NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikah Dengan Ceo

Pengkhianatan

Suara ******* dan erangan memenuhi salah satu kamar di sebuah apartemen. Aroma percintaan begitu pekat menguar dari dalam sana.

Tubuh polos seorang perempuan tengah bergerak bebas di atas tubuh si pria. "Ramaaa ... " panggil Mona manja dengan tubuhnya condong ke bawah menghadap wajah Rama.

"Kenapa sayang?" tanya Rama sesaat setelah dia melepaskan kulumannya.

Mona mendudukan kembali tubuhnya, sambil terus menggerakkan pinggulnya. "Bagaimana kalau mba Gisa mengetahui hubungan kita ... aah ...?" desahnya di akhir kalimat saat Rama menaikan tempo pacuannya.

"Aku tidak peduli!" serunya. Rama membelai wajah Mona, kemudian mengusap bibir Mona dengan lembut sambil melanjutkan kalimatnya. "Aku dekat dengan dia, semata-mata untuk mendapatkan kamu. Dari dulu pun, yang aku cintai itu kamu," lanjut Rama sambil mengecup jari tangan Mona.

"Siapa yang mau dengan perempuan yang sudaah ... " Rama tidak melanjutkan perkataanya. Rama sibuk mengerang saat di atas sana, Mona semakin cepat menggoyangkan pinggulnya seakan puas dengan jawaban yang Rama lontarkan.

Rama membalik posisi Mona. Saat ini, Rama lah yang memegang kendali atas Mona. Setiap gerakan liar yang dilakukan Rama, berhasil membawa mereka untuk sampai menuju puncak nirwana.

Di sisi lain ruangan itu, seorang wanita tengah berdiri menyaksikan pergulatan panas mereka. Dengan berurai air mata, nafas yang tersendat, dan dada naik turun menahan amarah, dia mundur dengan langkah terbata.

Tangannya meraih apapun sebagai pegangan, agar dia tidak ambruk di depan pintu kamar kekasihnya.

"Apa katanya tadi?! Terpaksa?! Terpaksa dia bilang?!" ucapnya dengan lirih.

Bagai tersambar petir di siang bolong, ia menyaksikan, serta mendengar secara langsung pengkhianatan yang kekasihnya lakukan.

Rama merupakan teman Gisa dari SMP, yang baru di pacarinya selama 1 tahun terakhir. Padahal, dulu Rama sangat berusaha untuk menaklukkan hati Gisa. Tapi kenyataannya, sekarang dia dengan sangat kurang ajarnya, bercinta dengan Mona, sahabat di tempat kerjanya yang dulu.

Badan Gisa terhuyung kebelakang kala kakinya sudah tidak kuat menopang berat tubuhnya yang sudah terkulai lemas mengetahui segala kenyataan tersebut.

PRANG ...

Gisa memecahkan vas bunga yang ada dibelakang tubuhnya. Pecahan pas bunga tersebut melukai kakinya, namun dia tidak merasakannya sama sekali. Saat ini hatinya jauh lebih sakit dibanding luka yang ada di bawah kakinya.

Di dalam kamar, dua orang yang saat ini dalam keadaan polos dan tengah terkulai lemas akibat pergulatan panas mereka, terperanjat kaget saat mendengar suara benda pecah tersebut.

Mona menarik selimut, kemudian dia gulungkan pada tubuh polosnya. Sementara Rama, mengitari kamar mencari boxser yang entah kemana dia lemparkan tadi.

Rama memakai boxernya kembali saat dia menemukannya di ujung tempat tidur. "Pakai pakaian, Kamu! Aku akan melihat siapa yang ada diluar sana!" ucapnya pada, Mona.

"Siapa di sana?" tanya Rama pada wanita yang tengah duduk di atas lantai dengan rambut yang menutupi seluruh wajahnya, dan terlihat sangat menyedihkan.

Gisa mendongak melihat ke arah sumber suara. Wajahnya penuh air mata dengan rambut yang berantakan.

Rama berjalan pelan menghampiri Gisa. "GISA!" pekik Rama dengan nada yang cukup tinggi hingga membuat Mona yang ada di dalam kamar mengetahui siapa yang datang saat ini.

Mona keluar dari dalam kamar Rama dengan lingerie seksi-nya, yang di balut kimono berukat berwarna merah. Tangannya ia lipat di atas dada, dengan tubuh yang menyandar pada ujung meja. Di seluruh leher sampai dada tersebar Kissmark yang sengaja Mona pamerkan pada Gisa.

Dada Gisa kembali sesak, saat Rama hanya diam dan Mona hanya menertawakannya tanpa seorang pun mencoba menjelaskan.

"APA KALIAN TIDAK INGIN MENJELASKAN SEGALANYA?!" teriak Gisa pada Rama dan Mona dengan posisi Gisa yang masih bersimpuh di atas lantai.

Mona tersenyum sinis lebih ke arah mengejek. Dia berjalan ke arah Rama, kemudian mengaitkan kedua tangannya pada perut Rama.

"Dia minta penjelasan," bisik manja Mona pada Rama.

Rama mengelus kepala Mona dengan sayang, kemudian mengarahkan tatapan tajamnya pada Gisa. "Apa yang ingin kamu tau, heh?!" tanya Rama singkat.

"Semuanya Rama! SEMUANYA!" teriak Gisa ditengah isak tangisnya.

"Seperti yang kamu lihat, Gisa! Sebenarnya ... aku sudah muak! Syukurlah kamu mengetahuinya sekarang!" ucap Rama masih dengan posisi berdirinya.

"Aku sudah tidak membutuhkan kamu lagi! Ada dia, yang jauh lebih sempurna dari pada kamu yang hanya seora_"

"CUKUP SIALAN! Tidak perlu kamu merendahkan status ku!" bentak Gisa memotong kalimat Rama.

Rama mendudukan tubuhnya pada ujung meja. Dia membawa Mona masuk kedalam pelukkannya. "Bukannya kamu ingin tahu segalanya?" tanyanya. "AKU HANYA MEMANFAATKAN, KAMU! Sampai sini kamu paham?" lanjut Rama, menekankan setiap kalimatnya dengan tidak berperasaan.

Gisa bangkit dari duduknya. Dia meremas jari jemarinya. Dadanya bergejolak, telinganya panas saat mendengar kata demi kata yang Rama lontarkan. Semua itu bak anak panah yang menghujam seluruh tubuhnya.

Gisa menatap tajam Mona dan Rama, pria yang pernah ia cintai, sebelum berkata, "Aku akan membalas setiap sakit hati yang aku dapatkan dari kalian hari ini!" Telunjuk Gisa terangkat menunjuk Rama dan Mona.

Rama mengedikan bahunya acuh, "Terserah, aku tidak peduli!" ujarnya tak gentar menerima ancaman dari Gisa.

"Kamu bisa apa memangnya?" Rama mengangkat tubuhnya, kemudian berdiri persis di hadapan Gisa. "Kamu hanya gadis menyedihkan yang hidup sebatang kara! Bahkan, ayah kandungmu sendiri lebih memilih_"

PLAKKK!

Belum sempat Rama menyelesaikan kalimatnya, sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipinya.

Rama memegang pipi sebelah kanan yang terkena tamparan Gisa. Seumur hidup, ini kali pertama dia diperlakukan kasar oleh perempuan.

Wajahnya memerah, dengan nafas yang saling memburu, siap meledakan amarahnya. Tangan Rama terangkat ke udara untuk membalas perlakuan Gisa.

Gisa memejamkan matanya erat, bersiap menerima tamparan dari Rama yang diyakininya akan sangat menyakitkan.

Namun, sesaat setelahnya, bukan tamparan yang Gisa rasakan, melainkan tarikan yang cukup kencang di bagian kepalanya.

Mona menarik rambut panjang Gisa sambil menyeretnya menuju pintu keluar.

Gisa berteriak kesakitan dengan kedua tangannya mencoba melepaskan tangan Mona dari kepalanya.

Mona berteriak, "Wanita sialan! Berani-beraninya kamu menampar kekasihku!" hardiknya sambil menyeret tubuh Gisa keluar pintu.

Gisa terjatuh tepat di depan pintu apartemen Rama. Dia meringis merasakan sakit, saat lututnya terbentur dengan lantai.

Gisa bangkit sambil mengeluarkan sumpah serapahnya. "Kamu sekarang boleh melakukan apapun yang kamu inginkan untuk menyakitiku. Tapi nanti, kamu yang akan berlutut dan menangis di bawah kakiku. Ingat sumpah ini, RAMA, MONA!" teriak Gisa sambil bersumpah di depan pintu apartemen milik Rama, sang mantan kekasih yang telah berselingkuh dengan sahabatnya sendiri yaitu, Mona.

Gisa merapihkan penampilannya. Kemudian dengan tertatih dia masuk kedalam lift yang akan membawanya menuju lantai dasar. Dia menekan tombol L agar lift langsung mengantarnya menuju lobby.

Saat pintu lift akan tertutup, seorang pria tampan menghentikannya sehingga lift terbuka kembali. Pria tampan dengan mata Jamrud tersebut langsung masuk, dan bergabung bersama Gisa.

Gisa sempat tertegun melihat mata indahnya tersebut. Mata itu mengingatkannya pada seseorang yang sangat berarti dalam hidup Gisa.

Setelah meraih kembali kesadarannya, Gisa menormalkan kembali ekspresinya, dengan segala beban pikiran di otaknya.

Saat ini dia harus kembali ke rumah sakit dan memikirkan cara lain untuk mendapatkan biaya operasi untuk bibinya.

Sungguh menyedihkan. Disaat dia akan meminta bantuan sang pacar, Tuhan malah memperlihatkan kebusukan sang pacar dan sahabatnya pada Gisa. Tanpa terasa lamunannya telah membawa Gisa menuju lantai dasar.

"Nona, apa anda tidak ingin keluar?" tanya si pemilik mata jamrud yang mempunyai suara berat dan sedikit serak tersebut.

Gisa mengerjapkan matanya, kemudian keluar dari dalam lift. "Terima kasih sudah mengingatkan!" ucap Gisa tulus dan sedikit membungkuk.

Gisa keluar dari dalam lift, kemudian berjalan lurus untuk keluar dari apartemen tersebut dan menghentikan taxi yang akan membawanya menuju rumah sakit.

"Nona, sebentar!" ucap pria yang berada didalam lift tadi sambil tangannya meraih lengan Gisa

Bertemu Kembali

"Nona, sebentar!" ucap pria yang berada didalam lift tadi, sambil tangannya meraih lengan Gisa.

Gisa mengerutkan keningnya bingung, sambil mencoba melepaskan tangan si pria tersebut.

"Oh, sorry!" ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.

Pria tersebut mengambil saputangan dari dalam saku celananya, kemudian dia berjongkok. Dililitkan sapu tangan tersebut pada pergelangan kaki Gisa yang terluka. "Sebaiknya nona periksakan luka nona ke rumah sakit!" lanjutnya.

Setelah berucap demikian, dia langsung pergi menaiki mobil mewah berharga fantastis, yang sedang menunggunya di depan lobi, sebelum Gisa sempat mengucapkan terima kasih pada pria tersebut.

Gisa hanya mematung sambil melihat ke arah pria yang sudah menjauh tersebut. "Terima kasih! Setidaknya, masih ada orang asing yang mau peduli dengan wanita ini," lirihnya pelan.

***

Saat ini Gisa tengah berada di dalam sebuah taxi yang akan membawanya menuju rumah sakit. Dia menyandarkan kepalanya pada jok mobil, dengan mata yang terpejam. Jangan tanya bagaimana keadaan hatinya saat ini!

Gisa meraih hand bag yang ia letakan di sebelahnya, saat suara nyaring telepon genggam berbunyi dari dalam sana.

"Iya Dokter? Apa terjadi sesuatu dengan bibi saya?" tanyanya lirih, saat nama Dokter Riadi, terpangpang di telepon genggam miliknya.

"Sebelumnya, saya ingin memberitahu Nona, kalau batas waktu untuk operasi pemasangan ring pada jantung bibi anda, adalah minggu ini. Dokter yang akan melakukan operasi, pada Minggu depan akan kembali ke Jerman. Untuk lebih lanjutnya lagi, saya tunggu Nona di ruangan saya besok pagi!" jelas dokter Riadi yang merupakan dokter jantung yang menangani Serravina, bibi dari Gisa.

"Baik Dokter. Sebelum pergi bekerja, saya usahakan untuk menemui Dokter terlebih dahulu," terangnya.

Gisa menarik nafasnya dalam. Saat ini, dia harus memutar otaknya untuk mendapatkan biaya operasi bibinya yang tidak sedikit tersebut. Sang kekasih, yang menjadi harapan Gisa satu-satunya malah berkhianat.

Gisa meringis saat kakinya terasa perih. Terlalu banyak yang Gisa pikirkan sehingga dia melupakan luka yang ada dipergelangan kakinya.

Gisa melihat saputangan biru dongker yang membalut lukanya. Diusapnya saputangan tersebut dengan lembut. Ujung dari saputangan itu, terdapat bordiran bertuliskan "C, D, G".

Gisa menepuk bahu sang sopir pelan. "Pak, tolong berhenti di klinik terdekat," pintanya lembut pada pria paruh baya yang tengah mengemudikan taxi tersebut.

"Baik neng, kebetulan tidak jauh dari sini ada klinik yang buka 24 jam," jelas sang sopir taxi.

Taxi yang Gisa tumpangi berjalan membelah jalanan ibu kota yang sepi petang ini.

Belum sampai setengah jalan, telepon genggam milik Gisa, kembali berdering. Kali ini nomor yang tidak di kenal yang memanggilnya. Gisa mengerutkan keningnya bingung. Dia merasa tidak pernah menghubungi nomor tersebut.

"Siapa?" tanyanya sambil melihat kembali nomor yang berjejer di layar.

"Apa mungkin, Bik Minah?" tanyanya pada diri sendiri. "Dean ...," gumamnya pelan menyebutkan nama seseorang, saat ingatannya tertuju pada Bik Minah tetangganya.

Gisa segera mengangkat panggilan tersebut dengan tergesa. "Halo," jawabnya.

"Nirwasita Gistara Savrinadeya?" tanya seorang pria bersuara serak dan berat menyebutkan nama lengkap Gisa.

Gisa mengerutkan keningnya, semakin bingung dengan si penelepon. Siapa dia sampai hapal nama lengkap Gisa, pikirnya.

"Iya," jawabnya singkat.

"Anda ditunggu di Rumah Sakit Queen Elizabeth sekarang! Jangan sampai telat jika Anda, masih ingin bekerja di Perusahaan Ganendra!" Ancamnya.

"Ta-tapi ... " jawab Gisa terbata. Namun panggilan tersebut sudah terputus. Gisa menghembuskan nafasnya kasar.

"Menyebalkan! Dia seenaknya saja memerintah," gerutu Gisa dalam taxi membuat sang sopir tersenyum geli melihat wajah Gisa yang berubah-ubah.

"Pak, putar balik! Kita pergi menuju Rumah Sakit Queen Elizabeth. Cepat ya, Pak." Pinta Gisa pada sang sopir. Gisa menggagalkan rencananya untuk ke klinik dan lebih memilih pergi ke rumah sakit. Jangan sampai Gisa dipecat. Dia masih membutuhkan pekerjaan untuk mencukupi kehidupan orang-orang tersayangnya.

"Baik, neng," jawab sang sopir.

Pak sopir menancap gas agar cepat sampai di tempat tujuan. Kebetulan petang ini jalanan sepi.

Gisa sampai di Rumah Sakit Queen Elizabeth. Dia menghabiskan 20 menit di jalan dari seharusnya 35 menit.

Di pintu masuk sudah ada Abhinav, yang sedang menunggu kedatangan Gisa. Dia melambai ke arah Gisa. Gisa menengok kiri dan kanan untuk melihat siapa yang Abhinav sapa. Saat kiri dan kanan Gisa tidak ada orang, Gisa menunjuk dirinya sendiri sambil bergumam tanpa suara, "Saya?" tanyanya.

Abhinav mengangguk sambil berjalan kearah Gisa.

"Yu, masuk!" Abhinav mempersilahkan Gisa berjalan di depannya.

"Bapak yang menghubungi saya?" tanya Gisa bingung. Abhinav merupakan atasan Gisa di kantor. Dia cukup populer diantara para pekerja wanita. Bahkan gosip yang berkembang di lingkungan kerjanya, Abhinav adalah CEO di perusahaan tempat Gisa bekerja.

"Nanti saya jelaskan! Sekarang kamu ikut, saya!" jawab Abhi sambil masuk ke dalam lift yang akan membawanya menuju ruang VVIP.

Lift yang mereka naiki sampai di lantai teratas rumah sakit. Ruangan tersebut begitu mewah dengan segala fasilitas yang eksklusif.

Gisa berjalan di depan Abhi, saat Abhi menyebutkan kalau mereka akan pergi menuju ruang VVIP II.

Abhi menatap heran Gisa, saat Gisa dengan lancarnya menemukan ruang VVIP II tempat tujuan mereka.

Bagaimana karyawan biasa bisa tahu tentang ruangan yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang rela menghabiskan 25 juta semalam hanya untuk sewa kamarnya saja dan itu belum termasuk biaya perawatan.

Namun, keingintahuan Abhi ia pendam karena saat ini ada yang lebih penting dari itu semua. Abhi bisa kehilangan segalanya jika telat semenit saja.

Gisa sudah berdiri di depan pintu ruang VVIP II. Dia ragu untuk masuk ke dalam. Gisa berbalik. Posisi Abhi saat ini kurang lebih 6 meter di belakang Gisa. Abhi menyuruh Gisa masuk terlebih dahulu, dengan menggerakan tangannya kedepan seperti gerakan mengusir.

Gisa membalikan kembali tubuhnya, untuk mengetuk pintu. Namun sayang, yang Gisa ketuk bukan pintu, melainkan dada bidang seorang pria.

Gisa meringis. Dia arahkan pandangannya ke atas. Matanya bertemu kembali dengan mata hijau pria yang menolongnya tadi sore. Namun matanya yang sekarang, terlihat jauh lebih dingin dan misterius. Reflek Gisa memundurkan tubuhnya beberapa langkah.

"Kamu?!" pekik Gisa sambil menunjuk wajah si pria.

Ayo Kita Menikah

"Kamu?!" pekik Gisa sambil menunjuk wajah si pria. Si pria tersebut hanya mengerutkan keningnya tanpa menjawab keterkejutan Gisa.

"Kalian sudah saling kenal?" tanya Abhinav. Gisa menggeleng pelan. "Dia, Catra Dewantara Ganendra, CEO di perusahaan tempat kita bekerja," bisik Abhinav pada Gisa.

"Jadi, bukan anda CEO nya?" tanya Gisa polos yang sukses membuat Abhinav tertawa.

Mata Catra menatap tajam Abhi. Gisa sendiri menggigit bibirnya sambil memainkan jari jemarinya gugup. Dia sudah berbuat lancang dengan menunjuk langsung wajah CEO-nya.

Catra yang dia temui sore tadi, sungguh berbeda dengan Catra yang ada di hadapannya saat ini. Jiwa kepemimpinannya sungguh mendominasi saat ini.

"Abhi, jelaskan tujuan dia dipanggil ke rumah sakit ini!" perintah Catra pada Abhi.

"Jadi begini__ kamu, 'kan mmm ... " bingung Abhi.

"Ckk," Catra berdecak sambil melayangkan tatapan tajamnya. "Kamu akan mendonorkan darah kamu untuk adik saya yang akan melahirkan! Golongan_" jelasnya terpotong karena Gisa langsung mengajukan pertanyaan lain.

"Kemana saya harus pergi?" tanya Gisa dengan cepat.

"Anda bisa masuk ke dalam!" jelas Catra pada Gisa.

Gisa bergegas masuk. Di dalam sudah ada beberapa suster yang siap dengan alatnya. Selain itu, ada seorang wanita cantik dengan perut besarnya yang tengah berbaring lemas dengan hidung yang terpasang oksigen di atas tempat tidur. Gisa menghampiri wanita tersebut kemudian mengelus perut buncitnya.

"Sabar ya, sebentar lagi kamu akan bertemu dengan ayah dan ibumu!" ucap Gisa lembut sambil tersenyum hangat pada perempuan tersebut.

"Saya Kayanna, terima kasih sudah bersedia membantu saya!" ucap pelan sambil menjulurkan tangannya.

Gisa menyambut tangan Kayanna, kemudian tersenyum hangat, "Tidak masalah," ucapnya singkat.

Gisa sendiri harus melakukan beberapa pemeriksaan terlebih dahulu sebelum melakukan donor. Mungkin akan menghabiskan waktu 1 jam lebih agar Kayana dapat melakukan transfusi.

Gisa meraih sesuatu dari dalam dompetnya. "Sus, ini kartu bank darah milik saya. Sepertinya Nyonya Kayanna, harus segera mendapat tindakan medis! Jadi, ambil saja darah saya yang ada di bank darah rumah sakit ini. Saya rasa jumlahnya lebih dari cukup. Kalau menunggu saya cek ini itu, pasti lama lagi," jelasnya pada suster.

Kayannaa berkaca-kaca, dia terharu disaat dia sudah kehilangan harapan, Tuhan mengirimkan Gisa untuk membantu dirinya. Dia bahkan menggenggam tangan Gisa erat saat suster mendorong Kayanna menuju ruang operasi.

"Terima kasih," ucapnya tulus. Gisa mengangguk sambil mengelus lembut tangan Kayanna seakan memberi kekuatan. "Semuanya akan baik-baik saja, kalian akan segera bertemu!" ucapnya meyakinkan Kayanna.

Kayanna mengangguk kemudian dia menggenggam tangan Catra yang akan ikut masuk kedalam ruang operasi, karena suami Kayanna sendiri masih di luar negeri. Terlihat jelas gurat kekhawatiran dari wajah Catra.

"Abhi, kamu tunggu di sini!" seru Catra pada Abhi. Kemudian Catra mengalihkan pandangannya pada perawat. "Suster, obati juga pergelangan kakinya!" perintah Catra singkat.

Gisa saat ini tengah berbaring. Jarum yang cukup besar menancap kedalam vena nya. Luka di pergelangan kakinya pun sudah suster obati.

Gisa bisa mendonorkan darahnya setelah melakukan beberapa pemeriksaan dan akan di ambil satu labu darah yang nantinya akan di simpan di bank darah untuk mengganti darah yang tadi di pakai Kayanna untuk operasi.

Orang pemilik Golden Blood sendiri, boleh melakukan donor kepada siapa saja. Namun, mereka tidak bisa menerima darah dari orang lain kecuali dari orang pemilik Golden Blood lagi. Maka dari itu, beberapa tahun terakhir Gisa menyimpan darahnya di bank darah untuk dirinya sendiri jika sewaktu-waktu dia mengalami hal yang tidak diinginkan.

Setelah selesai donor, Gisa tertidur diatas bed untuk memulihkan energinya. Gisa tertidur kurang lebih setengah jam. Dia membuka matanya, saat dirasa badannya sudah cukup segar.

Dia mengerjapkan matanya, saat sadar dia masih berada di rumah sakit. Dia harus segera pulang. Ada seseorang yang sedang menunggu kepulangannya.

Matanya melihat sekeliling ruangan. Dia melihat Catra dan Abhi sedang duduk tidak jauh dari tempat Gisa.

Gisa berdiri sambil merapihkan kembali penampilannya. Dia bejalan pelan kearah Catra dan Abhi. Abhi yang melihat Gisa berjalan kearahnya, kemudian tersenyum sambil bertanya, "Bagaimana keadaan kamu? Sudah jauh lebih baik?" tanyanya.

Catra yang membelakangi Gisa secara otomatis menoleh kearah Gisa. Gisa tersenyum canggung pada dua pria tampan dihadapannya.

"Sudah lebih baik, Pak. Bagaimana operasinya?" tanya Gisa kembali sambil melihat netra jamrud Catra yang selalu mengingatkannya pada seseorang.

"Lancar," jawabnya singkat sambil memalingkan wajahnya kearah lain.

"Syukurlah," ucap Gisa penuh kelegaan. "Kalau begitu, saya ijin pulang," lanjut Gisa.

Catra bangkit dari duduknya, "Abhi, titip Kayanna! Sebentar lagi sepertinya dia akan dipindahkan ke ruangan ini," pinta Catra pada Abhi.

Catra keluar dari dalam ruangan Kayanna. Namun saat akan mencapai pintu, langkahnya terhenti. Dia sadar Gisa tidak mengikutinya.

"Cepat!" seru Catra pada Gisa.

Gisa menoleh kearah Catra. "Saya?" tanya Gisa sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Ckk," decak Catra kesal kemudian berjalan keluar ruangan.

"Iya, kamu. Cepat sebelum dia marah," terang Abhi.

"Jadi, saya pulang sama__ " ucapnya terpotong sambil melihat kearah Abhi. Abhi mengangguk cepat sebagai jawaban.

Gisa berlari kecil menyusul langkah lebar Catra. Mereka masuk kedalam lift yang mengantar Gisa dan Catra menuju basemen tempat mobil mewahnya terparkir.

***

Satu jam perjalanan dari rumah sakit menuju rumah Gisa, mereka habiskan dalam keheningan. Baik Gisa maupun Catra, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Catra fokus pada MacBook nya. Sementara Gisa, sibuk melihat kearah samping jendela untuk menghindari kecanggungan nya.

Sopir memberitahu kalau mereka sudah sampai di tempat tujuan. Catra menyimpan MacBook nya sebelum keluar dari dalam mobil menyusul Gisa yang sudah keluar terlebih dahulu.

Gisa membungkuk, "Terima kasih atas tumpangannya," ucapnya tulus.

Catra hanya berdiri dengan kedua tangannya dia masukkan kedalam saku celana.

Merasa tidak ada respon, akhirnya Gisa berbalik untuk masuk kedalam rumah sederhana bercat putih tersebut. Saat baru beberapa langkah, Catra mengatakan sesuatu yang membuat dia menghentikan langkahnya.

"Ayo kita menikah!" ucapnya dengan suara serak khas Catra.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!