"Kamu apa sudah yakin, Nduk, sama pilihan kamu itu?" Kembali Bu Asih mencoba menggoyahkan keputusan Lana.
Saat itu, entah bagaimana semuanya tampak telah sempurna di mata Lana. Sosok Galih dengan wajah teduh serta sikap dewasanya mampu mengambil seluruh simpati serta rasa kekaguman hanya tertuju padanya.
Bagaimana tidak, Lana yang saat itu telah berusia 25 tahun, memang telah menanti-nantikan datangnya seorang pria yang sesuai dengan gambarannya, dan langsung mengajak melangkah menuju jenjang serius.
Lana menjawab dengan nada pasti dan penuh keyakinan, "Iya, Bu. Lana sudah memikirkannya betul-betul. Mas Galih yang terbaik di antara teman priaku yang lain. Memangnya Ibu ada ganjalan dari dirinya?"
Ia pun menanyakan pendapat Bu Asih sebagai penghormatan kepada ibunda tersayang yang tentunya menginginkan yang terbaik untuk putrinya. Namun, sesungguhnya saat Bu Asih mengungkapkan keberatannya pada saat itu, serta merta aku menyanggah dengan berbagai alasan.
"Bukankah ada itu si Nak Arman yang sepertinya lebih mapan dalam hal pekerjaan? Dia kan juga sudah sering ke sini untuk menanyakan kesediaan mu menikah, Lan?"
"Iya, Bu. Tapi Lana nggak ada rasa sama Mas Arman. Sudah Lana pikirin bolak-balik, tapi memang rasanya Lana cuma sreg sama Mas Galih, Bu." Lana berkeras dengan keputusannya.
Begitulah memang wataknya. Kalau sudah menginginkan A, maka harus kesampaian A. Keteguhan sikap yang kini baru disadarinya bahwa itu adalah sebuah bentuk dari kekerasan hati yang susah untuk dinasehati. Andai saat itu ia mendengarkan nasihat sang ibu ....
***
"Ini ibuku, Lana. Kenalin, Bu. Ini Lana, Insya Allah akan jadi calon menantu Ibu ...," ucap Galih, memperkenalkan Lana kepada Bu Tutik yang saat itu tampak bersahaja, kalem dan sabar.
Astaga, kalau sudah cinta, segalanya begitu tampak sempurna. Bahkan, Lana sempat pula mengabaikan petunjuk-petunjuk penting tentang sifat asli Bu Tutik yang sesungguhnya telah terdeteksi semenjak awal jumpa.
"Iya, Nak. Ibu setuju saja kalau kalian sudah memutuskan untuk ke jenjang serius," ucap sang calon ibu mertua Lana waktu itu. Cukup melegakan hati sepasang pemuda yang tengah berdebar penuh kegugupan.
Lantas, beliau melanjutkan dengan nada penuh penekanan,
"Hanya saja, yang ingin ibu sampaikan, bahwa apa pun nanti yang akan terjadi, si Galih ini harus tetap berada di rumah ini. Karena anak ibu tinggal Galih saja yang masih bisa diharapkan member samai. Abangnya sudah tinggal jauh di Malang sana."
Deggg!
Jantung Lana mencelos mendengar kalimat itu. Tadinya gadis itu mengira, dengan penampilan ndesonya, wanita yang telah melahirkan Galih itu hanya akan menyampaikan petuah-petuah biasa saja seperti wanita tua pada umumnya.
Oh, rupanya ia telah salah mengira. Kekerasan sifat dan kehendak Bu Tutik seharusnya telah disadarinya saat itu juga. Namun, lagi-lagi mata Lana tersaput oleh tipuan rasa bernama cinta.
Diabaikannya banyak pertanda hanya demi menghalalkan hubungan dengan Galih. Mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa atas nama cinta, hidup mereka nantinya pastilah bahagia di mana pun berada.
Tapi nyatanya, beberapa kejadian sesungguhnya telah memberikan gambaran. Sifat-sifat nyeleneh Bu Tutik mulai banyak terlihat dari tingkah laku beliau yang diamati setiap kali bertemu.
Tetap saja, sebelum itu Lana terlalu mengedepankan rasa. Semua pertanda dipungkas dengan kesimpulan bahwa semuanya akan baik saja. Kehidupan mereka kelak akan sempurna, karena mereka dua orang yang saling cinta.
Ck! Hidup pada kenyataannya tak semudah itu, kawan. Lana mulai menyadarinya perlahan. Kehidupan rumah tangganya mulai runyam bahkan semenjak seminggu setelah menikah, kala ia resmi pindah satu atap dengan mertua.
Memang dirinya dan Galih berasal dari dua keluarga yang berbeda perekonomian. Keluarga Lana termasuk berada, meskipun bukan kaya raya. Minimal, dia selalu mendapatkan apa pun yang dikehendaki semasa kecil dan selama masih single.
Sementara keluarga Galih termasuk kalangan menengah ke bawah. Keluarganya terbiasa hidup susah di masa lalu. Dan meskipun sudah membaik karena Galih sudah mendapatkan pekerjaan yang lumayan berpenghasilan, tetapi perilaku irit dan pelit yang telah sejak kecil ditanamkan oleh orangtuanya melekat erat dalam diri suaminya itu.
Perbedaan di antara sifat-sifat Lana dan keluarga Galih sangat jelas terbaca. Ibu mertua yang pelit dan super irit, harus dipertemukan dengan menantu yang terbiasa loyal dan boros.
"Jangan ikut arisan di Mbak Intan, ya, Lan." Suatu kali Bu Tutik bersabda. Iya, bersabda. Karena sabdanya adalah serupa perintah tanpa bisa ditolak oleh seisi rumah. Pun juga Lana, yang notabene hanya sekedar menantu.
"Kenapa nggak boleh, Bu?" tanya Lana yang langsung tersentil oleh larangan aneh itu.
"Ya soalnya buat apa nyisihin uang di orang? Sebaiknya disimpan sendiri aja. Bisa diambil kapan aja, gak ada yang nagih-nagih juga." Oke, alasan yang masuk akal, pikir Lana pada awalnya.
Namun, ada alasan lain yang membuatnya tak berkenan begitu saja menuruti larangan absurd sang ibu mertua tersebut.
"Mas. Aku kan nggak enak sama semua ibu-ibu PKK. Mereka semua ikut, loh. Itu kan arisannya semacam ajang silaturahmi perkumpulan tetangga kita. Sarana kekompakan. Semuanya ikut masa' aku nggak, sih?" rengek Lana kepada Galih malam harinya, ketika mereka sedang akan tidur di kamar.
Galih membelai rambut istrinya pelan. Suami yang lemah lembut itu selalu saja menasihati sang istri dengan halus agar tak membantah ibunya–sang penguasa rumah!
"Sudahlah, Dek. Nurut aja kita sama Ibu, ya. Kan juga bukan kewajiban toh, ikut arisannya?"
"Ya emang gak wajib, sih, Mas. Tapi kalau semua tetangga ikut, masa' iya aku nggak ikut sendirian? Gimana gitu rasanya. Aku malu. Terlebih aku termasuk pendatang di sini. Aku kan perlu bersosialisasi," bantah Lana yang tahu betul ibu mertuanya itu tipe penyendiri yang jarang sekali berbaur dengan tetangga sekitar. Apalagi namanya berbagi, akan sulit sekali ibu mertuanya itu memberi miliknya pada tetangga barang secuil.
Telah banyak omongan miring soal ibu mertua yang masuk ke telinga Lana meski ia belum berniat membukanya kepada sang suami. Lana tak tega menyakiti hati lembut Galih.
"Gak perlu ikut, Dek. Gak usah bantah. Soal bersosialisasi kan bisa dengan jalan lain selain ikut arisan," pungkas Galih kala itu. Padahal, Lana tahu alasan sang suami menolak pintanya adalah karena dia memang tak pernah berniat menyanggah titah Bu Tutik.
Oke, memang kewajiban putra adalah patuh kepada sang bunda. Tapi, kalau ajaran-ajarannya membuat mereka jauh dari tetangga apa itu harus dituruti juga? itulah yang menjadi ganjalan hati Lana.
Di lain waktu, Bu Tutik juga bahkan melarang Lana ikut bertandang ke tetangga yang sedang punya hajat.
"Tidak perlu ke sana. Toh, kita tidak kecipratan apa-apa," sergah Bu Tutik ketika menantunya akan ke rumah Mbak Siti yang hanya berjarak tiga rumah saja dari mereka. Mbak Siti sedang mengkhitankan anaknya. Dia memang tak menyelenggarakan pesta, hanya syukuran kecil saja, karena tetangganya juga bukan orang berada.
Namun, semua tetangga berbondong datang untuk sekedar bantu-bantu baik tenaga dan juga pikiran. Dan serta memberi aneka bawaan serupa amplop, kue ataupun sembako. Wujud gotong royong dan kebersamaan masih begitu kental sebenarnya di lingkungan ibu mertuanya.
"Tidak, Bu! Aku tetap akan ke sana! Terserah Ibu saja kalau maunya jadi omongan orang! Aku sih, nggak!" jawab Lana kala itu. Hal mana langsung membuat Bu Tutik mendelik tajam. Dalam hati sang ibu merasa tak suka dengan menantunya.
Ia yang selama ini menjadi ratu dirumahnya. Ia tak pernah di bantah oleh anak-anaknya. Dan kini menantunya susah diatur. Bahkan membantahnya.
"Awas kamu. Tunggu nanti Galih Pulang!" Gerutu Bu Tutik geram.
"Udah Ibu bilang jangan pergi, Lana!" Mata Bu Tutik semakin membola menampakkan rasa tak suka.
Sepertinya ia terkejut melihat menantunya berani melawan. Hal itu karena Lana sudah sangat kesal. Seenaknya saja mertuanya melarang ini dan itu yang dimana alasannya tak masuk akal dan terkesan 'she is queen in the hosue' serta juga melarang pergi ke tetangga sebelah rumah yang ada hajat dengan alasan uangnya eman-eman? Di mana sisi bersosialisasi yang umumnya ada di desa itu masih begitu di jaga.
"Kenapa gak boleh, sih, Bu? Ibu harusnya malah ikut sama Lana loh ke sana. Lihat tuh, tetangga-tetangga juga pada dateng sama ibu mertuanya. Kan ibu asli orang sini. Toh kemarin pernikahan Mas Galih juga dibantu Tetangga," ujar Lana, mencoba memberikan masukan pada sang mertua yang dari hari kehari selalu saja ada yang tak ia sukai dari sang ibu mertua dari sudut pandangnya sebagai menantu.
"Si Siti itu nggak menghargai ibu, Lan. Dia nggak ada bilang sama ibu jauh-jauh hari kalau mau khitanin anak. Kan biar ibu bisa siap. Kalau sekarang, ibu nggak ada uang," jawab Bu Tutik ketus.
Lana sedikit mendengkus kesal. Ia tahu betul ibu mertua begitu perhitungan dan selalu mengatakan tak punya banyak uang. Dia selalu pandai menyiasati pembelanjaan agar seirit mungkin sehingga uang simpanannya pasti lumayan, tetapi untuk urusan berbagi jangan harap akan keluar sepeser pun. Terlebih, untuk belanja rumah semuanya memakai uang dari Galih. Artinya uang pensiun dari almarhum ayah mertua utuh, entah karena memang penyakit atau memang karakter.
Ibu mertua Lana itu sangat hati-hati sekali untuk urusan uangnya. Baginya jika orang ingin hidup harus bekerja dan berusaha. Tak boleh minjam atau menyusahkan orang lain.
Lana tahu persis jika uang pensiunan setiap bulan semenjak dirinya disana tak pernah keluar untuk kebutuhan sehari-hari. Ia dan suaminya lah yang mencukupi kebutuhan keluarga.
" Bisa-bisanya beliau bilang nggak ada uang? Ish," Lana membatin kesal dalam diam.
Akhirnya Lana menawari memberi amplop berisi uang hanya agar mereka tampak berdua datang ke rumah Mbak Siti. Lana benar-benar merasa tak enak kalau tidak datang, sementara rumah mereka berdekatan. Ia juga tak ingin tetangga tahu jika mertuanya termasuk orang yang pelit juga susah bergaul atau Guyup. Padahal jauh sebelum Lana menjadi anggot keluarga itu. Sang ibu sudah memiliki tabiat seperti itu.
"Nggak usah! Kemarin juga nggak ngundang secara langsung ke sini, kok! Huh, tetangga macam apa?" Sambil mengumpat kesal, Bu Tutik masuk ke dalam kamar tanpa lupa membanting pintu di belakangnya.
Lana hanya menggelengkan kepala, mencoba memaklumi. Mungkin semakin tua memang membuatnya jadi semakin perasa. Tapi tetap saja, hati Lana tak terima kalau sampai dilarang berbuat yang sepatutnya apalagi Lana berprinsip, jika suatu saat ia pun akan merepotkan tetangga. Terjadi sesuatu dengan dirinya atau penghuni rumah tersebut maka tetangga jugalah yang akan pertama membantu, saudara kandung di luar kota belum tentu detik itu juga saat musibah datang akan hadir secara dzohir.
"Cukup ibu saja yang jadi buah bibir orang. Jangan sampai aku pun demikian!" Batin Lana yang sering mendengar gosip-gosip tetangga yang sering menceritakan aib mertuanya namun kadang masih selalu ditutupi oleh Lana dan dibelanya. Bagaimanapun bagi Lana, mertua adalah orang tua.
Namun dalam realitanya ia harus berkali-kali mengelus dada karena tingkah sang ibu mertua.
Akhirnya Lana berkeras pergi ke rumah Mbak Siti. Di sana, benar saja yang ia takutkan terjadi. Spontan Lana menjadi bahan lirikan dan bisik-bisik cemoohan.
"Kan, apa aku bilang. Ibu susah sekali diberi masukan." Batin Lana di tempat Bu Siti.
Para tetangga pun bak kuali atau dandang bocor, kalau berbicara kadang tak memandang yang diajak berbicara siapa. Bisa-bisanya mereka menyindir mertua Lana di hadapan Lana.
"Ibu mertuamu kemana, Nduk? Kok sendirian aja?" sapa Bude Darmi yang terkenal sebagai biangnya gosip di lingkungan kompleks perumahan itu.
"Gawat, harus jawab apa nih?" Pikir Lana bertanya-tanya dalam hati.
"Anu, Bude. Lagi kurang enak badan," dusta Lana sembari mengalihkan tatapan karena biasanya matanya tak dapat menyembunyikan kejujuran.
"Ooh ... Tutik itu sering sakit-sakitan, ya? Mungkin efek kurang sedekah," komentar Bulik Harti yang dengan telak berhasil membuat pipi Lana memanas menahan malu.
"Please, lah. Apa harus selalu begini nasib ku ketika mencoba bersosialisasi dengan para tetangga sekitar? Serasa ikut dikata-katai langsung di depan muka sendiri, hiks." ingin membela namun realita adanya.
"Biasa Bu namanya juga orang tua." Ucap Lana pada para tetangga demi masih menutupi tabiat mertuanya yang keras, arogan dan pelit.
Tapi mau bagaimana lagi? Kenyataannya memang ibu mertuanyalah yang begitu keterlaluan. Tidak tahu malu dan tidak punya empati sama sekali.
Lalu, ada lagi kejadian di mana seorang tetangga Bu Tutik kecelakaan. Spontanitas beberapa yang dekat langsung sambang dengan membawa bawaan sekedar buah tangan. Namun, apa yang terjadi kala itu sungguh membuat Lana mengurut dada dan harus menebalkan muka saking malunya!
Lana yang baru beberapa hari tinggal di sana, masih malu-malu dan belum mengenal baik bagaimana kebiasaan warga di sana termakan perkataan Bu Tutik yang bilang di sana tidak perlu membawa apa-apa ketika mengunjungi yang sakit.
"Aku bawa amplop saja, ya, Bu?" tanya Lana meminta persetujuan sang ibu mertua kala itu. Soalnya kalau harus membeli apa-apa dulu, ia pun masih malu-malu di lingkungan situ.
Namun, Bu Tutik malah menjawab hal yang entah kenapa saat itu Lana tak mencurigainya sebagai sebuah hoax yang super parah. Definisi pelit yang sesungguhnya!
"Tidak usah. Dengan berkunjung saja mereka udah senang. Kalau bawa apa-apa malah Bu Dewi itu akan ngomel biasanya. Dia suka merasa tersinggung kalau ada tamu membawa-bawa makanan. Kan dia termasuk orang yang berada," jawab Bu Tutik waktu itu.
Lana sebagai warga pendatang baru tentu saja menuruti perkataan itu. Nah, siapa sangka ketika benar mereka telah tiba di sana, beberapa saat kemudian datang pula beberapa rombongan tetangga yang ramai-ramai dengan buah tangan mereka masing-masing.
Habislah sudah! Muka Lana mendadak panas memerah malu tak terkira karena ia terlanjur mematuhi perkataan Bu Tutik yang melarang membawa apa-apa. Diperhatikannya saat itu Bu Dewi pun tidak menolak ketika menerima pemberian mereka.
Akhirnya, mereka pulang berbarengan dengan rombongan lain dengan Lana yang memendam kesal luar biasa serta malu sekali kepada Bu Dewi sekeluarga. Dalam hati ia bertekad besok akan membawakan Bu Dewi buah tangan dalam kunjungan sesi kedua. Tentu saja kali itu tak lagi dia mengajak sang ibu mertua super pelitnya itu.
"Lho, apa aja ini, Lana? Kok repot-repot sekali kamu ini, sih?" Bu Dewi menyambut kedatangan Lana esok harinya
"Ah, hanya ini, Bu. Tadi sekalian belanja di pasar soalnya," jawab Lana ikut berbasa-basi sembari menanyakan kondisi Bu Dewi.
Setidaknya ia berusaha untuk tidak mengikuti label yang telah melekat dalam diri ibu mertuanya. Peduli amat Bu Tutik mau dikenal orang seperti apa, yang jelas Lana harus jadi seperti versi biasanya, tekad Lana dalam hati.
"Mas, di sini emang sepi sekali, ya. Nggak ada teman ngobrol deh aku rasanya," keluh Lana suatu ketika kepada Galih.
Dan itu memang fakta. Ibu mertuanya yang absurd itu sering tidur di pagi hari dan kalau malam baru mengeluh tak dapat tidur lalu sok lemah karena kondisi itu. Hal mana selalu saja berhasil menarik simpati putranya.
Galih akan cemas, menawarinya makanan apa saja, mengajaknya kontrol kesehatan dan lain sebagainya yang menurut Lana terlalu lebay karena ia tahu sendiri ibu mertuanya itu cuma salah jam tidur saja!
"Ya ngobrol sama Ibu kan bisa, Dek." Jawab Galih tanpa tahu bagaimana rutinitas ibunya sehari-hari karena dia kerja dari pagi hingga sore.
"Ibu itu tidurnya pagi, Mas. Sementara aku kan tidurnya siang. Jadi kami seperti rolling shift," jawab Lana sambil sedikit tertawa, dan juga sengaja sedikit memberikan nada keberatan dalam suaranya untuk membuat Galih mengerti apa masalah mereka.
Suaminya itu seperti biasa merespon tiap keluhan Lana dengan mencarikan solusi lainnya.
"Ya kalau gitu ngobrolnya sama Mbak Yanti atau Mbak Erlis kan bisa, Dek," sarannya menyebutkan dua nama tetangga terdekat dari rumah mereka.
"Tapi mereka juga nggak pernah nongkrong di depan rumah, Mas. Kan aku jadi susah. Masa' aku harus bertamu ke sana? Kan malu!" Terus saja Lana mengeluhkan ini dan itu.
Lana memang cukup heran karena kondisi di situ jauh berbanding terbalik dengan di rumah lamanya. Ibunya sendiri biasanya pemegang arisan kerukunan RW sehingga seringkali ada perkumpulan di rumah mereka. Terlebih karena di rumah, Bu Asih juga membuka toko sembako, jadi hilir mudik saja tetangga yang beli sekalian bercakap-cakap cukup lama bila tak sedang sibuk urusan rumah masing-masing.
Kalau orangnya pelit begini mana ada tetangga yang mau dekat? Pikiran Lana menarik kesimpulan sendiri. Alhasil, ia memang terus saja merasa kesepian di rumah itu. Satu-satunya keinginan Lana waktu itu ialah ingin segera habis masa cuti dan kembali bekerja lagi. Setidaknya dengan begitu, ia bisa kembali tenggelam dalam pekerjaan seharian, dan bukannya larut dalam kekesalan akibat ulah Bu Tutik sang mertua!
(Hai readers, please jangan judge siapapun karena judul dan cerita ini. Ini hanya khayalanku saja. Bukan berarti mertua semua jahat. Mertua ku justru sangatlah baik. Bahkan nyaris seperti orang tua kandung. Namun berdasarkan dari berbagai curhatan para menantu yang senasib. Aku coba tuangkan di cerita ini. semoga suka. Please Tak ada maksud menjelekan para mertua dimanapun berada. Peace buat para ibu-ibu mertua 🥰🥰🥰😍😍)
Dia lah Lana Mariana. Istri dari Galih Hermawan yang dipaksa takdir untuk tinggal di rumah mertuanya. Tak mengapa bila mertuanya sama baiknya seperti ibunya sendiri, atau paling tidak, tak memiliki banyak sekali perbedaan sifat dengan Lana.
Nyatanya, mereka berdua sungguh berbeda. Hal mana membuat hari-hari yang dilalui di rumah itu, senantiasa menggoreskan luka bagi keduanya. Sikap keduanya yang sama-sama kerasnya membuat keadaan semakin memburuk.
Ketika Lana sudah mulai bekerja kembali, ia merasa semuanya akan berubah lebih baik. Ia sibuk sekali dalam pekerjaannya, sehingga ketika pulang, yang dibutuhkannya adalah me time bersama sang suami sambil beristirahat.
Tapi apa yang didapati? Lana selalu harus menjadi nomor dua. Galih akan terus memprioritaskan kepentingan ibunya. Menanyai sang ibu sudah makan atau belum, menanyai keluhan kesehatannya hari itu, juga mendengarkan ibunya bercerita panjang lebar entah tentang apa saja.
Oke, semua akan merasa bahwa perasaan Lana itu serupa istri yang pencemburu terhadap mertuanya sendiri saja. Memang benar, tetapi bukankah naluri seperti itu wajar dimiliki seorang wanita, terlebih yang masih suasana pengantin baru?
Apalagi bila melihat kelakuan Bu Tutik yang memang terlalu over terhadap Galih. Saat Lana dan suaminya memilih bepergian berdua saja di hari Minggu misalnya, Bu Tutik akan berkali-kali menelepon Galih. Tidak ada yang penting, sungguh. Terkadang malah hanya memastikan bahwa mereka tidak pergi terlalu jauh. Astaga!
Lantas, ketika Lana yang adalah anak perempuan satu-satunya juga dalam keluarga, Bu Asih meminta Lana sering-sering menginap bersama Galih di rumah mereka. Maka, Bu Tutik hanya akan memperbolehkan Lana saja yang menginap, sementara Galih harus tetap tidur di rumah. Ya ampun! Bukankah itu sudah keterlaluan?
Lantas, siapa sebenarnya di sini yang pencemburu? Lana kah? Atau Bu Tutik? Untungnya Galih selalu menjadi penengah di antara kedua wanita pencemburu yang sama-sama seolah sedang memperebutkan perhatian darinya itu. Ia selalu berusaha adil kepada keduanya meskipun tentu masih tampak tidak adil bagi Lana.
Belum lagi soal perbedaan selera makanan. Baiklah, soal ini Lana mampu mengalah dengan sikap yang cukup baik. Ia tak pernah mengeluh makan apa pun yang disediakan oleh Bu Tutik.
"Biar ibu yang masak. Kamu kan capek kerja," ujar Bu Tutik pada suatu sore.
"Ah, nggak apa, Bu. Aku masih bisa, kok, belanja pagi dan masak untuk sarapan. Sorenya nanti juga bisa masak lagi untuk makan malam. Ibu masak buat makan siang aja. Kan aku dan Mas Galih makannya di kantor," jawab Lana tak enak hati kalau harus merepotkan mertuanya itu.
"Tidak apa, biar Ibu saja. Ibu suka mengantuk kalau pagi tidak ada yang dikerjain," bantah Bu Tutik berkeras.
Tentu saja kemudian Lana setuju. Ia memang merasa kesibukan akan jauh lebih baik bagi Bu Tutik agar tak tidur di pagi hari.
Akhirnya disepakatilah bahwa mulai hari itu Bu Tutik yang belanja dan memasak. Meskipun, Lana tiap pagi juga selalu ikut berkutat di dapur, bantu-bantu.
Awalnya kondisi aman, meskipun Lana semakin hari semakin merasa kurang cocok dengan masakan sang ibu mertua. Rasanya menunya itu-itu saja. Masakan mode irit seperti kebiasaannya sendiri. Padahal, menurutnya uang belanja yang untuk makan sudah dijatah dengan secukupnya. Kalau untuk makan menu yang lebih baik pun masih akan berlebih. Toh, untuk Bu Tutik sendiri juga sudah ada uang jatah khusus dari Galih. Ah, ia jadi ingin sekali belanja dan masak sendiri lagi seperti saat sebelum kerja.
Akan tetapi, karena tak ingin menyinggung perasaan ibu mertuanya, ia pun mengalah dan memakan apa pun seadanya yang dimasak. Tak pernah disuarakannya keluhan sama sekali.
Sampai suatu ketika, Lana mendapati hal yang membuatnya kembali mengurut dada. Suatu sore Lana mencari-cari teflon untuk menggoreng penggorengan kering di rak barang karena yang lain masih basah di rak cuci. Betapa terkejutnya saat di balik tumpukan panci ia menemukan sekotak empal suwir.
"Lah? Kenapa ada makanan di sini? Jangan-jangan Ibu lupa taruhnya ini," gumam Lana lantas metetakkannya di meja makan bersama lauk lainnya.
Hari itu ibu mertuanya masak kuah rawon dengan tempe goreng dan sambal goreng tahu sebagai lauknya. Pasti cocok dengan empal suwir tersebut, pikirnya.
Dan ketika malamnya mereka bertiga makan malam bersama, wajah Bu Tutik tampak terkejut melihat hidangan di meja. Matanya langsung melirik ke arah Lana penuh tanya.
Lana yang tak tahu apa masalah sang ibu mertua pun hanya mengabaikannya tanpa prasangka.
Ketika suapan pertama, barulah ia ingat kejadian penemuan empal suwir itu. Ia kemudian berkata.
"Oh, iya, Bu. Ini tadi aku nemu empal suwirnya di rak panci masa'?"
Bu Tutik langsung tersedak hingga terbatuk beberapa saat lamanya. Galih dengan sigap berdiri dan membantu menepuk-nepuk punggung sang ibu dan Lana yang menuangkan air putih dalam gelas dan mengulurkannya.
Bu Tutik lantas meminum air tersebut dan kemudian menghela napas demi melegakan tenggorokannya terlebih dulu.
"Eh, anu ... Ibu lupa tadi naruh di mana. Ya ampun, Ibu tadi sempat nyari-nyari juga. Maklumlah sudah tua," jawab Bu Tutik akhirnya.
Kejadian itu berlalu begitu saja meski sedikit membekas dalam ingatan Lana. Dan beberapa hari kemudian, hari Minggu di mana ia libur kerja dan seringnya memutuskan bersih-bersih dan beberes seluruh rumah, lagi-lagi Lana menemukan irisan daging bumbu kecap di mangkuk tertutup yang diletakkan Bu Tutik di kolong tempat tidurnya.
Lana yang sedang mengepel lantai seluruh rumah mulai curiga. Kali ini meletakkannya kembali di kolong semula, tanpa memindahkannya. Ia akan melakukan sebuah tes kecil untuk menguji kecurigaannya.
"Masa' sih, lupa naruh lauk itu bisa di kolong tempat tidur gini? Kalau lupa naruhnya pas ngambil panci sih bisa wajar," gumam Lana seorang diri.
Dan ternyata, Bu Tutik hari itu tak mengeluarkan daging bumbu kecapnya ke meja makan sama sekali. Di waktu makan siang maupun malam mereka makan sayur lodeh dengan oseng tahu tempe.
Lana tetap diam. Tapi kini ia sudah yakin akan satu hal. Rupanya, Bu Tutik masak lauk yang enak hanya untuk dirinya sendiri. Sementara yang dihidangkan di meja makan hanya yang menu sederhana saja.
Tak tahan menyimpan hal itu lama-lama, saat mengobrol sebelum tidur, Lana mengutarakannya kepada Galih. Ajaibnya, Galih langsung membela tindakan ibunya itu dengan berkata bahwa itu memang bertujuan untuk memberi contoh pada Lana agar hidup sederhana saja, seadanya.
"Lebih baik uang kelebihan belanja bisa ditabung daripada belanja menu yang selalu enak setiap hari, nanti akan menjadi kebiasaan hingga tak mau lagi makan sederhana," ujar Galih bernasihat.
"Bukan itu, Mas. Ibu tuh masak enak juga, tapi cuma buat dia sendiri!" Ucap Lana.
Ia berharap sang suami mampu menjadi tempat berbagi, dan partner untuk mencari solusi atas apa yang menjadi masalah bagi istrinya. Namun berkali-kali sang suami selalu membela ibunya. Malam itu seolah kesabaran Lana habis. Ia tak mau diam lagi. Seperti sudah lama ia mengalah. Ia sudah mau tinggal satu atap dengan ibu mertua. selalu menutupi apa yang terjadi di rumah mertuanya. Tak pernah sekalipun Lana bercerita keburukan mertuanya kepada kedua orang tuanya.
Bagi Lana, ketika ia menikah dengan Galih maka ibu Galih adalah ibunya. Maka aib ibu Galih juga aibnya. Dan jika ia menceritakan hal itu pada kedua orang tuanya atau keluarganya maka akan timbul rasa benci atau tak suka pada ibu mertuanya. Dan itu membuat hubungan kedua keluarga tak harmonis atau akur. Maka sudah tugas setiap pasangan setelah menikah menjadi lem perekat.
Namun keterbatasan ilmu, terbiasa apa-apa demokrasi dirumahnya selama ia gadis. Belum lagi karakter ibu mertua yang aneh bin ajaib. Dan suami yang selalu membela sang ibu. Membuat Lana mulai tak sabar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!