NovelToon NovelToon

ROSETA

Masa Lalu dan Sekarang

(2019, Negara A)

Tempat ini bisa dibilang sempit, disamping kanan, kiri dan atas tergempit bahan berkayu. Jika diukur dengan meteran, mungkin hanya muat untuk badan tak lebih tinggi dan lebar dari satu meter saja.

Salah satu meja berkolom di ruang kerja lah yang sedang di buat jadi markas bersembunyi oleh buntelan kecil dengan gurat muka super serius dan tegang, jemari mungilnya sedang menari-nari di atas keyboards laptop yang ada di depannya, kombinasi rumit itu cepat di selesaikan untuk tujuan yang mungkin akan membuat hidupnya berubah, atau tidak?

Loading.

Loading.

Loading.

Not Found!

"Oke, aku akan mencoba satu kali lagi, semoga beruntung."

Lagi.

Bahkan untuk kali ini, keseriusan bertambah berkali-kali lipat, tangan lihai itu mengetik dengan kecepatan dua kali lipat, angka-angka di layar jika dilihat oleh orang awam pasti sangat membingungkan, tapi tidak untuk bocah kecil ini, semua yang terpampang di layar bagaikan makanan sehari-hari.

Klik.

Loading.

Loading.

Loading.

DNA matches!

Tangan mungilnya mengepal keudara, tawanya renyah dan hatinya berteriak gembira. "Awww," ia terpekik akibat lupa jika ia sedang bersembunyi di bawah meja hingga kepalan tangannya bertabrakan dengan kayu yang ada di atas kepala.

Sakit?

Pasti.

Tapi, rasa sakit itu terkalahkan dengan rasa bahagia yang membuat dada bertalu dengan hebat hingga sekantung senyuman lega lolos begitu saja. Ia telah menemukan apa yang seharusnya ia tahu.

"Yas, aku sudah berkali-kali mengatakan, jadi panggil aku jenius karena telah memenangkan permainan konyol ini." Bocah itu berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum smirk.

“Pertama, aku akan membuat arsip dulu.”

Setelah mengatakan itu, bocah cilik itu membuat satu dokumen yang berisi sesuatu yang baru saja ia dapatkan. Flash disk sudah tertancap di laptop itu ia jadikan eadah untuk menyimpan kenyataan penting yang akan ia bongkar suatu saat nanti.

“Lalu aku akan membuat satu draft dan dua buah email. Satu buatku dan satu buat adek.”

*Tak butuh verivfikasi* nomer telepon untuk sebuah email, bocah itu mampu membuat tanpa berbelit, memainkan jaringan media, internet adalah keahliannya, jadi tak butuh hal-hal seperti itu.

“Oke, aku simpan dulu draft ini, suatu saat aku akan mengirim untuk adek.”

Satu ketukan di sebuah tombol enter menjadi akhir dari bocah itu, karena semua sudah dibereskan dengan benar, sekantung informasi berharga telah ia dapatkan dan berbagai rencana selanjutnya sudah ia pikir dengan matang.

Sebuah pembalasan dendam. Mungkin tangan mungilnya belum mampu untuk meninju beberapa orang dewasa, nanti, ya, suatu saat nanti bocah itu akan mengepalkan sebuah punulan untuk satu-satunya orang yang memang pantas untuk mendapatkannya.

“Mommy, aku akan menjadi apapun untuk semua yang sudah kita alami bersama.”

Sembari mata berkaca-kaca, bocah itu mencabut flash disk dari laptop dan memasukkan ke dalam kantung celana.

"Kak….." suara panggilan itu berasal dari luar ruangan, bernada nyaring dan manis, sontak membuat pribadi yang bersembunyi di kolom meja membekap mulutnya sendiri.

“Aduh, gawat.” Maka, tak mau menunggu waktu lama. Bocah cilik yang bertransformasi sebagi spy dadakan di rumahnya sendiri itu semakin beringsut menyembunyikan diri. "Kakak masih punya waktu banyak untuk menjelaskan padamu dek, tapi tidak untuk sekarang.” ia bergumam sendirian.

Setelah ia mendengar suara ketukan langkah semakin menjauh dan menghilang, saat itu juga ia bisa bernafas dengan lega.

...\~\~\~...

(2022, Negara A)

"Mommy."

"Mommy."

"Hello, Mom? Mom...can you hear me?"

Bryna Samanta, gadis itu memanggil ibunya hampir putus asa sembari menuruni anak tangga, bersama bola basket tergapit antara pinggang dan tangan kirinya.

*"Mom*? Mom, where are you?" panggilnya lagi.

Tidak seperti biasanya Ibunya itu belum sadar dari mimpi. Tangan kanan Bryna menaruh ujung papan skateboard yang sedari tadi ia bawa untuk disandarkan di kursi makan.

"Ya Tuhan. Mommy dimana?" teriaknya lagi.

Bryna sangat yakin jika saat ini rumahnya bak sarang hantu tanpa penghuni makhluk hidup. Pemandangan di depannya begitu jelas terlihat. Tidak ada kehidupan, bahkan lampu gantung yang tiap Bryna bangun dari tidur sudah menyala di ruang tengah saja tak mengeluarkan sedikit cahaya. Hanya lampu kecil yang menempel di tembok menjadi penerang, remang-remang.

Praktis Bryna mengerutkan kening saat mata bulat sedikit lebar miliknya melihat kearah jendela dengan gorden menjuntai panjang kebawah, sedikit bergoyang karena tertiup angin, artinya, jendela tidak tertutup dengan baik.

Tapi bukan itu intinya. "Belum begitu terang," Bryna berbicara pelan.

Satu kenyataan muncul menyadarkan. Sedetik kemudian, Bryna menepuk jidatnya sebab benda bulat yang menggantung di dinding menunjukkan pukul lima pagi. "Pantas saja, pasti Mommy belum bangun."

Suara knop pintu terdengar lirih saat gadis berusia hampir delapan tahun itu mencoba untuk memutarnya. Dibalik sana, terdapat wanita terlentang secara tidak manusiawi di atas ranjang, kepalanya hampir jatuh ke langai karena menjuntai kebawah, sungguh memalukan mengingat usianya yang beberapa tahun lagi akan menuju kepala tiga.

Bryna menggeleng pelan setelah mengetahui bentukan tidur ibunya, gadis cilik berbalutkan kaos longgar itu perlahan memasuki kamar, mencoba untuk naik ranjang setelah melepaskan sepatu snakers miliknya.

"Mommy." gadis pemilik kulit tan itu menggoyangkan tubuh milik ibunya—Roseta Marveen.

Tak ada respon.

Perlahan dengan gerak begitu lamban, Bryna mencoba untuk menelungsup di balik selimut ikut tenggelam bersama ibunya dibawah sana.

"Eeeuuugh." Roseta yang belum sadar penuh itu melenguh, merasa ada yang mengganggu namun, sudah jelas dan sangat tahu siapa pelakunya, sontak saja dengan gerakan pelan, wanita cantik itu merengkuh putri semata wayangnya.

"Mom, Bryna rindu Daddy, kapan Daddy pulang?"

Roseta membuka matanya, mengulas senyuman sebentar, "Nanti sore sweetheart, besok kita 'kan harus berangkat ke Negara I."

"Yaaay, benarkah? Apa Daddy akan pulang sungguhan?" Mata Bryna sampai berbinar saking senangnya.

Roseta memilih diam dan hanya mengangguk semangat sebagai jawaban, yang sudah pasti membuat buah hatinya sunguh luar biasa senang.

"Semoga Daddy tidak melupakan skateboard pesananku."

Ya Tuhan.

Roseta baru ingat bahwa putri kesayangnnya itu selalu punya maksud tertentu dalam percakapan di pagi hari.

Kenapa bisa ia sampai lupa begini?

Tapi tunggu.

Roseta mengendus tubuh putrinya. "Adek sepagi ini wangi sekali." Wanita itu juga memindai penampilan Bryna. "Sudah rapi, mau kemana?" tanyanya kemudian.

*"Mau bermain basket dan skateboard*, Mom," jawabnya lugu.

"Harus pagi-pagi sekali ya?"

"Ayolah Mom, hari ini hari terakhirku di Negara A, berikan aku kesempatan untuk mengucapkan perpisahan dengan club basket dan skeatboard, ya?" pintanya memelas terlebih memohon.

Bryna bukanlah tipe gadis yang akan seenak jidatnya keluar rumah tanpa persetujuan dari orang tua, kecuali urusan yang sangat mendesak saja.

*"Iya sweetheart*, Mommy ijinin, apa sih yang enggak buat Bryna."

Jawaban Roseta disambut dengan binaran mata Bryna yang tampak berkilau.

Bahagia.

Hanya begitu saja membuat Bryna bahagia.

New Season

Angin sore Negara I atau lebih tepatnya di Kota Mawar yang semilir sejuk memasuki celah jendela mobil yang sengaja dibuka sedikit oleh Bryna. Nuansa baru dari jalanan kota tak jauh berbeda dengan Negara A, yaitu sama-sama memiliki gedung tinggi dan papan billboard besar terpajang di sepanjang bangunan.

Udara di Negara I tidak sama dengan Negara A. Bryna merasakannya, ada sedikit lega jika di sini tidak memiliki musim dingin ataupun salju yang akan membekukan jalanan. Jujur Bryna tidak suka dingin, tubuhnya secara rela menolak.

"Daddy, Mommy, apa boleh Bryna memilih sekolahan sendiri?" tanyanya kepada Jay yang menjadi kendali kemudi serta Roseta yang berada di jok sampingnya.

Bryna sedikit berlagak sok tahu mana sekolah yang bagus untuk menjadi tempat menempuh pendidikannya. Mendenar permintaan putrinya membuat Jay dan Roseta menyunggingkan sebuah senyuman.

"Oke, tapi coba kasih tahu Daddy dulu adek mau sekolah dimana? Biar Daddy sama Mommy rundingkan dulu, deal?"

Jay Argiato Samanta yang menjadi kepala keluarga memilih untuk menuruti namun mengajak berdiskusi juga, sekaligus mengajarkan Beyna menjadi anak yang tidak manja.

"Bryna memilih Roses Revolution Elementary School," ucapnya girang.

Langsung saja Jay dan Roseta saling memandang dengan kerutan di dahi mereka yang muncul bersamaan oleh sebab penasaran. Keduanya mencoba mencari jawaban atas permintaan anaknya yang diluar dugaan.

"Adek, Mommy mau tanya deh. Bagaimana adek bisa tau tentang sekolahan itu?"

Wajar bukan sebagai seorang Ibu yang tidak pernah mengajak Bryna untuk menginjakkan kaki di Negara ini dibuat kebingungan dan penasaran? Psalnya darimana anaknya itu tahu menahu tentang sekolahan itu? Pun pengucapan dan pelafalannya begitu fasih, seperti sudah terencana dan menjadi incaran.

"Ayolah Mom, di Negara A akses internet sangat lancar. Sudah cukup jelas bukan, Bryna mencari informasi dimana sekolahan terbagus seantero Kota Mawar, sekolah itu salah satunya, dan poin pentingnya lagi, letaknya begitu strategis Mom, dekat sekali dengan rumah sakit Marveen, Beyna bisa main ke rumah sakit sepulang sekolah, sambil menunggu Mommy pulang kerja," jawab Bryna menggebu.

Ya Tuhan, Roseta praktis menjatuhkan rahang. Kenapa disini ia yang justru terlihat bodoh dengan melupakan tingkat kecerdasan anaknya sendiri, wanita itu jadi malu. Bahkan dirinya pula yang memberi akses bebas untuk Bryna berselancar di dunia maya meski harus ia pantau setiap harinya.

Baiklah. Karena alasan Bryna sangat masuk di akal, maka Jay dan Roseta saling melempar pandang, menunjukkan isyarat hingga ijinlah yang keluar dari keduanya. "Daddy dan Mommy setuju sayang," jawab final Jay.

Sekolah yang bisa dikatakan kelewat mahal itu bukanlah hal sulit bagi Jay dan Roseta untuk masalah biaya. Bahkan, itu sangat mudah mengingat mereka termasuk orang yang sangat berkecukupan. Jay adalah seorang CEO perusahaan mobil yang sukses di Negara A bahkan ia bergelut di bidang otomotif lainnya, sedangkan Roseta seorang Dokter bedah, seperti yang dikatakan Bryna tadi.

"Yaaaaay......" sontak saja Bryna turun dari jok penumpang belakang, melonjak-lonjak kegirangan hingga mobil yang ditumpangi mereka bergoyang.

...\~\~\~...

Mungkin, hari Senin adalah hari yang menyebalkan untuk memulai aktivitas lagi setelah di timang-timang kesenangan tempo hari, baik itu untuk anak-anak yang akan terkuras otaknya oleh sebab bergumbul dengan guru dan buku pelajaran, ataupun para orang dewasa yang sibuk akan pekerjaan.

Tapi tidak untuk Bryna, gadis itu sangat menantikan hari di mana ia akan menempuh pendidikan di sekolah barunya. Karena terlalu semangatnya, gadis itu sampai rela bangun pagi. Menyiapkan segala keperluannya sendiri tanpa merepotkan Rose sama sekali.

Bagai menanam buah jeruk di padang pasir, tidak akan tumbuh. Biarlah ibarat itu mengisi otak Bryna, bagaimana tidak, perkiraan gadis itu sangatlah jauh dari ekspektasi; benar saja dia sudah siap, tapi mau sesiap apa pun akan percuma apabila ia harus menunggu sang ibu tercinta yang belum bangun dari alam mimpinya.

"Huh. Semangat membaraku hilang ditelan ikan paus." Bryna menggerutu sendiri.

Baiklah. Untuk mengisi waktu kosongnya, Bryna bergegas membuka laptop untuk sekedar mengirim surel kepada sahabat laki-laki yang dikenalnya sejak tiga tahun yang lalu.

^^^(brynasamanta@gmail.com )^^^

^^^Hello Swan, I will wait a little longer and you will get the huge surprise.^^^

...\~\~\~...

Nuansa ini begitu asing, itu pikir Bryna. Jika di Negara A, ia akan sampai sekolah pukul sembilan, maka, setelah informasi yang ia dapat, bersekolah di sekolah dasar Negara I mempunyai jam belajar yang jauh berbeda, lebih pagi.

Hilir mudik sepasang kaki panjang dengan tangan berpegangan erat saling menuntun sama lain antara orang tua dan anak-anaknya yang mengantar untuk menempuh pendidikan.

Berbeda juga dengan yang Bryna alami dulunya. Gadis itu terbiasa dijemput bus sekolah, makanya Ibunya itu sangat jarang mengantarnya langsung.

Bryna tidak ingin melewatkan kesempatan, ia juga tak kalah, masing-masing tangannya digantung oleh Jay dan Roseta sampai masuk halaman sekolahan, sangat menyenangkan.

"Mom, Dad, stop." Jay dan Roseta pun ikut berhenti sesuai arahan Bryna.

"Cukup sampai sini, Bryna bisa masuk sendiri," pintanya tegas sekaligus menggemaskan, membuat kedua orang tuanya tersenyum memgembang.

"Have a good day, sweetheart." Roseta tak lupa memberikan kecupan pada pucuk kepala Bryna, lalu diikuti oleh Jay juga.

"Bye, Mommy, Daddy," pamit Bryna seraya melangkahkan kaki masuk ke area sekolah, tak lupa juga dengan melambaikan tangannya keudara.

Setelah beberapa hari menetap di Negara I, memang hari inilah yang paling ditunggu oleh gadis berkuncir kuda itu. Bryna bisa dikatakan sedikit tomboy, sama sekali tidak ada anggun-anggunnya, jika gadis kecil lainnya berdandan rapi, tidak untuk Bryna, kemeja putih tepat di lengan digulung ke atas, jika nanti ada teguran, barulah ia akan merapikan, itu rencananya.

Bryna memiliki kulit dengan warna tan, meskipun ia baik-baik saja, tapi ada satu fakta yang tidak dapat ia cerna; Ibu dan Ayahnya memiliki kulit putih bersih, kenapa Bryna tidak seperti orang tuanya?

Apa mungkin karena Bryna yang sering keluar berjemur matahari untuk bermain basket dan skeatboard?

Entahlah.

"Swaaaaan," teriak Bryna setelah mendapati anak laki-laki diujung sana, sedang bercengkrama dengan gadis yang berada disampingnya.

Bryna berlari kecil ke arah Swan yang baru saja dipanggilnya. Laki-laki bergigi kelinci itu tidak sendirian, disamping Swan ada gadis kecil yang terlihat seumuran dengannya.

"Apa aku tidak salah lihat? Apa ini maksud dari emailmu tadi pagi?" Swan masih meninggalkan keterjutannya meskipun sudah diyakini bahwa di depannya ini adalah Bryna, gadis yang sudah menjadi temannya sejak tiga tahun tang lalu.

"Ayolah Swan, ini aku Bryna Samanta," ucap Bryna meyakinkan.

Bryna menunjukkan muka datarnya tidak lupa merotasikan bola matanya, gadis itu sedikit melirik kearah seoseorang yang sedari tadi hanya diam disamping Swan sembari memandangnya.

Swan yang merasa yakin pun akirnya memegang pipi gembul milik Beyna serta mencubitnya dengan gemas. "Harusnya kamu bilang saja terus terang, tidak perlu memberi kode-kode aneh."

"Swan lepas," pinta Bryna menggerutu.

Bryna tidak berani membentak seperti kebiasaannya bersama Swan. Bryna cukup tahu malu karena ada gadis cantik disebelah Sean, ia tidak ingin memberi kesan urakan pada teman baru yang belum dikenalnya itu.

Swan akhirnya melepaskan cubitannya dari pipi gembul milik Bryna, tersenyum sejenak lalu menarik tangan Bryna yang sontak membawa tubuh gadis itu kedalam pelukannya.

"Dasar gadis gembul, aku sangat merindukanmu, aku tidak sabar menunggu liburan selanjutnya untuk datang menemuimu, dan sekarang sudah tidak perlu.”

Bryna sangat terkejut atas perlakuan yang diberikan oleh Swan. "Oke, aku sudah disini, jadi, cepat lepaskan." Bryna masih dipelukan Swan tanpa memberontak, dalam hal ini, mereka memang sering melakukannya saat bertemu.

"Why hold on to someone when you know you must let them go?" ucap Swan penuh godaan.

Ekspresi Bryna bertambah suram, astaga, Swan memang keterlaluan, bagiamana bisa dia berbicara dengan lantang kalimat rayuan.

"Stup up, teman-temanmu terus melihatku, Swan," bisik Bryna lirih agar teman yang sebenarnya dimaksud oleh gadis itu tidak mendengarkannya. Alhasil, Swan melepas pelukan eratnya, tersenyum kikuk ala-ala remaja, dasar bocah piyik memaksa dewasa sebelum waktunya.

"Rahel, ini Bryna temanku dari Negara A." Swan mengenalkan Bryna pada temannya yang memang sedari tadi tak berkutik melihat interaksi antara ia dan Bryna.

"Hai Bryna, aku Rahel, kita bisa berteman mulai sekarang," ucapnya dengan senyum mengembang.

Bryna tidak bodoh untuk melihat bahwa gadis bernama Rahel itu menunjukkan ekspresi tidak suka. Namun Bryna mencoba untuk bersikap biasa saja.

"Hai, Rahel, tentu saja, mari berteman."

Beyna dan Rahel berjabat tangan saling berkenalan, sungguh interaksi yang manis mengesampingkan perasaan aneh didalamnya, entah Rahel yang cemburu atau hanya perasaan anak-anak yang merasa jengkel apabila teman dekatnya berusaha diambil oleh orang lain.

Gundah

Bagi sebagian pekerja atau bisa dibilang semua orang, hari minggu adalah hari terbaik di Dunia, hari dimana ketika bangun tidur bisa tidur lagi, atau tidak usah bangun sekalipun juga tidak masalah.

"Perlu banget ya kamu kerja di hari minggu?" Pertanyaan itu muncul dari mulut Jay untuk Roseta yang ada di dapur.

Pria itu sibuk di lantai, duduk bersimpuh di ruang santai samping kanan dapur, tidak ada sekat tembok di area itu, lantas tangannya pun mengobrak abrik komponen skateboard.

"Banyak yang belum aku beresin Jay, seminggu disini aku masih keteteran. Tumpukan kertas menggunung di mejaku. Belum lagi masalah pengembangan dan obat terbaru yang perlu di meetingin besok Rabu, dan satu lagi, Kak Jack belum balik dari Negara J.” jawab Roseta menggebu.

Roseta juga tak kalah repot saat ini, dia berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari berbagai peralatan di dapur dan sekawannya. Roseta juga sebal dengan Jack Marveen yang bukan kebetulan lagi adalah Kakak kandung Roseta sendiri yang sama sekali belum muncul batang hidungnya semenjak ia berada di Negara ini dan meninggalkan Eumah Sakit tanoa menyambut Roseta saat wanita itu baru saja masuk kerja.

luoakan dulu soal Jack, yang harus Roseta lakukan saat ini hanya harus menyelesaikan masakannya sebelum berangkat ke Rumah Sakit.

"Seandainya aku paham, bakalan aku bantu." Jay menanggapi dengan cengiran bodoh.

"Ada-ada saja kamu ini," timpal santai Roseta dengan sedikit senyuman.

"Good morning Daddy, Mommy." ya Tuhan pagi-pagi nyaring sekali suara Bryna.

"Morning," jawab kompak keduanya.

Bryna yang sedang berlari seketika langsung menubruk punggung Jay dari belakang, tak lupa mengalungkan ke dua lengannya ke depan leher Ayahnya.

*"Muaaaaach, morning kiss*, Dad," ucapnya setelah mencium pipi Jay dari samping. Pria itu tersenyum lalu segera saja lengannya menarik tubuh Bryna untuk dipangku di depan.

"Waaaah, ini skateboard baru punyaku ya, Dad?" pekiknya luar biasa gembira saat matanya menangkap komponen-komponen skateboard yang berserakan di depannya.

"Iya dong, suka nggak?"

Bryna mengangguk. "Suk…ka….," jawabnya, lalu gadis itu menjeda kalimat dan diam sebentar. "Daddy, kok warnanya pink sih!" protesnya tatkala menyadari warna yang sangat-sangat dia hindari dalam hidupnya, Bryna salah satu dari sekian anak perempuan yang membenci warna pink.

"Memangnya kenapa? Kamu 'kan cewek, Adek?" sanggah Jay dengan senyum menggoda, sekali-kali mengerjai Bryna tidak ada salahnya.

*Bryna mengerutkan bibir. "Kan Daddy* tahu, Bryna nggak suka warna pink."

"Tapi itu dari Maria Auntie. Masih nggak mau juga?"

*"Beneran dari Maria Auntie*?" tanyanya terkejut sampai berdiri meloncati komponen skateboard lalu menghadap pada Ayahnya.

Mana bisa sih Bryna menolak pemberian dari Maria Auntie kesayangannya, sama sekali tidak bisa.

*"Iya, Daddy* nggak bohong, ini dari Maria Auntie," jawab Jay meyakinkan dengan telunjuk jari membentuk V.

"Yaudah biar Bryna yang ngerakit," putus Bryna seolah perakit handal, Jay sampai begidik melihat muka sok bisanya Bryna.

"Nggak boleh," tolak Jay.

"Kok nggak boleh?" dengan muka melongonya Bryna bertanya.

"Tangan kamu nggak cukup kuat sweety, nanti kalau masangnya nggak kenceng, hardware sama trucknya bisa lepas saat kamu pakai. Kamu mau jatuh?" jelas Jay yang memang benar adanya.

"Tapi 'kan."

"Dengerin Daddy, Dek," saut Roseta geram dari dapur, tahu betul keras kepalanya Bryna.

Roseta berjalan lebih mendekat. "Lebih baik kamu mandi, nggak malu dilihat Daddy, belekan gitu matanya, itu lagi bekas iler juga masih ada," ejeknya.

Bryna memandang Ibunya datar. "Kenapa malu?" lalu gadis itu beralih memandang Ayahnya. "Daddy, Bryna malu-maluin ya?" tanyanya polos.

"Enggak lah, anak Daddy nggak mungkin malu-maluin," bela Jay semakin membuat Roseta jadi geram dan melotot.

Bryna yang merasa dibela pun kegirangan minta ampun, isi kepalanya pun rasanya akan meledakkan kembang api. "Tuh, Mommy denger 'kan." sombongnya dengan mengibaskan rambut tergerainya ke belakang.

Roseta yang mendengarpun menggelengkan kepalanya, minta ampun deh ini anak, berbeda dengan Jay yang ingin cepat menuntaskan perdebatan Ibu dan Anak ini, termasuk dirinya juga sih.

"Tapi bener kata Mommy, lebih baik adek mandi, sebentar lagi Daddy ajak ke arena skate. Gimana?"

Seketika itu juga Bryna berlari menuju kamar mandi dan tak lupa juga berteriak, "Okeeee."

Sedangkan Jay memandang Roseta dengan menggidikkan bahunya bangga, tak lupa dengan senyum yang menyebalkan bagi wanita yang memandang.

Roseta melepas celemeknya, menaruh di samping lemari es. "Heran deh, begitu nurutnya Bryna sama kamu, Jay," ketusnya dengan mendengus.

"Enggak tuh, biasa aja," tanggapannya acuh karena kembali sibuk pada benda seluncur beroda milik Bryna.

"Kamu sih terlalu manjain dia, jadi nggak nurut 'kan sama aku," kekeh Roseta tidak terima.

"Mananya yang manjain sih? Ketemu Bryna aja jarang lho akunya, sibuk terus. Kamu cemburu ceritanya?" jawab Jay apa adanya, sekarang netranya pun memandang Roseta yang tengah duduk di salah satu meja makan.

Jay memang terlalu sibuk, perusahaannya memang lagi gencar-gencarnya meluncurkan mobil sport terbaru. Sebagai CEO muda dia sampai jarang bertemu dengan Bryna. Untung saja mulai hari ini sampai seminggu ke depan Jay ambil cuti, tidak peduli dulu dengan urusan perusahaan.

Roseta terdiam akibat dibrondong pertanyaan oleh Jay. Jujur akhir-akhir ini Roseta lebih banyak memikirkan Bryna. Apalagi pesan dia hari yang lalu dari Liliana yang tidak lain dan tidak bukan adalah Ibu dari Swan.

Liliana:

Gila banget, baru kali ini aku lihat Bryna bisa kalah main basket dari Swan. Tapi aku sedih, Kak Matheo ngasih tahu aku, Bryna nangis.

^^^Roseta:^^^

^^^Matheo?^^^

Liliana:

Oh, Kak Matheo, kamu nggak tahu? Kak Matheo itu temen Jeko, atau kalau bisa aku sebut Coach basket cadangan sekolah. Tapi kalau kamu sering baca berita atau nonton TV, Matheo Ranu Pandega, Ceo Vante Group.

Dan nama Matheo Ranu Pandega lah yang membuat Roseta tidak bisa tidur.

Liliana Manobano adalah teman Roseta, mereka berteman sejak kecil, namun saat umur sepuluh tahun, mereka harus berpisah karena Liliana kembali ke Negara T, Negara kelahirannya. Keduanya kembali dipertemukan lagi tanpa sengaja tiga tahun yang lalu. Saat itu Liliana menghabiskan liburan musim dingin bersama John Jeko Aditama suaminya dan John Swan Aditama putranya di Negara A, Rumah Nenek Jeko yang kebetulan satu komplek dengan rumah Roseta.

Roseta dan Liliana bertemu saat sama-sama menjemput anak-anaknya di lapangan karena terlalu lama bermain basket sampai lupa waktu. Saat itulah keduanya saling melepas rindu, berhubungan sangat baik sampai sekarang, namun pertemanan mereka masih dirahasiakan, karena Roseta yang meminta.

Sedangkan Jeko adalah pemilik Roses Revolution Elementary School, yaitu sekolah berbasis Internasional yang dipilih langsung oleh Bryna tanpa perantara. Roseta tahu putrinya memilih sekolahan juga karena fasilitas basket yang ada, tapi Roseta tidak pernah menduga ada nama Matheo yang berhubungan dengan hobby olahraga putrinya.

Melihat keterdiaman Roseta, akhirnya Jay memutuskan untuk berdiri, pikirnya Roseta terlihat aneh, tak tinggal diam, Jay mengambil salah satu kursi makan lalu menggesernya untuk diduduki tepat di depan wanita itu.

"Kamu kenapa?" tanya Jay dengan menyondongkan wajahnya.

Roseta memandang Jay, memukul pelan lengannya. "Nanti gimana jadinya kalau kamu udah nggak ada? Gimana caranya bilangin ke Bryna biar dia nggak bandel lagi. Ha?" tanyanya menggebu dengan satu tarikan nafas.

Jay tampak menangkap kekawatiran dari sorot mata Roseta. Pria itu jadi tidak tega, dengan pelan Jay meraih telapak tangan wanita didepannya. "Siapa yang mau ninggalin kamu dan Bryna? Aku nggak ada rencana tuh?"

Roseta mendelik kesal. "Nggak usah ngaco, Jay. Nanti ada waktunya."

"Enggak."

"Jay."

"Enggak."

"Please."

"Enggak, enggak dan enggak."

Akhirnya Roseta hanya diam dan menundukkan kepalanya.

"Dengerin aku ya, tapi harus kamu inget juga," pinta Jay, tangannya pun meraih dagu Roseta. "Lihat dong, aku mau ngomong nih," pintanya sekali lagi.

Mata Roseta sudah berkaca-kaca, hati Jay rasanya teriris saat melihatnya. Jay memilih untuk berdiri dan meraih kepala Roseta untuk dipeluk di perutnya. Tidak akan pernah bisa bagi Jay untuk melihat mata Roseta penuh peluh seperti itu.

"Gini nih yang nggak aku suka dari kamu. Aku sudah bilang 'kan, jangan pernah nangis di depanku, gimana caranya aku nurutin kamu kalau kamu masih kayak gitu, bagaimana caranya aku pergi dan bahagia bersama orang lain sedangkan kamu masih kayak gini?”

Roseta sesegukan, baju Jay bagian perut pun sudah basah akibat ulah airmata yang terjun bebas dari manik miliknya. Sepertinya Roseta enggan menanggapi.

"Coba jelasin ke aku. Ada apa sebenarnya? Apa yang nggak aku tau? Aku tahu kamu pasti nyembunyiin sesuatu 'kan dari aku?" pertanyaan bertubi-tubi lagi pun dilayangkan oleh Jay.

Roseta akhirnya mendongakkan kepalanya keatas lalu mengeleng pelan. Jay menaikkan alisnya. "Aku nggak percaya, please jangan bohong."

Roseta mendengus pelan masih dengan linangan air matanya. "Aku mau bilang, tapi nggak disini."

"Kenapa?"

"Bryna," jawab singkat Roseta.

Jay menarik napasnya pelan, seakan paham pembahasan macam apa yang akan di dengar nanti. "Oke, kapan kita bicara? Dimana?"

Roseta melepaskan pelukannya dari Jay, mengusap cairan yang sudah membasahi pipinya dengan kedua telapak tangan, membuat pria itu gemas dengan mengukir senyuman.

*"Nanti sore di cafe* pastry deket Rumah Sakit, gimana? Sekalian aku mau beliin cake cokelat buat Bryna," jawabnya.

"Oke." Jeffry menarik Roseta ke pelukannya lagi.

...\~\~\~...

Mereka berdua saat ini sudah ada di skatepark daerah Kota Mawar Merah dekat Rumah Sakit Marveen. Sesuai janji yang diberikan oleh Jay tadi pagi, jadilah mereka berdua terdampar di sini. Bryna sangat bahagia saat baru sampai tadi, tanpa aba-aba, setelah turun dari mobil langsung saja bocah tomboy itu berlari ke tengah arena.

Sedangkan Jay menyusul dengan membawa berbagai perlengekapan khusus untuk Bryna pakai sebagai penunjang keselamatan. Safety First. Harus. Dari belakang Jay tersenyum lebar mana kala manik mata sehitam jelangga itu melihat Bryna yang sedang berlonjak-lonjak kegirangan.

"Dek sini dulu, Daddy bantu pakai perlengkapan."

Menoleh ke arah Ayahnya, dengan berlari kecil pun Bryna menghampiri. "Cepat Daddy." pintanya tak sabar.

Dengan cekatan, Jay mengganti sepatu Bryna dengan sepatu khusus untuk pemain Skate, lalu memasangkan Knee Pads, Elbow Pads dan Wrist Guard (Pelindung Siku, lutut dan pergelangan tangan) dan langkah terakhir memasangkan helm.

"Sudah selesai."

*"Yas, yuhuuuu*." duh bahagianya Bryna, dengan tidak sabar tangannya meraih papan skate.

Bryna melakukan gerakan yang sama dan berulang-berulang, dari sini pun Jay nampak sedang mengamati Bryna yang tengah sibuk menghentakkan salah satu kakinya ke papan skate disusul kaki satunya sehingga menghasilkan sebuah lompatan yang terbilang perfect, Jay boleh bangga pada dirinya sendiri karena ini hasil dari ajarannya.

"Dek, kok main Olie terus sih, sini berhenti dulu. Daddy ajarin trik Shove."

"Kan pemanasan dulu, Dad," jawab Lily.

*Benar, dari tadi Bryna sedang melakukan teknik Olie, sebuah trik dasar dan paling simple* yang harus dikuasai oleh para skaters.

"Ok. Ok. Mau lanjut? Teknik Shove?" tanya Jay.

"Siap."

"Adek lihat Daddy baik-baik ya!" Bryna mengangguk.

Disini Jay juga tidak lupa membawa papan skatenya sendiri, perlu diketahui, Jay adalah salah satu Skaters handal pada masanya, walaupun sekarang sudah sibuk dengan urusannya sebagai CEO, tidak dapat menghalanginya untuk tetap bermain skateboard, alhasil menurun pada putrinya Bryna.

Jay mulai beraksi, pria itu menempatkan posisi kaki kanannya tepat di atas roda bagian depan dengan ujung kaki mengarah keluar. Kemudian posisi kaki kirinya berada pada bagian belakang papan. Selanjutnya Jay melakukan gerakan inti, sekali hentakan papan skate dengan menggerakan kedua kaki ke arah yang berlawanan.

"Waaaaah, Daddy the best," teriak Bryna dengan mata berbinar tak lupa dengan tumbs up juga.

"Sini, sekarang giliran Adek," pinta Jay, sedangkan Bryna mengangguk antusias dan bergegas.

"I'am ready, Dad."

Tak butuh waktu lama Bryna dengan mudahnya dapat menguasai teknik baru itu, walaupun di percobaan pertama sampai ketiga gagal dan sempat terjatuh. Tapi yang namanya Bryna mana ada kata pantang menyerah sih, tidak ada dalam kamusnya. Sesi latihan pun berlanjut dengan Jay tanpa henti mengajari berbagai macam teknik lainnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!