Sebuah mobil xpander cross berwarna hitam legam mendadak berhenti ketika seorang pria di balik kemudi menginjak pedal rem kuat-kuat. Hampir saja menabrak seorang bocah kecil yang menangis kebingungan di tengah jalan. Degup jantung lelaki itu semakin bertambah kuat, mengusap matanya berkali-kali untuk memastikan anak itu nyata.
“Anak siapa itu tengah malam begini main di jalanan?” gumam Edrico Stevanus, setelah meneguk salivanya dengan berat.
Satu lengannya menekan tombol untuk membuka jendela, hingga jerit tangis bocah lelaki berusia 4 tahun itu memekakkan telinganya. Anak itu tampak kebingungan, memutar-mutar tubuh mungil itu seolah mencari seseorang.
Rico mengedarkan pandangannya pada jalanan yang sangat sepi, waktu sudah menunjukkan pukul 01.30 pagi, di mana orang-orang terlelap dalam tidurnya. Langit yang bergelung awan hitam pekat, perlahan menjatuhkan bulir-bulir air yang lama kelamaan semakin deras.
Hati nuraninya tergerak untuk menghampiri anak itu. Kemudian berjongkok menyamakan tingginya dengan bocah yang tidak ia kenal sebelumnya. “Nama kamu siapa? Mana mama kamu?” tanya Rico yang tak mendapat jawaban. Anak itu semakin menangis. Bersamaan dengan hujan yang semakin deras membasahi sekujur tubuh keduanya.
Tanpa pikir panjang lagi, Rico meraih bocah itu dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam mobil dan mendudukkannya di kursi penumpang. Ia semakin panik tatkala anak itu tak kunjung diam. Malah semakin mengeraskan tangisannya.
“Aduh! Jangan sampai orang-orang ngira penculik anak!” gumamnya segera berlari kecil mengitari setengah mobil, dan duduk di balik kemudi.
Perjalanan menuju apartemennya tinggal beberapa menit lagi. Rico, yang baru saja pulang bekerja itu kebingungan. Haruskan membawa anak itu ke apartemennya? Masalahnya, dia masih single, belum menikah dan sekarang ia bingung bagaimana cara merawat anak itu.
Rico menepuk halus puncak kepala anak tersebut, “Cup! Cup! Nanti kita cari mamamu ya. Sialan, tega bener orang tuanya nelantarin anak setampan ini!” umpatnya kesal menjalankan mobilnya menuju apartemen tempatnya tinggal.
Menjadi bodyguard salah satu konglomerat di kotanya, memang mengharuskan Rico selalu siap dan sigap kapan pun dibutuhkan. Seperti malam ini, harus pulang larut karena sang bos baru pulang dinas luar kota. Ia dipercaya untuk menjaga istri dan anak sang bos. Siapa sangka malam ini justru mendapat rezeki tak terduga. Ah, entah rezeki atau musibah. Rico tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya.
Sesampainya di basement apartemen, Rico melepas seatbelt yang membelit tubuhnya lalu melenggang keluar. “Eh, bocah. Kelupaan!” gumamnya menepuk dahi ketika kakinya hampir menjauh dari mobil.
Segera Rico kembali membuka pintu mobil, ternyata bocah yang ia temukan sedang terlelap. Tetapi masih terdengar jelas isak tangisnya. Perlahan Rico meraih tubuh kecil itu, menutup pintu mobil dengan kaki dan segera menuju unit apartemen miliknya.
Tubuh mereka basah kuyup, Rico kebingungan tatkala sudah meletakkan bocah itu di kamarnya. “Kalau bajunya enggak diganti nanti bisa sakit. Terus pakai baju siapa ini!” gumam Rico menjambak rambut pendeknya karena bingung.
“Ah, bodo amat. Yang penting kamu hangat ya ganteng.” Rico meraih salah satu kaos tebalnya lalu dengan sangat hati-hati melepas baju-baju sang bocah yang basah kuyup, kemudian menyusupkan kaosnya yang tentu saja mampu menenggelamkan tubuh mungil itu.
Rico menatapnya lekat-lekat, mengusap puncak kepalanya dengan tatapan iba. “Emm ... karena aku menemukanmu di saat hujan, maka kamu akan kupanggil Rainer. Hemm, enggak buruk juga nama itu,” monolognya menaikkan selimut untuk menutupi tubuh kecil yang sama sekali tak terganggu. Sepertinya memang sangat lelah dan mengantuk. Sesekali isakannya masih terdengar, meski sepasang matanya terpejam.
Usai membersihkan tubuh, Rico naik ke atas ranjang. Tidur dengan posisi menyamping menatap lekat wajah polos Rainer. Tidak terbayang jika tadi anak itu ditemukan oleh orang-orang jahat di luar sana.
“Semoga besok ada kabar baik untukmu, Rain. Untukku juga. Masa iya kamu akan menjadi percobaanku?” gumam Rico lalu turut memejamkan mata. Bagaimana tidak disebut percobaan? Rico sama sekali tidak mengerti bagaimana detailnya merawat balita. Dan tiba-tiba, dia harus menjadi hot daddy?
Bersambung~
Saatnya Bertualang bersama Uncle Ric 😊 Semoga suka. Jan lupa klik favorit like dan komen ya 😘
Dering ponsel memekakkan telinga, membuat tidur Rico terusik. Meregangkan tubuh sembari menguap, tak lama kemudian beranjak duduk dengan cepat. Takut jika bosnya yang arogan tiba-tiba memberi sebuah perintah.
Rico menyambar ponsel di atas nakas dan menarik kesadarannya dengan cepat. “Iya, Tuan,” ucapnya setelah menggeser slide benda pipih miliknya.
“Jam berapa ini? Kenapa kamu belum datang juga? Sudah bosan bekerja?! Cheryl bisa terlambat sekolah!” teriak Tiger Sebastian—tuannya yang arogan itu, mengejutkan denyut jantungnya.
Rico menjauhkan ponselnya, ia yakin sang bos masih menghujani ledakan emosi di ujung telepon. Tidak mau gendang telinganya pecah, segera melompat dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi untuk sekedar menggosok gigi dan mencuci muka dengan cepat.
“Maaf, Tuan,” ucap Rico setelah tak mendengar teriakan Tiger.
"Sepuluh menit harus sudah sampai! Kalau tidak, gajimu disunat!”
“Baik, baik!” Rico setengah berlari mengambil celana panjang dan jas yang dipakai secara asal-asalan. Ponselnya diapit di antara telinga dan bahu. Setelahnya mengenakan sepatu dengan cepat sambil mengiyakan kemarahan tuannya.
Yah, bagaimana pun kerasnya sang boss, Rico tetap setia mengabdi, menurutnya Tiger hanya menerapkan kedisiplinan pada semua anak buahnya. Posisinya pun cukup diuntungkan, karena hanya diminta menjadi bodyguard dan sopir pribadi nyonya dan nona kecilnya saja. Tidak terjun langsung di perusahaan, yang Rico yakini lebih besar tekanannya.
Dua telapak tangan lebar itu menyisir rambut setelah meratakan pomade seperti biasa agar terlihat sudah mandi. Tak lupa menyemprotkan parfum mahal hadiah dari Jihan—nyonyanya, ke seluruh bagian tubuhnya.
Rico masih asyik sendiri, tidak sadar, sedari tadi ada sepasang mata yang terus memperhatikannya.
Gerakan Rico mondar-mandir di kamar yang cukup luas itu, tak luput dari pandangan lelaki kecil yang duduk di atas ranjang dengan raut bingung bercampur takut.
“Oke, sudah siap! Sepuluh menit pasti sampai!” monolog Rico tersenyum bangga di depan cermin. Bangga akan ketampanannya walaupun tidak mandi.
Saat berbalik, kakinya yang hendak melangkah tiba-tiba terhenti. Manik matanya mengerjap berulang dan sontak menganga karena terkejut, saat menemukan orang asing di kamarnya.
“Heh, siapa kamu?” sentak Rico berkacak pinggang yang langsung membuat mata anak itu berair, napasnya terlihat sesak karena menahan tangis. “Eh, kok nangis!” Rico melenggang cepat naik ke ranjangnya.
Rico meraih tubuh mungil balita itu, menyandarkan di bahunya. Tangannya menyangga bokong anak itu, tangan lainnya membelai punggung, seperti yang ia lihat ketika Lala—pengasuh tengah menenangkan nona kecil. Sembari mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya.
Setelah memejamkan mata sejenak, Rico mendapatkan kilasan kejadian semalam ketika menemukan anak dalam dekapannya itu.
Rico menjulurkan lengannya, mendudukkan Rain di atas ranjang. Ia berjongkok sembari menampilkan senyuman terbaiknya. “Jangan takut. Kalau kamu sudah mau bicara, bicaralah. Aku akan mengantarmu pada ibu dan ayahmu.”
Bukannya senang, Rain justru terlihat ketakutan. Ia menggeleng berulang kali dan kembali melingkarkan lengan kecilnya pada leher Rico.
“Aduh, gimana sih ini,” keluh Rico bingung sendiri. Ia berusaha melepas lilitan tangan Rain. “Oke, aku enggak antar kamu pada ayah ibumu, tapi janji ya. Kamu harus nurut, enggak boleh rewel. Kalau melanggar, aku tinggal kamu di jalan. Paham?” tegas Rico mengangkat telunjuk di depan muka Rain.
Rain hanya mengangguk beberapa kali sebagai jawabannya. Masih mengenakan kaos Rico yang kini seperti gaun panjang menutupi seluruh tubuh kecilnya. Bagian leher pun merosot hingga ke salah satu lengannya.
Rico menghela napas panjang. Ia meyakini anak itu disabilitas, tidak bisa berbicara. Dan butuh waktu untuk bisa menyelami seluk beluk anak yang ia temukan semalam. “Baiklah, Rainer. Mari bekerja. Jadi laki-laki nggak boleh cengeng, harus kuat, bertanggung jawab dan pekerja keras.”
Tanpa membuang waktu lagi, Rico melangkah cepat masuk lift untuk turun menuju basemen apartemen miliknya. Langkah kakinya terburu-buru, ia sudah terlambat. Setelah masuk mobil, menatap Rain yang duduk nyaman di sebelahnya. Lelaki kecil itu mulai menyunggingkan senyum.
“Aku terlambat, Rain. Pasti Tuan Macan sudah siap menerkam,” gumam Rico segera melajukan mobilnya.
...\=\=\=\=OoO\=\=\=\=...
Seorang wanita terdengar melenguh di ruangan serba putih yang begitu sunyi dan dingin. Matanya mengerjap dengan sangat pelan untuk mengumpulkan kesadarannya.
Sudah beberapa hari ia mengalami kekerasan, puncaknya semalam. Wanita itu dicekik dan dibanting di trotoar oleh suaminya sendiri. Hingga kini harus berakhir di rumah sakit dengan luka yang cukup parah.
Kedua tangannya mencengkeram kuat selimut yang membalut tubuhnya. Air matanya mengalir deras. Tak berapa lama, terdengar derit pintu terbuka. Wanita itu menoleh, melihat seorang pria berjas putih bersama asistennya melenggang masuk untuk mengontrol pasiennya.
“Anda sudah sadar, Nyonya Airin?” tanya dokter tersebut setelah.
“Di mana anakku?” tanya wanita yang dipanggil Airin itu.
Dokter dan perawat saling berpandangan, mereka mengedikkan bahu bersamaan karena tidak mengerti maksud dari sang pasien.
“Di mana anakku, Dokter?” pekik Airin dengan napas memburu.
“Maaf, kami tidak mengerti. Anda seorang diri di sini, Nyonya,” ucap Dokter tersebut yang justru semakin membuat Airin menangis.
"Tidak, jangan sampai Mas Satya membawanya," gumam Airin yang berusaha menggerakkan tubuhnya dengan susah payah.
Bersambung~
Nanti kita ketemu Cheryl kecil ya.. Papa dan Mama Macan yang masih muda setelah mereka bersatu kembali 😍
Rico menelan salivanya dengan kasar ketika mobil yang ia kendarai berhenti tepat di pelataran rumah megah nan mewah di hadapannya. Helaan napas panjang ia embuskan sebelum akhirnya turun dan keluar dari mobil.
“Selamat pagi, Tuan, Nyonya, Nona Kecil,” sapa Rico menundukkan kepala.
Tidak ada sahutan apa pun dari bosnya. Rico memberanikan diri mengangkat kepala, kembali bersitatap dengan Tiger yang mengetatkan rahangnya. Sorot mata biru itu tampak kilatan kemarahan yang siap mencabik-cabiknya. Bergeser pada Cheryl—sang nona kecil yang berada dalam gendongan ayahnya, gadis itu pun memberi tatapan yang sama seperti sang ayah.
“Uncle! Kenapa baru sampai? Cheryl udah telat!” marah gadis cilik berseragam TK Internasional dengan rambut berkepang dua. Lengannya memeluk leher sang ayah.
“Maaf, Nona Kecil.” Tidak ingin mengeluarkan banyak alasan, karena hal itu sangat dibenci oleh Tiger.
“Sudahlah, masih ada waktu, Sayang. Rico, enggak usah ngebut. Ayo, Sayang.” Jihan menyela, ia mengulurkan kedua tangan untuk meraih tubuh putrinya. “Buruan berangkat! Nanti kamu juga terlambat. Katanya ada meeting penting,” sambung Jihan mengusap lengan sang suami yang masih bergeming menatap tajam Rico.
“Emmm.” Hanya itu sahutannya. Tiger lalu mencium kening sang istri, kemudian mencium kedua pipi putrinya. “Baik-baik di sekolah ya princessnya papa. Love you,” ujarnya membungkuk untuk menyamakan tinggi dengan Cheryl, menggesekkan hidung mancungnya pada hidung gadis cilik itu.
“Love you too, Papa!” Cheryl tersenyum lebar sembari melambaikan kedua tangan kecilnya.
Rico buru-buru membukakan pintu penumpang belakang, setelah Jihan masuk segera menutup dan kembali ke kursinya di balik kemudi. Namun suara Tiger menghentikannya.
“Jangan ngebut! Tapi harus sampai sekolah tepat waktu! Bisa kuledakkan kepalamu! Aku selalu memantau kecepatan mobilmu!” seru Tiger memperingatkan dengan suara dinginnya.
“Siap, Tuan!” sahut Rico tegas walaupun dalam hati bergidik. Ia membungkuk lalu bergegas masuk mobil dengan langkah terburu-buru.
Jantung Rico berdegup dengan sangat cepat. Tangannya menyeka bulir keringat yang muncul di dahinya, lalu menyugar rambutnya ke belakang agar tetap rapi. Lebih tepatnya, mengurai kegugupannya.
Mobil mulai berjalan dengan perlahan. Cheryl masih asyik berceloteh dengan sang mama. Sesekali bernyanyi riang sambil menggoyang-goyangkan kepala, hingga kepang duanya terayun mengikuti gerakannya.
“Emm ... anak mama makin pinter aja sih,” puji Jihan mencubit kedua pipi gembil Cheryl dengan gemas.
Tak sengaja pandangan Jihan terangkat, setelah anak gadisnya terdiam dan memilih melihat jalanan di luar jendela. Ia suka sekali mengamati setiap jalan yang dilalui. Apalagi yang banyak simpang atau bundaran. Matanya berbinar menatap mobil-mobil yang berjajar rapi melintasi jalur yang sama.
“Rico!” teriak Jihan tiba-tiba dengan mata membelalak lebar.
Rico terjingkat kaget dari duduknya, “Astaga Jihan! Untung nggak punya penyakit jantung!” balas Rico berdecak kesal.
Jika tidak ada Tiger, mereka berdua sudah seperti sahabat sejak pertemuan mereka pertama kali. Di mana waktu itu, Rico ditunjuk oleh Tiger sebagai bodyguard sang istri. Karena seumuran, keduanya pun cepat akrab, hingga sekarang.
“Anak siapa itu, hah? Kamu punya anak di luar nikah ya?” sentak Jihan menarik ujung rambut Rico membuat lelaki itu mengaduh kesakitan.
“Aduduh! Sakit, Ji! Lepas, bahaya nih, lagi nyetir,” elak Rico memiringkan kepala, mengikuti cengkeraman tangan Jihan.
“Lagian tiba-tiba aja bawa anak. Hayo ngaku, siapa anak ini? Kamu sengaja ya sembunyiin dari kami semua!” seru Jihan dengan napas menderu. Ia terkejut sekaligus tidak menyangka jika lelaki yang selama ini selalu menjaganya itu punya rahasia besar.
Rico menghela napas panjang diiringi sebuah decakan kasar, melirik Jihan yang mengamati Rain dengan tatapan mengintimidasi. “Heh, jangan menatap Rainer seperti itu. Kamu menakutinya,” seru Rico.
Benar saja, Rainer terlihat ketakutan. Tubuhnya meringkuk di ujung pintu, napasnya terlihat berat. Hingga belaian tangan Rico sedikit membuatnya menoleh. Mata Rain sudah berkaca-kaca, tubuh kecil itu tampak gemetar.
“Jangan takut, ada aku!” ucap Rico menaik turunkan kedua alisnya.
“Tuh kan, kamu enggak bener sih. Kamu punya hubungan gelap sama siapa? Kenapa tidak kamu nikahi saja wanita itu! Dasar pria tidak bertanggung jawab!” cerocos Jihan kesal. Ia tidak terima jika ada lelaki yang mempermainkan perempuan.
Cheryl turun dari jok mobil, berdiri di celah kursi pengemudi lalu menoleh pada Rainer. Mata biru gadis cilik itu tampak berbinar. “Uncle, dia siapa? Hai, aku Cheryl,” ucapnya dengan senyuman yang menggemaskan. Tapi Rain hanya diam saja, masih mengatupkan bibirnya rapat. Hanya menatap Cheryl dalam diam.
“Dengerin dulu. Aku enggak tahu dia anak siapa. Nona Kecil, namanya Rainer. Emm ... sepertinya dia tidak bisa berbicara. Rain sama sekali tidak bersuara sejak aku menemukannya semalam.” Rico memperkenalkan anak itu.
“Gimana bisa kamu enggak kenal? Kamu saja sudah tahu namanya?!” sentak Jihan masih tak percaya.
Rico menggaruk keningnya yang sangat gatal. Jihan memang selalu menyebalkan baginya sejak dulu. “Aku yang memberinya nama itu. Karena aku menemukannya pas hujan deras,” sanggah lelaki itu menginjak pedal rem tepat di depan sekolah Cheryl.
“Aiss! Tunggu aku antar Cheryl dulu, kamu harus jelasin semuanya. Sayang, ayo turun dulu. Tuh hampir ditutup gerbangnya!” ajak Cheryl membuka pintu mobil, membawakan sebuah tas ransel berwarna cokelat, bertuliskan nama Cheryl. Tas khusus yang disediakan oleh sekolah dan senada dengan semua murid di TK tersebut.
Sudah ada beberapa guru yang berdiri menyambut beberapa muridnya. Jihan berjongkok, merapikan dasi kupu-kupu anak gadisnya. “Mama, nanti aku mau main sama anaknya Uncle Ric. Jangan boleh pergi ya, Ma,” pinta Cheryl.
“Iya, Sayang. Udah sana masuk.” Jihan mengecup pipi dan kening putrinya. Gadis cilik itu bersorak, mencium tangan sang mama lalu berlari kecil ke arah salah satu gurunya.
“Bye, Sayang. Selamat belajar,” teriak Jihan melambaikan tangan sampai anaknya tak terlihat.
Buru-buru ia kembali ke parkiran, penasaran dengan anak laki-laki yang tampak memprihatikan.
“Ayo ke butik, jelasin di sana!” titah Jihan setelah duduk.
...\=\=\=000\=\=\=...
Tiga puluh menit setelah menempuh perjalanan, Jihan sampai di Butik Anastasia. Butik yang ia kelola sendiri dari nol. Jihan turun terlebih dahulu untuk menyapa para karyawannya. Diikuti Rico yang segera membuka pintu untuk Rainer.
“Ayo, Rain. Kita hadapi wanita cerewet dan Kang Kepo itu!” ajak Rico melepas seatbelt yang membelit tubuh Rainer.
Rain bergeming, tatapan polos dan ketakutannya, benar-benar membuat hati Rico tersentuh. Senyumnya mengembang hingga kedua lesung pipinya terlihat jelas, “Selama aku di sisimu, jangan pernah takut pada siapa pun!” Rico berusaha menghibur dan meyakinkan Rainer.
“Ayah!” sebut anak lelaki itu membuat Rico membelalak lebar.
Bersambung~
Ini uncle Ric yang tetep kece walaupun nggak mandi 😆
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!