...Judul : Rahasia Gelap Sang Aktris...
...Penulis : Meta.morfosa...
...ΩΩΩ...
...Selamat membaca.....
...ΩΩΩ...
Kabut tebal menutupi kota, udara dingin menembus sampai tulang, rasa dingin yang semula ada perlahan hilang berganti dengan keringat yang membasahi tubuh.
Mengenakan celana jeans usang, pakaian kumal serta ransel kuno di punggungnya, Catalina berlari sekuat yang ia bisa.
Gadis berparas cantik berusia dua puluh tahun itu berlari menyusuri jalanan sepi di malam hari hanya untuk menghindari sekelompok pria berbadan besar yang mengejarnya sejak lima menit yang lalu.
Tidak tahu kenapa ia menjadi target incaran mereka, ia juga tidak mengerti dan tidak memahaminya.
Ia hanya pulang dari kerja paruh waktu seperti biasanya, namun tiba-tiba sekelompok pria datang dan menyerangnya. Setelah beberapa saat melawan, ia menyerah dan memutuskan untuk melarikan diri.
Bukan tanpa alasan.
Daripada mati di tangan mereka, ia lebih memilih kabur. Bagaimanapun, ia sendirian. Ingin minta tolong, tidak ada yang bisa dimintai tolong. Ingin menyerah, ia tidak rela menyerah begitu saja. Sudah tersudut separah itu, apalagi yang bisa dilakukan selain melarikan diri?
Meski cukup pandai bela diri, lalu kenapa? Jika situasinya sudah seperti ini, memang ada kemungkinan ia bisa menang?
Bukan ia pesimis atau seenaknya mengambil keputusan. Ia sudah memikirkan semuanya dengan matang bahkan hingga konsekuensi terburuknya. Melihat dari beberapa hal, peluang kemenangan jika dilihat dari kemampuan mereka, keahlian bela dirinya tidak berarti apa-apa. Ia seperti ikan kecil di lautan di tengah kawanan hiu. Sudah pasti kalah telak.
Apalagi yang mengejarnya adalah empat pria berotot. Belum lagi seorang pria payah di belakang mereka. Menambah jumlah si mengajar menjadi lima orang.
Jumlah yang tidak sedikit.
Mungkin ia tidak akan selamat.
Jadi, apa ia akan mati hari ini?
Ia menggelengkan kepala. "Tidak. Kau tidak boleh mati, bodoh!" Gumamnya pada diri sendiri.
Ada banyak hal yang harus ia lakukan, lebih tepatnya belum sempat ia lakukan. Ia harus menyelesaikan kuliahnya lalu menemui adik perempuannya yang sudah bertahun-tahun tidak ia jumpai. Ia tidak boleh mati hari ini, tidak boleh mati seperti ini.
"Hei, kau, berhenti!" teriak salah satu pria bertubuh kekar berpakaian ketat berwana hitam yang mengejar di belakangnya. Ia adalah tentara bayaran yang ditugaskan untuk mencari dan menangkap Catalina.
"Ish." Mendengar teriakan dari belakang, Catalina mendesis. "Kenapa aku harus berhenti?" sahutnya. Orang bodoh mana saat dikejar sekelompok bandit diminta berhenti langsung berhenti? Bukankah sama saja dengan menyerahkan nyawa? "Kau pikir aku bodoh?" teriaknya.
Tidak ada alasan Catalina dikejar seperti ini. Bahkan jika dipikirkan sebanyak apapun, ia masih tidak menemukan alasannya. Ia hanya gadis biasa yang tidak punya kelebihan. Ia bukan seorang jenius, juga bukan anak orang kaya. Jika menangkap dirinya, apa yang akan mereka dapat?
Menculiknya, tidak ada keuntungan sama sekali. Ia yatim piatu. Hidup hanya dengan mengandalkan belas kasih orang serta pekerjaan paruh waktu yang tidak menghasilkan banyak uang. Sudah jelas tidak akan ada yang datang dan memberikan uang tebusan jika motif mereka karena uang.
Membunuhnya, juga tidak ada alasan mereka melakukan hal sekeji itu. Ia seorang penyendiri dan tidak memiliki musuh. Hidupnya juga sangat lurus. Ia hanya pergi kuliah pada pagi hari, lalu bekerja paruh waktu hingga larut malam. Selain itu, ia juga memiliki kepribadian baik dan cukup sopan sampai rasanya mustahil ia menyinggung orang lain.
Jadi, apa masalahnya? Dimana letak kesalahannya?
Namun meski tanpa alasan, bukan berarti ia harus menyerahkan diri. Tanpa adanya motif yang jelas, itu justru yang paling menakutkan. Jika bukan uang, maka nyawa yang mereka inginkan.
"Kau tidak akan mati hanya dengan satu peluru di tubuhmu!" teriak pria itu lagi, sedikit menakuti.
Catalina terkekeh. "Siapa tahu kau menembak di kepala?" Jika selongsong peluru menembus kepalanya, ia akan mati di tempat. Setelah itu mayatnya tidak bisa ditemukan lagi, hilang dari peradaban, hilang dari jangkauan, lenyap bak di telan bumi karena mereka akan membereskan mayatnya dengan bersih.
Mereka yang melakukan tindak kriminal secara terang-terangan di tempat umum, orang-orang yang membunuh orang di jalanan, mereka cukup percaya diri untuk membungkam orang jika ketahuan. Ditambah, tidak akan ada yang datang mencarinya karena tidak ada yang akan kehilangan jika ia benar-benar hilang. Tidak akan ada laporan kehilangan di kantor polisi. Bahkan mungkin ketidakmunculannya di dunia adalah yang mereka inginkan.
"Aku tidak akan melakukannya."
"Hanya orang bodoh yang akan mempercayainya." Dan Catalina bukan salah satu dari golongan orang bodoh itu. Ia hanya menggunakan insting bertahan hidupnya untuk tidak menyerah apapun yang terjadi. Alasannya sederhana, ia ingin hidup.
"Kau keras kepala sekali."
"Ku anggap itu sebagai pujian," sahut Catalina.
Namun, alur hidup terkadang punya jalannya sendiri. Ia punya keinginan, tapi keadaan juga punya kenyataan.
Pada akhirnya ia tertangkap.
Berlari dengan kecepatan penuh menggunakan tenaga yang tersisa, setelah beberapa menit berlalu, ia tidak bisa mempertahankan kecepatan berlarinya. Dan, begitulah akhirnya. Ia terjatuh setelah seorang pria menubruknya dari belakang.
"Seharusnya kau menyerah sejak awal, bocah tengik," ucap salah seorang pria dengan bangga setelah berhasil menangkap tubuh kecil Catalina.
Catalina menggeram saat tubuhnya menghantam jalan beraspal. Meski dedaunan kering menumpuk hingga tidak mengeluarkan bunyi keras saat tubuhnya tumbang, namun rasa sakit yang ia rasakan dari himpitan manusia besar di punggungnya, membuat ia tak berkutik.
"Sialan!" maki Catalina. "Atas dasar apa aku harus menyerah pada orang-orang tidak bermoral seperti kalian?" Catalina masih berusaha membebaskan diri. Namun sekuat apapun ia mencoba, ia tidak berhasil. Ia terlalu lelah untuk melawan. Di tambah, sebuah senjata api yang saat ini mengarah di punggungnya, mau secepat apapun gerak tubuh manusia, masih kalah cepat dari letupan senjata api.
Pria yang lain mendesis. "Kau benar-benar pandai membual." Segera setelah ucapan itu selesai dilontarkan, tawa ringan terdengar. Kemudian disusul dengan cemoohan yang mengejek Catalina.
"Hanya gadis kecil, kenapa kau begitu sombong, em?"
"Lihat, betapa menyedihkannya dirimu."
"Percayalah, kau tidak akan hidup lama jika sifatmu seperti itu."
"Kemampuanmu di awal tidak terlalu buruk, tapi semakin lama kau semakin payah."
"Tidak berguna!"
"Persetan!" raung Catalina ketika mendengar ejekkan dari para pria yang menertawakan kemalangannya. "Kalian bertingkah sombong karena ada yang melindungi kalian." Berbeda dengan dirinya. Selain dirinya sendiri, siapa lagi yang bisa melindunginya?
"Lihat apa kau masih bisa bicara jika peluru ini melubangi punggungmu!" Selesai berkata, pria yang menghimpit tubuh Catalina menempelkan mulut senjata apinya lalu menekannya semakin dalam ke punggungnya.
Tubuh Catalina bergetar. Mulut senjata api yang menempel padanya membuatnya kehabisan nafas. Tenggorokannya tercekat. Ketakutan tidak mendapat uang jika tidak melayani tamu dengan benar di tempatnya bekerja paruh waktu, kalah dengan rasa takut akan kematian yang sekarang ia rasakan.
Meski cukup menarik jika bicara tentang kematian, namun ia tidak boleh mati hari ini. Bukan berarti ia tidak ingin. Ia ingin namun tidak bisa. Ia harus hidup dan tetap hidup, apapun yang terjadi.
Ia memejamkan mata.
Seharusnya akhirnya tidak seperti ini. Seharusnya ia bisa menghindar lalu pergi. Tapi kenapa semua menjadi seperti ini, bergerak tak terkendali, berjalan tidak sesuai aturan?
Andai Dia benar-benar ada, apa Dia akan datang dan menolongnya?
Ia adalah gadis yang tidak percaya hal spiritual. Ia yang hidup dalam garis kemiskinan dan menderita sejak kecil, tidak bisa lagi percaya akan keberadaan Sang Pencipta.
Namun, jika kali ini ia selamat, ia bersumpah akan lebih taat kepada-Nya dan menjadi hamba yang baik. Ia akan menyumbangkan sedikit uang dari pekerjaan paruh waktunya untuk orang yang lebih miskin darinya. Dan ia juga akan datang ke tempat ibadah sesering mungkin.
Ia sungguh akan melakukan semua itu. 'Jadi, tolong selamatkan aku kali ini. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan-Mu.' Ia berdoa di dalam hati dengan mata terpejam.
Beberapa saat kemudian.
"Huh.. huh.. huh.." Hembusan napas cepat seorang pria yang paling payah di antara mereka, semakin jelas terdengar. Setelah melihat orang-orangnya berhasil menangkap Catalina, ia menepuk salah satu punggung mereka. "Kerja bagus, teman-teman," ucapnya dengan nafas terengah.
"Bukan masalah besar, Nick," jawab salah seorang di antara mereka.
Pria yang dipanggil Nick, mengangguk. Kemudian ia berjalan melewati para pria lalu berdiri tepat di depan Catalina. "Biarkan dia berlutut," ucapnya, memberi perintah.
Segera mereka membuat Catalina berlutut.
Nick tahu Catalina memiliki kemampuan yang cukup baik dalam bela diri. Itu sebabnya tidak mudah menangkap gadis itu. Namun karena keberuntungan sedang berpihak padanya, operasi penangkapan Catalina berhasil dilakukan dalam sekali coba.
Catalina tercengang saat mendapati tidak ada apapun yang terjadi. Tidak ada bunyi tembakan, tidak ada rasa sakit, apa ia sudah mati dan berada di akhirat?
Pemikiran semacam itu membuat kepalanya pusing.
Belum reda pusing di kepalanya, rasa sakit kembali datang saat tubuhnya dibanting dengan keras. Namun rasa sakit yang terasa membuatnya yakin ia masih hidup. Semakin sakit semakin hidup. Jadi, apa ia benar-benar diselamatkan?
"Angkat wajahmu!" bentak Nick setelah Catalina berlutut di depannya. Kedua tangan Catalina terlipat ke belakang dan seorang pria kekar memegangnya erat.
Catalina tersentak. Ia menata pikirannya sebelum mengangkat wajahnya. Yang tertangkap penglihatannya adalah seorang pria berwajah tampan, bertubuh cukup tinggi, berpakaian rapi. Setidaknya dalam pandangannya, pria itu lumayan seksi.
Tunggu!
Ini bukan waktu yang tepat untuk mengagumi keindahan.
Catalina meraung, "Kau pikir kau siapa? Berani sekali melakukan ini padaku?" Wajahnya kini babak belur. Darah bahkan masih keluar dari sudut mulutnya. Penampilannya berantakan. Pakaian yang kumal, semakin kumal. Celana yang lusuh, semakin lusuh. Sepatu tuanya sobek pada beberapa bagian.
Pemandangan ini benar-benar menyedihkan. Namun bagi dirinya yang terbiasa hidup dalam kemiskinan, penampilan tidak pernah menjadi masalah. Asal ia masih hidup, maka segalanya tidak penting lagi.
"Uh." Nick mengusap dagu. "Siapa aku? Pertanyaan bagus," ucapnya. "Beberapa orang tidak peduli siapa aku. Tapi sepertinya itu sangat penting untukmu." Ia bertingkah keren di depannya. Padahal kenyataannya ia adalah yang paling payah.
Catalina melotot. Sialan pria ini. Dia pikir ia sangat ingin tahu siapa dia? Dalam mimpinya.
Nick mendekat kemudian menjepit dagunya. "Aku tahu apa yang kau pikirkan." Memaki dirinya, tentu saja, memang apa lagi?
"Apapun yang kau katakan," ujar Catalina, tidak peduli.
Nick terkekeh. Ada kebahagiaan tak terdeskripsikan di hatinya. Namun itu tersembunyi dengan baik. "Kau sangat mirip dengannya. Maksudku, wajahmu." Setelah memperhatikan lekat wajah cantik Catalina, meski memar, ia tidak menampik jika Catalina benar-benar mirip dengannya. Garis wajah serupa, tinggi yang sama, segala tentangnya membuatnya mau tidak mau harus mengakui bahwa kedatangannya ke kota kecil ini, tidak sia-sia.
Catalina tersentak. Mirip? Mirip dengannya? Dengan siapa? Ia bertanya-tanya. Ia memang memikirkan sebuah kemungkinan, lebih tepatnya hanya ada satu kemungkinan, tapi apa itu mungkin?
"Kau benar-benar ingin tahu?" tanya Nick.
"Jangan buang waktu lagi," sahutnya.
"Baiklah," ujar Nick. "Jika kau sangat ingin tahu, lihat dan perhatikan baik-baik." Ia mengambil sesuatu dari saku kemejanya kemudian menunjukkan gambar seorang gadis pada Catalina. "Katakan, bukankah kalian sangat mirip?"
Merupakan gambar seorang gadis muda yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit dengan infus yang terpasang di punggung tangannya. Tidak hanya infus, tetapi ventilator dan juga selang makanan.
Dengan peralatan medis lengkap di sekitarnya, sekilas lihat orang akan langsung tahu keadaan macam apa yang dijalani gadis itu.
Kondisi vegetatif, atau..
Koma.
"I, i, ini tidak mungkin." Terkejut setengah mati, suara Catalina terputus-putus saat melihat gambar seorang gadis dengan wajah tidak asing terpampang nyata pada selembar kertas yang Nick tunjukkan. Tidak. Bukan tidak asing. Tapi sangat-sangat familiar. Saking familiarnya, ia merasa bahwa wajah itu dicetak dari cetakan yang sama dengannya.
Benar-benar mirip.
Namun, potret seorang gadis yang memiliki wajah yang sama dengannya, bagaimana mungkin Nick memilikinya?
Ia membatu untuk sesaat. Kemudian tatapannya beralih, menatap Nick dengan tatapan penuh selidik. Ia tidak tahu bagaimana atau darimana Nick mendapatkannya. Namun benaknya hampa. Alarm terus berbunyi di kepalanya seolah mengatakan bahwa ini bukan situasi dimana ia harus berpikiran buruk. Namun mustahil ia tidak curiga.
Ia mencurigai Nick. Tidak. Ia hanya khawatir. Sangat khawatir sampai membuatnya takut.
Apa yang terjadi padanya?
Kenapa?
Ada apa?
Memikirkan bagaimana hal-hal buruk semacam itu terjadi pada gadis itu, tubuhnya terhuyung lalu luruh di jalan layaknya daun yang tertiup angin.
Ia tidak berdaya. Sangat-sangat tidak berdaya.
Semua tenaganya mendadak hilang ketika wajah yang sangat ingin ia lihat tepat berada di depannya, tidak dalam kondisi yang baik. Namun meski begitu, ia tahu lebih dari siapapun siapa sebenarnya sosok itu. Tidak peduli seberapa pucat wajahnya, tidak peduli seberapa kurus tubuhnya, ia tetap mengenalinya.
Kenangan menyakitkan yang berasal dari masa lalu tiba-tiba bergulir di kepalanya seperti kaset rusak, membuat setetes bening jatuh dari sudut matanya.
Tatiana.
Benar. Itu adalah Tatiana.
Saudara kembarnya.
Kesayangannya
Cintanya.
Segalanya untuknya.
"Tatiana, bagaimana mungkin?" gumamnya dalam kegelapan. Rasa sakit yang perlahan hadir membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Tubuhnya bergetar dan akhirnya ia terisak saat air mata berbondong-bondong jatuh tanpa diminta.
Rasa sakit yang teramat dalam, rasa sakit karena sebuah luka, pada akhirnya ia merasakan sesuatu yang tidak ada di sampingnya namun terasa hilang. Seseorang yang tidak pernah ia lihat, seseorang yang tidak pernah ia sentuh, seseorang yang tidak pernah ia peluk, kenapa terasa kosong hingga rasanya sulit untuknya bertahan dalam kesadarannya?
Bahkan luka di tubuhnya, masih kalah sakit dari luka dihatinya. Sesuatu yang tidak bisa dilihat namun terasa nyata ia rasakan. Sesuatu yang.. ah sial, ia benar-benar tidak bisa menerjemahkan perasaan macam ini. Namun itu sangat menyakitkan.
Untungnya, tidak ada lampu jalan di sekitar. Sehingga tidak ada yang bisa melihat bagaimana keadaannya sekarang. Betapa menyedihkan, betapa terpuruk, betapa hancurnya ia hanya karena sesuatu yang tidak ia miliki.
Seharusnya ia tidak sedih. Lebih tepatnya, ia tidak boleh menunjukkan emosinya. Namun karena Tatiana, rasionalitasnya hilang. Seperti kehilangan separuh hidupnya, rasanya sakit sampai hampir mati.
Detik berganti menit. Kegelapan malam membuat suasana semakin sunyi. Kesunyian berubah mencekam secara perlahan. Dengan begitu, mustahil orang-orang yang sedari tadi mengawasinya tidak mengetahui tentang kesedihan dan tangisannya. Tapi siapa peduli? Entah mereka benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, itu bukan urusannya.
Melihat bagaimana Catalina menangis, Nick menaikan tangan, meminta agar para tentara bayaran mundur.
Mendapat instruksi, mereka segera mundur lalu perlahan hilang di telan kegelapan. Menyisakan dua orang yang masih bertahan dengan isi pikiran masing-masing.
Menyadari tidak ada orang lain selain Nick, Catalina perlahan bangkit. Kemudian ia berjalan perlahan menghampirinya. "Katakan, dimana Tatiana?" Suaranya dalam, penuh penekanan. Ia mencengkeram kerah kemeja Nick. "Katakan, atau aku akan membunuhmu selagi kawananmu pergi." Tidak ada sedikitpun jejak kelembutan yang tersisa dari dirinya, yang ada hanya kemarahan serta rasa benci.
Bukannya takut, Nick justru terkekeh. "Keberanianmu memang luar biasa." Dan ia sama sekali tidak terusik atas apa yang Catalina lakukan. Baginya, keberanian gadis itu adalah yang ia butuhkan. "Namun aku tahu lebih dari siapapun kau tidak bisa melakukannya." Ada kelebihan, maka ada pula kekurangan. Dan itulah kekurangan Catalina.
Gadis muda itu tidak bisa membunuh orang. Bukan karena tidak bisa, dia hanya tidak punya keberanian. Selain itu, dia juga tidak punya kekuatan atau kekuasaan. Jangankan membunuh, menyakiti pun ia yakin gadis itu tidak bisa melakukannya.
Tidak tahu bagaimana kehidupan gadis itu selama ini, tidak tahu apa yang dia lakukan selama ini.
Namun ia mendengar jika kehidupannya sangat lurus dan jauh dari masalah. Selain kuliah dan bekerja paruh waktu, hampir semua hal yang gadis itu lakukan positif. Tidak mencari masalah, tidak mencari keributan, sopan dan yang terpenting bisa mengendalikan diri dengan baik.
Meski dia arogan dan tidak begitu pandai berteman, jika berada di tangannya dan dalam perawatannya, tunggu saja seperti apa perubahannya. Ia tidak sabar menantikan itu.
Catalina mengeratkan cengkeramannya. "Sekarang aku bisa melakukannya." Tidak ada sedikitpun ketakutan yang ia rasakan. Selain dendam dan kebencian, yang paling kuat darinya adalah hasrat untuk membunuh orang yang sudah menyakiti Tatiana.
Meski tidak lagi berlatih beladiri sejak masuk bangku kuliah, Catalina yakin kemampuannya masih cukup baik jika hanya mematahkan leher pria tua di depannya. Dan bahkan jika ia harus berurusan dengan aparat kepolisian atas kasus pembunuhan yang mungkin akan ia lakukan, jika untuk Tatiana, ia tidak akan menyesal meski harus mendekam di balik jeruji besi selama sisa hidupnya.
Harga nyawa pria tua ini, tentu tidak sebanding dengan hidup adik perempuannya. Jika ia membiarkan begitu saja sosok yang sudah menyakiti Tatiana, sosok yang sudah membuat gadis itu terbaring di rumah sakit, dengan menghabisinya, mungkin cukup untuk memadamkan amarah di hatinya.
Nick menahan nafas saat merasakan cengkeraman Catalina semakin kuat. Gadis di depannya ini benar-benar gila. Dan ia merasa bahwa gadis itu sungguh akan membunuhnya jika ia berani memprovokasi lagi.
"Tentu kau bisa melakukannya." Kalimat Nick terputus dan mereka saling pandang. "Namun kau tidak akan pernah bisa bertemu dengan adik perempuanmu lagi." Dengan kosakata yang tersisa, ia menambahkan.
Satu-satunya alasan Nick mencari Catalina, adalah untuk Tatiana. Satu-satunya pula harapan yang tersisa untuk mencari pelaku yang sudah membuat Tatiana terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Jika bukan karena itu, ia tidak akan susah payah pergi mencarinya.
Mendengar kata "adik perempuan" disebutkan oleh Nick, seketika Catalina sadar dengan apa yang ia lakukan. Bayangan perpisahan yang terjadi di masa lalu, ingatan kelam tentang perpisahan yang tak terelakkan, gambaran menyakitkan saat kehilangan satu sama lain membuatnya tersadar jika kehidupan melelahkan yang ia jalani selama ini, semata-mata hanya untuk Tatiana. Agar ia bisa mencari dan menemukannya. Agar mereka bisa berkumpul seperti dulu lagi seperti saat mereka masih bersama.
Tetapi saat melihat tubuh tidak berdayanya, harapan itu kempis seperti balon yang kehilangan udara. Harapannya, tujuan hidupnya, kebahagiannya, tanpa dia, tidak ada gunanya ia hidup.
Melihat amarah Catalina perlahan reda, Nick berkata, "Lepaskan aku, Catalina. Aku satu-satunya orang yang bisa kau andalkan." Suaranya semakin rendah seiring kata yang terlontar. Jika ia belum menyebutkan, maka kelemahan Catalina yang lain adalah Tatiana.
Catalina dengan cepat kembali ke akal sehatnya. Tetapi ia tidak langsung melepaskan Nick. Ia tidak tahu siapa Nick dan apa motifnya. Apa dia orang kepercayaan Tatiana atau bukan. Namun ia takut meluapkan amarah dan kebenciannya pada orang yang salah.
Benarkah Nick orang yang harus ia bunuh?
Ia menatap pria itu selama beberapa waktu sebelum akhirnya benar-benar melepaskannya. Ia takut menargetkan orang yang salah. Namun bukan itu, yang paling menakutkan adalah ia tidak bisa bertemu Tatiana jika orang ini mati.
Dada Nick naik turun dengan nafas terengah. Seperti maraton empat puluh dua kilometer, ia sungguh kehabisan napas. Belum lagi tekanan yang Catalina berikan. Itu sudah cukup untuk membunyikan alarm tanda bahaya di kepalanya.
Bahkan jika Catalina tidak bisa membunuh, gadis itu pandai memberikan tekanan pada lawannya. Itu akan sangat menguntungkan jika ia bisa menjadikannya sebagai pengganti Tatiana.
Setelah melepaskan Nick, tubuh Catalina bergetar. Ia selalu merasa hancur tiap kali mengingat adiknya. Kakinya menjadi lemas dan ketika ia merasa akan tumbang, ia berjongkok. Ia menelusupkan jemari ke rambut kepalanya, lalu meremasnya.
Ia frustasi.
Nick mengemudikan mobilnya dengan sangat pelan mengikuti Catalina. Gadis muda itu terang-terangan menolak naik mobilnya. Ia hanya bisa mengikuti dari belakang dan menyaksikan punggungnya yang berjalan di bahu jalan.
Dengan lampu mobilnya yang menerangi bagian belakangnya, tubuh kurusnya semakin jelas terlihat. Jika benar seperti yang Tatiana katakan sebelum dia koma, seharusnya ia bisa mengandalkan gadis itu.
Tingkat kemiripan mereka, hampir seratus persen.
Kesamaan fisik termasuk warna rambut, warna mata, warna kulit, bahkan tinggi badan, sama persis. Namun karena faktor lingkungan, berat badan mereka sedikit berbeda. Tetapi perbedaan itu tidak terlalu banyak. Hanya orang yang selalu berada di samping Tatiana yang akan mengerti berapa perbedaan bobot tubuh mereka. Mungkin hanya dua atau tiga kilogram.
Namun bukan berarti tubuhnya tidak bagus.
Meski menurutnya sedikit kurus, jika menambah sedikit lagi bobot tubuhnya dan memakai pakaian yang cocok, Catalina tidak kalah seksi.
Lihat saja, bahkan ketika hanya memakai jeans usang dan kaos kedodoran, dia masih tampak menggoda. Lalu apa kabar jika dia memiliki bobot tubuh yang pas dan mengenakan pakaian yang sesuai?
Tidak terbayangkan. Gadis itu mungkin mampu menyamai Tatiana cepat atau lambat, atau bahkan mungkin melampauinya.
Saat melihat Catalina masuk ke dalam sebuah gang sempit yang tidak bisa dilalui mobil, Nick segera menepikan mobilnya lalu menyambar kotak p3k sebelum turun dan berjalan kaki mengikuti di belakangnya.
"Hai." Nick mengawali pembicaraan. Namun, hening.
Catalina tidak peduli dengan keberadaan pria tak di undang yang sedari tadi mengikutinya. Yang ia pikirkan adalah bagaimana caranya agar bisa menemui Tatiana tanpa bantuan Nick.
Uang yang ia simpan selama ini masih jauh dari kata cukup untuk sekedar bepergian. Itulah yang menjadi masalah utamanya, uang.
Setelah tiba di depan sebuah bangunan kumuh, Catalina masuk melalui pintu masuk, kemudian ia berjalan menyusuri koridor, menapaki satu persatu anak tangga menuju lantai dua, menyusuri koridor lagi, dan setelah tiba di depan sebuah pintu, ia menekan password. Begitu pintu terbuka, ia segera masuk ke dalam.
Tanpa mempersilahkan Nick masuk, dengan tidak tahu malunya dia masuk dengan sendirinya.
Setelah Catalina menekan saklar yang membuat satu-satunya lampu yang menggantung di langit-langit ruang menyala, pria tampan itu mengedarkan pandangan ke sekeliling
Melihat isi rumah yang kacau, Nick menyentuh tengkuknya. "Tempat tinggalmu jauh lebih buruk dari yang kuduga," celetuknya masih dengan memperhatikan lekat keadaan sekitar.
Kasur kecil yang tergeletak di lantai, lantai bobrok, cat mengelupas, ruang yang terlalu lembab, debu yang tidak dibersihkan dengan benar, sepatu dan pakaian yang berserakan, perabotan usang, puntung rokok, sampah-sampah yang tidak di buang setiap hari, dan semua itu adalah pemandangan yang ia jumpai begitu memasuki rumah.
Sepetak ruang berukuran tidak lebih dari empat meter persegi itu sama sekali tidak mirip rumah. Mungkin bisa di kategorikan sebagai tempat kumuh, sepetak ruang kumuh, apartemen kumuh, atau apapun sebutannya. Intinya seperti itu.
Catalina tersenyum miring. Ia yang sebelumnya sangat kesal terhadap Nick, semakin kesal. Ia meletakan tasnya secara asal dan berkata, "Aku juga tidak menduga kau akan terang-terangan menghina tempat tinggal seorang gadis yang baru pertama kali kau temui."
Apa Nick berpikir ia senang dengan kedatangannya?
Jika Nick berpikir begitu, maka dia salah.
Atas dasar apa ia harus senang?
Pria itu, jika bukan karena Tatiana, ia juga malas berbicara dengannya. Karena ia membutuhkannya untuk memberitahu lokasi pasti keberadaan Tatiana, ia terpaksa menahan rasa kesalnya untuk dirinya sendiri.
"Aku juga tidak menduga akan mengatakan itu," ujar Nick tanpa sedikitpun rasa bersalah. Ia mendudukkan diri di lantai. Tidak ada tempat duduk atau sofa yang bisa diduduki, ia hanya bisa meletakkan pantatnya di sana. "Tapi, lupakan!" Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas tentang tempat tinggal. "Sini!" Ia menarik pergelangan tangan Catalina hingga gadis itu terduduk di sampingnya.
"Hei, apa yang kau lakukan?" Suara Catalina meninggi. Ia menarik tangannya kembali. Sikap waspada sengaja ia terapkan untuk mengantisipasi hal tidak terduga yang bisa saja terjadi. Bagaimanapun, pria yang bersedia membayar tentara bayaran untuk memburu seorang gadis, kemungkinan besar adalah psikopat yang akan melakukan tindakan serupa di kemudian hari.
Nick membuka kotak p3k kecil yang ia ambil sebelum turun dari mobil. "Mengobatimu," jawabnya. Ia mencari barang-barang yang ia butuhkan di dalam kotak. Seharusnya ia menggunakan air dingin untuk mengompres memar di wajahnya. Namun di tempat seperti ini yang bahkan tidak ada kulkas, mustahil ia bisa menemukan air dingin. Mungkin ia hanya akan mengobati luka lebamnya seadanya.
"Kau tidak perlu melakukannya." Catalina menjauhkan dirinya dari Nick. Ia tidak suka dunianya yang tenang dimasuki orang asing. Itu menimbulkan perasaan tidak aman serta membuatnya sedikit cemas.
"Kenapa?"
"Hanya luka kecil," jawabnya. "Akan sembuh dengan sendirinya." Ia adalah orang yang terbiasa hidup sendiri dan terbiasa menangani berbagai macam hal seorang diri, tanpa bantuan siapapun. Dengan kemunculan Nick yang tiba-tiba, justru membuat kewaspadaannya kian tumbuh.
"Jangan keras kepala. Aku tidak suka bicara dua kali." Nick adalah pria dengan otoritas. Ketika ia menemukan Tatiana yang berbakat dan memiliki potensi, ia dengan segala otoritasnya, berhasil membawa namanya terbang tinggi. Selain itu, dengan sifatnya yang penurut, ia semakin menyukainya.
Bebeda cerita dengan Catalina. Perbedaan dua gadis itu benar-benar jauh. Mulai dari watak hingga kepribadian. Ibarat langit dan kerak bumi, jaraknya tak terukur, tak terhingga. Namun ibarat dua sisi koin yang berbeda, meski berbeda namun tetap berada pada koin yang sama. Mau sejauh apa perbedaan sifat dan sikap mereka, mereka tetap saudara kembar yang sama secara fisik.
"Aku juga tidak suka mendengar ucapan yang sama sampai dua kali," ujar Catalina, tidak mau kalah. "Jadi, menyingkirlah!"
"Kau benar-benar keras kepala." Selesai berkata, Nick mencengkeram pergelangan tangan Catalina, lalu ia menariknya. Setelah itu, ia membersihkan luka pada sudut bibirnya secara paksa menggunakan antiseptik.
"Ah." Catalina terkejut karena rasa perih akibat antiseptik yang dituangkan pada kapas kesat menyentuh luka di bibirnya.
Nick mencibir. "Dan kau jauh lebih lemah dari yang ku kira," ejeknya. Namun kesakitan yang Catalina rasakan tidak lantas membuatnya berhenti. Ia melanjutkan membersihkan sisa-sisa darah pada sudut bibirnya lalu mengeringkannya menggunakan kasa kering. Setelah itu, ia mengoleskan salep luka untuk mempercepat pengeringannya.
"Aku tidak lemah, aku hanya terkejut." Catalina membela diri. "Juga, jangan gunakan plester!" Tambahnya saat melihat Nick mengambil sebuah plester luka bergambar animasi dari kotak p3k.
Nick meletakan plester lukanya kembali. "Baiklah, aku tidak akan menggunakannya." Selesai berkata, ia segera membereskan barang-barangnya. "Bagaimana keadaanmu selama ini?" tanyanya kemudian.
"Untuk ukuran seorang pria, kau sangat cerewet."
Nick tertawa kecil. "Aku hanya ingin tahu keadaanmu."
Catalina mendesah kasar. "Seperti yang kau lihat, aku babak belur dan itu karena ulah bajingan yang tidak bertanggungjawab." Ia terang-terangan menyindir Nick. Tidak. Itu bukan menyindir, tetapi mencibir secara langsung.
"Apa kau sedang menyindirku? Tepat di depan wajahku?" Nick menunjuk dirinya sambil tertawa canggung. "Tidak bisakah kau tidak terang-terangan menyindir seseorang yang meski sudah menyakitimu tapi juga mengobatimu? Lagipula, memang benar aku yang merencanakannya, tapi aku melakukannya bukan tanpa alasan. Jadi jangan menyalahkan ku terlalu keras, oke?"
Catalina menggeleng perlahan. "Kau benar-benar punya muka setebal besi." Memang siapa yang ingin di obati pria busuk ini? Ia tidak meminta dan yang terpenting betapa nyamannya hidupnya sehingga ia berpikir dapat merubah perasaan orang lain sesuka hatinya. Apa dia berpikir jika dia sedikit saja menyenangkannya, maka ia akan mentoleransinya?
Ketika perbincangan berakhir, keheningan menghantui.
Mereka berdua tenggelam dalam kesunyian. sibuk dengan pikiran masing-masing, memikirkan masalah mereka sendiri. Pikiran mereka berada di ujung yang sama sekali berbeda. Bahkan mereka tidak berada di jalur yang sama.
Bagi Catalina yang seorang penyendiri, kedatangan seseorang merupakan hal terburuk yang pernah ada. Alasan kenapa ia selalu sendiri juga karena ia merasa tidak nyaman jika ada orang lain di dekatnya yang bertingkah seperti temannya.
Ia tidak punya teman dan ia tidak berencana untuk punya teman.
Ia hanya punya saudara kembar yang juga menjadi temannya. Meski mereka berpisah, satu-satunya teman dan saudaranya, hanya dia.
Tatiana diadopsi oleh sebuah keluarga saat mereka tinggal di panti asuhan. Alasan kenapa ia tidak ingin memiliki orang lain di sampingnya juga karena ia tidak ingin merasakan sakitnya kehilangan lagi.
Kehilangan Tatiana sudah cukup menghancurkan hidupnya. Ia tidak ingin kembali terpuruk seperti saat Tatiana dibawa pergi secara paksa. Itu membutuhkan bertahun-tahun untuknya bangkit, jadi ia memutuskan untuk mengasingkan diri dari dunia dan tidak berkomunikasi dengan orang lain jika tidak diperlukan.
Sedangkan Nick, dalam keheningan, ada banyak yang ia pikirkan. Tetapi pandangannya juga terus beredar mengawasi sekeliling untuk melihat sesuatu yang bisa ia lihat. Sesuatu yang dangkal, hambar dan sama sekali tidak menarik. Itulah gambaran kehidupan yang ia lihat tentang Catalina. Barang-barang usang, perabot seadanya, dan segala tentang gadis itu menjeritkan kemiskinan, kesepian serta kesendirian.
"Apa kau tinggal sendiri?" Suara serak Nick memecah keheningan. Ketika pandangannya beralih dari satu barang ke barang lain, tanpa sengaja wajah Catalina tertangkap penglihatannya. Wajah yang cantik, sangat mirip dengan Tatiana. Gadis ini hanya terlalu kumal.
Sebelah alis Catalina terangkat. "Apa kau melihat ada orang lain di sini?"
Nick menggeleng canggung. Menanyakan pertanyaan itu seperti ia sedang menunjukkan kebodohannya. "Jadi, apa kau punya teman yang pernah datang ke sini?" Ia cepat-cepat mengganti pertanyaannya sebelum Catalina benar-benar menganggapnya bodoh.
"Sejauh ini, kau orang pertama."
Nick tercengang. "Benarkah?" Ia tidak tahu apakah harus menangis atau tertawa. Menjadi yang pertama datang, haruskah ia membuat pesta dan merayakannya?
"Apa aku terlihat seperti tukang bohong?" Catalina menunjukkan wajah datarnya.
"Tidak. Mana mungkin kau terlihat seperti itu," sahutnya cepat. "Aku hanya merasa terhormat menjadi tamu pertama yang datang ke rumahmu."
"Kau hanya tamu tak diundang." Yang itu berarti hanya Nick yang senang, ia tidak.
Senyum Nick memudar. "Kau tidak pandai menyenangkan orang."
"Sejauh ini memang begitu."
Seketika Nick kehilangan semua kata-katanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!