Malam kini semakin larut, suara dentuman musik yang begitu memekakkan telinga menggema di ruangan berukuran cukup besar, dimana sebanyak 20 orang sedang bersenang-senang di dalam sana.
Malam ini adalah perayaan ulang tahun Ulfi yang ke 16, ia sengaja membooking VVIP Room di tempat karaoke yang cukup terkenal di kota itu hanya untuk menjamu teman-temannya.
Namanya Lutfiyah Salamah Rasyid, putri satu-satunya dari pasangan Rasyid dan Hana, serta merupakan ahli waris tunggal perusahaan terbesar di kotanya yang bernama RH Group, bisnis sang ayah yang bergerak dalam berbagai bidang usaha dan sudah memiliki cabang di kota lain serta sudah menjalin kerja sama dengan beberapa negara maju.
Karena kesibukan dan memiliki harta yang berlimpah, di tambah mereka hanya memiliki anak tunggal, membuat Rasyid dan Hana tidak sadar telah memanjakan Ulfi secara berlebihan, memenuhi semua keinginannya dan selalu berlaku lembut kepada Ulfi. Sehingga Ulfi tumbuh menjadi pribadi manja, memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan tidak mengenal aturan bahkan sedikit bar-bar.
Seperti malam ini, ia begitu asik menikmati pestanya bersama teman-teman sekolahnya, berbagai makanan dan minuman yang memabukkan tersaji rapi di atas meja, pria maupun wanita saling bergantian memperlihatkan kemampuan mereka dalam bernyanyi dan berdansa, ada yang bersenda gurau, bahkan ada beberapa dari mereka yang melakukan kegiatan mesum bersama kekasihnya karena mulai mabuk.
Waktu telah menunjukkan pukul 00.00, Ulfi masih saja asik bernyanyi tanpa mempedulikan apa yang di lakukan teman-temannya saat ini, hingga gedoran pintu yang begitu keras mengagetkannya.
Braak
Suara pintu yang kini di buka paksa membuat wajah Ulfi seketika pucat pasi, pasalnya yang berada di hadapannya saat ini adalah beberapa anggota polisi yang sedang bertugas menertibkan remaja di malam hari. Penggerebekan mendadak itu membuat Ulfi maupun teman-temannya kalang kabut, di tambah dengan aksi salah satu polisi yang aktif mendokumentasikan kegiatan mereka, membuat para remaja itu kompak menutupi wajahnya, termasuk Ulfi meski hanya menggunakan kedua telapak tangannya.
💮💮💮
Kesesokan paginya, suara telepon berdering tak henti-henti menggema di dalam salah satu kamar hotel mewah, membuat seorang pria dewasa berkacamata yang sedang bekerja di dalam kamar itu segera menghentikan aktivitasnya di depan laptop.
"Assalamu 'alaikum, ayah," ucap Rasyid kepada ayahnya yang bernama Hasan di seberang telepon.
"Dimana kalian sekarang?" tanya pria berusia senja itu dengan suara tinggi tanpa menjawab salam dari putranya.
"Kami lagi di Dubai ayah, ada urusan bisnis,"
"Lagi lagi bisnis dan bisnis terus, mau sampai kapan kalian seperti itu dan mengabaikan putri kalian satu-satunya?" bentak Hasan yang mulai emosi.
"Apa maksud ayah? Kami tidak pernah mengabaikan Ulfi."
"Jika memang kalian tidak mengabaikannya, lalu kenapa Ulfi masuk dalam berita pagi ini? Apa kalian tahu dimana dan sedang apa Ulfi semalam?"
"Be-berita? Semalam?" Sejenak Rasyid termangu mencerna perkataan ayahnya yang ia tahu saat ini sedang sangat marah, ia kemudian memberikan kode kepada Hana istrinya untuk segera membuka berita terkini di internet sebagaimana perkataan ayahnya tadi.
Sekelompok remaja di amankan polisi tengah malam tadi karena berpesta miras dan berbuat mesum di sebuah tempat karaoke.
Jdeerrr
Bagaikan petir di pagi hari yang membuat jantung Rasyid maupun Hana berdegup kencang. Pesta miras? Berbuat mesum? Oh tidak! kedua pasangan itu tak mampu membayangkan apa yang di lakukan putrinya malam itu.
"Ya Tuhan," lirih Hana sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan serta air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya saat melihat sang putri yang menutupi sedikit wajahnya sedang di giring masuk ke dalam mobil polisi.
Mungkin untuk orang lain, mereka tidak akan mengenali Ulfi yang menutup wajahnya, tapi tidak bagi Rasyid, Hana dan Hasan. Mereka jelas mengenali Ulfi hanya dari melihat kepala dan tangannya saja.
"Bagaimana, sudah lihat?" tanya Hasan di seberang telepon mengagetkan Rasyid.
"Su-sudah ayah." Masih dalam keadaan terkejut, Rasyid memaksa lidahnya yang terasa kaku untuk menjawab pertanyaan dari ayahnya itu.
"Sekarang ayah tidak mau tahu, kirim Ulfi ke sini sekarang! Jika kalian tidak bisa menjaganya dengan baik, biar ayah yang menjaga dan mendidiknya," perintah sang ayah, seolah menjadi hantaman bagi Rasyid, nafasnya kini seolah tertahan, dadanya begitu sesak. Dua fakta pagi ini membuatnya cukup tertekan, keadaan putrinya yang tidak baik-baik saja saat ini dan perintah ayahnya yang tidak dapat di bantah. Setelah mengatakan itu, Hasan lalu mematikan ponselnya.
Rasyid sejenak terdiam, tangannya yang sejak tadi memegang ponsel di telinga seketika terjatuh lemas. "Sayang, bereskan segera barang-barang kita, kita akan pulang sekarang juga," titah Rasyid kepada Hana lalu segera menghentikan pekerjaannya tadi.
"Iya sayang," jawab sang istri lalu bergegas membereskan semua barang dan baju yang masih berserakan di kamar itu.
Sambil menunggu Hana membereskan barang, Rasyid yang tidak bisa tenang saat ini langsung menghubungi sekretarisnya.
"Halo, Anton, tolong kamu pergi bersama pengacara Heri untuk mengurus pembebasan Ulfi di kantor polisi sekarang dan langsung bawa dia pulang ke rumah," titah Rasyid lalu mengakhiri panggilannya.
Kini mereka sudah berada di bandara. Hana yang sejak tadi melihat raut wajah Rasyid begitu gelisah akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
"Sayang, apa yang tadi di katakan ayah? Apa beliau marah? Kenapa wajahmu tampak begitu gelisah?" Rasyid membuang napas kasar saat di berondong pertanyaan oleh sang istri.
"Ayah, ayah ingin kita mengirim Ulfi ke kampung, katanya beliau ingin mendidik Ulfi," jawab Rasyid lesu.
"Apa? Bagaimana bisa? Lalu kita? Apakah kita akan berpisah jauh dari Ulfi? Kampung kamu kan jauh sekali, untuk kesana harus naik pesawat dulu, lalu naik mobil lagi selama beberapa jam, aku tidak sanggup berpisah jauh dan lama dengan Ulfi sayang," ucap Hana memelas sambil menggenggam tangan Rasyid yang saat ini duduk saling berhadapan dengannya di ruang tunggu.
"Tapi mungkin ini yang terbaik sayang. Di kampung, ayah akan mendidik dan mengawasi Ulfi secara langsung, tanpa bepergian jauh meninggalkan Ulfi seperti kita saat ini," jelas Rasyid. Ia berusaha memberikan pemahaman kepada Hana meski ia sendiri sangat berat untuk melepas putri tunggal kesayangannya itu.
"Tapi, selama ini putri kita itu sangat manja sama kita, aku khawatir dia tidak bisa hidup dengan nyaman tanpa kehadiran kita di sisinya, aku mohon sayang, bicaralah kembali dengan ayah," pinta Hana dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak bisa sayang, ayah jika sudah memutuskan sesuatu tidak akan di tarik lagi, lagian mau sampai kapan kita membiarkan Ulfi hidup dalam kebebasan seperti itu? Sudah cukup masalah semalam membuatku khawatir, aku tidak ingin lagi khawatir dengan pergaulan Ulfi. Kamu jelas tahu, bahwa aku maupun kamu tidak bisa menolak apapun permintaan Ulfi, jadi mumpung belum terlambat, biarkan dia belajar mandiri dengan hidup bersama ayah," jelas Rasyid panjang lebar.
Hana termenung beberapa saat, egonya masih bersikeras menolak kepergian Ulfi, namun jauh dalam lubuk hatinya, ia setuju dengan perkataan Rasyid.
"Baiklah, jika memang itu yang terbaik," jawabnya kemudian dengan wajah lesu.
-Bersambung-
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Halo, selamat datang di novel ke empat saya yang receh ini.
Seperti biasa, saya sebagai author menyatakan bahwa novel ini adalah karangan fiktif dari hasil pemikiran saya sendiri, jika ada kesamaan nama tokoh, tempat dan alur cerita maka itu semata-mata terjadi tanpa kesengajan saya yang hanya manusia biasa.
Mohon dukungannya selalu agar saya bisa lebih semangat menuangkan imajinasi saya ke dalam sebuah tulisan. Semoga novel saya ini bisa memberi manfaat dan pelajaran bagi kehidupan kita sehari-hari.
Terima kasih juga saya ucapakn kepada kakak readers yang sudah mampir di karya ini.
Salam hangat dari saya,
UQies
Kata orang, pesantren adalah surganya para penuntut ilmu agama, rumah sekaligus sekolah bagi para santri dan tempat berkumpulnya para ahli agama untuk menyalurkan ilmu kepada penerus bangsa.
Tapi tidak dengan gadis cantik berambut panjang itu, baginya pesantren tidak lebih dari sebuah penjara yang konon orang sebut penjara suci, tempat para pendosa dan pemuja kebebasan mengasingkan diri dari lingkungan luar dan dari pergaulan bebas.
Gadis cantik bermata coklat dengan tubuh mungil itu kini hanya bisa menatap nanar lingkungan yang tampak asing di matanya, dimana di pintu gerbang yang cukup besar itu terdapat tulisan,
Ahlan wa sahlan fii Ma'had Jihadul Islam (selamat datang di pesantren Jihadul Islam)
Ulfi tentu tidak tahu arti dari tulisan yang menggunakan huruf hijaiyah itu, jangankan mengetahui arti, ia bahkan lupa bagaimana membacanya.
"Ini bukan rumah kakek," gumamnya sambil kembali mengingat bagaimana ia bisa sampai di tempat yang memiliki pagar cukup tinggi itu.
Yah, pagi itu setelah Ulfi di jemput oleh sekretaris ayahnya dari kantor polisi, ia langsung di bawa pulang ke rumah untuk menunggu kedatangan orang tuanya.
Sambil berbaring di atas kasurnya yang sangat empuk, Ulfi menoleh ke samping menatap bingung ke arah asisten rumah tangganya yang sedang sibuk mengemas pakaian Ulfi ke dalam koper.
"Bi, kenapa pakaian Ulfi di masukkan ke dalan koper?"
"Tadi tuan Rasyid bilang katanya nona mau di bawa berlibur ke rumah kakek."
"Hah? Benarkah?" pekiknya terkejut.
"Iya non."
"Berarti ayah dan ibu tidak marah kepada Ulfi karena kejadian semalam," batinnya sambil memandangi langit-langit kamarnya.
Tak lama setelah itu, asisten rumah tangganya yang lain datang ke kamar Ulfi dengan membawa sebuah koper baru.
"Permisi nona," ucap asisten itu sambil berdiri di depan pintu kamar Ulfi.
"Loh, itu koper apa lagi bi?" tanya Ulfi bingung.
"Nggak tahu non, tadi sekretaris tuan datang membawanya, katanya untuk di berikan kepada kakek," jawab asisten itu.
"Ooh." Ulfi ber oh ria, ia sama sekali tidak menaruh curiga dengan isi koper itu, palingan juga isinya hanya oleh-oleh untuk sang kakek, begitu pikirnya.
Karena masalah semalam, Ulfi saat ini merasa begitu lelah dan mengantuk, hingga akhirnya ia terlelap dalam tidurnya hanya dalam beberapa menit saja setelah berbicara.
Hari tampak teduh sore itu, matahari semakin condong ke arah barat. Ulfi terbangun saat ia merasa tubuhnya berada di tempat yang bergoyang, perlahan ia mengedarkan pandangannya ke seluruh arah hingga akhirnya ia sadar bahwa saat ini ia sedang berada di dalam mobil yang melaju di jalan raya dimana kedua orang tuanya berada di depan.
"Ayah dan ibu kapan datang?" ucapnya pelan dengan suara serak bangun tidur.
"Ulfi, akhirnya kamu bangun juga sayang, kami baru saja tiba tadi saat kamu sedang tertidur lelap," ujar ibu Hana sambil menoleh ke belakang tempat Ulfi duduk saat ini.
"Apa kita akan liburan ke rumah kakek?" tanya Ulfi ingin memastikan.
"Iya sayang, sebentar lagi kita akan tiba di bandara," jawab ayah Rasyid yang sedang mengemudikan mobil.
Mobil mereka kini tiba di bandara, ayah Rasyid dengan sigap menurunkan 2 koper yang tadi sudah di siapkan sebelumnya untuk Ulfi.
"Ini tiketmu nak, masuklah," ucap Rasyid seraya memberikan sebuah tiket pesawat kepada Ulfi.
Ulfi mengernyitkan alisnya melihat tiket yang berada di tangannya saat ini. "Kenapa cuma Ulfi? Ayah dan ibu bagaimana?" Mendengar pertanyaan Ulfi, Rasyid terdiam sejenak lalu menoleh ke arah sang istri.
Hana hanya memalingkan wajahnya dari Ulfi agar air matanya tidak terlihat, rasanya begitu sakit melepas putri kesayangannya seperti ini, tapi tidak ada cara lain.
"Ayah dan ibu masih sibuk, jadi untuk liburan ini kamu akan pergi sendiri, setelah urusan kami selesai, kami akan usahakan untuk menyusulmu," jawab Rasyid kemudian.
"Ya sudah, liburannya nanti saja kalau ayah dan ibu sudah tidak sibuk lagi, biar kita pergi sama-sama," ucap Ulfi.
"Pergilah lebih dulu nak, kakekmu sudah menunggu," pinta ayah Rasyid sambil memegang kedua pundak Ulfi.
Meski awalnya Ulfi bersikeras tidak ingin pergi sendiri, namun setelah dibujuk oleh ayah Rasyid dengan berbagai macam alasan yang meyakinkan, Ulfi akhirnya setuju.
Kini Ulfi melambaikan tangannya ke arah kedua orang tuanya sebelum akhirnya ia masuk dan menghilang di balik gerbang keberangkatan.
Sementara itu, tangis ibu Hana seketika pecah saat sang putri tidak terlihat lagi. Rasyid hanya bisa menghela napas berat melepas kepergian putrinya dengan mata yang sudah memerah dan berembun.
💮💮💮
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 8 jam, Ulfi akhirnya di turunkan oleh supir mobil yang telah di perintahkan kakek Hasan untuk menjemputnya di bandara sore tadi. Saat pertama kali turun dari mobil, Ulfi memperhatiakan sekelilingnya, ia seketika merasa dirinya tersesat dan salah alamat tatkala menyadari bahwa tempat dimana ia berdiri saat ini bukanlah rumah kakeknya seperti dulu dan ia sama sekali tidak mengenal tempat itu.
Ulfi mulai merasa panik, jantungnya mulai berdebar dengan nafas yang tidak beraturan lagi, sungguh pikirannya saat ini tidak tenang, rasa takut kini mulai menghampirinya, namun kepada siapa ia harus minta tolong, sementara kini waktu telah menunjukkan pukul 11 malam. Hari semakin gelap dan sunyi, hanya ada dia sendiri yang berada di depan pintu gerbang yang menjulang cukup tinggi itu.
"Ayah, ibu, kakek dimana?" gumamnya mencoba menyalakan senter di ponselnya sekalian ingin menghubungi kedua orang tuanya. Namun sayang, sepertinya nasib baik belum berpihak kepadanya, sebab ponselnya kini sudah kehabisan baterai.
Perlahan ia berjalan ke dekat gerbang kemudian berjongkok sambil memeluk lututnya sendiri, berharap ada yang bisa menolongnya. Tiba-tiba sebuah cahaya senter dari seseorang terlihat dari kejauhan, membuatnya merasa sedikit lega. Semakin lama cahaya senter itu semakin mendekat ke arahnya, Ulfi sendiri tidak bisa melihat siapa orang yang membawa senter itu.
"Assalamu 'alaikum, Ulfi," suara pria berusia senja menyapanya. Ulfi memicingkan matanya untuk melihat siapa orang yang berada di balik cahaya senter itu.
"Kakek?" pekik Ulfi tanpa menjawab salam kakeknya saat wajah kakeknya kini mulai terlihat jelas di hadapannya.
"Kalau ada yang salam, di jawab dulu nak," sela kakek Hasan lembut.
"Iya, wa'alaikum salam kek," jawabnya girang.. "Kakek, Ulfi kesal sekali sama supir mobil itu, dia menurunkan Ulfi di alamat yang salah," adunya seraya mendekat ke arah kakek Hasan.
Kakek Hasan hanya tersenyum lalu berjalan menuju pintu gerbang besar itu.
"Loh, kok kakek mau masuk? Ayo kita pulang ke rumah kakek, disini menyeramkan," ujarnya sambil menarik tangan kakek Hasan hingga langkahnya terhenti.
"Disinilah tempat kakek sekarang,"
Sejenak Ulfi diam sambil mengamati gedung yang ada di dalam sana, gedung yang cukup besar dan tidak hanya satu, namun terdiri dari beberapa bangunan dan masjid, terlihat dari kubahnya yang tinggi dan berkilauan.
"Tidak, ini bukan rumah kakek," jawab Ulfi cepat sambil menggelengkan kepalanya dengan kaki yang melangkah mundur perlahan.
"Masuklah dulu maka kakek akan ceritakan kepada kamu semuanya," titah kakek Hasan lalu kembali melangkah masuk.
Dengan berat hati, Ulfi mengikuti langkah kakeknya hingga mereka masuk melewati gerbang yang cukup tinggi itu.
Kakek Hasan lalu mengunci gerbang itu setelah memastikan Ulfi telah masuk, ia lalu berbalik ke arah sang cucu yang masih terlihat bingung.
"Dengarkan kakek baik-baik, kakek memang sekarang tinggal disini bersama sahabat kakek, ini adalah pesantren, dan mulai saat ini kamu akan tinggal disini, sekolah disini dan ibadah disini, ayah dan ibumu telah menyetujui semuanya."
"Mulai saat ini kartu atm kamu akan di blokir oleh ayahmu, jika kamu butuh uang, maka datanglah ke kakek, ponselmu juga akan kakek sita untuk sementara waktu," lanjut kakek Hasan.
"Apa?" pekik Ulfi tidak terima, bahkan kedua alisnya hampir bertautan saat memandang ke arah kakek yang telah memberinya nama saat baru lahir. Tubuhnya seperti baru saja tersengat listrik, tak mampu bergerak, seolah apa yang ia alami saat ini hanyalah mimpi namun nyata.
Sementara kakek Hasan diam sejenak menatap sang cucu.
"Ulfi," panggil kakek Hasan kemudian.
"Kakek, jangan bercanda dengan Ulfi," cicitnya dengan suara yang mulai bergetar.
"Apa kakek terlihat bercanda saat ini Ulfi?"
Glek
Ulfi hanya bisa menelan salivanya saat melihat sorot mata sang kakek yang terlihat begitu tegas, perlahan ia menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan sang kakek lalu menunduk.
"Kalian jahat!" ucap Ulfi mulai terisak
"Hiks, kalian jahat, kalian menjebak Ulfi, kata ayah dan ibu, Ulfi akan berlibur saja di rumah kakek, tapi apa sekarang kakek malah membawa Ulfi ke pesantren, bukan kah itu terlihat kejam dan egois, menjebak Ulfi hanya untuk kepuasan kalian," lanjut Ulfi dengan rahang yang mengeras dan tangan yang mengepal kuat. Ulfi benar-benar marah sekaligus kecewa dengan keluarganya saat ini.
"Kami tidak pernah merasa menjebakmu Ulfi, kakek memang tinggal disini. Lagipula, jika orang tuamu mengatakan bahwa kamu akan di bawa ke pesantren, tentu kamu akan menolak bukan? Anggap saja ini adalah cara kami untuk membujukmu."
Ulfi bergeming, nafasnya memburu dengan air mata yang semakin menganak sungai membasahi pipi mulusnya. Dadanya terasa sesak dan entah kenapa lidahnya terasa kelu, seolah ia sama sekali tidak di izinkan untuk berbicara.
"Ulfi, maafkan kami, tapi ini semua demi kabaikanmu. Selama ini kamu sudah cukup bebas, hidup tanpa melihat aturan, oleh karena itu, kakek berharap kamu bisa perlahan-lahan menguasai dirimu dari nafsu kebebasanmu itu, keluarlah dari zona nyaman dan beralihlah ke zona baru meski tidak mudah."
"Ingat, mulai saat ini, kamu akan menjalani kehidupan yang baru di balik penjara suci bernama pesantren, di belenggu oleh borgol bernama aturan fiqih dan aqidah serta di beri makanan berupa Al-Qur’an dan hadits."
-Bersambung-
Terima kasih telah mampir, mohon dukungannya dengan meninggalkan jejak favorit/subscribe, like, komen, hadiah dan votenya yah agar author semakin semangat dalam berkarya. 🥰
Langit pagi terlihat begitu cerah, sinar matahari turut menghangatkan qalbu, menjadi bukti cinta Sang Khaliq bagi setiap ciptaanNya. Hari ini menandai awal kisah seorang gadis kota harus hidup jauh dari kedua orang tuanya dan meninggalkan zona nyamannya.
Waktu baru menunjukkan pukul 6 pagi, setelah tadi malam Ulfi tidur di rumah guru tempat sang kakek tinggal, setelah sholat subuh tadi ia sudah di antar oleh kakek Hasan ke sebuah asrama putri yang akan menjadi tempat tinggalnya selama beberapa tahun ke depan.
Merasa tidak nyaman berada di kamar yang cukup sempit itu, Ulfi memutuskan untuk keluar dari kamar itu. Karena tidak memiliki arah dan tujuan lain, Ulfi hanya bisa terduduk lesu di bawah rindangnya pohon ketapang yang berada di samping kamar asrama putri, sebuah pesantren yang cukup terkenal di kawasan Timur Indonesia yang tidak lain adalah milik kakek Hasan bersama sahabatnya bernama Ghafur.
Tes
Satu tetes air mata berhasil lolos ke pipinya, tatkala ia mengingat kedua orang tuanya, bagaimana bisa kedua orang tua dan kakeknya bersekongkol untuk menyekolahkan Ulfi di pesantren tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu, benar-benar sangat mengecewakan.
"Ku pikir air mataku sudah habis setelah semalaman menangis, ternyata stoknya masih ada." Ulfi menghapus air mata sambil tersenyum kecut.
Besok adalah hari pertamanya sekolah di kelas 2 SMA, namun rasanya ia sama sekali tidak memiliki semangat untuk itu, jangankan sekolah, menginjakkan kakinya ke asrama saja ia masih enggan. Padahal sejak ia tiba di asramanya sebuh tadi, sang kakek sudah membantunya untuk memasukkan barang-barangnya ke asrama.
"Apa ada jalan lain untuk keluar dari penjara ini yah? Aku harus bisa keluar dari sini tanpa sepengetahuan kakek," gumamnya sambil melihat ke segala arah yang sebagian tempatnya di tumbuhi pepohonan yang rimbun.
Saat sedang sibuk mencari jalan, tiba-tiba matanya menangkap sosok pria tampan dengan baju koko dan sarung lengkap dengan peci sedang berjalan melintas tidak jauh dari tempat Ulfi saat ini.
"Wih gila, ganteng banget tuh cowok," pujinya. Saking terkesimanya Ulfi, ia sampai lupa jika tadi ia sedang bersedih.
“Assalamu ‘alaikum,” ucap seseorang berhasil mengagetkan Ulfi lalu menoleh ke arah sumber suara.
“Wa-wa’alaikum salam,” jawab Ulfi sembari memperhatikan sosok gadis cantik dalam balutan jilbabnya yang tampak anggun sedang berdiri di hadapannya.
“Kamu santriwati baru yang tinggal di kamar satu yah? Kok sendiri aja disini?” tanya gadis itu.
“Iya, aku masih malas masuk, disini lebih nyaman,” jawab Ulfi datar.
“Jangan malas, mau sampai kapan kamu disitu? kemarilah biar aku membantumu berkenalan dengan teman sekamar kita,” ajak gadis itu lalu menarik tangan Ulfi, sehingga mau tidak mau ia mengikuti gadis itu ke asrama.
Dan disinilah Ulfi sekarang, berada di antara enam gadis yang memakai jilbab panjang, berbeda dengan dirinya yang masih memperlihatkan rambut panjangnya. Padahal kata sang Kakek, semua pakaian muslimah telah di simpan di dalam koper yang ia bawa, tepatnya di koper yang ia sangka berisi oleh-oleh untuk sang kakek. Ulfi yang memang masih belum bisa menerima kenyataan, hanya menyimpannya dan enggan memakainya.
"Nama kamu siapa?" tanya salah seorang di antara mereka.
"Ulfi, Lutfiyah Salamah Rasyid," jawabnya datar.
"Ulfi, kenalkan namaku Sarah, Siti Sarah Faradiba, ketua kamar disini" ucap Sarah memperkenalkan diri dengan begitu ramah.
"Yang ini Ira, Namira Husein, si paling rapi dan bersih di kamar ini. Lalu yang ini Sinta, Sinta Anastasya, si paling cerewet, kadang baik dan kadang pemarah," ucap Sarah membuat Sinta mendengus.
"Yang ini Ika, Zulaikha Odelia Rahim, si kutu buku dan paling pintar di kamar ini." Ika tersenyum manis kepada Ulfi.
"Itu hanya penilaian sementara kok, semuanya bisa saja berubah kapanpun itu," kilah Ika.
Kalau yang ini Lisa Mardani, si paling heboh di kamar ini dan yang terakhir ini Fira, Zafirah Putri Harun, si paling pendiam di kamar ini," ucap Sarah mengakhiri perkenalannya.
"Oh hai," ucap Ulfi singkat.
Ke enam teman sekamar Ulfi hanya tersenyum membalas sapaan Ulfi.
"Kalian sejak kapan masuk disini?" tanya Ulfi penasaran.
"Sejak SMP," jawab Ira.
"Kok betah, kamarnya kan sempit terus gerah lagi?" tanya Ulfi lagi sambil menyisir seluruh sudut kamar dengan tatapan malas.
"Bagaimanapun keadaannya kalau dinikmati semua kekurangan ini pasti tidak terasa, ini malah akan menjadi sesuatu yang kelak akan dirindukan jika sudah tamat nanti," terang Ika.
Ulfi sama sekali tidak mengindahkan perkataan Ika, ia hanya sibuk mengipas wajahnya dengan satu tangannya karena mulai gerah.
"Oh iya, jika kamu ingin istirahat, itu tempat tidur kamu, dan di depannya itu lemari kamu," ucap Sarah menunjukkan tempat tidur bertingkat, dimana Ulfi akan menempati tempat tidur bagian bawah dan di depannya sudah ada lemari dan kopernya.
"Iya, terima kasih," ucap Ulfi lalu pergi ke tempat tidurnya dan langsung membaringkan tubuhnya, tak lupa ia menutup matanya dengan lengan tangan kanannya.
Namun, baru beberapa detik matanya terpejam suara Sarah kembali membangunkannya.
"Ulfi, jangan tidur dulu, ayo sarapan," ajak Sarah.
"Mau sarapan dimana? Disini nggak ada warung makan, aku juga nggak bisa masak," ujar Ulfi tanpa membuka mata.
"Ulfi, hello.. Ini itu pesantren yah, jadi kita tidak masak sendiri, warung makan pun tidak ada, yang ada itu mat'am alias kantin, jadi tinggal datang, terus terima pembagian makanan terus makan deh," celoteh Sinta.
"Betul tuh, dan salah satu yang bikin aku betah tinggal disini adalah ini, tinggal makan aja, nggak usah capek-capek masak," seloroh Lisa, membuat teman-temannya hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Hmm, iya iya." Ulfi bangkit lalu mengikat rambut panjangnya, berhubung pagi ini ia sudah sangat lapar, maka ia tidak ingin banyak protes. "Ayo," lanjutnya seraya berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar.
"Eh, tunggu tunggu, kamu mau ke kantin dengan penampilan seperti itu?" celetuk Lisa sedikit heboh saat melihat penampilan Ulfi dari atas sampai bawah.
"Iya, memangnya kenapa?" tanya Ulfi santai.
"Ya ampun mana boleh seperti itu, pakai jilbabmu dulu, terus ganti celanamu dengan rok, nanti kamu bisa kena hukum loh," imbuh Sinta.
"Benar Ulfi, ini itu pesantren, sudah sepatutnya kita memakai pakaian yang sopan sesuai aturan yang berlaku disini," giliran Sarah ikut menimpali, membuat Ulfi memutar bola mata malas.
"Ampun deh, belum juga genap satu hari disini, rasanya seperti mau mati aja di cekik sama aturan," dumel Ulfi dalam hati.
"Baju aku udah sopan kok, lihat nih, semuanya tertutup kan, aku nggak mau pake jilbab, panas tahu," kilah Ulfi sambil menunjuk baju kemeja lengan panjang dan celana jeans ketat yang ia gunakan sejak kemarin.
"Aduh beb, pakaian sopan di pesantren itu beda, untuk santriwati harus pakai jilbab, baju longgar dan rok, serta kaos kaki, jadi yang boleh kelihatan itu cuma muka dan telapak tangan," jelas Ira.
"Kok gitu sih, ini namanya penyiksaan tahu nggak," sanggah Ulfi tak ingin kalah.
"Wanita itu perhiasan, tubuhnya sangat berharga untuk di pertontonkan kepada sembarang orang yang bukan mahram, laksana berlian, di perlihatkan akan mengundang niat jahat, di tutup membuatmu merasa aman, aku yakin, jauh dalam hati kecilmu membenarkan itu," terang Ika.
Ulfi terdiam sejenak, betul yang dikatakan Ika, hati kecilnya membenarkan semua perkataan temannya, namun egonya tak ingin kalah, cukup lama ia terdiam, dimana akal sehat dan egonya bergejolak tak ingin ada yang kalah. Hingga akhirnya ia menarik napas dalam lalu mengehembuskannya secara perlahan.
"Baiklah, ajari aku menggunakan jilbab," ucapnya kemudian.
Senyum bahagia kini terukir di wajah semua teman sekamarnya. Ira dengan sigap langsung maju membantu Ulfi memakai jilbab.
"Masya Allah, guys, sepertinya kamar kita kedatangan bidadari dari kahyangan," celoteh Sinta dengan mata berbinar saat melihat Ulfi yang kini tampak begitu cantik dalam balutan jilbab dan pakaian muslimah.
"Bidadari dari kahyangan apaan, yang ada itu bidadari dari comberan," seloroh Ulfi, seketika mereka semua terkekeh geli.
Ulfi dan ke enam temannya kini telah berada di kantin. Sesuai aturan, mereka harus antri untuk mengambil nasi dan sayur, lalu menerima pembagian lauk.
Sambil antri, keenam gadis itu saling bercerita hingga tidak menyadari Ulfi yang kini telah berpindah tempat.
"Hei, kamu mengambil tempatku," tegur salah satu santriwati di bagian depan kepada seorang gadis dengan gaya arogan dan tatapan tajamnya.
"Tempatmu? Enak saja, kamu pikir ini tempat nenek moyangmu apa."
-Bersambung-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!