"Detik ini juga aku menceraikanmu. Kau bukan lagi istriku sekarang."
"Ta....tapi apa kesalahanku?."
"Kau masih bertanya apa kesalahanmu? Baik, akan kuberitahu!," Senyum sinis tersungging di wajah. "Kau adalah seorang wanita murahan. Kau tak bisa menjaga kesucianmu sendiri. Jadi, untuk apa aku mempertahankan wanita sepertimu."
"Tuduhanmu itu tidak benar sama sekali, mas. aku wanita yang suci."
"Suci katamu? Kau bilang kau masih suci? Apa buktinya kalau kau masih suci?," berteriak penuh kemarahan. "Di malam pertama kita, kau bahkan tak mengeluarkan setetes pun darah keperawanan. Apa itu yang kau sebut sebagai masih suci?."
"Tak mengeluarkan darah keperawanan bukan berarti aku tidak suci, mas. Banyak wanita di dunia ini yang tak bisa mengeluarkan darah keperawanan karena beberapa sebab, dan salah satunya adalah aku."
"Tidak usah sok mengajari aku. Aku tahu mana yang salah dan.mana yang benar."
"Demi Allah aku bersumpah, tidak ada laki-laki lain yang menyentuhku selain dirimu. Kau lah yang pertama bagiku."
"Jangan pernah bersumpah hanya untuk menutupi kesalahan, itu tak kan pernah merubah kenyataan. karena sekali murahan, tetap murahan.
...****************...
BEBERAPA BULAN SEBELUMNYA....
Seorang wanita dengan pakaian kerja lengkap berwarna hijau tosca tengah berjalan keluar dari gedung perkantoran. Busana yang dikenakannya membalut dengan sempurna tubuh ramping miliknya sehingga semakin menambah keanggunannya. Tangannya menjinjing sebuah tas dengan merk terkenal. Kepalanya tertutup hijab dengan warna senada. Kakinya yang jenjang mengenakan sepatu hak tinggi dengan merk terkenal pula.
Dialah Nayla Samma Fatimah, atau yang akrab disapa dengan panggilan Nayla. Seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun. Kekayaan selangit karena memiliki sepasang orangtua yang masuk dalam daftar lima orang terkaya di negeri ini. Hobinya adalah memasak, kerap kali ia melampiaskan semua emosi dengan berkreasi menciptakan resep kue baru.
Lulus dari menempuh pendidikan dengan predikat cumlaude di Harvard university jurusan bussines management dalam usia dua puluh empat tahun. Ia kembali ke tanah air dan memgambil ali kepemimpinan perusahaan dari tangan sang ibu yang mulai menua, yang mana perusahaan itu memang telah diwariskan padanya semenjak masih bayi.
Paras oriental, tubuh tinggi semampai bak model profesional, alis tebal dan tulang pipi yang tinggi. Bibirnya kemerahan alami selalu terlihat menawan dengan wajah putih bersih miliknya.
Putri dari sepasang pengusaha sukses bernama Abhimana Haidar dan Kania Larasati. Dalam sekejap ia kembali, namanya melambung di kehidupan berbagai kalangan, terlebih nama besar yang dimiliki kedua orangtua membuat namanya semakin diperhitungkan. Pria berlomba-lomba untuk menjadi kekasih atau bahkan suaminya, namun semua ia tolak dengan alasan masih ingin sendiri.
Dengan kekayaan triliun rupiah, tak menjadikan dirinya angkuh dan sombong. Pribadinya yang bersahaja dan sopan membuat banyak orang terpikat dan ingin dekat dengannya.
"Mau kemana, bu Nayla?" sapa salah satu penjual bakso yang mangkal tak jauh dari kantornya.
Nayla menghentikan langkah saat ada yang menegurnya. "Eh, mang Maman, saya mau ke minimarket yang ada disitu, mang. Ada sesuatu yang ingin saya beli," jawabnya tersenyum ramah. Jarinya menunjuk kearah minimarket yang ada diseberang jalan.
"Kenapa nggak nyuruh orang saja buat beli, bu?."
"Nggak pa pa, mang. Lagian minimarketnya juga nggak jauh kan?."
Mang Maman berdecak kagum sambil geleng-geleng kepala. " Bu Nayla ini memang nggak ada duanya. Udah cantik, sukses, kaya, tapi nggak sombong dan mau melakukan apapun sendiri."
"Ah, mang Maman ini bisa aja mujinya. Ntar kepala saya jadi gede lho kalau terus-terusan dipuji," menanggapi pujian mang Maman dengan tersipu malu. "Mang Mamang sendiri, bagaimana dengan jualannya hari ini?" mengalihkan topik pembicaraan pada hal lain.
"Alhamdulillah, bu, lumayan."
"Alhamdulillah, tetap semangat ya mang."
Ditengah obrolan mereka, seorang pengemis berpakaian compang-camping datang mendekat. "Minta sedekahnya, Non. Saya belum makan apapun sejak kemarin," ucapnya lirih dengan tangan menegadah kearah Nayla. Begitu lirihnya ia berucap hingga hampir tak terdengar suaranya.
"Astaga, kasihan sekali. Kalau begitu kamu duduk sini dulu."
Pengemis itu menuruti perintah Nayla. Sementara Nayla beralih memghampiri Mang Maman. "Mang, tolong buatkan orang ini semagkuk bakso. Nanti biar saya yang bayar."
Mang Mamam mengangguk, meracik semangkuk bakso dan menghidangkannya di hadapan pengemis itu.
Pengemis itu segera memakan bakso dengan lahapnya. Begitu cepatnya ia makan hingga dalam waktu singkat bakso itu telah habis tak bersisa.
Sementara Nayla sendiri turut duduk disamping pengemis itu dan menemaninya makan tanpa rasa jijik apalagi malu.
"Terimakasih banyak, Non.Semoga Tuhan membalas semua kebaikan non. Kalau begitu saya permisi dulu!" ucapnya setelah perutnya terasa kenyang.
"Tunggu dulu!" Nayla menghentikan pengemis itu melangkah. Mengambil sejumlah uang dari dalam tas dan menyodorkan padanya. "Ini ada sedikit rezeki buat kamu. Tolong di terima. Semoga bisa bermanfaat buat kamu."
Pengemis itu menerima uang pemberian Nayla dengan berlinang air mata. Seumur hidup belum pernah ia memegang uang sebanyak itu. "Terimakasih banyak, Non. Semoga Tuhan menambah rezeki buat non."
"Amin...." sahut Nayla. Dan pengemis itu pun berlalu.
Mang Maman yang sedari tadi menyaksikan kejadian itu pun semakin dibuat kagum dengan kepribadian Nayla. "Bu Nayla ini memang wanita yang baik dan dermawan. Siapapun yang menjadi suami ibu nanti pasti akan menjadi laki-laki yang paling beruntung di dunia."
Nayla tersenyum kecil. "Jangan terlalu memuji saya, Mang. Saya hanya membagikan sedikit rezeki yang saya miliki. Lagipula bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu orang yang membutuhkan" ucapnya merendah. "Kalau begitu saya permisi dulu mang!."
Nayla pun meneruskan langkah menuju minimarket di seberang jalan. Namun baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba....
sretttt...
Brakkkk....
"Tolong....jambret." Seorang jambret merebut tasnya dari arah selatan. Ia pun mengejarnya sambil berteriak meminta tolong.
Mendengar adanya teriakan minta tolong, seorang pemuda datang mendekat. "Ada apa, mbak?" tanyanya.
"Tolongin saya, mas, tas saya diambil oleh jambret."
"Mana jambretnya?."
"Itu, mas! Dia lari kearah situ" jari tangan menunjuk kearah jambret.
"Mbak tunggu disini, biar saya yang mengejar jambretnya!." Secepat kilat ia berlari mengejar jambret itu. Dan hanya dalam waktu sekejap, ia berdiri menghadangnya. "Serahkan kembali tas yang kau ambil itu sebelum kau menyesal!" ucapnya memberi peringatan.
Mendengar peringatan itu, si jambret malah tertawa sinis. "Jangan harap aku akan mengembalikan tas ini!." Dan tanpa aba-aba, ia langsung melayangkan bogem mentah kearah wajah pemuda tersebut. "Hiya...."
Menyadari adanya serangan dari lawan, dengan sigap pemuda itu mengelak kesamping, hingga bogem mentah milik si jambret hanya mampu mengenai udara. "Jadi kau tidak mau menyerahkannya kembali? baiklah, jangan salahkan aku kalau bertindak kasar!"
Ia pun mengambil ancang-ancang untuk balik menyerang. Dilayangkannya sebuah tinju hingga mengenai tepat di ulu hati si jambret hingga membuatnya jatuh tersungkur.
Si jambret tak mau menyerah, ia segera bangkit dan balik menyerang dengan melayangkan sebuah tinju yang tepat mengenai wajah pemuda tersebut.
"Argk..." Si pemuda mengerang kesakitan, tak menyangka akan adanya serangan balik.
Sementara Nayla yang ikut mengejar jambret tersebut berteriak ketakutan saat melihat pemuda yang menolongnya tadi teurkena bogem mentah. Sontak suara teriakannya mengundang kerumunan massa.
Melihat banyaknya massa yang berkerumun, si jambret pun ketakutan. Ia melempar tas milik Nayla tadi dan lari tunggang langgang untuk menyelamatkan diri.
Pemuda itu pun memungut tas itu dan mengembalikannya pada Nayla. "Ini, mbak tasnya. Lain kali hati-hati!."
Nayla mengambil kembali tas miliknya dan mengucapkan terimakasih. Sementara massa membubarkan diri dengan sendirinya saat situasi kembali membaik.
Mendadak Nayla khawatir saat matanya melihat ada darah disudut bibir pemuda yang menolongnya tadi. "Mas, bibirnya berdarah."
Si pemuda yang tak menyadari kalau sudut bibirnya mengeluarkan darah pun menyekanya dengan punggung tangan. "Tidak apa, mbak! Ini hanya luka kecil."
"Jangan menyepelekan luka! nanti bisa infeksi kalau dibiarkan. Sini, biar saya obati dulu lukanya."
Nayla mengajak pemuda itu duduk di sebuah bangku yang berada tak jauh darinya. Di keluarkannya kotak p3k mini yang selalu dibawanya dari dalam tas dan mulai mengobati luka pemuda itu.
Tas Nayla diambil oleh jambret saat ia hendak ke minimarket di seberang jalan. Ia pun berteriak minta tolong.
Seorang pemuda datang menolong. Namun sudut bibirnya malah mengeluarkan darah akibat terkena tinju si jambret saat terjadi perkelahian tadi.
Nayla pun mengajak pemuda tersebut duduk diatas bangku tak jauh darinya dan mengambil kotak p3k dari dalam tas untuk mengobatinya.
"Argkkk..." si pemuda meringis kesakitan saat sensasi dingin dari kapas yang sudah dibaluri dengan cairan antiseptik menyentuh lukanya.
"Maaf...maaf! Sakit ya?" tanya Nayla penuh kekhawatiran.
"Tidak apa, mbak, tadi hanya sedikit perih saja" ucap pemuda tersebut sambil menggeleng dan tersenyum tipis.
"Sekali lagi saya minta maaf! Gara-gara nolongin saya, mas nya jadi terluka kayak gini." Nayla semakin merasa bersalah terhadap pemuda tersebut. Gara-gara menolongnya, ia harus terluka seperti ini.
"Tidak apa, mbak. Saya ikhlas kok nolongin mbak," tersenyum menenangkan untuk menghilangkan perasaan bersalah di hati Nayla.
Sejenak mereka sama-sama terdiam, tak tahu apalagi yang harus diomongkan. Namun secara tak sengaja Nayla melihat sebuah map yang sudah kotor akibat terkena tanah tergeletak disamping pemuda tersebut. "Hmm...Kalau boleh tahu, itu apa ya mas?" tanyanya.
"Oh ini?" memalingkan wajah ke arah map disamping dan memungutnya. "Ini surat lamaran kerja. Tadinya saya mau melamar pekerjaan di perusahaan Persada Makmur. Tapi kayaknya hari ini nggak jadi deh, soalnya mapnya sudah kotor kayak gini" mendesau lesu.
"Ya sudah, tidak apa. Besok saja saya kembali lagi setelah membuat yang baru."
"Memangnya mas ini mau ngelamar sebagai apa?."
"Apa saja, mbak! Jadi OB juga saya mau. Yang penting saya mendapat pekerjaan dan punya penghasilan tetap."
Mendengar jawaban pemuda itu, terbersit sebuah ide untuk membantunya sebagai bentuk ucapan terimakasih, "Coba sini saya lihat! Mungkin saya bisa membantu merekomendasikan nama Mas di perusahaan tempat saya bekerja," menadahkan tangan meminta bekas itu.
Pemuda tersebut terlihat ragu memberikan berkasnya, terlebih mereka baru saja bertemu. "Hmmm...kalau boleh tahu, nama mbak siapa?" tanyanya.
"Oh ya sampai lupa! Dari tadi kita bicara tapi belum tahu nama masing-masing," tertawa kecil dan menepuk jidatnya sendiri. "Kenalkan, nama saya Nayla Samma Fatimah, panggil saja Nayla," mengulurkan tangan mengajak berjabat tangan, senyum manis terus tersungging di bibir.
Pemuda tersebut membalas jabat tangan Nayla dan balik memperkenalkan diri. "Nama saya Davka Digdaya, panggil saja Dave. Salam kenal, mbak!."
"Salam kenal juga. Oh ya, mana berkasnya tadi? Saya mau lihat sebentar!" mengembalikan obrolan pada topik perbincangan semula setelah perkenalan singkat.
Dave pun menyerahkan berkas di tangannya. Nayla membuka berkas tersebut dan membacanya sebentar. "Dari cv yang mas lampirkan disini, saya yakin mas akan mendapatkan posisi yang bagus."
"Baiklah! Besok kamu datang saja langsung ke bagian HRD di perusahaan Haidar corporation untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai, dan kamu tidak perlu melakukan wawancara apapun lagi," ucapnya sambil menyerahkan berkas itu kembali ke tangan Dave.
Dave tertawa kecil mendengar ucapan Nayla. "Itu perusahaan besar, mbak. Mana mungkin saya keterima kerja disana. Tes masuknya saja sangat sulit."
Nayla tersenyum maklum mendengar ucapan Dave yang seakan tak percaya dengan ucapannya. "Mas tidak perlu khawatir. Bilang kalau saya yang menyuruh kesana."
"Memangnya mbak ini siapa? Kenapa bisa sepercaya itu kalau nantinya saya akan di terima?" tanyanya bingung, mulai curiga jika wanita yang ada disampingnya bukan wanita sembarangan.
"Sebab saya adalah CEO di perusahaan itu" tandasnya.
Mulut Dave menganga tak percaya jika wanita yang baru ditolongnya tadi adalah seorang CEO perusahaan besar, ternyata dugaannya tadi benar jika ia memang bukan seorang wanita sembarangan. Namun detik berikutnya bola mata Dave berbinar bahagia. "Terimakasih banyak, mbak! Saya janji, saya akan bekerja keras setelah bergabung di perusahaan mbak nantinya."
Nayla tersenyum ramah. "Jangan bilang terimakasih begitu. Justru saya yang harusnya berterimakasih karena sudah menolongku tadi. Yang saya lakukan ini tidak ada apa-apanya dibanding pertolongan mas tadi."
"Oh ya maaf! saya harus pergi sekarang sebab masih ada pekerjaan penting yang harus saya selesaikan" ucap Nayla setelah beberapa saat.
"Oh ya, tidak apa, silahkan, mbak!" mengangguk hormat.
Nayla membuka tas dan mengambil selembar kartu nama di dalamnya kemudian menyerahkan kartu itu pada Dave. "Ini karti nama saya. kalau ada apa-apa, atau mas butuh bantuan, hubungi nomor yang tertera disana."
Dave mengambil kartu nama itu dan membacanya sekilas. Kemudian ia menyimpannya dibalik saku jaket. "Sekali lagi saya ucapkan terimakasih, mbak! eh maaf, maksud saya bu Nayla," tersenyum kikuk.
"Tidak apa! Panggil saja Nayla," balas tersenyum pula. "Kalau begitu saya permisi dulu." Ia pun melangkah pergi meninggalkan Dave sendirian.
...****************...
"Kau terlalu keras memukulku tadi. Lihat, bibirku sampai berdarah begini!" menunjukkan luka di sudut bibirnya. Sebuah pukulan ia berikan terhadap lawan bicara.
"Maaf, bos! saya sedikit terbawa suasana tadi," menundukkan kepala takut.
"Ya sudah tidak apa! Yang penting tujuanku untuk mendekati Nayla sudah tercapai. Ini bayaran buat kamu!" mengambil sebuah amplop dari ballik saku jaket dan menyodorkannya pada lawan bicara tersebut.
Pria tersebut mengulurkan tangan hendak menerima uang bayarannya. Namun saat tangannya hampir menyentuh amplop, Davka malah menariknya kembali. "Setelah ini, pergi dan tinggalkan kota ini. Aku tidak ingin melihatmu ada disini atau rahasia kita akan terbongkar," ucapnya.
"Bos tenang saja! Rahasia bos aman sama saya. Yang penting bayaran saya sesuai dengan kesepakatan."
Davka mendecih sinis. "Kalau soal uang saja langsung tanggap, tapi kerjaannya nggak becus. Ya sudah, ini bayaran kamu, dan tinggalkan kota ini sekarang juga. ingat! kalau aku sampai melihatmu lagi, aku tidak segan-segan untuk menghabisimu!"
Pria tersebut mengambil amplop berisi uang dari tangan Davka dan memeriksa jumlahnya. Setelah yakin jumlahnya sesuai, ia menutup kembali amplop tersebut dan mengecupnya sekilas. "Jumlahnya sudah sesuai dengan kesepakatan kita, terimakasih banyak, bos! kalau begitu saya permisi dulu. Kalau bos butuh bantuan lagi, segera hubungi saya."
"Hmmm...pergilah!" Dave berdeham sebagai jawaban dan mengibaskan tangan sebagai isyarat menyuruh pergi.
Sepeninggal pria tadi, Davka menyeringai licik sambil memandangi foto Nayla. "Ha ha ha....kau memang bodoh Nayla. Aku tidak percaya akan semudah ini untuk mendekatimu, bahkan kau sendiri yang menawarkan diri. Lihat saja! Aku akan membuatmu masuk ke dalam perangkapku tanpa bisa keluar lagi, dan aku akan membuat hidupmu bagai di neraka."
Ya, pemuda itu adalah Davka, orang yang menolong Nayla dari jambret yang merebut tasnya tadi. Dan pria yang bersamanya itu adalah jambret suruhannya yang sengaja dikirim untuk memuluskan rencananya mendekati Nayla.
Entah apa alasan dibalik rencananya ini, dan entah apa yang akan dilakukannya terhadap Nayla nanti.
Singkat cerita, hubungan antara Nayla dan Davka pun semakin dekat, dan bahkan mereka berencana untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius dalam waktu dekat.
"Jadi, kapan aku bisa bertemu dengan kedua orangtuamu agar aku bisa segera melamarmu secara resmi?" tanya Davka suatu hari disaat mereka tengah makan siang bersama di sebuah restoran tak jauh dari kantor.
Nayla yang saat itu tengah menyeruput minumannya pun diam sejenak untuk berpikir. "Bagaimana kalau besok malam? Sepertinya kedua orangtuaku tidak ada acara apapun," jawabnya.
"Baiklah, aku setuju! Lebih cepat, lebih baik. Aku sudah tidak sabar untuk menjadikanmu sebagai milikku seutuhnya."
Keesokan malam, Davka segera bersiap. Dikenakannya kemeja warna putih dengan celana bahan berwarna hitam yang membalut tubuhnya dengan sangat sempurna, serta jas dengan warna senada dengan celananya. Rambutnya disisir klimis kebelakang, dan sepatu pentofel dengan warna senada pula. Terakhir, diseprotkannya parfum beraroma citrus mint untuk menyempurnakan penampilannya. Dengan menggunakan mobil milik perusahaan, ia mendatangi kediaman Nayla.
Nayla yang sebelumnya sudah mendapat kabar jika Davka sedang dalam perjalanan menuju rumahnya pun bersiap untuk menyambutnya di depan pintu. Ia sengaja tak memberitahukan kedatangan Davka kepada kedua orangtuanya karena ingin memberi kejutan pada mereka berdua.
Tin....tin...
Terdengar klakson mobil dinyalakan. Nayla bergegas keluar untuk menyambut tamu spesial yang datang setelah memastikan penampilannya rapi.
Davka membuka pintu mobil dan keluar dari dalamnya. Ia berjalan menghampiri Nayla dengan gagahnya. Hentakan sepatu pentofel yang dikenakannya terdengar memggema di udara.
Untuk sesaat Nayla memating ditempat terpukau dengan penampilan Davka. Sang pujaan hati benar-benar begitu menawan malam ini. Hingga dirinya tak sadar jika kini Davka telah berdiri di hadapannya.
"Hei, kok malah bengong?," ucap Davka sambil melambaikan tangannya di depan wajah Nayla karena tak juga menyahuti panggilannya sedari tadi.
Nayla tergeragap, tersadar dari keterpukauannya. Detik berikutnya ia menyembunyikan wajah dan tersipu malu karena ketahuan telah memandangi wajah Davka tanpa berkedip.
"Apa kau tak ingin mempersilahkan aku masuk dan mengenalkanku pada orangtuamu? Atau kita hanya akan berdiri disini sepanjang malam?" tanya Davka kembali.
"I...iya, mari kita masuk ke dalam" jawab Nayla terbata.
Davka mencubit ujung hidung Nayla dan tersenyum kecil. "Dasar!" ucapnya. Dan mereka pun berjalan beriringan memasuki rumah sambil bergandengan tangan mesrah.
Nayla membawa Davka menuju ruang tengah dimana kedua orangtuanya tengah bersantai sambil menonton televisi untuk memperkenalkannya pada mereka berdua.
"Ayah, bunda, maaf! ada seseorang yang ingin bertemu dengan kalian," ucap Nayla sopan setibanya di dekat mereka.
Mendengar dirinya dipanggil, Abhimana dan Kania menoleh bersamaan. Abhimana mengernyitkan dahi saat pandangannya berhadapan dengan seorang pemuda yang berdiri di samping putrinya. "Siapa dia?" tanyanya.
"Ayah, bunda, kenalkan! Ini teman spesial Nayla, namanya Davka. Dave, ini Ayah dan bundaku." Nayla saling mengenalkan mereka.
"Salam kenal, om, tante, saya Davka!."
"Salam kenal juga," jawab Kania ramah.
Abhimana hanya menjawab dengan deheman saja. Sementara pandangan terus tertuju pada Davka, melihat dari atas sampai bawah berulang-ulang, merasa pernah melihat wajah pemuda tersebut. "Wajah pemuda itu rasanya sangat familiar, tapi aku tak ingat dimana pernah melihatnya," ucapnya dalam hati. "Ah mungkin aku salah orang. Wajah mereka saja yang kebetulan mirip kali."
Abhimana menepis pikirannya sendiri dan mulai bertanya hal yang penting. "Teman spesial? Sejak kapan kalian saling mengenal? Kenapa kau tidak pernah memberitahukan hal ini pada Ayah atau ibu?."
"Maaf, yah! aku bukannya ingin menyembunyikan hal ini dari ibu atau Ayah. Aku hanya ingin memberi kejutan pada kalian kalau sebentar lagi kami akan....."
Sebelum Nayla menyelesaikan kalimatnya, Davka sudah memotong." Biar aku yang menjelaskan!."
Sejenak Davka dan Nayla saling tatap. Davka mengangguk dan tersenyum kecil, meyakinkan bahwa ia bisa melakukannya.
Abhimana menatap mereka berdua dengan pandangan datar, menanti apa yang ingin mereka katakan.
Davka maju selangkah mendekati Abhimana, menghela nafas pelan sebelum mulai bicara. "Kami saling berkenalan baru beberapa bulan yang lalu. Dan maksud kedatanganku ke sini adalah ingin melamar putri om sebagai istriku."
Kania terkejut mendengar perkataan yang diucapkan olehnya. "Melamar putri kami? secepat itu?."
"Ya, tante. Kami memang berencana ingin menikah dalam waktu dekat" jawab Davka mantap.
"Atas dasar apa kau berani mendekati putriku? Siapa kau sehingga berani menikahi putriku?." Abhimana menatap tajam Davka. Seakan ingin mengulitinya hidup-hidup karena telah berani meminta putrinya untuk dinikahi.
Mendapat tatapan seperti itu dari Abhimana, Davka tak takut sedikitpun. Ia bahkan berani menatapnya balik. "Saya bukan siapa-siapa, om. Saya hanya karyawan biasa di perusahaan yang Nayla pimpin. Saya tahu, saya tidak bisa menjanjikan kemewahan padanya. Tapi dengan cinta kami, aku akan membuat putri om bahagia."
Sebuah jawaban yang cukup jantan, dan Abhimana sangat menghargai itu. Namun ia menangkap sesuatu yang lain dari Davka. Gestur tubuhnya menunjukkan gelagat yang.kurang baik.
"Jawabanmu cukup berani dan percaya diri untuk ukuran pria yang tak memiliki apa-apa. Tapi aku tidak mungkin menyerahkan masa depan putriku hanya karena kata-kata manis," ucapnya tegas. " Tinggalkan rumah ini sekarang, dan kembalilah setelah membuktikan bahwa dirimu memang pantas untuk bersanding dengan putriku."
"Ayah!!" Nayla terkejut mendengar penolakan dari Ayahnya, bahkan sebelum memberi kesempatan pada Davka untuk membuktikan."
Pun demikian dengan Kania. Sejauh yang ia kenal, suaminya bukanlah sosok orang yang memandang derajat atau kekayaan orang lain. "Kenapa Ayah mgomongnya seperti itu?."
Abhimana tak menghiraukan tatapan penuh tanda tanya dari dua orang wanita yang sangat berarti dalam hidupnya dan tetap demgan keputusannya.
"Tapi, om, kami ini saling mencintai. Kenapa om malah menentang hubungan kami?."
"Karena kamu bukan pria yang sepadan dengan kami. Mana mungkin aku membiarkan putriku hidup susah setelah menikah nanti."
"Ayah!!" teriak Nayla keras. Semakin tak percaya dengan penolakan Ayahnya. Air mata jatuh berderai, hatinya hancur mendapati kisah cintanya terancam layu sebelum berkembang.
"Kenapa kau masih disini? Apa kau tidak mendengar kata-kataku tadi?," ucap Abhimana lagi saat melihat Davka masih berdiri di tempatnya.
Wajah Davka memerah menahan amarah, tak menyangka kalau ia akan diusir seperti ini. Tangannya terkepal kuat menahan emosi. "Baiklah, om, saya akan pergi. Tapi saya tidak akan pernah menyerah untuk bisa mendapatkan putri om."
Setelah mengatakan itu, la langsung berbalik dan pergi meninggalkan kediaman Haidar tanpa menoleh sedikitpun.
Meledaklah sudah tangis Nayla memandang kepergian sang pujaan hati. "Ayah jahat, egois. Aku benci Ayah." Ia pun berlarienuju kamarnya.
"Nayla...." teriak Kania memanggil nama putrinya bermaksud ingin mengejar, tapi Abhimana segera menghentikannya. "Biarkan saja dia pergi!" ucapnya datar.
Kania berbalik dan menatap suaminya, semakin tak percaya dengan apa yang terjadi. "Kenapa Mas Abhi bersikap seperti itu? Kenapa kau menyakiti hati putri kita seperti ini? Selama ini kau tak pernah bertindak seperti tadi?."
"Naluri seorang Ayahlah yang membuatku bersikap seperti itu. Aku merasa ada yang aneh dari pemuda bernama Davka itu. Sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan. Lagipula apa kau tidak merasa kalau pernikahan ini terlalu cepat mengingat mereka yang baru beberapa bulan saling kenal?."
Berjuta pertanyaan bermunculan dalam benak Kania mendengar ucapan suaminya. Sejauh yang ia kenal, suaminya tidak akan berbuat gegabah dan memikirkan segalanya dengan matang sebelum memutuskan. Tapi apa maksud dari perkataanya tadi?.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!