NovelToon NovelToon

Bos Dingin Si Gadis Cendol 2 : Pernikahan Tanpa Cinta

Bab 1. Menolak Lamaran

Buat pembaca yang mau tau kisah lengkapnya, lebih baik baca dulu Bos Dingin Si Gadis Cendol karena buku ini merupakan sesion ke dua, jadi biar gak bingung dengan alur cerita buku ini, terima kasih.

Di dalam perjalanan, kakek Arjuna menelepon orang-orang yang dianggapnya penting untuk langsung menuju Rumah Sakit milik Susilo yang juga merupakan rekan kerjanya. Pria tua penuh kehormatan dan Kharisma yang selalu saja mengikutinya terlihat begitu sumringah dengan senyum yang menyertai bibir keriput nya.

Laki-laki yang sudah memiliki rambut hampir seluruhnya berwarna putih itu, naik dengan mobil yang berbeda sementara cucunya sendiri menyetir mobil dan memaksa Syifa tetap bersamanya, diiringi Kenzi beserta pengacaranya.

Tiga mobil sedang melaju kencang menuju rumah sakit di mana Ridho dirawat, sementara di dalam rumah sakit itu sendiri Ibu Ayu terlihat begitu gelisah setelah mendengar perkataan ‘lamar’ dari laki-laki bernama Bima yang dikenalnya sebagai sahabat Arka — pria yang telah menolong putranya.

‘Ya Allah … sebenarnya kenapa nak Bima tiba-tiba saja mengatakan kalau dia yang bakal melamar Syifa? Apa pemuda itu sedang bercanda atau serius sih tadi?’ Pertanyaan demi pertanyaan tetap saja tidak menghilangkan rasa resah, gundah dan gelisah yang ada di dalam hati ibu Ayu.

“Jadi Syifa benar-benar belum mau menikah ya, Ibu Ayu?” Pak camat kembali menyadarkan wanita itu dari lamunannya yang sejak tadi merasa bingung untuk menjawab lamaran seorang pejabat di daerah tempat tinggalnya.

“Maaf ya Pak, sepertinya Syifa memang belum punya niat ke arah sana. Apalagi sekarang anak saya itu sudah bakal menyusun skripsi, jadi tak mungkin lah dia mau menikah secepat ini. Syifa juga masih memiliki cita-cita yang sangat mulia, dia ingin menyekolahkan adiknya sampai setinggi mungkin biar nanti Ridho bisa menjadi orang bertanggung jawab setelah sukses di masa depannya kelak.”

Ibu Ayu hanya mengarang apa saja yang ada di dalam pikirannya untuk menjawab sekaligus membatalkan dengan cara menolak lamaran dari sang pejabat. Mereka ternyata sengaja datang ke rumah sakit setelah mendapatkan berita dari Pak RT setempat, jika keluarga Syifa pasti sedang dilanda kesulitan memikirkan biaya rawat inap Muhammad Ridho. Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba saja seorang dokter bernama Adrian yang ternyata anak seorang ibu pelanggan cendol dawet miliknya, datang ingin melamar putrinya.

“Kalau ibu Ayu menolak lamaran kami ini, lalu bagaimana cara keluarga Anda untuk membayar biaya perawatan di rumah sakit mahal seperti ini? Apalagi kalian pakai sok-sokan segala menggunakan kamar VIP yang harganya saya jamin tidak akan bisa kalian dapatkan walau satu tahun jualan cendol murahan seperti itu!”

Ibu Ayu memicingkan mata sesaat, selaras tangan mengurut dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak.

“Pa! Papa ini ngomong apa sih? Tolong dijaga ucapannya dong, Pa! Lagian kalau lamaran kita ditolak bukan berarti kita harus menghina ibu Ayu juga, mama nggak suka dengan cara Papa seperti ini!”

Mama Adrian menoleh sesaat pada wajah Ibu Ayu yang terlihat masam bercampur geram. Siapa orang yang tidak akan marah ketika dirinya dihina begitu dahsyat dan dicampuradukkan dengan pekerjaan sehari-hari yang mereka lakoni selama ini demi sesuap nasi.

“Maafkan suami saya, ibu Ayu. Suami saya pasti hanya belum bisa menerima karena nak Syifa menolak lamaran Adrian, Putra kami. Aku harap ibu Ayu bisa memaklumi dan tidak memusuhi saya ketika nanti mau mau beli es dawet lagi! Sekali lagi saya minta maaf ya Bu, karena udah mengganggu di rumah sakit ini, padahal saya benar-benar sangat berharap Syifa bisa menjadi menantu di rumah kami.”

Istri pejabat itu tersenyum ringan menatap tulus setelah mengucapkan maaf berulang-ulang.

“Saya bisa memakluminya kok, Ibu Camat. Hanya saja saya nggak pernah menyangka, kalau pak camat yang selama ini begitu kami hormati, kok bisa-bisanya menghina saya seperti itu! Saya memang hanya seorang pedagang cendol di pinggir jalan, tapi kami nggak pernah meminta minta sama orang lain untuk makan. Jadi sebaiknya Ibu Camat segera pergi dan bawa anaknya jauh-jauh dari sini, jangan sampai nanti saya merasa sakit hati dan memanggil security!”

Ibu Ayu memang orang miskin tetapi dia akan terlihat kuat tanpa gentar apabila dihina orang. Tak ada manusia yang suka dihina apalagi disangkut pautkan dengan hal-hal yang berbau profesinya selama ini.

“Sekali lagi saya minta maaf ya, ibu Ayu. Tolong maafkan Papa saya karena dia hanya emosi sesaat saja. Sementara untuk Syifa sendiri nanti, jika Ibu mengizinkan maka saya akan mencoba untuk mengejarnya. Percayalah sama Adrian, Bu … saya tidak ada niat jelek terhadap Putri Ibu tetapi saya benar-benar sudah jatuh cinta sama Syifa sejak pertama kali bertemu dengannya di Warung Cendol Bunda Ayu.”

Ternyata dokter itu sudah terkesan begitu dalam terhadap Syifa Salsabila, tetapi sayangnya dia tidak berani mengungkapkan dan langsung main lamar saja, serta mengajak kedua orangtuanya untuk menemui Ibu Ayu.

“Ibu juga sudah memaafkan nya kok, nak dokter. Tapi kalau untuk merestui Syifa menikah dengan anda, sepertinya Ibu nggak bakal bisa. Apalagi melihat sifat papamu yang begitu sombong dan terlalu merendahkan keluarga kami. Jadi sebaiknya kita selesaikan hubungan ini di sini saja tanpa ada dendam ataupun saling bermusuhan, karena ibu sendiri pun akan tetap menerima nak Adrian jika memang bersilaturahmi ke rumah sekedar membeli cendol murahan kami.”

Dengan tegas Ibu Ayu langsung menolak keinginan dokter Adrian untuk mendekati putrinya, dia tidak ini kehidupan Syifa di masa depan nanti malah berujung mendapatkan penghinaan dari seorang pejabat yang terlalu sombong hanya karena kehidupannya sekarang.

Bapak Camat sendiri ternyata telah ke luar dari ruangan rawat Ridho setelah memberikan hinaan untuk ibu Syifa. Namun, sepertinya Adrian dan Mamanya masih berusaha untuk membujuk Ibu Ayu agar mau memberikan kesempatan di masa depan demi hubungan Adrian dan Syifa direstui.

“Apa Ibu Ayu tidak mau memberi kesempatan sekali lagi untuk anak saya? Urusan suami biar saya nanti yang bicara lagi sama dia, tapi Adrian benar-benar jatuh cinta sama Syifa,” ungkap mamanya Adrian dengan mata penuh harapan agar ibu Ayu mau mengabulkan permintaannya.

“Sekali lagi, saya betul-betul minta maaf sama Ibu dan juga nak Adrian. Jika memang Allah subhanahu wa ta'ala menjodohkan kalian nanti maka apa pun rintangannya … kalian akan tetap bisa menikah. Begitupun jika suatu saat nanti Allah tidak menyatukan kalian berdua, berarti takdir seperti itulah yang harus kalian jalani karena memang tidak akan pernah bisa dipaksakan sesuatu yang sudah menjadi garis takdir kehidupan manusia.”

Adrian terdiam mendengar kata-kata bijak begitu tulus dan penuh nasehat meluncur begitu saja dari wanita paruh baya penjual cendol yang sudah dihina Papanya.

“Kalau begitu kata ibu Ayu, maka saya pun tak bisa berbuat apa-apa. Terima kasih telah menyambut kehadiran saya, mama dan juga papa di sini. Maaf telah membuat Ibu Ayu dan putra Anda merasa tidak nyaman atas kedatangan kami.”

Sepasang anak dan ibu itu pun akhirnya saling berjabat tangan dengan ibu Ayu sebelum pergi meninggalkan ruang rawat inap Muhammad Ridho.

Bab 2. Ingin Menakanmu

“Assalamu’alaikum,” ucap suara berat seorang pria tua di depan pintu ruang inap Ridho.

Ibu Ayu menoleh heran sembari menjawab salam karena merasa tidak mengenal suara bariton nan berat milik laki-laki yang sedang mengetuk pintu ruang inap anaknya. Wanita itu terlihat melangkah mendekati pintu namun tiba-tiba saja Ridho menghentikan langkah kakinya.

“Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

“Intip aja dulu, Bunda! Takutnya itu malah orang iseng yang mau ngerjain kita, aku nggak suka dengan kedatangan orang seperti pak camat tadi! Gelar nya aja yang menjabat sebagai Camat tapi orangnya sombong sekali, kalau Ridho lagi nggak sakit ingin sekali rasanya ido ketapel orang itu sampai benjol kepalanya!”

Terlihat wajah penuh kekesalan dari bocah kecil yang sedang duduk sembari bermain robot-robotan yang pernah dihadiahkan oleh Bima Saputra. Jangankan seorang wanita seperti Ibu Ayu, Muhammad Ridho yang notabene masih kecil saja pun merasa kesal dan jengkel dengan perkataan yang terlontar dari mulut seorang pak camat yang ditolak lamaran anaknya.

“Ridho nggak boleh ngomong seperti itu, sayang! Bunda yakin kali ini yang datang bukan pak camat tadi tapi sepertinya orang lain,” sahut ibu Ayu tetap melanjutkan langkah kakinya menuju pintu.

Ceklek!

Dahi Ibu Ayu mengernyit seketika, melihat sosok pria dengan kepala yang sudah putih semua. Pria yang belum pernah dikenalnya dengan beberapa orang yang juga berada di sisi kanan dan kirinya. Ibu Ayu merasa tidak pernah kenal sama sekali dengan mereka semua dan terbersit sedikit rasa takut di dalam jiwanya.

“Maaf, apa betul sekarang saya sedang berhadapan dengan ibu Ayu Zulaiha, Bundanya Syifa Salsabila?” Arjuna mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan dan juga pemberian hormat pada wanita yang telah melahirkan gadis cantik bernama Syifa yang bakal menjadi cucu menantunya.

Ibu Ayu sedikit shock melihat penampilan seseorang yang terlihat begitu perlente di depan matanya. Bahkan di mata wanita itu, lelaki tua yang sedang bicara dengannya bagai seseorang yang tidak ubahnya seperti pria terhormat berkelas tinggi tapi mungkin saja sedang salah alamat.

“I-iya betul. Saya memang Ibu Ayu, Bundanya Syifa! Maaf sebelumnya, ada apa Tuan mencari saya? Apakah putri saya melakukan kesalahan pada Tuan? Kalau memang iya seperti itu, saya minta tolong dimaafkan dan saya harap bisa kita selesaikan dengan cara kekeluargaan saja, jangan sampai anak saya dilaporkan ke polisi ya, Tuan!”

Ibu Ayu menyambut uluran tangan Tuan Arjuna dengan mata dan kepala yang selalu tertunduk ke bawah, merasa takut hanya sekedar melihat wajah pria tua yang sebenarnya tersenyum gemas melihat calon besan nya.

“Apakah kami boleh masuk dulu, Bu?” tanya Tuan Arjuna ramah.

Tuan Arjuna mengembangkan senyum di bibir melihat wajah ketakutan dan juga kebingungan bercampur aduk di raut muka ibu Ayu.

“Iya saya sampai lupa. Maaf ya … silakan masuk, Tuan! Maaf ini Tuan ada keperluan apa ya, kok bisa kenal dengan saya?” tanya Ibu Ayu lagi yang masih merasa penasaran dengan kedatangan orang berjas hitam.

“Silakan duduk, Tuan!”

Ibu Ayu mengarahkan dengan tangannya pada kursi sofa yang ada di ruang inap Muhammad Ridho.

Syifa dan Bima ternyata malah terjebak macet. Bima sama sekali tidak menyangka kalau jalan tikus yang sengaja diambilnya untuk menghindari macet malah mengalami penutupan jalan di dekat Gang yang sengaja ingin dilewatinya. Dengan terpaksa pria itu kembali memutar balik badan mobil menuju jalan raya yang sudah pasti bakal semakin macet.

“Maaf, sepertinya kita akan terlambat dan aku yakin kakek akan duluan sampai di rumah sakit,” sesal Bima yang mulai bicara normal seperti orang biasa tanpa ada lagi kecongkakan dan kepongahan seperti sebelumnya.

Syifa menoleh ke samping lalu kembali fokus ke arah jalan karena tak ingin berlama-lama menatap wajah menyebalkan yang ada di sampingnya. Andai saja dirinya tidak terjebak utang 65 juta dan juga tidak ada wanita yang membutuhkan perawatan langsung dari tangannya maka gadis itu sama sekali tidak akan mau menikah dengan beruang kutub yang terlalu irit saat berbicara hal yang baik.

“Apa kamu masih marah padaku?” tanya Bima tanpa menoleh.

“Nggak!”

“Yakin udah nggak marah?” Pria itu kembali bertanya.

“Iya.”

“Kalau udah nggak marah, harusnya senyum dong!” pinta Bima menaikkan garis bibirnya ke atas.

Syifa menoleh ke samping lalu menggunakan jari telunjuk dan jempol nya menekan pipi hingga terlihat senyum yang dipaksakan.

“Hahaha, kamu lucu sekali kalau berbuat hal konyol seperti itu!”

“Terserah!” Syifa berdecak lidah.

“Ya Tuhan … kalau kamu udah nggak marah kenapa jawabannya harus irit seperti itu? Ingat loh Syifa, kita sekarang ini sudah dalam rentang waktu menjelang pernikahan karena kamu sudah resmi kuikat dan kulamar di depan kakek, bahkan juga di hadapan pengacara dan sekretaris ku.”

Bima merasa kesal karena ternyata Syifa masih saja memperlihatkan wajah masam ketika diajaknya bicara. Padahal pria itu sudah merasa melakukan hal yang benar dengan memberikan saham 50% di perusahaannya agar perempuan itu bisa berfoya-foya sesuka hatinya dengan hasil yang tidak akan pernah kurang dari 500 juta setiap bulannya. Entah apalagi yang ada di pikiran perempuan di sampingnya hingga masih saja memperlihatkan wajah ketus nya.

“Apa kamu sudah menyimpan baik-baik dokumen yang kita tanda tangani tadi?” Bima kembali bertanya sekedar mempermainkan kata agar keheningan tidak kembali tercipta di dalam ruang mobil yang hanya berisikan mereka berdua.

“Sudah,” jawabnya pelan.

“Di mana?” tanya Bima lagi.

“Di dalam tasku.”

“Apa kamu benar-benar se-irit ini untuk berbicara denganku setelah ada ikatan antara kita? Ayolah Syifa, mana sifat Barbar yang selama ini kau tunjukkan padaku? Aku rindu melihatnya ….”

Pria itu berdecak kesal merasa tidak terima dengan sifat yang sekarang dipertontonkan oleh Syifa Salsabila. Dirinya merasa perempuan itu dengan sengaja menghindar untuk berbincang dengannya. Bukankah itu sangat menyebalkan?

Gadis itu akhirnya menoleh ke samping dan memberikan tatapan tajam seolah-olah ingin memakan Bima hidup-hidup.

“Kamu itu pria yang aneh ya! Pandaimu hanya membuatku bingung dan juga kesal! Sebenarnya maumu itu apa sih, tuan Bima Saputra? Kalau aku banyak bicara kamu bilang aku ini gadis Barbar dan juga aneh … tapi saat aku lebih banyak diam, malah dibilang Irit bicara. Dasar plin-plan!”

Wajah Gadis itu masih menatap tajam, walau Bima hanya mampu melirik sesaat saja karena tidak ingin terjadi kecelakaan. Merasa kurang puas untuk berbicara, akhirnya pria itu kembali menepikan mobilnya ke bahu jalan agar dirinya bisa melepaskan segala apa yang ada di hati untuk berkata pada gadis yang sepertinya sama sekali tak mengerti dengan keinginannya.

“Kamu mau tahu kan, apa mau ku?” tanya Bima dengan melepaskan pegangan pada benda besi berbentuk bundar di hadapannya.

Lelaki itu terlihat mengambil nafas dengan mata terpicing dan juga menaikkan kaki kirinya, sehingga tubuhnya sekarang berhadapan langsung dengan Syifa.

“Iya, cepat katakan apa maumu padaku?” Syifa tak mau kalah dengan tetap menatap tajam tanpa rasa takut.

Bima tiba-tiba saja mendekatkan tubuhnya hingga jarak wajah keduanya tinggal sebatas lembaran kertas. Bahkan deru napas pria itu terasa menyapu wajah Syifa.

“Aku mau memakanmu!”

![](contribute/fiction/6097449/markdown/7549891/1669892812461.jpg)

Uni juga memboyong Saras si Janda Killer ke sini. Biar sekalian sama terbit dengan Syifa sesion 2. Selamat membaca

Bab 3. Mulai Rasa Nyaman

Follow ig@putritanjung2020 ~

Jangan lupa beri dukungan novel ini dengan like, komen dan vote ya. Happy reading dan terima kasih.

Bima tiba-tiba saja mendekatkan tubuhnya hingga jarak wajah keduanya tinggal sebatas lembaran kertas. Bahkan deru napas pria itu terasa menyapu wajah Syifa.

“Aku mau memakanmu!”

Mendengar perkataan yang meluncur begitu saja dari bibir Bima yang begitu dekat dengan wajahnya, membuat kedua bola mata seorang Syifa Salsabila langsung membulat sempurna saking terkejutnya. Ekspresinya benar-benar sangat menggemaskan di mata Bima, bahkan laki-laki itu menikmati ketakutan dan juga kecemasan yang bercampur menjadi satu terlihat begitu jelas di wajah Syifa.

“Ka-kamu mau apa?” tanya Syifa dengan suara serak yang juga terbata akibat sesuatu yang kotor sedang melintas di dalam kepalanya.

Wanita itu sudah membayangkan jika Bima sebentar lagi akan menyusur bibirnya seperti bebek yang sedang berlari saja. Namun, sepertinya pria itu masih mau bermain-main dengannya sehingga Syifa mewanti-wanti untuk memperingatkan diri agar selalu siaga pada pria menyebalkan yang ada di hadapannya.

“Bukankah aku sudah bilang kalau ingin memakanmu, apa telingamu sedang bermasalah? Apa perlu ku bantu untuk membersihkannya dengan lidahku, hmm?” tanya Bima kembali dengan sengaja menggoda gadis yang sudah terlihat dengan tubuh sedikit bergetar.

Entah kenapa juga Bima begitu merasa senang menikmati ekspresi wajah ketakutan Syifa ketika dirinya dengan sengaja menguji gadis berhijab di hadapannya dengan hal-hal konyol.

“Ka-kamu jangan macam-macam padaku di sini! Aku akan berteriak!” ancam Syifa dengan suara seperti sebuah godaan manis di telinga Bima.

Bahkan sekarang wajahnya terlihat begitu tegang dan suaranya juga terdengar begitu gugup. Sepertinya Bima seolah-olah sedang menjadi seorang lelaki jahat yang ingin melampiaskan hasrat yang kotor di pikiran gadis itu saja. Padahal Bima sama sekali tak ada niat melakukan hal rendah seperti itu.

“Bagaimana kalau aku ingin macam-macam denganmu, bukankah kita sudah punya ikatan, hem?” Pertanyaan itu bahkan sengaja dilontarkan Bima seirama tangannya dengan tanpa permisi mengelus sebelah pipi perempuan yang sering di katainya bar bar.

Sebenarnya Bima sudah sangat susah untuk menahan tawa saat melihat ketegangan raut wajah Syifa tapi laki-laki itu juga merasa begitu senang melakukannya, karena berhasil menggoda Syifa hingga perempuan itu terlihat sedikit pucat dan juga pias. Ternyata Bima malah merasa begitu terhibur melihat ekspresi wajah ketakutan Syifa. Padahal di luar sana begitu banyak wanita yang dengan sengaja ingin melemparkan tubuhnya ke ranjang Bima. Bahkan Bima akan dengan mudah untuk mendapatkan seorang perempuan cantik berkelas tetapi moral murahan dari keluarga terpandang.

Syifa membuang pandangannya dari laki-laki yang baru saja mengelus pipinya dengan tidak sopan hingga Bima pun melepaskan jarinya. Pria itu sangat yakin jika Syifa pasti mengira dirinya akan membuat perempuan itu dengan sedikit pelecehan di dalam mobil, padahal tak ada niat sedikit pun selain sekedar ingin menggoda dan menikmati kelucuan ekspresi gadisnya.

“Hey …!”

Bima akhirnya menepuk lembut pipi Syifa hingga membuat Gadis itu sedikit terkejut.

“Kamu pasti sedang menghayalkan kalau aku akan melakukan hal jorok denganmu, iya kan? Hahaha, makin ke sini wajahmu terlihat semakin pucat saja dan sekarang malah merona merah hahaha. Padahal aku belum melakukan apa-apa loh! Bagaimana kalau aku benar-benar melakukan sesuatu di Bibirmu yang menggoda itu, hem? Hahaha!”

Bima benar-benar tertawa lepas setelah menikmati kecemasan yang begitu terlihat di wajah Syifa, dan tanpa Bima sadari gadis yang ada di hadapannya dengan wajah ketakutan tadi, tiba-tiba saja memukul dadanya berulang kali. Pria itu masih saja terkekeh tanpa menyadari jika tubuh mereka masih saja begitu dekat dengan tangan perempuan itu untuk pertama kali memukul dada bidangnya.

Bahkan Syifa tidak menyadari apa yang sedang dilakukannya sehingga tiba-tiba saja dirinya tersadar dan langsung terdiam. Wajah gadis itu mendongak ke atas, melihat rahang bergaris tegas milik seorang laki-laki yang belum pernah sedekat ini dengannya bahkan sampai melakukan sentuhan fisik.

“Kamu jahat sekali mengerjaiku seperti tadi, aku benci ….” Kalimat itulah yang akhirnya lolos dari bibir manis seorang Syifa yang mampu membuat Bima semakin tertarik saja untuk mengenal gadis Barbar yang sekarang telah dikhitbah nya. Gadis itu pun dengan cepat membuang pandangannya ke arah luar melihat jalanan yang ternyata mobil itu berhenti persis di depan sebuah toko besar bertuliskan Zahra Diamond.

‘Astaga apa yang sebenarnya terjadi padaku sekarang? Kenapa aku merasa semakin tertarik saja sama Syifa, bahkan aku juga semakin merasa penasaran dengan kehidupannya? Syifa … ternyata kamu Gadis yang lumayan unik dan sangat berbeda dengan gadis-gadis yang selama ini aku temui. Jika wanita di luar sana akan datang tanpa kudekati bahkan ada yang dengan sengaja mengajakku dengan kencan ke hotel dan tentu saja mereka sudah pasti ingin menyuguhkan tubuhnya untuk kunikmati Tapi dirimu Sungguh sangat berbeda bahkan jauh lebih terhormat dari mereka yang bergelar gadis-gadis terpandang dan terhormat padahal moral mereka sudah rusak semua dengan menjajakan tubuhnya begitu murah di hadapanku. Sayangnya aku mah belum pernah tertarik ini pada seorang pun wanita-wanita itu tapi kenapa denganmu terasa begitu berbeda. Bahkan hanya dengan mendekatkan wajahku saja, dirimu sudah terlihat begitu marah, seolah-olah aku ini lelaki penjahat seksual saja.’

Ceklek!

Jari Bima dengan cepat menyentuh handle pintu hingga langsung terbuka, “Ayo turun sebentar ada sesuatu yang harus kulakukan!”

Bima masih terpana dengan wajah imut di hadapannya yang beberapa saat lalu terlihat begitu tertekan dengan wajah pucat pasti, seolah-olah tak punya darah di dalam tubuhnya. Namun, entah apa yang ada di dalam pikiran perempuan di hadapannya sekarang hingga wajah itu berwarna merah membuat perasaan Bima ingin sekali mencicipinya.

‘Dasar otak sialan! Kenapa pikiranku jadi kotor sendiri, padahal tadi aku hanya sekedar ingin bermain-main saja dengannya. Sadar Bima … kamu harus bisa menguasai diri karena yang ada dirimu akan dengan mudah bertekuk lutut di hadapan nya bukan malah sebaliknya!’ Pria itu berdecak lidah sendiri di dalam hati, merasa kesal dengan perasaan yang ada di dalam jiwanya bahkan tanpa sadar mulai merasa nyaman berdekatan dengan Syifa.

Syifa yang tadinya ketakutan seolah kembali seperti terhipnotis dengan langsung turun dari mobil yang juga diikuti Bima, bahkan pria itu sedikit susah bergeser melewati pintu mobil yang sama di mana tempat Syifa turun barusan.

Dengan santai Bima kembali memegangi lengan tangan Shiva seolah menyeret perempuan itu hingga keduanya masuk kedalam toko Zahra Diamond.

Seorang pelayan yang bekerja di toko dengan mengenakan baju biru dan bawahan berwarna coklat tua menghampiri keduanya.

“Selamat datang, Mas dan Mbak … ada yang bisa kami bantu?” tanya pelayan perempuan itu dengan ramah.

“Carikan cincin berlian terbaik di toko ini untuk calon istriku!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!