan oleh sahabatnya sendiri.

"Akan argha usahakan, Dad," jawab Argha.

Tuan Hanzel tersenyum, seraya berkata, "Do'a Daddy selalu bersama kalian."

"Terima kasih, Dad. Kalau begitu, Argha pulang dulu. Daddy jaga kesehatan, jangan terlalu capek dan banyak pikiran juga," pesan Argha.

'Iya, Nak. Sampaikan salam Daddy untuk ayah kamu," sahut Tuan Hanzel.

"Iya, Dad. Nanti Argha sampaikan," pungkas Argha.

Miki yang tidak ingin turun dari mobil, hanya memutar kedua bola matanya saat menyaksikan basa-basi kedua pria berbeda generasi itu. Dia merasa jengah dengan Argha yang bisa bersikap ramah, tapi tega membuangnya.

"Huh, pria munafik!" ucap Miki geram seraya menatap tajam ke arah Argha.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!