NovelToon NovelToon

Selamanya

BAB 01

...Tak ada seindah bunga mawar bertangkai duri, tak secerah langit di kala senja memerah, tak ada dawai bersenandungkan irama dalam petikan biola. Seperti itulah hidup seseorang tanpa warna, tanpa tawa, tanpa bahagia .......

Gemercik air hujan mengalun seirama, bersama gerak langkah kaki seorang pemuda tinggi tengah berlarian kecil sambil melindungi kepalanya menggunakan tas ransel yang dipegangnya. Pemuda itu mempercepat langkahnya untuk sampai ke rumah, tidak dipedulikan lagi hujan begitu deras membasahi pakaian yang melekat di tubuhnya. Napasnya tersengal-sengal, tidak ia hiraukan lagi. Di dalam benaknya, ia harus segera sampai ke rumah dan segera untuk mengistirahatkan diri.

Satya Bayu Wardhana, nama pemuda itu, biasa orang memanggilnya sebutan Bayu. Pemuda dengan tinggi 170 cm, berkulit putih, dan rambutnya yang hitam lurus. Bayu terlihat begitu sempurna.

Bayu membuka pintu pagar besi nan tinggi dengan brutal. Lalu bergegas masuk tanpa menutup pagar itu kembali. Sementara Pak Arman yang bertugas sebagai satpam rumah, mulutnya mengangah lebar kala melihat tingkah Bayu. Tidak heran lagi bagi Pak Arman, setiap hujan turun Bayu pasti pulang seperti biasa, menerobos hujan lebat. Tidak peduli baju yang dikenakannya basah, juga tidak peduli kalau ia akan terkena flu. Sangat aneh, pikirnya. Terpenting bagi Bayu, cepat sampai di rumah untuk menghindari dari hujan lebat dan langsung mengurung diri di dalam kamar.

"Kamu menerobos hujan lagi? Sampai kapan begini terus?" Seorang wanita muda berusia 24 bertanya pada Bayu, yang baru saja masuk ke dalam rumah.

Bayu menanggapinya tak acuh, mengabaikan pertanyaan wanita itu yang lebih tua lima tahun darinya. Kemudian ia menjajal kakinya menaiki tangga satu per satu menuju kamar di lantai dua.

"Bayu?" panggil wanita itu sedikit geram, karena tidak ditanggapi.

Bayu menoleh dengan malas. "Apa?"

"Kenapa sih, sikap kamu selalu begini terus? Orang nanya, ya jawab dong. Jangan diam aja!"

"Malas!" serunya ketus.

"Bayu?"

"Cukup! Aku enggak mau dengar Kakak ngoceh mulu. Kupingku sakit, tahu!"

"AKU INI KAKAK KAMU! SOPAN SEDIKIT SAMA ORANG YANG LEBIH TUA DARI KAMU!"

"Enggak," sanggahnya sinis.

Bayu berbalik arah, lantas melanjutkan langkahnya kembali menuju kamar. Sementara wanita muda itu mengeleng kepala frustrasi, merasa de javu dengan sikap Bayu yang notabene adalah adik kandungnya.

Wanita itu mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans-nya, kemudian mencari kontak seseorang untuk ia hubungi. Setelah menemukan nomor kontak, wanita itu lalu mendial nomor tersebut. tidak butuh menunggu lama. Kontak yang ia hubungi, akhirnya tersambung cepat dan terdengar suara seseorang di seberang sana.

"Hallo ... Ella."

"Bisa pulang sebentar?"

...--- Selamanya ---...

Bayu melemparkan tas ransel ke sembarang arah. Lalu mendaratkan tubuhnya di atas tempat tidur berukur king size, sambil melepaskan sepatu yang menutupi tapak kakinya. Bayu bergeming dalam keheningan kamar. Hanya suara hujan deras menggelitik pada pendengaran Bayu di luar sana. Sehingga membuatnya harus menutup telinga dengan kedua tangannya. Napasnya menderu naik turun. Ia bangkit dari duduk, lalu melangkahkan tungkainya menuju jendela dan menutupnya hingga rapat. Pun tak peduli hari masih siang. Suara hujan menggema membuat Bayu benci. Ya, Bayu benci adanya hujan. Baginya, hujan adalah sebuah awal dari segala penyebab rasa sakit di hatinya. Namun, pada umunya kebanyakan orang menyukai hujan. Filosofi mereka mengatakan, hujan bisa membuat orang bahagia di kala orang itu dalam keadaan kalut dan sedih. Tapi, tidak untuk Bayu. Bagi pemuda itu, hujan adalah malapetaka besar dalam hidupnya. Entah apa penyebabnya, yang jelas ia tidak menyukai hujan.

Bayu duduk terpekur di kasur empuk dengan melipatkan kakinya hingga menutupi dada. Tangannya diletakan pada lutut sebagai penyanggah dagu yang menempel pada punggung tangan Bayu.

"Bayu?"

Suara ketukan pintu seseorang dari luar menyadarkan pemuda itu. Ia tetap pada posisi, merasa enggan untuk membukakan pintu untuk seseorang yang memanggilnya dari luar.

"Bayu, buka pintunya!" panggil seseorang itu lagi.

Bayu tetap bergeming.

"Bayu, ini Kakak. Kakak mau bicara sama kamu!"

Bayu masih bergeming tanpa berniat untuk bergerak.

"BAYU!"pekik seseorang itu lantang. Merasa tidak sabar dengan tindakan Bayu belum juga menyahuti panggilannya. "Bayu, jangan begini."

"Bagaimana Kak Pandu? Bayu masih belum jawab?"

Seseorang itu menoleh ke asal suara. Tampak ada Ella datang. Berdiri mendekati orang itu, mimik wajah Elah membias khawatir.

"Seperti biasa," jawab seseorang itu bernama Pandu dengan lesu. "Kakak minta jangan ganggu dia dulu. Dia mungkin butuh sendiri."

Ella menghela napas pelan. "Ya, Kak."

"Kakak harus kembali ke kantor."

"Tapi masih hujan, Kak."

"Hari ini ada meeting. Tolong kalo ada apa-apa, hubungi Kakak segera, ya?"

"Ya, Kak Pandu hati-hati di jalan."

Pandu mengangguk. kemudian melangkah tungkainya meninggalkan pintu kamar Bayu, dengan wajahnya masih terlihat lesu.

...--- Selamanya ---...

Mentari dari ufuk timur muncul menampakkan sinar begitu cerah. Menyambut pagi yang masih tertutupi embun putih dan tetesan air dari dedaunan hijau. Walau masih pagi, masyarakat kota Jakarta sudah menampakkan batang hidungnya dengan semarak, ingin melakukan aktivitas sebagai mana umumnya. Ada yang bekerja, sekolah, kuliah, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Apalagi mereka cepat kilat untuk sampai ke tempat tujuan lebih awal, guna menghindari dari segala kemacetan jalan yang selalu menjadi makanan utama bagi masyarakat Jakarta.

Bayu menuruni anak tangga dengan perlahan, sembari melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam menunjukan 07.15 WIB. Itu artinya Bayu harus bergegas pergi ke kampus. Mengingat, pagi ini ada beberapa materi perkuliahan dari Pak Seno. Dalam waktu dua puluh menit ia harus sampai di kampus agar tidak terlambat masuk di jam perkuliahan Pak Seno.

"Bayu sarapan dulu."

Ella menata makanan di atas meja dengan telaten, dibantu oleh Mbok Ijah.

"Sarapan di kampus aja, Kak. aku udah telat," sambungnya.

"Ini baru jam tujuh, kamu masuk biasanya jam sembilan."

"Hari ini ada jadwal pagi," imbuhnya lagi. "Aku berangkat."

Bayu melengos pergi begitu saja sebelum Ella berujar lagi padanya. Jika wanita itu sudah bicara sepatah kata, maka akan berunjung panjang tidak hentinya, hal itu membuat Bayu malas meladeni Ella yang menurutnya tidaklah penting.

Ella menggelengkan kepalanya heran. "Anak itu."

...--- Selamanya ---...

Seorang gadis mungil berlarian dengan tergesa-gesa, sambil memegang buku tebal di tangan kirinya. Gadis itu celingak-celinguk mencari seseorang. Namun, yang dicari belum menampakkan diri.

Yasmin Alexandra. Gadis blasteran Jerman-Indo. Memiliki postur tubuh mungil, rambutnya yang panjang tergerai lepas sangat indah dipandang mata, dan bulu mata yang lentik menghiasi kedua netranya.

Langkah kakinya dipercepat menuju kelas. Berharap orang yang dicarinya ada di sana. Tidak butuh lama, gadis itu tertawa semringah setelah apa yang ia lihat. Ternyata benar dugaannya, orang itu ada di sana. Duduk di kelas sambil menulis. Yasmin mendekat, lalu duduk di samping orang itu dengan senyum gaje tidak jelas.

"Bayu?"

Bayu melirik gadis itu sejenak, lalu melanjutkan acara menulisnya lagi.

"Woyyy ... gue mau ngomong sama lo!"

"Ngomong aja."

"Yaaa ... lo berhenti nulisnya dong, enggak asyik banget."

"Lo ngomong kuping gue yang dengerin, bukan tangan," timpal Bayu ketus.

Yasmin mendesah dengan perasaan sebal. Namun, mengingat niatnya ingin berbicara sesuatu, ia kembali tersenyum. "Lo tahu enggak---"

"Enggak."

Yasmine mencubit tangan Bayu geram. "Gue belum selesai ngomong, dodol."

"Iya, makanya cepetan ngomong."

"Cakka semalam ke rumah gue, terus dia akhirnya nembak gue juga ... ahay gue seneng banget, Bay!" seru Yasmin sembari menepuk-nepuk lengan Bayu ceria.

Bayu menghentikan tulisannya, menoleh ke arah Yasmin dengan misu-misu tidak jelas.

"Senang lo?" tukas Bayu disela ejekannya. Bayu mengusap lengan yang sempat menjadi korban tepukan lembut Yasmin.

"Iyalah bego," jawabnya ceria.

"Lo waraskan? Kalo senang jangan seenaknya mukul lengan orang, ini sakit bego!"

Yasmine refleks berhenti tertawa. Kemudian menggantikan tampang cengengesan tanpa rasa berdosa sama sekali. Hal itu membuat Bayu hanya memberengut kesal.

"Sorry. Gue terlalu bahagia soalnya," ucap Yasmin sambil terkikik.

Bayu berdecak. "Hati-hati entar diputusin lagi, habis itu mewek lagi."

"Ih, lo kok doain gue gitu, sih?" protes Yasmin tidak terima, sembari memanyunkan bibir plumnya. "Seharusnya lo dukung gue buat hubungan gue sama Cakka tuh langgeng selamanya. Bukan ngatain kayak gitu. Gini-gini, ya? Gue ini sahabat baik lo sepanjang masa."

"Ya, gue doain moga hubungan lo sama Cakka LANG-GENG, puas lo!" Sahutnya ketus.

Yasmin mengangguk dan terkekeh senang. Sementara Bayu melanjutkan tulisannya kembali yang sempat terhenti, karena ulah Yasmin datang-datang begitu heboh, tengah tersenyum sendiri seperti orang tak waras. Mungkin ini efek samping dari rasa kasmaran akut Yasmin pada seseorang. Sedangkan Bayu hanya menjadi pendengar setia gadis itu yang terus memgoceh panjang lebar.

...--- Selamanya ---...

Ella memandangi foto keluarga, tatapannya sendu kian menyeruak. Hati Ella merasa hancur. Namun, Ella mencoba untuk tetap kuat dan tidak akan pernah menunjukkan pada siapa pun. Sebab Ella tahu masih ada yang lebih sakit dibanding dirinya. Biarlah ia pendam sendiri sampai luka hati mengering dengan sendirinya.

'Apa yang harus Ella lakukan? Tolong bantu Ella,' ucapnya dalam hati sembari mengusap pigura tersebut. Air mata Ella lolos juga mengalir setiap jengkal membasahi pipi mulusnya. "Aku bingung."

...--- Selamanya ---...

BAB 02

...Tak perlu ada kata mutiara dalam kalimat cinta, karena itu pada hakikatnya akan menjadi serbukan benih mengandung racun. Tak perlu kata sanjungan dalam kalimat cinta, karena pada akhirnya akan menimbulkan serpihan luka....

Bayu tidur dengan gelisah. Napasnya naik turun seakan kehabisan oksigen untuk ia raup. Peluh mulai mengucur membanjiri setiap wajah putihnya, tangan kanan dan kirinya meremas seprei hingga tidak berbentuk lagi. Masih dengan deruan napas terdengar begitu halus.

Seperti film tak kasatmata, merotasi setiap adegan-adegan yang diperagakan pemain begitu sempurna. Namun, terlihat samar.

Sepasang suami istri paruh baya berdiri di sisi kanan dan kiri seorang pemuda, dengan senyum bahagia kala menyambut hari kelahirannya, di samping kanan wanita paruh baya ada Ella dan Pandu berdiri dengan menampakkan sebuah senyum lebar. Serta disaksikan beberapa tamu undangan maupun dari keluarga terdekat juga ikut berbahagia, menyambutnya dengan menyanyikan sebuah lagu wajib bertema Happy Brithday untuk pemuda itu.

Hiasan pita dan balon tersampir dengan indah di setiap sudut dinding. Di tengah ada meja persegi dengan di atasnya terdapat kue tar yang dihias sangat cantik, ada tulisan nama pemuda itu. Tidak lupa juga lilin warna-warni berangka 17 di atas kue tar tersebut.

"Selamat ulang tahun ya, Sayang," ucap wanita paruh baya itu seraya mencium pipi pemuda itu.

"Selamat ulang tahun ya, Nak." Kini pria paruh baya itu berucap, lalu memeluk pemuda itu penuh kasih sayang. Kemudian disusul Ella dan Pandu memberikan ucapan selamat padanya.

Senyum lebar masih tercetak di wajah pemuda itu. Ia sungguh bahagia, setiap tahun ia selalu mendapatkan kejutan istimewa di hari ulang tahunnya oleh kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Dan ia patut bersyukur.

"Bayu, mau kado apa dari Papa?"

Pemuda dipanggil Bayu seraya berpikir sejenak. "Apa aja deh, apa yang Papa kasih. Bayu suka."

"Kamu yakin?" tanya pria itu.

Bayu mengangguk mantap.

"Baiklah Papa akan kasih ka---"

Glegarrr

Brakk

Dorr

Dorr

"Apa ini?"

"PERGI!"

Sebuah bayangan silam hadir sesuka hati masuk melewati dari mimpi Bayu, menunjukkan berbagai adegan drama tapi masih terpotong. Bayu bergerak gelisah dalam tidurnya, isak tangis begitu lirih semakin terdengar memilukan.

Kini berganti dengan adegan baru lagi, seperti drama bersambung belum ada ujungnya, selalu terputar otomatis tanpa sutradara memberikan scene setiap peragaan dalam sebuah cerita. Akan tetapi dengan kisah yang berbeda pula.

Bayu berjalan di hamparan padang pasir yang luas. Panas terik menyambangi dirinya hingga keringat selalu membasahi setiap rona wajahnya. Namun itu ia hiraukan saja, Bayu bergerak ke sana kemari. Tidak ada orang satu pun yang tampak, hanya ia sendiri.

Lalu, ia berlari tunggang langgang mencari jalan untuk keluar dari hamparan padang pasir yang begitu gersang itu. Bayu berhenti sejenak, mengatur napasnya yang terasa tercekat, rasa lelah menghampirinya. Akan tetapi, mengingat ia sendiri, dengan sekuat tenaga Bayu melanjutkan larinya lagi, sampai ia mendengar ada sebuah suara begitu lembut menginterupsi di telinganya. Bayu berhenti.

"Bayu?"

Bayu mengitari ke sekelilingnya. Tapi tak ada siapa-siapa pun orang yang terlihat.

"Bayu?"

Suara itu lagi, Bayu terus bergerak mencari sumber suara yang memanggilnya.

"Bayu ... aku di sini."

Pandangan Bayu tertuju pada satu titik objek di depannya dengan jarak sangat jauh. Mata Bayu menyipit ketika melihat ada siluet bayangan seorang gadis muda. Gadis itu berpakaian gaun putih panjang menutupi pangkal kakinya, dengan rambut panjang yang tergerai lepas, dan pada bagian poninya dihiasi bando putih transparan. Gadis itu tampak cantik.

Bayu masih memandangnya lama, ia seakan seperti mengenal gadis itu. Bahkan, suara lembut yang selalu menyapa dalam setiap untaian kata dari gadis itu begitu terngiang di telinganya. Tapi, Bayu sudah lupa kapan terakhir kali ia mendengar suara lembut itu.

Gadis itu tersenyum lebar. Ia merentangkan kedua tangannya untuk menyambut Bayu yang mulai melangkah ke arahnya agar mendekat.

"Bayu?"

"Kinar?" gumam Bayu seraya menerka-nerka agar tidak salah menyebut nama wanita itu.

"Jangan terlalu mendekat, belum saatnya kamu di sini."

Bayu menghentikan langkahnya beberapa jarak tak jauh dari jangkauan gadis itu. Setetes air bening lolos begitu saja dari dua bola mata Bayu. Ada perasaan rindu terjaga kian kentara. Bayu ingin menggapai gadis itu, tapi tidak bisa. Gadis itu tak tersentuh olehnya, Bayu seperti bayangan yang tak nyata dan tidak akan pernah bisa untuk mengapai sosok gadis itu.

"Kamu Kinar?" tanya Bayu pelan.

Gadis itu hanya menanggapi dengan senyum lebar. Kemudian berbalik arah pergi dan siap untuk menjauh dari pandangan Bayu.

"KINAR!" teriak Bayu.

Gadis itu perlahan menghilang, bersamaan kabut putih yang tebal namun transparan.

"ENGGAK!"

"ENGGAK!"

"Bayu bangun."

Ella mengguncang tubuh Bayu dengan rasa panik. Ia menyeka keringat Bayu yang basah pada setiap wajah dan lehernya. Bayu belum juga membuka mata, dan masih bergerak dengan perasaan gelisah membuat Ella melihatnya sungguh hancur.

"ENGGAK!" igaunya.

"Bangun Dek, ini Kak Ella, Bayu!"

Bayu tersentak bangun dengan napas menderu. Ia menoleh ke samping, dilihatnya ada Ella tengah menangis dalam diam.

"Kak Ella."

Bayu memeluk Ella erat, meminta kehangatan dari rasa dingin yang menjalar pada tubuhnya. Mimpi itu lagi, mimpi kisah lalu yang terus menghantui setiap malam dalam tidur Bayu. Menyerangnya kembali, hingga rasa sakit yang telah berangsur sembuh, malah merobeknya lagi begitu dalam.

Ella mengelus pucuk rambut Bayu dengan lembut, memberikan sensasi ketenangan agar nyaman untuk pemuda itu. Batin Ella sungguh perih melihat semua penderitaan sang adik yang masih terus berkumandang dalam hidupnya selama tiga tahun terakhir ini. Ella tidak ingin lepas untuk mengawasi adiknya. Ella tahu, bagaimana kondisi Bayu sekarang ini masih terlalu labil dalam melewati gemelut kehidupan pahit yang begitu menyakitkan.

Ella tidak akan pernah bisa meninggalkan Bayu begitu saja, walaupun hanya sedetik.

...--- Selamanya ---...

"Aku enggak mau minum obat lagi!" seru Bayu lantang, ketika Pandu memberikan pil berwarna hijau untuknya.

"Kamu harus meminumnya, ini demi kesembuhan kamu, Dek," ujar Pandu penuh rasa kesabaran.

Bayu menggelengkan kepala frustrasi, ia memundurkan tubuhnya ke belakang sembari menyambak rambutnya kuat.

"AKU ENGGAK SAKIT, KALIAN MASIH MENGANGGAPKU SAKIT IYA, 'KAN?" teriaknya. "AKU ENGGAK SAKIT!"

Bayu masih menyambak rambutnya kasar. Bayu menangis. Tubuhnya tersungkur di lantai keramik bersamaan teriakan lirih nan memilukan. Ella dan Pandu mendekat, melihat adik mereka tengah menyakiti dirinya sendiri dengan tawa seperti orang tidak waras. Ella terisak dalam tangis, ia seakan tidak kuat lagi menghadapi kondisi Bayu yang tiba-tiba lepas kontrol jiwanya. Ia memeluk Bayu erat berharap dengan pelukan itu, Bayu dapat tenang sesaat. Tapi tidak, Bayu malah meronta-ronta dan mendorong Ella kuat dari rengkuhannya. Ella tersungkur hingga sikunya lecet mengenai meja besi.

Pandu mendekap Bayu kuat. "Ella, masukan obat itu ke mulut Bayu," titahnya tegas.

Ella mengangguk. Lantas ia mengambil sebutir obat itu di dalam tabung kecil. Ella mendekat, sementara Pandu masih menahan Bayu dalam kungkuhan tubuhnya, sehingga Bayu tidak dapat bergerak. Dengan sangat susah payah, tangan kiri Pandu menarik rahang Bayu kuat sampai mulutnya terbuka untuk memudahkan pil itu masuk ke dalam kerongkongan Bayu.

"Tunggu apalagi? Ayo Ella!" pekik Pandu.

Dengan tangan gemetar, Ella memasukkan pil pahit itu ke dalam mulut Bayu. Setelah pil itu berhasil Ella masukan ke dalam mulut Bayu, dengan cepat tangan Pandu membekap mulut sang adik. Bayu masih meronta-ronta berteriakan histeris amat menyayat hati, tangannya menjambak rambut Pandu kuat sehingga terdengar ringisan pelan yang keluar dari mulut Pandu.

Pandu tidak peduli, walaupun tubuhnya habis kena amukan Bayu. Asalkan ia dapat menenangkan adik bungsunya penuh kelembutan. Sudah merasa tak ada pergerakan lagi dari Bayu, Pandu merenggangkan pelukannya. Dilihat mata Bayu perlahan menutup serta tangannya yang sudah terkulai lemas dan siap menyentuh lantai. Obat itu sepertinya sudah bereaksi cepat. Pandu dan Ella merasa lega, mereka tersenyum kecut memandangi wajah Bayu kini sudah terlelap tidur di pangkuan Pandu.

"Sampai kapan Kak?" tanya Ella lirih, masih memandangi wajah Bayu.

Sekejap Pandu menghela napas.

"Entahlah," jawab Pandu pelan. "Kakak enggak tahu, La."

...--- Selamanya ---...

BAB 03

Ella menatap Pandu yang berdiri di depan pintu kamar Bayu, rasa tidak percaya atas ucapan Pandu barusan mengganggu pikirannya.

Pandu mengangguk. "Iya, ini demi kebaikannya, Ella."

"Kak, enggak mungkin itu sama aja Kakak menghancurkan masa depan dia. Aku enggak setuju," protes Ella penuh penekanan.

"Ella, kita enggak ada pilihan lain. Bayu masih dalam kondisi enggak baik, aku enggak mau ambil risiko kalo terjadi sesuatu padanya. Kamu ingat, beberapa hari yang lalu Bayu pulang dalam basah kuyup hanya untuk mengurung diri di kamar saat hujan datang?" ujar Pandu. "Bayu belum sembuh total, Ella," ucapnya lirih.

"Tapi selama ini enggak apa-apa. Bayu kuliah dalam keadaan baik-baik aja, kok. Hujan datang enggak ada yang tahu, Kak," sanggah Ella seraya menyelimuti tubuh sang adik yang sudah tertidur pulas di kasur empuk itu. "Kak, aku selalu memantau Bayu setiap saat. Kalau aku masih di kantor, aku selalu nelpon dia. Bayu kuliah layaknya orang-orang lain pada umumya, Kak. Apa Kakak enggak kasihan sama Bayu?"

Pandu mendesah. Ia melangkah ke ranjang Bayu, lalu duduk di tepi kasur. "Kakak hanya enggak mau ada orang yang menganggapnya enggak normal, dan Kakak enggak mau Bayu tersudutkan oleh orang lain yang akan mengatainya nanti."

"Lalu ... setelahnya kita mengurung dia di dalam rumah ini? Melarang siapa pun untuk menemuinya? gitu maksud Kakak?" sambung Ella penuh emosi yang kian tersulutkan. Ella menggeleng kepalanya sebagai tanda tidak terima dengan pemikiran Pandu yang tak ia pahami. "Tolong, jangan membuat dia bertambah tertekan lagi. Dia sudah cukup menderita, Kak."

Buliran kristal bening akhirnya jatuh juga dari kedua bola mata Ella, menyambangi rasa kepedihan yang terikat, dalam belenggu kehidupan pahit tidak terdayakan. Ella memang rapuh, tapi ada yang lebih rapuh lagi dari dirinya. Yaitu; Bayu. Ya, Bayu sangat butuh penyanggah darinya untuk menghadapi setiap lika-liku kehidupan yang sudah dikemas apik, dalam bentuk skenario oleh sang pencipta.

"Bayu butuh kita, Kak. Dan satu lagi, aku ingatkan. Jangan bawa dia ke sana lagi."

...--- Selamanya ---...

Bayu menyusuri setiap lorong-lorong kampus, perasaan tidak enak hati menyambarnya. Semua mahasiswa memandangnya tak biasa dengan pemikiran bermacam-macam tentangnya, saat ia melewati mereka. Ada yang berbisik-bisik membicarakannya, seolah-olah ia adalah seorang tersangka yang baru saja tertangkap basah sebagai pelaku kriminal.

Bayu tidak mau ambil pusing. Ia terus melangkahkan kakinya terus berjalan cepat menuju ke kelas, mengabaikan semua pasang mata yang masih menatapnya sinis.

Setelah sampai di pintu kelas, Bayu berhenti sejenak. Mahasiswa berada di dalam ruang kelas itu yang tadinya bercuap-cuap kini malah mendadak diam. Tampaknya mereka sudah menyadari dengan kedatangan Bayu. Bayu tertegun, matanya merayap menatapi wajah teman-temannya yang menunjukkan aura tidak suka padanya.

Dada Bayu berdesir, rasa bingung terkoneksi, kenapa semua orang memandangnya sinis yang tidak mengerti apa penyebabnya. Seingatnya, ia tidak pernah berbuat kesalahan apa pun pada teman-teman kampus selama ini. Bahkan, berbuat onar pun tak pernah ia lakukan. Sebab, Bayu di kampus terkenal sosok yang cuek pada sekitarnya dan selalu enggan berinteraksi pada siapa pun kecuali hanya Yasmin saja, sahabatnya sedari mereka masih kecil. Selain itu, Bayu juga tercatat sebagai mahasiswa yang memiliki prestasi cukup baik.

"Ada si penderita depresi udah datang nih," sahut seorang pemuda dengan rambut blonde setengah mengejeknya. Aji nama pemuda itu. "Jauh-jauh deh dari dia, entar depresinya kumat."

"Yee ... gue mah ogah deket dia," sambung salah satu mahasiswa yang lain bernama Odi. "Entar kita jadi ikutan kayak dia lagi."

"Kalo orang stres itu, tempatnya di rumah sakit jiwa. Tuh, bareng sama pasien-pasien stres dan gila yang lainnya," timpal Aji masih di sela-sela ejekan nista.

Semua orang yang ada di ruangan itu tertawa terbahak-bahak sama sekali tidak merasa berdosa. Padahal, mereka tahu sudah ada Bayu yang berdiri di depan pintu ruang kelas, menunjukkan raut wajah yang memerah padam. Ia ingin marah tapi tidak bisa, karena marah pun tak akan menyelesaikan suatu masalah. Lebih baik Bayu diam dan bersikap lebih tenang. Bayu menatap dingin ke arah Aji yang tersenyum menyeringai, sembari mengepalkan kedua tangannya erat. Sementara Aji pun membalas tatapan Bayu lebih dingin lagi.

"Kenapa? Lo bingung dari mana gue tahu? Enggak suka gue ngomong gitu?" tukas Aji sarkatis seraya berjalan mendekati Bayu. "Kasian banget hidup lo, ya? Seorang mahasiswa yang selalu mendapat predikat nilai tertinggi di kampus jurusan Sastra, ternyata pernah mengalami depresi."

"Lo enggak tahu apa-apa soal hidup gue," ujar Bayu datar tapi terlihat tenang. "Jadi, jangan sok tahu."

Aji tertawa nista diikuti oleh semua orang yang berada di ruangan itu lagi. "Why not? lo tuh ya, seharusnya nyadar siapa lo? Semua anak di kampus ini udah pada tahu bahwa lo itu ... STRES!"

Plakk

Satu tamparan mengenai pipi kiri Aji yang dilakukan oleh Yasmin, yang baru saja muncul dengan rasa emosi kian tersulut. Aji meringis kesakitan, lalu ia menatap sengit ke arah gadis itu.

"Mulut lo enggak pernah disekolahin ya, Ji? Jangan suka asal bicara. Emang pernah Bayu ngusik hidup lo? Pernah?" cerca Yasmin.

"Lo ngebelain dia? Dan satu lagi, gue enggak asal bicara toh emang kenyataanya,'kan? Temen lo itu sakit."

"Jelas gue belain Bayu, dia sahabat gue. Bayu enggak sakit ... dan lo, adalah manusia paling bejat yang gue kenal, enggak punya hati, mulut lo busuk seperti kotoran hewan!" seru Yasmin telak.

Aji mengerang garang. "Beraninya, ya, lo ngatain gue!"

Aji hendak melayangkan tangannya untuk menampar Yasmin. Namun dengan sigap Bayu menahan tangan Aji kuat. Tatapan mereka saling beradu, menunjukkan ekspresi tajam seakan ingin membunuh. Aji mencoba menarik tanganya dari cekalan Bayu. Tapi sayangnya, Bayu semakin mengeratkan cekalan itu hingga Aji meringis kesakitan.

"Lo mau ngatain gue, gue enggak peduli. Tapi yang gue enggak suka, lo nyakitin cewek dengan tangan kotor lo ini. Berengsek!" ujar Bayu lantang.

Bayu melepas tangan Aji. Kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangan itu dengan sejuta rasa sakit di hatinya. Ucapan Aji barusan sudah menampar telak untuknya, Bayu menyadari semua perkataan Aji sangatlah benar. Tapi, ia masih tidak percaya bagaimana Aji bisa tahu tentang kesakitan hidupnya, setelah sekian lama selalu tertutupi dengan rapi. Namun, kini sudah terkuak sempurna entah siapa yang telah membeberkannya.

"Berengsek lo, Ji!" seru Yasmin. Lalu berlari mengejar Bayu yang sudah tak tampak lagi dari pandangannya.

Sementara Aji tertawa senang. "Rasain lo. Ini pembalasan gue, dan gue enggak akan pernah berhenti sampai lo minggat dari kampus ini."

...--- Selamanya ---...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!