...Happy Reading guys!...
Pagi itu matahari bersinar begitu cerah, menerpa daun yang masih terlihat basah sisa hujan semalam. Kicau burung pun terdengar saling bersahutan menambah indah suasana pedesaan.
Di dalam sebuah Rumah sederhana riuh terdengar, walau itu tak sampai ke luar. Suara itu tertahan oleh kokohnya tembok beton berwarna putih itu.
"Rina, kamu sudah selesai belum, lama sekali sih?" Suara ketukkan pintu terdengar terus berlanjut ditambah dengan teriakan seorang wanita paruh baya yang sedang menunggu anaknya di depan pintu kamar mandi.
"Sebentar, Bu. Rina lagi pake baju dulu," Suara sahutan dari dalam pun terdengar.
"Kamu mandi lama banget sih, ini sudah setengah jam, Rina!" omel Ibu di depan pintu kamar mandi.
"Iya, Bu. Ini Rina ke luar," ujar seorang perempuan muda yang baru saja ke luar dari kamar mandi.
Pakaian sederhana dengan rambut yang ditutup oleh handuk, juga wajah segar terlihat menghiasi perempuan itu.
"Sudah sana, gantian Ibu sudah kebelet dari tadi," gerutu Ibu sambil sedikit mendorong Rina ke pinggir agar bisa masuk ke dalam kamar mandi.
Rina tampak tersenyum, dia kemudian melihat sesuatu di dalam genggaman tangannya. Sebuah tes kehamilan dengan dua garis merah terlihat jelas di atasnya.
Erina gadis desa yang menikah dengan seorang laki-laki asal kota dua bulan lalu, dia melakukan rumahtangga jarak jauh, mengingat pekerjaan sang suami yang tidak bisa ditinggalkan.
"Allhamdulillah, aku hamil. Mas Anjas pasti seneng dengar kabar ini," ujarnya sambil kembali mengantongi alat tes kehamilan itu.
Dengan rambut masih tertutup oleh handuk, dia menuju ke teras belakang, tempat mesin cuci berada. Memilah baju kotor kemudian memasukkannya ke dalam mesin, disusul dengan air bersih dan sabun.
Sambil menunggu cuciannya selesai, Rina kembali ke kamar untuk mengeringkan rambutnya.
"Rina, kapan Anjas mau pulang lagi, kenapa dia belum ada kabar juga?" tanya Ibu, saat keduanya sedang menjemur pakaian bersama.
"Katanya bulan ini Mas Anjas gak bisa pulang, Bu. Jadi sepertinya biar aku yang menyusul saja ke kota," jawab Rina dengan wajahnya yang selalu riang dan bersemangat.
"Menyusul? Memang kamu sudah bilang sama suamimu?" tanya Ibu dengan kening berkerut dalam.
"Enggak, Bu. Aku mau kasih kejutan buat Mas Anjas, sekaligus mau kasih tau kabar bahagia." Rina tampak menyingkirkan baju yang sudah menggantung di depannya demi melihat wajah sang ibu, kemudian sibuk menjemur lagi.
"Kabar bahagia apa, Rin?" Ibu semakin penasaran.
Rina tersenyum sumringah, matanya tampak berbinar bersiap untuk memberikan kabar gembira itu pada ibunya.
"Aku hamil, Bu," ujar Rina sambil memperlihatkan alat tes kehamilannya pada sang ibu.
"Hah, kamu hamil, Rin? Kamu gak bercanda kan?" Ibu menghentikan kegiatannya kemudian mengambil alat tes kehamilan di tangan Rina.
Matanya memperhatikan dengan jelas garis merah di yang terlihat, bibirnya sedikit menganga akibat terkejut oleh kabar gembira itu.
"Ya Allah, ini beneran punya kamu, Rin?" tanya Ibu lagi memastikan.
"Iya, Bu. Rina hamil! Mas Anjas pasti seneng banget dengar kabar ini. Iya kan, Bu?" Rani tersenyum senang sambil menghambur memeluk ibunya.
Wanita paruh baya yang merupakan Ibu kandung Rina itu pun mengangguk dengan mata berkaca-kaca, dia mengelus kepala Rani dengan begitu lembut.
"Anak Ibu sudah besar ya, sekarang Rina sudah mau kasih Ibu cucu," ujar Ibu penuh haru.
"Heem ...." Rina mengangguk di dalam pelukan ibunya.
Untuk beberapa saat suasana haru itu tetap bertahan, sampai akhirnya Ibu melepaskan pelukannya dan tiba-tiba berbalik berlari meninggalkan Rina.
"Bapak! Bapak! Kita mau dapat cucu!" Ibu berteriak heboh sambil berlari memutar rumah, untuk mencapai teras depan, di mana ada Bapak yang sedang menikmati kopi.
"Ada apa sih, Bu? Pagi-pagi sudah teriak-teriak, malu dong didengar sama tetangga," gerutu Bapak dengan kerutan dalam di keningnya, pertanda tidak suka dengan sikap istrinya.
Rina hanya terkekeh melihat kehebohan yang dibuat oleh ibunya pada pagi hari begini. Dia sangat senang melihat reaksi ibunya dan berharap Anjas pun memperlihatkan reaksi bahagia juga jika tahu semua ini.
"Kita akan segera mendapatkan cucu, Pak. Rina hamil!" ujar penuh semangat Ibu, tanpa menghiraukan raut wajah kesal Bapak.
"Apa? Rina hamil, Bu?" tanya Bapak melebarkan matanya.
"Iya, Pak. Kita akan segera punya cucu, Pak!" angguk Ibu.
"Alhamdulillah! Sekarang mana anaknya, Bu? Rina!" Bapak tampak ikut senang, dia langsung memanggil anak perempuannya.
"Rina di sini, Pak," jawab Rina yang baru saja muncul dari teras samping rumah.
"Anak Bapak, hamil?" tanya Bapak, memastikan.
"Iya, Pak. Rina hamil," angguk Rina dengan senyum lebarnya hingga gigi bagian depannya terlihat semua.
"Ya Allah, Alhamdulillah, Bapak akan segera mendapatkan cucu." Bapak tampak tersenyum harus dan langsung memeluk anak perempuannya itu.
"Iya, Pak." Rina terkekeh walau air terlihat menggenang di sudut matanya.
"Anjas gimana, kamu sudah memberitahunya?" tanya Bapak sambil melepaskan pelukan dari anak perempuannya.
"Aku mau nyusul Mas Anjas ke kota, Pak," ujar Rina sambil menggeleng.
"Ngapain? Bapak gak setuju kalau kamu ke kota sendiri, apa lagi kamu sedang hamil." Bapak tampak serius dengan perkataannya.
"Untuk kasih kejutan buat Mas Anjas, Pak. Boleh ya, dari sini ke kota kan cuman naik satu bis saja, nanti kalau sudah sampai di terminal baru aku kasih kabar Mas Anjas," ujar Rani mencoba untuk membujuk Bapak.
Bila kata orang kelemahan dari seorang ayah adalah anak perempuannya, maka itu sepertinya memang benar terjadi pada Bapak dan Rina. Karena saat ini, Rina terlihat sedang menaiki bis ke kota sendiri.
"Kabari kita kalau kamu sudah sampai di kota ya, Rin. Jaga diri, ingat kamu sedang hamil sekarang." Bayangan perpisahannya dengan kedua orang tua pun melintas di kepala.
"Nak, kamu jangan rewel ya, sebentar lagi kita akan bertemu dengan Ayah," gumam Rani beralih mengusap bawah perutnya.
Ya, akhirnya Rina mendapatkan izin dari Bapak dan Ibu, setelah melalui berbagai macam drama.
Beberapa waktu kemudian, Bus yang ditumpangi oleh Rina sudah mulai memasuki gerbang kota, Rina pun mulai berusaha menghubungi Anjas agar bisa menjemputnya di terminal.
Namun, sudah berulang kali dia mencoba menghubungi Anjas, tidak ada satu panggilan pun yang dijawab.
"Mas Anjas ke mana sih, kok panggilan aku gak dijawab terus?" gerutu Rina menatap kesal ponsel miliknya dengan foto dirinya bersama sang suami sebagai layar utama.
Hingga akhirnya bis pun memasuki terminal tanpa Rina bisa menghubngi sang suami.
"Heuh, untung saja aku mengantongi alamat rumah Mas Anjas." ujar Rina sambil turun dari bis, dia menghembuskan napas kasar kemudian mengambil tas ransel berisi baju-bajunya di dalam bagasi mobil.
"Terima kasih, Mang," ujar Rina pada kondektur bis yang membantunya.
Rani ke luar dari terminal, setelah memesan ojek online untuk mengantarkannya menuju alamat rumah Anjas. Sepertinya itu adalah cara mudah untuk mencari alamat tanpa harus bersusah payah di tempat yang asing ini.
Tiga puluh menit perjalanan dari terminal, akhirnya ojek yang dia tumpangi berhenti di sebuah rumah bertingkat tiga, dengan luas kira-kira tiga ratus meter persegi. Sebuah rumah yang sangat besar juga mewah, bagi orang dari kalangan menengah ke bawah seperti Rina.
"Ini benar alamatnya kan, Bang?" tanya Rina, memastikan pada pengemudi ojek online yang mengantarkannya.
"Benar, Neng, ini adalah alamat yang, Neng, berikan," angguk pengemudi ojek itu.
Rani memberikan ongkos kemudian berterima kasih pada pengemudi ojek itu, dia kemudian mencoba menekan bel rumah yang ada di depannya.
"Kok sepi banget sih?" gumam Rani merasa bingung.
Lima belas menit menunggu di depan gerbang, akhirnya ada tetangga yang menghampiri Rina.
"Pemilik rumahnya sudah pada berangkat ke gedung pernikahan," ujar perempuan paruh baya yang menghampirinya.
"Gedung pernikahan? Memang siapa yang menikah, Bu?" tanya Rina dengan kerutan di keningnya.
"Oh iya, ini benar rumah yang ada di alamat ini kan, Bu?" sabung Rina lagi sambil memperlihatkan kertas di tangannya.
"Iya benar, ini rumah yang ada di alamat itu. Kebetulan hari ini pemilik rumah sedang menikah, jadi semua penghuninya berada di gedung. Kalau boleh tau, kamu siapanya?" tanya ibu itu, menatap Rina dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Rina tampak terdiam sebentar, dia belum tau pasti kalau ini rumahnya Anjas, mana mungkin dirinya langsung mengaku sebagai istri pada orang lain. Apalagi, selama ini Anjas selalu bilang kalau dia dari kalangan orang biasa saja, sama seperti dirinya.
"Saya kerabatnya, Bu. Kalau boleh tau gedung pernikahannya di mana ya, biar saya menyusul ke sana saja. Sepertinya saya terlambat datang, hehe." Rina tampak terkekeh canggung di akhir kalimatnya.
"Sebentar, sepertinya saya masih menyimpan undangannya," ujar wanita paruh baya itu.
Beberapa saat kemudian wanita paruh baya itu sudah kembali sambil membawa surat undangan di tangannya.
Rani menerimanya, dia kemudian melihat surat undangan itu untuk mengetahui alamatnya Akan tetapi, kini matanya melebar saat membaca nama calon pengantinnya.
"Ini benar nama mempelai laki-lakinya adalah Anjas Gunawan, Bu?" tanya Rina dengan suara yang sedikit bergetar.
"Iya, ini adalah pernikahan Anjas Gunawan, anak satu-satunya keluarga Gunawan," jawab wanita paruh baya itu yang membuat tubuh Rina mematung.
Kabar yang baru saja dia dengar bagaikan petir yang menyambar di tengah kemarau, begitu mengejutkan hingga dadanya terasa sesak.
Bagaimana mungkin suaminya menikah lagi? Rina tidak akan percaya begitu saja tanpa memaatikannya lebih dulu dan melihat dengan mata kepala sendiri.
...****************...
Rina berdiri di depan gedung tempat pesta pernikahan Anjas digelar, dengan pakaian yang sudah berubah, dia juga sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin, agar tidak memperlakukan dirinya sendiri. Tatapannya mengedar melihat hilir mudik orang yang datang dan pergi silih berganti. Foto pra nikah yang terpanjang di pintu masuk sudah membuatnya yakin kalau itu adalah pernikahan dari suaminya sendiri.
"Jadi ini alasan kamu tidak mau membawaku bertemu dengan keluarga kamu dan meresmikan pernikahan kita, Mas?" gumam Rina dengan senyum getir menghias wajahnya.
Kembali dia melihat undangan yang berada di tangannya, kemudian mulai melangkah masuk ke dalam, dia bahkan lebih dulu mengisi daftar tamu, walau hatinya begitu sakit saat menggoreskan ujung pena di atas kertas.
Menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan, Rina sedikit mendongakkan kepalanya menahan air yang sudah hampir ke luar tidak tertahan dari pelupuk matanya.
Masuk lebih dalam, Rina mengedarkan pandangannya, melihat betapa mewahnya pernikahan itu. Dekorasi bunga asli yang bahkan dia tidak pernah lihat sebelumnya, dengan berbagai lampu gantung mewah bertema warna biru dan putih.
Sesuatu yang bahkan dia tidak bisa impikan, kini semakin terasa jauh. Untuknya, jangankan mengadakan pesta seperti ini, mengajak untuk meresmikan pernikahan di KUA saja selalu ditolak oleh Anjas.
Tidak ada satu pun orang yang dirinya kenal, walau hampir seluruh ruangan gedung itu penuh sesak oleh orang yang menghadiri acara pernikahan itu.
Pandangan Rina kembali bergulir, hingga matanya terhenti di sesuatu yang menarik perhatiannya, seseorang yang membawanya menyusup pada pernikahan ini.
Dari sana dia bisa melihat jelas dua orang raja dan ratu hari ini yang sedang tersenyum senang di atas pelaminan. Kembali Rina menarik napas dalam, mencoba mencari celah di dalam dada yang terasa semakin sesak.
Rina perlahan kembali berjalan kemudian berhenti, dia berdiri di depan pelaminan, tepat di belakang jajaran staf fotografer, yang sedang mengabadikan moment bahagia sumainya sendiri bersama dengan wanita lain.
Hingga tidak sengaja dari atas pelaminan Anjas melihat Rina, dia melebarkan matanya dengan jantung yang berdebar kencang. Untuk beberapa saat pandangan keduanya bertaut dalam, dengan rasa yang begitu pedih di dalam hati Rina.
Rina? Kenapa dia bisa sampai ke sini? batin Anjas dengan tatapan waspada, takut Rina mengacaukan acara pernikahannya.
"Ada apa, sayang?" tanya Tari – wanita yang kini tengah berdiri di sampingnya.
"Hah?" Anjas tersentak oleh pertanyaan Tari, dia kemudian menoleh pada wanita itu, melepas tautan mata dengan Rina.
"E–enggak, cuman kayak liat temen lama saja," jawab Anjas berdalih pada istri barunya itu.
"Ooh ...." Tari hanya bersikap acuh dan kembali mengikuti arahan fotografer untuk bergaya di depan kamera.
"Sayang, aku mau ke toilet dulu ya," ujar Anjas tiba-tiba, saat ujung matanya masih melihat Rina berdiri di sana.
Tari hanya mengangguk, sebagai jawaban karena beberapa orang temannya naik ke pelaminan.
Anjas berlalu ke belakang pelaminan untuk mencari sahabatnya yang ikut membantu acara pernikahannya.
Rina yang melihat Anjas pergi pun kini beranjak, dia mencari keberadaan Anjas yang menghilang dari pelaminan. Rina tidak ada niat untuk mengacaukan pernikahan suaminya itu, dia hanya ingin bertemu dengan Anjas dan meminta penjelasan tentang semua ini.
Namun, suasana acara yang sedang padat oleh tamu, menyulitkan Rina untuk berjalan dan menyusul Anjas.
"Ke mana dia?" gumam Rina sambil mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Anjas.
"Rina, ya?" Seorang laki-laki tampak menepuk pundaknya.
Rina mengalihkan pandangannya, pada sosok laki-laki yang kini berdiri tepat di sampingnya.
"Iya. Kamu siapa ya?" tanya Rina sambil menggeser posisinya hingga tepat berada di hadapan laki-laki itu. Keningnya tampak berkerut cukup dalam, sambil memperhatikan penampilan laki-laki yang baru dilihatnya itu.
"Kenalkan, aku Hilman, sahabatnya Anjas. Dia menyuruhku untuk membawa kamu ke hotel, katanya dia akan menemui kamu kalau acara sudah selesai," jelas laki-laki yang mengaku sebagai sahabat Anjas itu.
"Untuk apa aku harus mengikuti kamu? Kita bahkan tidak saling mengenal," tanya Rina menolak ajakan Hilman secara tidak langsung.
Hilman tampak tersenyum. "Makanya kita kenalan dulu," ujar Hilman, sambil melirik tangannya yang belum disambut oleh Rina.
Rina tampak ragu, walau akhirnya dia memutuskan untuk menjabat tangan Hilman, tanpa menyebutkan namanya.
Hilman mengangkat sebelah alisnya, menunggu Rina menyebutkan namanya.
"Bukannya kamu sudah tau namaku?" jawab Rina acuh, sambil mengalihkan pandangannya.
Rasanya tidak sanggup untuk banyak berbasa-basi pada orang asing, hatinya terasa sangat sesak dan itu semua menyulitkannya hanya untuk mengeluarkan suara.
Hilman terkekeh mendapati pertanyaan Rina, dia merasa lucu dengan reaksi wanita itu.
"Ayo, lebih baik kamu ikut aku, kamu pasti lelah kan?" ujar Hilman yang langsung menggandeng tangan Rina.
Namun Rina menolaknya, dia tampak melihat ke arah pelaminan, pandangannya sempat bertaut kembali dengan mata Anjas, hingga Rina bisa melihat kalau Anjas mengangguk samar, seolah meyakinkan dirinya untuk ikut bersama dengan Hilman.
Rina pun akhirnya mengikuti langkah Hilman tanpa perlawanan, hingga akhirnya keduanya berdiri di samping mobil milik Hilman.
"Tunggu, aku mau ambil tas miliku dulu," ujar Rina hendak kembai turun dari mobil.
"Biar aku saja yang mengambilnya, kamu duduk dulu saja di dalam," Hilman menahan Rina, kemduian membuka pintu mobil untuk Rina.
Rina tampak menatap Hilman beberapa saat, seolah sedang meyakinkan diri, kemudian mengangguk dan masuk ke mobil.
Hilman menutup pintu mobil, kemudian berjalan menuju pos jaga untuk mengambil tas yang dititipkan Rina di sana.
Begitu pintu mobil tertutup air mata yang sejak tadi berusa Rina tahan akhirnya ke luar juga, Rina menutup matanya meredam tangis yang sudah terlajur pecah, setelah dia tidak bisa lagi menahan sesak di dalam dada.
Ternyata bagus juga Hilman meninggalkannya sendiri, setidaknya untuk sesaat dia bisa menangis, agar bisa meredam rasa sesak yang sejak tadi dia pendam.
"Terima kasih, Pak," ujar Hilman begitu menerima tas ransel milik Rina, dia kembali ke mobil yang masih terparkir.
Namun, saat dia hendak masuk, dia melihat Rina sedang menangis tersedu di dalamnya. Hilman pun mengurungkan niatnya untuk masuk, dia berbalik kemudian menunggu dengan posisi membelakangi pintu kemudi.
"Sebenarnya siapa perempuan ini? Kenapa Anjas terlihat sangat berhati-hati menghadapinya? Kenapa juga wanita itu harus menangis di mobilku seperti ini?" gumam Hilman yang masih belum mengerti apa yang terjadi antara Rina dan Anjas.
Cukup lama Hilman menunggu hingga dia melihat kalau Rina sudah lebih tenang. Hilman kemudian masuk, dia bisa melihat kalau Rina sedang berusaha meredam tangisnya, hingga yang terdengar hanya isakan lirih.
"Maaf," ujar Rina begitu sudut matanya melihat Hilman masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. Dia kemudian menaruh tisu bekas mengelap air matanya di dalam tas.
"Gak apa-apa, santai saja," jawab Hilman sambil menutup pintu kemudian memasangkan sabuk pengaman.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Hilman lagi.
Rina mengangguk sebagai jawaban, sambil berusaha memasangkan sabuk pengaman untuknya. Akan tetapi, entah kenapa kegiatan kecil itu terasa sangat sulit untuk dilakukan olehnya.
Hilman yang melihat itu semua, akhirnya membantu Rina untuk memasangkan sabuk pengaman. Tanpa sengaja tangan Hilman berada di atas tangan Rina, hingga untuk beberapa saat keduanya tampak teridam.
Namun, Rina yang sadar terlebih dahulu cepat melepaskan tangannya dari sabuk pengaman.
"Maaf," ujar Hilman, sambil kembali menegakkan tubuhnya dengan gerakan canggung.
Rina tidak menjawab, dia hanya mengalihkan pandangannya ke samping, hingga akhirnya dia kembai melihat pesta pernikahan Anjas.
"Kita berangkat sekarang," ujar Hilman yang lansung mengemudikan mobil miliknya ke luar dari area parkir.
Melihat tatapan sendu dan tangis menyakitkan Rina, Hilman bisa menebak kalau Rina pasti wanita yang menyukai Anjas. karena itu dia segera menjalankan mobilnya saat melihat Rina sudah mulai melihat acara pernikahan Anjas lagi.
Enggak mungkin kan kalau perempuan ini adalah pacar Anjas, selama ini bukannya Anjas sangat mencintai Tari? batin Hilman mencuri pandang pada Rina.
Rina menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan pandangan jauh menatap ke luar jendela mobil. Suara ponsel di dalam tas selempang yang dia pakai pun mengalihkan perhatian Rina.
Rina melihat nama yang tertera di layar ponselnya, ternyata itu adalah nomor sang Ibu. Rina menghembuskan napas kasar tanpa berniat menerima panggilan itu.
"Kok gak diangkat?" tanya Hilman, menoleh sekilas pada Rina.
Rina tidak menjawab, dia hanya menatap layar ponselnya yang sudah mati, walau tidak lama kemudian kembali berdering, dan itu terus berlanjut hingga beberapa saat.
"Jawab saja, mungkin itu penting," ujar Hilman lagi, merasa aneh dengan sikap Rina.
Rina kembali menghembuskan napas kasar kemudian menggeleng kepala samar.
"Untuk saat ini aku gak akan sanggup berpura-pura baik-baik saja pada mereka, jadi lebih baik aku tidak menjawabnya," jawab Rina lirih.
Hilman hanya bisa menghembuskan napas pelan, dia merasa serba salah saat ini. Hilman kasihan pada Rina yang tampak sangat terpukul dengan pernikahan Anjas. Akan tetapi dia juga bingung bagaimana cara menghibur perempuan di sampingnya, karena dia sendiri tidak tahu ada masalah apa antara Anjas dan Rina.
Ingin bertanya, akan tetapi, Hilman juga merasa tidak pantas jika dia menanyakannya pada Rina. Sungguh situasi yang sangat memusingkan.
Kamu bahkan lebih memilih membiarkan aku bersama orang asing ini, tanpa mau menemui aku, Mas?
...****************...
Hilman mengantarkan Rina ke hotel yang diperintahkan oleh Anjas sampai di depan pintu masuk kamar. Keduanya tampak berdiri sejajar setelah Hilman menyerahkan kunci pintu kamar pada Rina.
"Kamu sudah makan?" tanya Himan, melihat wajah Rina yang tampak menyedihkan, sepertinya Hilman bisa menebak kalau Rina pasti belum makan sejak siang.
Namun, sepertinya Rina tidak mendengar apa pun yang diucapkan orang lain, dia hanya sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Terima kasih." Rina masuk begitu saja ke dalam kamar, tanpa mau menjawab pertanyaan laki-laki yang baru dia kenal beberapa saat yang lalu.
"I–iya," jawab Hilman, tampak ragu.
Hilman menggaruk belakang kepalanya bingung melihat sikap Rina yang terlihat dingin. Dia kemudian berbalik ragu saat pintu kamar hotel sudah ditutup rapat.
Rina merebahkan tubuhnya yang sudah terasa sangat lemah di atas tempat tidur, tangisnya kembali pecah saat mengingat nasib yang sedang menimpanya saat ini.
Entah mengapa nasibnya pada sebuah rumah tangga begitu miris, setelah berusaha menjalani dan menerima pernikahan paksa dengan Anjas, kini setelah dirinya sudah mencintai Anjas sepenuhnya kenyataan pahit kembali datang menyapa.
Rina ingin menyalahkan dia ingin berteriak memaki. Akan tetapi, dia sendiri bingung harus menyalahkan siapa. Apakah harus menyalahkan Anjas yang menikah lagi? Atau menyalahkan takdir yang seolah sedang tidak memihak pada kebahagiaannya?
Ingatannya kembali pada saat dirinya pertama kali bertemu dengan Anjas. Saat itu Rina sedang meneduh di sebuah gubuk, karena hujan deras yang tiba-tiba turun saat dirinya sedang dalam perjalanan pulang dari kebun.
Tiba-tiba saja seorang lelaki tidak dikenal ikut menuduh bersamanya, dengan mendorong motor.
"Aku ikut meneduh, boleh?" tanya laki-laki itu yang tidak lain adalah Anjas.
"Silahkan," jawab Rina sambil menggeser tempat duduknya menjauh dari Anjas.
Suasana sore hari itu terasa sangat dingin, karena angin yang juga terasa cukup kencang, hingga membuat butir air itu terbang sampai pada tubuhnya.
Diam-diam Rina memperhatikan Anjas yang berpakaian jauh dari warga kampung yang lainnya. Dia sudah bisa menyimpulkan kalau Anjas bukanlah warga kampung di sana.
"Kenapa, kok motornya di dorong?" tanya Rina setelah sekian lama keduanya hanya terdiam.
"Ban motorku kempes, aku kira akan segera dapat tukang tambal atau bengkel, ternyata jangankan bengkel, rumah saja tidak ada," jawab Anjas sambil terkekeh ringan.
Rina ikut tersenyum. "Di sini memang jarang rumah. Kira-kira satu kilometer lagi baru kita akan memasuki pemukiman," jawab Rina, sambil melihat ke salah satu jalan.
"Oh, begitu ya?" Anjas tampak mengangguk-anggukkan kepalanya samar.
"Kamu baru ke daerah sini, ya? Kalau boleh tau mau ada perlu apa?" tanya Rina lagi.
"Iya, aku sedang liburan di sini, kebetulan aku menginap di hotel H. Tapi, sepertinya aku tersesat jadi sampai ke sini," jelas Anjas sambil menggosok tangannya yang terasa dingin. Sesekali dia meniup tangannya agar terasa lebih hangat.
Rina tampak menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Hujan tidak kunjung reda walaupun sudah satu jam berlalu, kini hari sudah mulai gelap. Karena kelelahan Rina dan Anjas sama-sama tertidur dengan posisi duduk di sisi gubuk yang berlawanan.
Hingga keduanya tidak sadar saat hujan sudah mulai reda. Mereka baru terbangun saat suara gaduh terdengar semakin dekat, ditambah dengan senter yang terlihat mengarah ke tempat mereka berdua berada.
"Sepertinya itu banyak orang?" tanya Anjas, sambil beranjak berdiri, diikuti oleh Rina.
"Iya, ada apa ya?" Rina bangun kemudian berdiri hendak bersiap untuk bertanya pada warga yang datang.
Namun, tenyata para warga datang untuk menggerebek Rina dan Anjas dengan tuduhan telah berbuat zina di gubuk itu.
"Tunggu-tunggu, ini apa maksudnya? Kami berdua hanya berteduh, karena tadi hujannya sangat deras," sanggah Anjas tidak terima akan difitnah seperti ini.
"Iya, Pak. Kami berdua hanya berteduh, karena hujannya terlalu deras." Rina ikut menimpali.
"Halah, gak usah banyak alasan. Kalau cuma berteduh, kenapa kalian masih ada di sini, padahal hujan sudah reda sejak tadi?! Lagi pula mana ada maling ngaku!" ujar laki-laki paruh baya mempropokasi para warga.
"Iya benar, lebih baik kita bawa saja mereka ke bale desa untuk mendapatkan sanksi atas perbuatannya!" Seorang laki-laki muda ikut menimpali.
"Ayo, ikut kita ke bale desa sekarang!" ujar laki-laki paruh baya yang lainnya sambil mengambil tangan Anjas dengan gerakan kasar.
"Kami tidak melakukan apa-apa, Pak. Kalian tidak berhak melakukan ini semua!" Anjas masih berusaha menolak.
"Kalau kamu memang tidak melakukannya harusnya kamu mau kita bawa ke bale desa!"
"Sudahlah kita hajar saja laki-laki brengsek itu di sini, bisa-bisanya di merusak gadis di kampung kita!"
Suara sumbang terus bersahutan, membuat emosi warga semakin memuncak dan situasi semakin memanas.
Satu pukulan awal pun sudah diterima oleh Anjas membuat pukulan yang lainnya pun bersiap untuk melukai laki-laki itu.
Rina yang memang warga kampung itu berdiri menghadang para warga yang akan memukul Anjas. Tubuhnya yang lumayan tinggi dan sedikit berisi berdiri dengan yakin dan pasti.
"Dia tidak bersalah, kami tidak melakukan apa-apa. Jadi untuk membuktikannya kami mau ke bale desa!" teriak Rina demi meredam kemarahan warga.
"Untuk apa? Kita kan gak berbuat apa-apa?" protes Anjas menatap Rina dengan kening bertaut dalam.
"Justru itu, kita tidak berbuat apa-apa makanya jangan takut untuk dibawa ke bale desa, dari pada nanti kamu babak belur dihajar sama mereka semua, bagaimana?" jelas Rina.
Beberapa saat kemudian Rina dan Anjas diadili di bale desa, mereka dihadapkan dengan tetua desa dan juga kedua orangtua Rina.
Saat itu Ibu terus menangis ketika melihat anak satu-satunya harus berakhir dengan seperti ini. Sedangkan Bapak menatap penuh amarah anak perempuan yang telah membuat malu keluarganya.
Rina dan Anjas duduk berdua dengan kepala menunduk, mereka seperti sedang menjadi sebuah tontonan gratis bagi seluruh warga kampung.
Bapak memaksa agar Anjas menikahi Rina begitu juga dengan para tetua, karena semua rumor itu akan mendorong nama baik kampung, jika sampai Anjas tidak bertanggung jawab.
Bila pun Anjas tetap tidak mau bertanggungjawab, maka peraturan kampung mengharuskan Rina diusir dan tidak boleh menginjakkan kakinya lagi ke dalam kampung itu.
Setelah diberi waktu satu malam untuk berfikir, akhirnya Anjas memutuskan untuk menikahi Rina dengan cara sirih. Rina yang tidak mempunyai hak untuk ikut berbicara hanya bisa menerima pernikahan dadakan itu.
Awalnya semuanya berjalan lancar, pernikahan sirih yang dilakukan Rina dan Anjas berjalan sebagaimana mestinya, bahkan Anjas memilih menetap di kampung selama satu bulan lamanya, demi mendekatkan diri pada Rina.
Namun, saat Rina bertanya tentang keluarga Anjas, Anjas selalu mengelak dan mengalihkan topik pembicaraan, hingga sesuatu yang sebenarnya penting di dalam sebuah hubungan pun terus terlewatkan.
Selama pernikahannya Anjas tidak pernah menceritakan tentang keluarganya pada Rina. Walau sedikit curiga, Rina dan keluarganya tetap saja berpikir positif pada Anjas. Mereka menerima Anjas dengan baik, dan sebagaimana semestinya.
Setiap bulan biasanya Anjas akan pulang dan menginap selama seminggu di rumah, sebelum akhirnya kembali bekerja ke kota. Hingga di usia pernikahan yang ke enam bulan, Rina positif hamil dan menyusul Anjas ke kota.
.....
Suara ketukkan pintu membangunkan Rina dari tidurnya, kepalanya terasa pening dan ada sedikit nyeri di bagian bawah perutnya.
"Ssshh," desis Rina merasa sulit untuk bangun. Walau begitu dia memaksakan diri untuk beranjak kemudian berjalan dan membuka pintu.
"Iya," jawab Rina dengan suara parau dan wajah yang pucat, pandangannya terasa semakin samar hingga akhirnya dia tumbang begitu saja.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!