NovelToon NovelToon

Single Mother

SM CH 1: Menghindari Masalah

...“Dalam lingkup hati yang sunyi, Arini meyakinkan dirinya sendiri, walau hidup berdampingan pun tidak menjamin kebahagiaan dalam hidupnya.”...

"Halah, alasan aja!"

"Kalau suami ngomong itu didengarkan! Punya otak jangan cuma buat pikiran buruk terus sama orang!"

Di luar masih saja terdengar suara perkelahian mereka, Arini menghela napas seiring melirik malas ke objek lain. Meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kemudian menghubungi salah satu temannya sambil menyandarkan kepala ke belakang.

“Lagi ngapain sekarang?” tanyanya. “Temani aku ke salah satu tempat, mau?”

"Ke mana?" tanya Aurela dengan malas.

"Klub."

"Tidak salah Anda?"

Arini berdecak kesal memutar netra bermanik coklat tersebut ke arah jendela besar yang memantulkan cahaya dari luar. "Mau atau tidak?"

“Oke, aku on the way….”

Arini mengenakan dress hitam dengan lengan terbuka bersiap akan pergi. Saat keluar kamar ia mendengar pertengkaran kedua orang tuanya di dalam kamar semakin menjadi. Arini memilih sama sekali tak menghiraukan mereka lagi, ia terus saja berjalan menuruni tangga mengambil kunci mobil lalu pergi ke tempat tujuannya.

Di tempat itulah Arini mendapatkan kesenangan sesaat, yang tak pernah dia dapatkan dari dalam rumahnya. Di sana dia bisa dengan bebas mengekpresikan keinginannya. Berloncat-loncat, teriak, tertawa menikmati dentuman musik yang menggema memekikkan telinga.

Lampu kerlap-kerlip menyala bergantian di langit-langit ruangan pun turut menjadi aspek penting membuat tempat itu terlihat semakin ramai.

Kepala Arini pening karena terlalu banyak karena ia belum terbiasa dengan tempat seperti ini.

Sehingga membuat Aurela merupakan teman sekaligus managernya itu menggeleng tidak habis pikir.

“Please, Rel, kasih aku satu kali lagi,” pinta Arini dengan kepada bersandar di atas bar.

“No, no, udah cukup. Aku nggak mau magh kamu kambuh lagi gara-gara ini.” Aurela menjauhkan botolnya sambil menggeleng menolak rengekan Arini.

“Ah, pelit banget sih.” Arini memalingkan wajahnya menatap orang-orang yang tengah asyik menikmati alunan musik yang dipandu oleh disc jockey yang berada di atas panggung mengangkat satu tangan ke atas sedangkan sebelah lagi memutar-mutar piringan hitam.

“Orang tau kamu berantem lagi ya, Rin?”

“Hah? Apaan?” Arini memajukan telinga seiring menyelipkan anak rambut ke belakang. Ia tidak bisa mendengar suara dengan jelas karena musik begitu mendominasi ruangan yang dipenuhi manusia pencari kesenangan.

Aurela mendengus kemudian berbicara lagi, “Kamu ribut lagi di rumah?”

Kali ini Arini bisa mendengar dengan jelas mengangguk. “Harusnya kamu nggak usah tanya lagi, karena mereka setiap hari memang begitu. Dari aku kecil, coba bayangkan kalau kamu jadi aku.” Ingin rasanya Arini menghilang dari kehidupan mereka kalau bukan masih membutuhkan uang dari mereka.

“Mereka nggak akan bisa melarangku karena nggak bisa kasih kebahagiaan, Rel. Aku butuh tenang, butuh hiburan. Dan aku sekarang butuh seseorang yang bisa menyenangkan dalam semalam," ucap Arini suaranya timbul tenggelam di dalam tenggorokan karena efek terlalu banyak menenggak minuman.

“Maksud kamu, aku?” tanya Aurela menunjuk dirinya sendiri.

Lantas Arini mengibaskan tangan menepis. “Ya jelas bukanlah, aku butuh sugar daddy, pengen cari yang manis-manis.”

“Wedan kamu, Rin, mana ada konsep cari kebahagiaan seperti itu.” Menoyor kepala Arini yang kini tak bertenaga lagi.

“Ya, kalau bukan sugar daddy setidaknya cowok ganteng lah, aku udah bosen hidup sendirian. Selalu jadi penonton perkelahian orang tua doang.”

“Di sini ada banyak, ya kamu tinggal pilih sendiri mau model gimana.”

Arini mengulurkan tangannya untuk mengambil botol wine dari tangan Aurela. Sambil menyesap permukaan gelas di bibirnya, manik coklat berbulu mata lentik itu mengelilingi sekitar ruangan. Melihat orang-orang yang sedang menikmati dentuman musik seperti halnya dirinya.

Satu hal yang harus dia lupakan di tempat ini, yaitu masalah di rumahnya. Teriakan papanya, jeritan mama yang begitu menyakitkan di dalam hati Arini.

Bulu mata lentik Arini mengerjap posisi yang sebelumnya duduk di atas kursi kini menjadi berdiri tatkala merasakan dadanya berdebar-debar, melihat satu orang pria yang kini berdiri bersandar di pinggir dinding menghadap ke arahnya sambil memegangi segelas wine.

“Di-dia siapa?”

Jantung Arini semakin berdetak kencang saat pria berbadan proporsional itu tersenyum menampilkan kedua lesung pipinya terlihat begitu manis merupakan cowok yang sudah lama menarik perhatiannya.

“Astaga, ganteng sekali!” Arini hampir saja terjatuh karena begitu salah tingkahnya. Saat pria itu berjalan mendekati dirinya.

“Kamu nggak apa-apa, kan, Rin?” tanya Aurela. Melihat temannya tiba-tiba seperti orang kerasukan, kehilangan keseimbangan.

Arini sudah sulit lagi mengontrol laju degup jantungnya. Kian berdebar-debar saat pria itu menghampirinya.

“Aku nggak salah lihat, dia itu manusia beneran, kan?” Berpegangan pada sisi meja tatapannya lurus berpusat padanya. Ah, dialah tipe cowok yang Arini cari hatinya seketika berdebar.

“Hai, aku Rio. kamu?” tanya Rio dalam jarak yang begitu dekat.

Arini mengulurkan tangannya untuk membalas jabatan tangan Rio. Tatapan matanya seolah menghipnotis pria itu supaya terus menatapnya.

“Arini.”

Rio memejamkan mata menghirup dalam-dalam di atas punggung tangan Arini dalam genggamannya. “Aroma yang begitu harum.”

Arini terhanyut, rasanya ia ingin terbang ke langit ketujuh. Seluruh kulitnya terasa meremang saat merasakan deru napas Rio yang hangat menyapu kulitnya.

“Maukah kau, kalau kita menjadikan perkenalan malam ini, semakin dekat lagi, Arini?” tanya Rio seiring menggenggam tangan Arini erat.

Arini memutar bola matanya ke atas kemudian melirik ke cowok itu. “Hem... nggak ada alasan untuk menolak. Aku mau.” Senyuman lebar dari bibir merah muda menghiasi wajah Arini.

Aurela melebarkan mata mendengar kalimat mereka berdua. Ternyata Arini bersungguh-sungguh dengan ucapannya tadi. Gadis itu hanya menepuk dahi melihat mereka berdua saling bergandengan meninggalkan klub.

Gais, karena cerita ini aku upload ulang setelah dihapus kemarin, jangan lupa komen dan like ulang ya gais, ya. 😘

SM CH 2: Malam Luar Biasa

"Huh, luar biasa sekali….”

Kata-kata itulah yang menjadi penutup Rio di malam panas baru saja mereka lewati. Keduanya seperti baru saja terjun dari langit ke tujuh. Arini memejamkan mata seiring menstabilkan pernapasan yang membuat dadanya naik turun.

Apa ini Arini menyesal? Arini rasa tidak, mungkin hanya reaksi alam saat ia baru saja kehilangan sesuatu sang paling berharga dalam hidupnya ada perasaan mengganjal dalam hatinya. Tak ingin berlarut-larut gadis kini tanpa menggunakan sehelai benang itu segera mengabaikan rasa itu.

“Apa yang baru saja kita lakukan, benar-benar sadar, tanpa penyesalan, kan?” tanya Rio yang kini berada di sampingnya. Tubuh atletis berkulit bersih alis tebal, mengambil sejumput rambut yang berada di pipi Arini kemudian menyelipkan ke belakang telinga membuat perempuan itu tertunduk malu.

Tindakan sesimpel ini, sudah membuat hatinya menghangat, mungkin bagi sebagian orang perlakuan Rio terlihat biasa saja. Tetapi tidak dengan Arini, jujur ini pertama kalinya membuat dadanya berdebar-debar.

“Walau kita baru pertama kali dekat seperti ini, tapi menurutku tidak ada kecanggungan sama sekali, kita seperti selayaknya dua orang yang sudah lama berteman. Apa mungkin karena itu kita dipertemukan?” tanya Rio lagi dengan senyum mengembang di bibirnya membuat Arini semakin bersemu merah karena salah tingkah.

“Iya, aku rasa begitu.” Arini mengangguk ragu. Bahkan ingin menyebut nama Rio pun di bibir masih canggung, jika ketika mereka tadi begitu akrab karena Arini mengikuti permainan Rio. Yang membimbingnya begitu ahli dalam pergulatan panas. Kini pada saat selesai semua terasa berbeda.

“Terima kasih,” ucap Rio.

Membuyarkan lamunan Arini seketika menoleh ke arahnya. “Terima kasih untuk apa?” tanyanya.

“Karena kau sudah bersedia menemaniku malam ini. Kau sangat menghangatkan dan ini adalah kali pertama aku tidur dengan seorang wanita.”

“Benarkah?”

Rio mengangguk membenarkan senyuman tersemat di bibirnya sungguh membuat hati Arini semakin menghangat.

Jika Rio mendapatkan miliknya yang pertama kali, berarti Arini pun mendapatkan hal yang sama dari laki-laki ini. Benarkah? Rasanya Arini tidak percaya semua yang dikatakan oleh Rio itu fakta, sebab lelaki setampan dan ahli Rio ini baru tidur dengan wanita untuk pertama kalinya.

“Oh iya, sebelumnya aku tidak menanyakan kesepakatan harga padamu, maka sekarang karena sudah memastikan kalau kamu benar... maka akan aku bayar berapa pun yang kamu mau. Sebutkan saja, berapa?”

Arini menggeleng, sebab ia bukan sama sekali wanita apa yang disebutkan oleh Rio. Ia bukan gadis yang dengan terpaksa menjual keperawanannya demi sejumlah uang untuk membiayai kerasnya kehidupan di ibu kota ini. Real, Arini tidak perlu finansial sebab ia sudah memiliki segalanya.

“Ambil saja uangmu, Rio. Aku sama sekali tidak butuh,” ucapnya. Bersandar di headboard dengan rambut dalam keadaan acak-acakan.

Justru Arini lah yang harus membayar lelaki ini karena sudah membuat dirinya melepaskan beban menggumpal dalam benaknya. Masih ingat semalam Rio ingin membatalkan niatnya pada saat mereka sudah sampai di ambang pintu apartemen milik Arini itu. Entah apa penyebabnya sehingga membuatnya menghentikan langkah beberapa saat. Namun, setelah Arini menariknya dia pun tak menolak.

“Aku adalah pewaris satu-satunya Pak Abraham, maka hidupku tidak akan kekurangan uang.”

Seketika Rio mengerutkan dahi mendengar pernyataan Arini. Seperti ada yang tidak masuk akal di sini. Gadis di sampingnya menolak uang yang telah ia berikan. Apa mungkin menginginkan hal lain, berbentuk barang mungkin atau jangan-jangan ingin menjebak dirinya untuk meminta pertanggung jawaban setelah ini.

“Bukankah seharusnya kamu menerimanya, mungkin membutuhkan untuk membeli keperluan?” tanyanya.

“Masih tidak percaya kalau aku punya uang?” Arini menyeringai kemudian meraih tas yang tergeletak di atas lantai tak jauh dari ranjang. Mengeluarkan dompet panjang berwarna hitam memiliki logo yang Rio ketahui itu adalah dompet branded. Harganya mencapai tiga puluh jutaan.

“Coba lihat ini, kamu bisa lihat, kan?” Mengeluarkan lembaran uang kertas berwarna merah dan biru yang memenuhi dompetnya. Melemparkan ke atas Kasur hingga berserakan. Membuat Rio semakin bingung sebenarnya apa yang dilakukan oleh gadis ini, kenapa dia mudah sekali tersinggung saat Rio memintanya untuk mengambil uang darinya.

“Oh, aku bukan cuma punya uang kertas aja, aku juga punya kartu ATM, kredit dan kartu-kartu lainya, yang masing-masing isinya bahkan berjumlah milyaran di setiap bank ya, bukan cuma satu.” Arini mengeluarkan kartu-kartu dari dompetnya.

Rio tidak tahu kalau ucapannya akan membuat gadis ini seperti sekarang. Dia menjadi banyak bicara dengan sesekali tangan ikut serta memegang kepala.

“Masih belum percaya? Aku akan tunjukkan bukti lain.” Arini kembali akan membuka tasnya lagi, untuk mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Namun, dengan cepat Rio mencegah dengan cara menahan tangan Arini untuk bergerak.

“Kenapa? Kamu nggak percaya, kan, sama apa yang aku bilang maka biarkan aku menunjukkan siapa aku yang sebenarnya.”

“Tidak perlu. Okay, aku tahu, kalau kamu itu punya banyak uang.” Rio berbicara dengan amat santai dan tenang, supaya tidak menimbulkan kesalahan paham lagi pada gadis yang baru semalam dia kenal ini.

Arini tiba-tiba terlihat gelisah, beranjak dari tempat tidur berdiri di sampingnya sambil mondar-mandir tangan perempuan cantik itu pun tak bergeming. Menggigiti kuku, mengusap tengkuk terakhir meremas rambutnya sendiri.

“A-apa lagi yang harus ku tunjukkan padamu, harusnya ada sesuatu lagi, ya, mungkin harus memperlihatkan foto-foto rumahku, hotel, ya, mu-mungkin itu akan membantu.” Tangan Arini terlihat gemetar, ingin mengambil tas tapi justru belok memegang hal lain.

Rio menggeleng terkekeh, ini pertama kalinya ia melihat gadis seagresif, bahkan seolah-olah sulit mengendalikan dirinya sendiri. Ia menangkap kedua tangannya, sehingga membuat Arini kesulitan saat akan bergerak.

“Apa kamu baik-baik saja?”

“Apa aku baik-baik saja? Yah, tentu saja aku baik-baik saja.” Dalam sekejap mimik wajahnya berubah menjadi sendu, bibir bergerak-gerak seperti ingin mengungkapkan sesuatu.

“Semua baik-baik saja, tapi tidak dengan orang tuaku.” Tiba-tiba saja dia tertunduk sambil mengusap air matanya, ia menangis membuat Rio memahami kalau Arini sedang memikirkan masalah besar.

Tanpa bertanya ia membuka tas perempuan itu, mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan sebagai petunjuk. Ternyata ia menemukan botol tabung transparant berisikan obat.

“Apa obat ini yang harusnya kamu minum?” tanyanya memperlihatkan pada Arini.

Arini seketika menaikkan pandangannya meraih dengan cepat benda itu dari tangan Rio. Dia duduk mengambil dua tablet obat lalu menyambar air minum di atas meja. Barulah setelah itu, Rio melihat aura ketenangan dari dalam diri perempuan yang kini bersandar di headbord sambi memejamkan mata aini.

Rio rasa semua sudah membaik, Arini pun tak seagresif sebelumnya, bernapas teratur membuat dadanya naik turun. Membuat sesuatu di bawah sana sebagai lelaki normal ingin kembali menerkamnya. Tetapi rasanya tidak mungkin sebab kondisi Arini seperti tidak sedang baik-baik saja. Tidak mungkin jika dirinya memaksakan kehendaknya.

Ia memutuskan untuk memilih pergi dari sana, mungkin membiarkan Arini sendiri akan membuatnya tenang. Segera memakai pakaian yang berserakan di atas lantai.

SM CH 3: Ternyata Milik Orang Lain

Di dalam kamar memiliki gorden coklat yang sama sekali belum terbuka, lampu hanya menyala tamaram satu sudut, sangat sunyi. Arini tidak ingin membuat lelaki itu terbangun, jika dia boleh egois bahkan ia akan meminta Rio untuk tetap tinggal di apartemen ini bersamanya.

Namun kesibukan keduanya membuat tidak memungkinkan untuk tetap bersama seharian suntuk. Arini harus menjalani aktivitas nya begitu pun dengan Rio yang harus pergi ke kantornya.

Begitulah, hari-hari yang mereka lalui, hingga berganti minggu, bergerak menjadi bulan. Keduanya menjalin kedekatan, Arini terlalu nyaman berdekatan dengan pria ini.

Hingga seiring berjalannya waktu memasuki bulan ke empat, Arini semakin terjerat dalam perasaannya sendiri. Ia begitu ketergantungan dengan sesosok Rio.

Penyakit bipolar yang biasanya selalu kambuh, kini pergi entah ke mana. Arini tidak pernah merasakan depresi yang berlebih lagi. Apakah dia sembuh? Ia rasa tidak, hanya saja penyakit itu menghilang sesaat setelah kehadiran Rio.

Apa pun yang ada pada lelaki itu sangat memikat ketertarikannya. Sikap positif pun menjalar ke dalam dirinya. Ia selalu ingin bersama Rio lebih lagi.

“Hem… apa? Hari ini juga?" Seketika perempuan itu menyibak rambutnya- saat seusai mendengar suara seorang dari seberang sana menelepon.

"Iya. Selagi ada libur ini dari si bos."

"Tapi maaf, aku tidak bisa temani kamu. Ada kerjaan yang tidak bisa ditinggal. Sekali lagi, maaf ya, Zi?" Arini mengigit bibir bawahnya sambil melirik ke belakang.

Temannya itu menutup telepon dengan rasa kecewa.

Setelah mematikan telepon, Arini menghembuskan napas sambil memutar bola mata malas kemudian memejamkan beberapa saat. Arini melirik malas ke arah pria di sampingnya yang masih terpejam tidur dengan pulas.

"Rio, kamu tidak bangun?" Sepertinya lelaki itu semakin memperdalam memasuki alam tidurnya.

"Rio, bangun! Hpmu sejak tadi terus saja bunyi!" Arini mendorong tubuh Rio hingga lelaki itu terperanjat kaget.

"Siapa yang telepon?" tanyanya. Menggaruk kepala sambil mengembalikan kesadaran yang sepenuhnya belum pulih.

"Mana aku tau." Lantas Arini beranjak dari tempat memunguti pakaian di lantai yang ia buang sendiri secara serampangan semalam.

Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dia keluar menatap Rio yang sedang menelepon di sofa dekat jendela.

"Siapa?" tanyanya setelah Rio menutup teleponnya.

Kemudian ia berdiri di depan cermin untuk memberi olesan krim ke wajahnya.

"Ada yang menelepon, mengajakku pergi ke luar kota. Aku lupa kalau hari ini ada janji dengannya," jawab Rio. Sambil meraup wajahnya sendiri untuk mengembalikan kesadarannya.

"Oh ya?" Arini menghentikan aktivitas tangannya kemudian menyunggingkan bibir.

“Kamu akan pergi ke luar kota lagi, terus menghilang begitu saja, tanpa kasih kabar ke aku?”

"Kenapa kamu bilang seperti itu, Rin?" Dahi Rio berkerut seolah tidak menyukai apa yang baru saja dikatakan Arini.

"Apa aku salah kalau ngomong seperti itu, Rio? Nyatanya bener kan yang aku bilang kalau, kamu datang ke aku hanya karena ingin menjadikan pelampiasan, setelahnya akan pergi gitu aja." Cukup lama ia menahan rasa ini. Berharap Rio menyisakan rasa pengertian untuknya. Tapi nyatanya seujung kuku pun ia tidak bisa mendapatkan.

Arini merasa lelah menjalani hubungan tidak sehat ini selama berbulan-bulan yang mereka merasa baik-baik saja. Ia butuh status.

"Tapi sebelum kita menjalin hubungan ini, kita sudah sepakat bukan, Rin? Kita sepakat kalau tidak ada yang ikut campur urusan satu sama lain?" tanya Rio yang beranjak dari kursi kemudian berdiri dan memegang kedua pundak Arini.

Arini tahu benar kalau semua kesalahan ini adalah murni dari kebodohannya. Murni karena rasa cinta yang tidak ada ujungnya. Tapi semakin hari menjalani ini nalurinya sebagai sebagai seorang perempuan seolah menolak atas perbuatannya.

"Aku tau." Suara itu terdengar pelan dan berat. "Maka dari itu, aku butuh kejelasan hubungan kita, Rio. Kita ini sebenarnya apa sih? Pacar, teman, atau bagaimana?"

"Tapi aku belum mau, Rin, ada satu lain hal, yang mengharuskan kita tetap seperti ini," balas Rio.

Sebelah alis Arini terangkat dahinya berkerut dalam.

"Aku tapi satu harus kamu tahu, jangan anggap aku cuma sebagai wanita penghibur." Ia butuh hal lain, lebih ia selalu memimpikan pernikahan.

“Bukan seperti itu, Rin. Tapi aku--"

"Aku memang bodoh, selalu berharap ada secuil cinta untukku tapi nyatanya tidak, meski sudah ku relakan semua," Arini berdiri kaku itu kemudian duduk di tepi ranjang dengan wajah yang tertunduk.

"Kamu bilang kayak gitu seolah aku yang salah di sini, Rin! Ingat, kita sudah sepakat menjalani hubungan ini tanpa komitmen. Pacaran atau bahkan pertunangan! Kenapa kamu sekarang berpaling dengan janji yang udah kita sepakati. Bahkan biasanya kamu diam sejak awal, tapi kenapaa sekarang banyak menuntut?”

"Iya itu-"

Suara bel pinti apartemen tiba-tiba terdengar memecah ketegangan di antara keduanya. Arini mengayunkan kaki sebab ia tahu pagi-pagi seperti ini pasti orang laundry yang akan mengambil pakaian kotornya. Ia memunguti pakaian-pakaian yang akan dicuci kemudian menyeret keranjang ke samping pintu.

Rio masih berdiri terpaku untuk menunggu Arini akan melanjutkan perdebatan mereka.

Arini memutar anak kunci kemudian membuka pintu lebar-lebar.

Mencengangkan saat menatap ia mendapati sesosok wanita yang ada di ambang pintu. Ya ampun!

Arini memijat pelipsnya sambil mengamati temannya itu syok hingga kunci mobilnya terjatuh. Dia dengan tangan gemetar memungut di lantai. Tatapannya terus saja mengarah pada Rio.

Arini mengerutkan alisnya saat ternyata kini Rio berjalan menghampiri Zia. Rio yang hanya memakai celana bokser memakai kaos secara buru-buru mengejar kekasihnya. Arini menganga sendiri. Bingung, apakah mereka saling mengenal?

“Zia!” teriak Rio saat temannya itu pergi ke luar dengan keadaan menangis.

Mencengangkan, saat ternyata Arini tahu yang sebenarnya. Selama ini Rio telah membohonginya, ternyata dia sudah memiliki kekasih yang tak lain adalah teman Arini sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!