Kalandra Rajaswa, seorang CEO di Rajaswa Grup, penerus di perusahaan ayahnya. Usianya baru 30 tahun dan dia ia cukup merasa terbebani dengan tugas sebagai CEO sejak 6 bulan lalu karena ayahnya menderita sakit yang lumayan parah.
Ayahnya- Bagas Rajaswa akhirnya meninggal dunia 1 minggu lalu. Ia masih berduka, namun dunia tetap berputar hingga ia tak punya banyak waktu untuk terus meratapi kepergian sang ayah.
Maka dari itu, hari ini pengacara yang dipilih oleh Bagas datang ke rumah duka dan menemui seluruh anggota keluarga yang ditinggalkan untuk membicarakan perihal surat wasiat yang ditulis oleh Bagas.
"Maaf sebelumnya, kedatangan saya ke rumah ini sebenarnya bukan untuk membacakan surat wasiat pak Bagas," ucap seorang pengacara yang di percaya oleh Almarhum Bagas Rajaswa.
"Jadi, untuk apa anda datang ke rumah ini, Pak? Bukankah membacakan surat wasiat itu merupakan tanggung jawab anda sebagai pengacara suami saya?" Tanya Riana yang sudah tak sabar mendengarkan seberapa besar bagian dari harta warisan yang menjadi haknya selaku istri sah almarhum.
Meninggalnya Bagas nyatanya tak serta merta menjadi duka mendalam bagi keluarga ini. Karena dibalik duka ini, akan ada keberkahan bagi si tamak yang mengincar harta warisannya.
"Begini, Bu. Bapak pernah mengatakan pada saya bahwa surat wasiat bisa dibacakan dan harta warisan bisa dibagikan dengan syarat semua anak bapak harus sudah menikah."
Semua mata seketika menatap kearah Kalandra yang saat itu tengah memakai kemeja putih dan jeans berwarna coklat susu.
Pria itu sama sekali tak gentar mendapat tatapan tajam dari keluarganya. Karena memang kenyataannya dia belum menikah.
Lalu mau bagaimana lagi? Ia juga tidak tahu jika statusnya yang belum menikah menjadi penghalang dibacakannya surat wasiat tersebut.
Sementara itu, Riana dan putra kedua keluarga itu, Reyga Rajaswa dan istrinya- Gia mulai mengintimidasi pengacara.
"Omong kosong apa ini, Pak?" Tanya Reyga. "Bagaimana bisa ada syarat seperti itu, sementara almarhum papa tahu bahwa ada putranya yang belum menikah?"
Sebenarnya Reyga tidak peduli dengan harta warisan yang ditinggalkan oleh papanya. Ia sudah merasa puas dengan usahanya sendiri, yaitu restoran mewah yang ia rintis sejak beberapa tahun lalu.
"Saya hanya menyampaikan apa yang pernah bapak pesankan pada saya," jawab pengacara tersebut.
"Buang-buang waktu saja," gerutu Reyga kesal karena waktunya terbuang percuma untuk hal yang sama sekali tidak menarik baginya.
"Pak, apa tidak bisa dibacakan saja dengan mengesampingkan syarat tersebut?" Tanya Riana lagi.
"Tidak bisa, Bu. Itu adalah pesan dari bapak."
Mereka hanya bisa diam dengan memandang kesal kearah Kalandra, tak terkecuali Gia, menantu di rumah itu yang diam-diam juga mengharapkan warisan yang di dapatkan oleh suaminya.
Pengacara tersebut pergi meninggalkan rumah besar itu karena wasiat tidak bisa dibacakan, sebab masih ada syarat yang belum dipenuhi.
"Lihat! Betapa papa ingin melihat kamu menikah, Andra!" Ucap Riana pada Kalandra, putra pertama yang kehilangan respect padanya.
"Tapi kamu tidak pernah memenuhi keinginan papa kamu sampai saat terakhirnya!" Lanjut wanita tersebut.
Kalandra menghela nafas. Ia sadar, apa yang mamanya katakan memang benar. Ia tidak pernah sedikitpun memikirkan keinginan papanya agar ia segera menikah.
Baginya, menikah hanya akan membuat hidupnya terikat. Ia kehilangan kebebasan dan adanya kemungkinan dikhianati. Ia tidak ingin semua itu terjadi kepadanya.
Ia memilih hidup sendiri hingga saat ini karena trauma atas apa yang terjadi pada papanya. Ia pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, mamanya menjalin hubungan dengan pria lain. Pertengkaran terjadi setiap hari hingga rumah tangga mereka hampir berakhir. Tapi entah mengapa, akhirnya keduanya masih tetap bersama hingga kini meski hubungan mereka tak harmonis lagi.
"Dan sekarang, wasiat papa tidak bisa dibacakan hanya karena kamu belum menikah, andra!"
"Jadi, segeralah menikah agar papa kamu tenang di alam sana!" Riana memarahi Kalandra.
Kalandra berdiri dan menatap tajam kearah mamanya.
"Aku akan menikah, tapi bukan karena wasiat itu, dan juga bukan karena jebakan mama!" ucapnya tegas.
Riana langsung diam karena tuduhan Kalandra tepat sasaran.
Kalandra pergi ke kamarnya. Ia kesal karena wanita itu terus saja menudingnya. Ia juga benci pada wanita yang selalu saja berusaha menjebaknya bersama seorang gadis agar akhirnya ia bisa menikah.
Entah berapa kali ia terjebak dalam kencan buta, hingga ia dijebak di kamar hotel bersama gadis cantik.
Mamanya itu sepertinya memang sudah tahu bahwa syarat pembagian warisan adalah jika seluruh putra Bagas sudah menikah. Hingga saat Bagas mulai sakit-sakitan, Riana semakin gencar menjebak Kalandra. Namun sayangnya tidak pernah berhasil.
Esok paginya....
"Mengapa ramai sekali?" Gumam Kalandra saat melihat halaman kantornya dipenuhi oleh banyak wartawan.
Kalandra menghubungi security untuk mencari tahu penyebab wartawan itu berkerumun di depan kantornya. Berita apa yang sedang mereka buru.
"Apa?" Pekiknya tak percaya saat mendengar penjelasan security perihal berkumpulnya para wartawan itu.
"Oke, Pak! Katakan pada mereka, saya tidak masuk kantor hari ini. Dan hubungi saya saat situasinya sudah aman." Ia langsung mengakhiri panggilan telponnya.
"Sh***iitt!" Kalandra memukul stir.
Ia memutar balik dan meninggalkan halaman kantor.
"Siapa yang menyebarkan berita murahan seperti itu?"
"Dan mengapa para wartawan percaya dengan berita yang sama sekali tidak masuk akal?"
Kalandra berhenti di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai. Ia memutuskan untuk sarapan dan minum kopi di salah satu stand.
Kalandra turun dari mobil dan, "Pencopet!!" Ia berteriak saat ia menyadari seseorang menarik dompet dari kantung belakang celananya.
Seketika orang-orang melihat kearahnya, namun tidak ada yang peduli saat pria bertubuh kecil yang tak sempat ia lihat wajahnya itu membawa lari dompetnya.
Ia berusaha mengejar hingga jarak yang lumayan jauh. Dan tanpa ia duga ada seorang gadis yang ikut membantunya mengejar orang tersebut.
Kalandra mulai kelelahan hingga langkahnya melambat dan ia kehilangan jejak saat pencuri dan gadis itu menghilang di gang kecil.
Kalandra belum menyerah. Ia tetap mencari.
"Berikan dompet itu, Lif!" Kalandra mendengar suara seorang gadis yang terucap penuh penekanan.
"Alif!" Suaranya mulai mengeras dan semakin terdengar menahan geram.
"Alif! Berikan dompet itu, Lif! Kakak tidak akan pernah membiarkan kamu untuk mencuri!"
"Tapi aku butuh uang, Kak! Kaki ibu harus segera dioperasi!" Suara itu sedikit lebih keras.
"Kakak sudah bilang, hal itu biar jadi urusan kakak!"
"Kamu sekolah saja dan jaga ibumu!"
"Kakak akan bertanggung jawab dan akan menanggung semua biaya rumah sakit."
"Tapi kapan? Harus sampai kapan membiarkan ibuku menahan sakit, Kak?"
"Segera, Lif. Segera! Kakak janji." Suara itu terdengar melemah dan sedikit parau. Gadis itu seperti manahan isak tangis.
Kalandra akhirnya bisa melihat gadis itu berdiri di depan pria yang ternyata hanya seorang anak kecil berusia sekitar 13 tahun, namun tubuhnya lumayan besar jika dibanding dengan anak seusianya.
"Tapi... Alif tidak tega melihat kondisi ibu, Kak!"
Kalandra bisa melihat, gadis itu mengambil paksa dompet yang berada di tangan anak laki-laki itu.
"Sekarang pergilah sebelum ada yang melihat dan kamu tertangkap! Sore nanti, kakak akan ke rumah sakit!" ucap gadis itu penuh penekanan.
Kalandra terus bersembunyi hingga anak laki-laki itu pergi dan gadis itu berjalan mendekat kearah persembunyiannya.
Kalandra keluar dan pura-pura tidak tahu apapun.
"Ini dompet anda, Pak!" Kalandra melihat gadis itu tersenyum tipis.
"Pencurinya membuang dompet anda, dan saya tidak bisa menangkapnya."
"Silahkan periksa! Apakah isinya masih utuh atau tidak!"
Gadis itu meninggalkan Kalandra yang memeriksa dompet dan isinya masih sama, tidak ada yang hilang.
"Terima kasih!" Ucap Kalandra pada punggung kurus yang mulai menjauh itu.
"Sama-sama, Pak!"
Kalandra terdiam saat gadis itu menjawabnya tanpa menoleh dan malah terus pergi.
"Aku sepertinya pernah melihat gadis itu. Tapi dimana ya?" Gumam Kalandra.
Kalandra mengangkat bahunya acuh. Ia melebarkan langkah dan mengejar gadis itu.
"Tunggu!"
Gadis itu berhenti dan keduanya berdiri saling berhadapan.
Kalandra mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan memberikan pada gadis itu.
"Ini, sebagai rasa terima kasihku!"
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerimanya. Saya ikhlas menolong." Ucap gadis itu namun matanya memandang uang itu lekat lekat. Seperti ada pergolakan batin. Ingin menolak, tapi ia butuh uang itu.
"Ambil saja!"
Gadis itu menggeleng. "Tidak, terima kasih!"
Kalandra tertegun. Jelas-jelas ia mendengar bahwa bocah laki-laki itu butuh uang dan gadis ini mengatakan akan bertanggung jawab atas biaya rumah sakit. Entah masalah apa yang terjadi diantara mereka tapi yang pasti gadis ini membutuhkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit.
Kalandra mengimbangi langkah gadis itu. Ia menyodorkan kartu namanya. "Ambil ini, dan jika butuh sesuatu hubungi aku!"
Gadis itu mengangguk dan mereka berpisah karena gadis itu menyetop seorang tukang ojek.
Sementara ia menuju ke tempat dimana mobilnya terparkir. Ia mengemudikan mobil menuju sebuah perusahaan besar milik sahabatnya. Dewandaru Grup.
Ia sudah terbiasa datang ke perusahaan ini. Namun, kali ini tampak berbeda. Beberapa karyawan menatapnya dengan tatapan aneh. Tapi, Kalandra berusaha untuk tidak peduli.
"Pasti karena isu yang sudah terlanjur menyebar!" Gumam Kalandra.
Kalandra masuk ke dalam lift. Ia hendak menekan tombol angka, namun di depannya ada gadis yang berteriak.
"Tunggu, Pak!" Gadis itu berjalan cepat untuk bisa masuk ke dalam lift.
Kalandra memperhatikan gadis yang tampak terburu buru itu. Gadis itu memakai celana bahan dan blazer.
"Gadis ini ada disini? Dia bekerja disini?" Gumam Kalandra saat melihat gadis yang menolongnya tadi masuk ke dalam lift yang sama dengannya.
"Good Kayla. Hari pertama naik jabatan, dan kamu malah terlambat! Bagus!" Gumam gadis itu entah memuji atau memaki dirinya sendiri.
Oh, jadi namanya Kayla. Batin Kalandra.
"Dan setelah ini, bersiaplah menghadapi bos yang killer itu!"
Kalandra menaikkan satu alisnya saat ia mendengar Kayla mengatakan bos killer.
Ia jelas mengenal Jendra, bos diperusahaan ini. Tapi soal killer, dia baru tahu.
"Semoga saja aku tidak langsung diturunkan dari jabatanku!" Gumam Kayla.
"Bukankah kamu..."
Gadis itu menatap Kalandra. Dan mengangguk. "Iya, Pak. Saya gadis yang sama."
Kalandra tersenyum kecil.
"Biasakanlah mengawali hari dengan tersenyum dan tanpa mengomel!"
Kayla tersenyum kecil lalu melihat lurus ke depan.
"Jangankan omelan, bahkan hari ini ku awali dengan lari marathon hingga ke gang sempit!" Gumam Kayla kesal. Ia sudah terlambat tapi pria yang sudah ia tolong ini malah menceramahinya.
Kalandra mengulum senyum. Ia mendengar apa yang Kayla katakan dan ia tahu maksudnya.
Pintu lift terbuka dan mereka berjalan menuju ke ruangan yang sama, ruang CEO.
"Jendra ada di dalam, Mel?" Tanya Kalandra pada sekretaris Jendra yang bernama Melani.
"Ada, Pak! Beliau juga sedang tidak ada tamu."
Tanpa basa-basi Kalandra masuk ke ruangan CEO, dimana menjadi tempat bersemayamnya seorang Jendra Dewandaru.
Sementara Kayla harus berhenti di meja sekretaris untuk mendapat izin masuk ke ruang CEO.
Kalandra membuka pintu dari kaca tebal itu. Ia bisa melihat seorang Jendra, playboy sang penakluk para gadis tengah mode serius di depan laptop.
"Angin apa yang membawa seorang Kalandra bertandang ke perusahaan Dewandru?" Sambut Jendra tanpa menatap Kalandra.
"Kalau menyambut tamu, setidaknya tatap orangnya, Jend!" Kalandra langsung duduk di depan meja kerja sahabatnya.
"Tidak perlu! Aku bisa mencium baumu dari jarak 50 meter!" Sahut Jendra.
Kalandra tertawa sinis. "Aku benci pikiranku!"
"Apa yang ada dalam otakmu?" Tanya Jendra.
"Anji*ng pelacak!"
"Bangs*at!" Maki Jendra sambil tertawa karena sahabatnya itu malah menganggapnya seperti anjing pelacak yang bisa mengenali objek hanya dari baunya.
Jendra bersandar di kursinya dan sejenak meninggalkan pekerjaannya.
"Ada apa, Kal? Mulai dikejar wartawan, uh?" Jendra mengulum senyum.
Kalandra melipat tangannya di dada. "Sudah tahu?" Tanyanya.
Jendra tertawa. "Sudah 3 gadis yang menghubungiku meminta kejelasan, Kal!"
"Semakin hari, mamamu semakin gil*a!"
Kalandra mengangkat bahunya. "Tapi yang ini membuatku benar-benar hampir kehilangan kewarasan!"
Jendra mengambil ponselnya dan membaca headline sebuah berita online.
"Kalandra Rajaswa masih betah menjomblo, diduga penyuka sesama jenis."
"Hahahah... berita murah yang sepertinya cukup melukai harga diri seorang Kalandra!" Jendra terbahak saat membaca berita yang menyebabkan wartawan memburu Kalandra di depan kantornya.
"Aku tidak peduli sebenarnya, jika saja para wartawan itu tidak mencariku ke kantor!"
"Apa jadinya jika rekan bisnis dan para pemegang saham mempertanyakan hal ini?" Kalandra mengungkapkan kekhawatirannya.
"Mana mungkin wartawan tidak memburu berita panas seperti ini," jawab Jendra.
"Mereka harusnya tahu, kalau aku masih berduka." balas Kalandra.
"Yang salah itu, mama kamu!" tuduh Jendra yang sudah hafal dengan kelakuan Riana.
"Sepertinya aku harus melakukan konferensi pers." Sebuah ide yang muncul di fikiran Kalandra.
"Makanya menikah saja. Berita menghilang, wasiat dibacakan, warisan di bagi dan kamu bisa untuk tidak tinggal serumah dengan mereka."
"Perkara selesai!" Lanjut Jendra.
Ia sudah tahu semua permasalahan sahabatnya. Mengenal pria itu sejak SMA membuat hubungan keduanya sudah seperti saudara.
Kalandra tertawa sinis. "Menikah?"
"Mimpi buruk!" Lanjut Kalandra.
"Ck!" Decak Jendra. "Beginilah kalau manusia hidupnya terlalu lurus!"
"Kal, jaman modern seperti ini, ada istilahnya nikah kontrak, Kal!"
"Hitam diatas putih!"
"Tapi pernikahan bukan mainan, Jend!" Potong Kalandra.
"Ya... ya... ya..." Jendra mengalah. "Tapi ingatlah Kal! Pernikahanmu bisa membuat mamamu berhenti melakukan hal gil*a."
Intercom dimeja Jendra berbunyi. "Pak, Kayla sudah ada di depan ruangan anda."
Melihat Kalandra yang tak ingin membalas ucapannya, Jendra akhirnya mengizinkan gadis itu masuk ke dalam ruangannya.
"Suruh dia masuk, Mel!" Perintah Jendra.
"Ada tamu?" Tanya Kalandra karena ia takut mengganggu.
"Tidak. Masih karyawanku."
"Siapa?" Tanya Kalandra.
"Sekretaris baru!" Jendra menaikkan satu alisnya.
Kayla? Sekretaris baru? Apakah masih gadis yang sama? batin Kalandra.
"Selamat pagi, pak!" Keduanya melihat kearah pintu dan tampaklah Kayla dengan setelan kerjanya berjalan penuh percaya diri mendekat ke meja Jendra.
"Silahkan duduk!" Jendra meminta Kayla duduk di samping Kalandra.
"Maaf saya terlambat datang, Pak. Ada hal tidak tertuga terjadi pagi ini." Kayla menunduk dan sesekali ia melirik ke samping. Dimana ada Kalandra yang duduk dengan tenang.
Jendra mengangguk. "Harusnya kamu tidak terlambat. Bukankah hari ini sangat penting untuk kamu?" Ucap Jendra.
Kayla mengangguk. "Maaf sekali lagi pak. Ini benar-benar diluar kendali saya."
"Maafkan dia, Jend. Dia terlambat karena menolongku."
Jendra menatap Kalandra penuh tanya. Ia bahkan sampai mengerutkan keningnya.
"Seseorang mencuri dompetku dan dia membantu mengejar pelakunya," jelas Kalandra membuat Kayla bernafas lega.
Jendra menatap keduanya bergantian. Entah mengapa ia punya satu ide yang menurutnya lumayan keren.
"Baiklah!"
"Kayla..."
"Ya, pak!"
"Soal pengajuan pinjaman kamu pada perusahaan, saya tidak bisa kabulkan!"
Kayla membulatkan matanya. Beberapa hari lalu, ia memang sempat mengajukan pinjaman pada atasannya itu.
Ia sangat terkejut karena Bosnya itu bukannya membahas mengenai tugasnya sebagai sekretaris baru, tapi malah membahas mengenai pengajuan pinjamannya.
"Tapi saya butuh uang itu, Pak. Anda bisa potong 20-30 persen dari gaji saya tiap bulannya," ucap Kayla lemah.
"Tapi, pinjaman terakhir kamu masih belum lunas. Gaji kamu masih harus dipotong sampai 6 bulan kedepan, Kay!"
"Saya tahu, Pak! Atau paling lambat bulan depan, saya akan lunasi."
"Bagaimana caranya?" Tanya Jendra remeh.
"Ehm..." Kayla melirik kearah Kalandra. Ia merasa keberatan jika pria itu tahu masalah yang sedang ia hadapi.
"Abaikan saja dia!" Perintah Jendra. "Dia bukan tipe pria yang suka bergosip."
Jendra tahu, Kayla tidak ingin Kalandra tahu masalahnya.
Kayla mengehela nafas. Ia meyakinkan dirinya bahwa Kalandra tidak akan ikut campur.
"Begini, Pak! Saya akan menggadaikan sertifikat rumah saya. Saya butuh uang itu secepatnya, karena saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Apalagi, untuk menggadaikan sertifikat ke bank, harus melewati beberapa proses yang pasti akan membutuhkan waktu lebih lama lagi, Pak!"
Jendra tersenyum kecil. "Saya punya solusi. Kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus berhutang."
Kayla mengerutkan kening. "Saya tidak akan menjual diri saya, pak!" Ucapnya tegas karena hal itulah yang ada di otaknya.
Jendra tertawa. "Siapa juga yang akan membeli kamu, Kay?"
"Jadi, bagaimana caranya agar saya bisa mendapatkan uang tanpa berhutang, Pak?"
Jendra melihat kearah Kalandra membuat Kayla terkesiap.
"Menikah dengannya!" Jendra menunjuk Kalandra dengan dagunya.
"Apa?" Kalandra langsung menegakkan duduknya.
"Apa?" Pekik Kayla lalu dengan cepat ia menutup mulutnya. Sadar apa yang ia lakukan tidak sopan.
"Saya tidak bisa, Pak!" Tolaknya seketika. Mana mungkin dia menikah dengan pria yang sama sekali tidak dia kenal.
"Apa-apaan kamu, Jend!" Bentak Kalandra. "Tidak! Aku tidak akan menikah!"
"Dan kamu! Saya juga tidak mau menikah denganmu!" Kalandra menuding Kayla. Ia kesal karena gadis itu terang-terangan menolak dirinya yang terlihat nyaris sempurna itu.
"Saya juga!" Kayla membuang muka.
Jendra menggaruk keningnya. "Kalian datang dengan membawa masalah kalian ke ruangan saya. Dan setelah saya memberikan kalian solusi, kalian malah marah-marah!"
"Solusi dari bapak tidak masuk akal!"
"Solusi dari kamu tidak benar, Jend!"
"Astaga! Kalian kompak sekali!" Jendra tertawa.
"Dengarkan aku, Kal!"
"Dengarkan saya, Kay!" Jendra melipat tangannya diatas meja.
"Kal! Kamu hanya perlu Kayla untuk pura-pura jadi istri kamu!"
Kayla membulatkan matanya. Ia terkejut. Pura-pura bagaimana?
"Hahah.. bukan pura-pura sih. Nikahnya ya sungguhan, tapi cuma diatas kertas."
"Sampai isu itu mereda dan mama kamu berhenti mengusurus hidupmu!"
"Kamu berikan Kayla imbalan, sejumlah uang. Saat ini Kayla butuh lebih dari 50 juta."
"Dan Kayla! Ini hanya pura-pura. Anggap saja kamu sedang bekerja sebagai asisten pribadinya di rumah!"
Kayla mengerutkan kening. "Nikah kontrak?" Tanyanya.
Jendra mengangguk. "Benar sekali. Pernah dengar kan?"
Kayla masih bingung. "Saya fikir, itu cuma ada di novel fiksi, Pak!"
Jendra tertawa. "Bagaimana? Kamu bisa?"
"Eh, main bisa-bisa saja! Aku tidak setuju, Jend!"
"Ayolah, Kal. Anggap saja kalian sedang saling membantu."
"Aku tidak setuju."
"Terserah kamu. Menurutku ini adalah ide yang paling bagus untuk mengatasi masalah kamu."
"Dan aku tahu Kayla gadis yang tepat."
"Kalau pun kamu pakai caraku tapi dengan gadis lain. Kamu akan bingung menjelaskan pada mamamu tentang gadis itu."
"Tapi kalau Kayla, dia karyawanku selama lebih dari 3 tahun. Aku bisa membantumu dengan mengatakan bahwa aku yang mengenalkan kalian berdua!"
Kalandra diam sejenak. "Aku tidak mau menganggap pernikahan itu seperti permainan, Jend!"
Kayla melirik pria yang tampak sedang kebingungan itu. Untuk apa dia harus menikah dengan cara seperti ini? Ada masalah apa sebenarnya?
"Ayolah, Kal! Media butuh bukti. Menikahlah dengan Kayla!" bujuk Jendra.
Bukti apa? Batin Kayla.
"Kayla, bagaimana denganmu?"
"Saya akan memikirkan ini, Pak!"
Kalandra melirik gadis disampingnya. Dia butuh uang untuk menanggung biaya rumah sakit ibu dari anak laki-laki tadi? Mengapa dia sebaik itu? Atau mungkin dia yang menyebabkan ibu dari anak itu masuk rumah sakit.
"Sekarang kamu boleh keluar, Kay! Melani akan membantu kamu mengenai pekerjaan baru kamu!"
"Ikuti semua arahannya."
"Baik, Pak!"
"Good, akur-akur kalian. Dan semoga bisa bekerja sama dengan baik!"
Kayla mengangguk. "Semoga saja, pak!"
"Soal tawaran saya. Saya tunggu keputusan kamu besok pagi."
"Sekarang silahkan keluar!"
Mereka menatap kepergian Kayla.
"Jangan terlalu banyak berfikir. Dia cantik dan tidak malu-maluin menjadi istri seorang pewaris Rajaswa Grup." Jendra tertawa pelan.
"Bagaimana? Nol sampai sepuluh?" Tanya Jendra pada Kalandra.
"Lima koma lima!"
Jendra tertawa sinis. "Astaga! Dasar pria tidak normal! Dia nyaris sempurna, Kal!"
"Dia cocok jadi istri pura-pura kamu!"
"Perlu gadis yang kuat untuk menghadapi mama dan adik ipar kamu yang bermuka dua itu!"
"Dia cerdas, tahan banting dan..." Jendra mendekatkan wajahnya. "Dia sedikit bar-bar!"
***
Kayla Anaya, usianya sudah 28 tahun dan ia masih berstatus jomblo bahagia. Ya, meskipun kebahagiaannya tidak datang dari seorang pria, setidaknya ia bahagia karena hidupnya tercukupi semenjak ia menjadi bagian dari Dewandaru Grup 3 tahun lalu.
Meski tidak memiliki tabungan yang cukup, setidaknya ia bisa menebus rumah milik orang tuanya yang sempat tergadai ditangan renternir.
Gaji yang lumayan dan posisi yang terus merangkak naik membuatnya lupa akan usianya yang sudah tidak muda lagi.
Ia bukan tidak ingin menikah, ia hanya tidak ingin dikekang oleh seseorang yang menyandang status sebagai suaminya.
Ia akan menikah jika ada pria yang bersedia membiarkannya bebas. Bebas bekerja, bebas kemana saja, bebas melakukan apa saja saat di rumah, dan yang pasti, tidak mengganggu hobinya, yaitu tidur.
Tapi, tawaran si Bos lumayan menggiurkan. Ia hanya harus pura-pura menjadi istri seorang Kalandra Rajaswa dan dengan begitu ia bisa mendapatkan uang dan membiayai perobatan ibunya Alif.
Beberapa hari lalu, Kayla tanpa sengaja menabrak wanita bernama Susi itu. Akibat kecelakaan itu, Bu Susi mengalami luka parah di kakinya sehingga harus dioperasi dan menjalani terapi beberapa kali agar bisa kembali berjalan dengan normal.
Sementara itu, sepeda motor yang ia kendarai harus diperbaiki di bengkel karena mengalami kerusakan yang lumayan parah.
"Hanya berperan sebagai istri kan?" Tanya Kayla pada dirinya sendiri.
Di kamar sepi, ia memikirkan baik buruk tawaran yang Jendra berikan.
"Aku tidak harus melayaninya secara biologis, kan?"
"Aku tidak harus memberinya keturunan, kan?"
Kayla menggeleng pelan. "Mikir apa kamu, Kay!"
"Jelas tidak akan pernah terjadi, Pak Kalandranya saja tidak mau menikah denganmu, apa lagi sampai melakukan hal itu...." Kayla bergidik ngerih.
"Sumpah demi apapun aku belum siap melepas segel!"
"Besok akan ku tanyakan pada pak Jendra mengenai hal itu."
"Ah, ya... Aku masih penasaran mengapa pria itu harus buru-buru menikah?"
"Pak Jendra mengatakan media butuh bukti?"
"Bukti apa? Pernikahan itu?"
Kayla bertanya-tanya. Dia akhirnya mencarinya di internet. Dan berita terbaru mengenai Kalandra membuat matanya membulat sempurna.
"Pantas saja dia tidak mau menikah!"
"Dia memang penyuka sesama jenis atau itu hanya isu? Atau dia dan pak Jendra..."
Kayla bergidik ngerih. Ia tak sanggup membayangkan dua pria kekar berwajah tampan itu saling bercumb*.
"Kalau memang semuanya benar begitu, itu artinya jika aku menikah dengannya, sudah bisa dipastikan segelku aman!"
Kayla tersenyum lebar. Entah mengapa dibalik berita menggelikan itu, ia malah merasa senang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!