Menikahi Bos Mafia
Sesak di dada ini semakin terasa. Sakit sekali rasanya mendengar semua penjelasan yang dikeluarkan dari bibir mama. Aku yang hanya tamat SD, sementara Mbak Nadin yang sekolah hingga sarjana, lantas kenapa harus aku yang menjadi korban menanggung semuanya?
Kenapa justru aku yang menjadi tumbal pelunasan hutang itu? Padahal Mbak Nadinlah yang menikmati tiap lembar uang Tuan Martin yang dihutang oleh mama. Bukankah ini namanya tak adil? Namun, aku bisa apa?
Aku tak tahu kenapa mama selalu acuh dengan perasaanku, padahal aku dan Mbak Nadin sama-sama anak mama. Namun, perlakuan mama padaku dan Mbak Nadin terlalu sangat berbeda. Aku selalu dipaksa mengalah dalam segi segala hal, bahkan soal cinta dan masa depan.
"Dira fikirkan dulu ya, ma? Kalau sudah dapat jawaban, nanti Dira bilang sama mama," ucapku lirih, membuat mama menoleh cepat.
"Buat apa berfikir segala? Ini bukan sekadar permintaan mama, Dira. Ini keharusan! Kewajiban. Jadi, apapun jawaban mu itu, tak akan merubah keputusan mama untuk menikahkanmu dengan Ronal. Jadilah anak yang membanggakan mama, sekali saja."
Deg. Debar di dada semakin terasa. Tak terasa bulir bening kembali menetes ke pipi. Aku tak paham mengapa kata-kata yang keluar dari bibir mama untukku selalu tajam dan menyakitkan. Padahal tiap kali mama bicara dengan Mbak Nadin, mama tak pernah melontarkan kata-kata sekasar itu. Bahkan sangat lembut dan penuh dengan senyuman.
Ibu juga sering membanggakan Mbak Nadin di depan orang banyak. Menceritakan kepintarannya saat duduk di bangku sekolah dan kesuksesannya di kota sebagai sekretaris dikantor besar. Mama terlihat begitu bahagia saat menceritakan tentang kehidupan bahkan dengan bangganya menceritakan gaji dan mobil anak sulungnya yang berkelas.
Sementara aku, apa yang harus kubanggakan? Hanya lulusan SD yang bekerja serabutan di mini market Tuan Martin. Dari sana pulalah aku semakin dekat dengan Mas Hansel.
Sejak kecil, Mas Hansel memang anak rumahan, hingga hanya berteman dengan karyawan-karyawan mini market saja dan akulah yang paling dekat dengannya di antara karyawan yang lain.
Usia Mas Hansel empat tahun di atasku. Dia sebaya dengan Mbak Nadin. Mereka pun pernah satu kelas saat sekolah menengah atas. Namun entah mengapa hubungan Mbak Nadin dengan Mas Hansel tak seperti hubunganku dengannya. Mereka jarang bertegur sapa, apalagi terlihat ngobrol bersama.
Sementara aku, sejak memutuskan bekerja di toko Tuan martin tiga tahun lalu, aku semakin dekat dengannya. Mungkin karena aku dan dia nyaris sebaya hingga nyambung saat diajak bicara dan bercanda. Sementara karyawan lain usianya jauh di atas kami berdua.
Awalnya aku kurang suka bekerja di toko Tuan Martin. Aku ingin kerja di tempat lain yang karyawannya seusia denganku. Namun sayang, setelah ke sana-sini cari kerja dan pulang tanpa hasil, mama kembali memaksaku untuk menerima lowongan kerja itu. Bekerja di toko Tuan Martin hingga detik ini.
Sebenarnya tak ada larangan apapun dari Tuan Martin saat aku dekat dengan anak keduanya itu, tapi perlakuan mama Mas Hansel memang sangat berbeda. Jelas dari aura wajahnya dia tak suka jika aku terlalu dekat dengan anak semata wayangnya itu. Hanya saja dia tak pernah terang-terangan melarang, sebab Mas Hansel berulang kali bilang kami hanya berteman.
Iya, hanya teman. Itu yang selalu diucapkannya. Bahkan saat memperkenalkanku dengan beberapa teman kuliahnya dulu. Dia selalu meyakinkan pada mereka jika aku hanya sekadar teman biasa, bukan teman spesialnya.
Meski dalam hati aku berharap lebih, tapi itu hanya sebuah harapan kosong sebab dia tak mungkin memiliki rasa dan harapan yang sama dengan ku. Benar kata mama, aku harusnya memang tahu diri. Aku ini siapa dan dia siapa.
"Dira! Kamu ingat kata-kata mama kan?" Pertanyaan mama kembali membuatku terjaga.
"Iy-- iya, ma. Dira ingat kata-kata mama," balasku gugup. mama mengangguk pelan.
"Baguslah. Mungkin bulan depan Tuan Martin akan melamarmu untuk anak berandalannya itu. Jadi, jangan banyak tingkah. Sekali-kali jadilah anak yang membanggakan mama dan keluarga Jangan cuma bikin susah. Kamu paham?!" sentak mama lagi. Aku hanya mengangguk pasrah.
Beginilah aku. Selalu diperlakukan berbeda oleh mamaku sendiri. Padahal aku dan Mbak Nadin sama-sama anak mama. Namun cinta dan kasih sayang yang mama berikan pada kami, sanat terlalu berbeda. Aku sendiri tak tahu apa sebabnya.
Jika sudah begini, haruskah aku menikah dengan mafia itu demi melunasi hutang ibu?
🥀🥀🥀
Terima kasih kakak-kaka sudah mau mampir dan baca ceritaku,mohon maaf jika ada salah kata🙏🏻😊
Bab 4
Seperti biasa tiap kali ada tamu Mbak Nadin selalu mencari muka. Dia sok perhatian dengan mama lalu memapahnya ke ruang tamu. Sementara aku hanya diam saja, mendadak beku saat melihat ketiga laki-laki itusuda ada di depan mata. Tuan Martin, Mas Hansel dan Mas Ronal.
Kenapa mereka bisa berada di rumah ini bersamaan? Apa yang sebenarnya terjadi pada mama? Tatapan Mas Ronal begitu tajam, membuatku merasa menjadi kesakitan. Apa dia melihat jilbabku ditarik paksa Mbak Nadin tadi? Ah, semoga saja dia tak melihat kejadian tadi.
Aku tak mau dia berpikiran macam-macam tentang keluargaku. Seburuk apapun keluarga ku, aku tetap harus menjaga aib keluargaku. Tak ingin orang lain tahu jika di rumah sederhana peninggalan papa ini aku seakan dianggap seperti parasit/benalu, sementara Mbak Nadin seolah seperti tuan putri.
"Mama tadi jatuh dari ojek saat mau ke pasar, Nad. Dompet dan handphone mama dicopet. Untung ada Nak Hansel. Jadi, mama bisa sampai rumah dengan selamat," ucap mama dengan senyum tipis lalu menoleh ke arah tiga lelaki itu.
Namun kulihat sedikit keterkejutan di wajah Mas Hansel. Sepertinya dia ingin membalas, tapi diurungkannya.
"Makasih loh, Mas. Sudah nolongin mamaku dan mengantarnya pulang sampai rumah," ucap Mbak Nadin dengan lemah lembut. Aku hanya merinding mendengarnya.
"Sama-sama, Nad. Kebetulan aku tadi cuma lewat aja sih. Sudah ada Mas Ronal yang lebih dulu di sana," balas laki-laki itu sembari menganggukkan sedikit kepalanya.
"Dompet dan handphone ibu bukan brandal itu yang ambil kan?" bisik Mbak Nadin kemudian. Suaranya cukup keras di telingaku yang masih normal.
Mas Hansel pun terdiam sejenak lalu melirik kakaknya yang hanya diam sedari tadi, tanpa ekspresi. sungguh benar-benar sosok menyeramkan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku nanti setelah menikah dengan laki-laki sepertinya. Ya Allah.
mama tak menjawab pertanyaan Mbak Nadin. Mungkin tak enak hati sebab ada Masb Hansel di sini. Jika cuma ada Mas Ronal, aku yakin ibu akan memaki-maki seenak hati. Aku tahu mama sangat membenci laki-laki dengan wajah sangar dan bertubuh kekar itu. Laki-laki yang sesekali kulihat menatapku dengan tajam, sebelum mengalihkan pandangan.
"Ayo masuk dulu, Nak Hansel, Nak Ronal. Biar Nadira buatkan minum," pinta mama dengan senyum tipisnya
"Oh, makasih, Bu. Sebenarnya saya ke sini juga untuk menjemput anak ibu. Kami ingin mengunjungi pameran lukisan di Galeri karya seni yang ada di Mall," ucap Mas Hansel dengan senyuman manisnya.
Betapa bahagianya aku mendengar ucapannya itu. Biasanya, tiap kali dia pulang dari bandung selalu mengajakku jalan-jalan ke mall setelahnya akan melihat lukisan-lukisan digaleri karya seni yang ada didepan mal . Dia juga sering membelikanku berbagai macam macam buku panduan melukis karena aku pernah berangan untuk menjadi pelukis,namun apalah daya aku yang hanya lulusan SD.
Namun anehnya, biasanya dia selalu mengirimkan pesan terlebih dahulu padaku tiap kali akan diajak jalan, sedangkan sejak pagi aku belum mendapatkan pesan apapun darinya. Apa dia sengaja memberikan kejutan ini untukku?
"Anak ibu yang mana, Nak Hansel?" tanya mama sembari tersenyum menatap lelaki berwajah Tampan itu. Belum sempat menjawab, aku sudah mendengar jawaban Mbak Nadin yang membuatku patah hati seketika.
"Jangan senyum-senyum, dia datang bukan buat jemput kamu, tapi jemput aku!" bisik Mbak Nadin ke samping telinga ku lalu tersenyum sinis.
Buru-buru aku mengalihkan pandangan darinya. Namun, justru tak sengaja kembali menatap laki-laki menyeramkan dengan bertato ular naga itu. Dia hanya menatapku sesaat lalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam atau pun berkata-kata.
🥀🥀🥀
Terima kasih kakak-kaka sudah mau mampir dan baca ceritaku,mohon maaf jika ada salah kata🙏🏻😊
Bab 6
Dia bilang hobi Mbak Nadin sama sepertiku dan dia? Sejak kapan Mbak Nadin suka Lukisan? Jelas-jelas dia selama ini tidak munyukai seni apalagi melukis.
Dia lebih senang jalan" dan bernyanyi. Nyaris tiap hari kepalaku berdengung mendengar suara cemprengnya itu. Kadang justru sangat mengganggu waktu ku saat membaca buku tentang lukisan.
"Dira! Jangan coba-coba untuk mendekati Hansel. Kamu lihat sendiri kan? Kakakmu sudah dekat dengan dia. Seperti yang ibu bilang, harusnya memang Hansel memilih Nadin dibandingkan kamu. Nadin itu modis, cantik, bersih, punya karir yang bagus dan berpendidikan. Serasi dengan Hansel yang Rama, sopan, kalem, berpendidikan dan sukses jadi pengusaha. Mana mungkin dia memilih kamu. Kamu harus tahu diri, Dira. Jangan mimpi terlalu tinggi, nanti jatuhnya sakit. Jangankan menikah sama kamu, bahkan sekadar teman saja mamanya Hansel sibuk menceritakan ke mana-mana kalau dia nggak suka anak semata wayangnya itu punya teman seperti kamu. Jadi, mama harap kamu stop mendekati Hansel. Biarkan dia bersama kakakmu ya? Lagipula sebentar lagi kamu juga dilamar anak berandalan itu." mama melangkah ke luar halaman.
Air mataku menetes seketika. Aku cukup tahu diri kok, ma. Hanya saja, tak mengapa jika aku sedikit kaget melihat perubahannya 'kan? Lagipula selama ini Mas Hansel memang dekat denganku sebagai sahabat, wajar jika kini dia ingin dekat dengan perempuan lain sebagai calon istrinya.
Namun, tak seharusnya mama menghina dan membandingkanku dengan Mbak Nadin seperti ini. Apa jangan-jangan aku sebenarnya bukan anak kandung mama? Apa tulisan di kartu keluarga itu palsu?
Kuhapus jejak air mata yang membasahi pipi. Tak ada gunanya aku menangis. Bukankah selama 22 tahun ini mama dan Mbak Nadin memang memperlakukanku semena-mena? Jadi, tak perlu sekaget ini. Sudahlah.
Saat ingin menutup pintu utama, kulihat sosok itu lagi di tepi jalan. Laki-laki misterius itu menatapku beberapa saat sebelum akhirnya pergi begitu saja. Aku kembali berdebar. Benar-benar menakutkan. Sebenarnya apa yang ingin di lakukannya?
Pagi ini aku sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Sarapan nasi putih dengan telur ceplok dikasih sedikit kecap kurasa sudah cukup untuk mengisi perutku yang keroncongan minta diisi sedari tadi. Suara Mbak Nadin kembali terdengar.
Dia memanggilku dan mama berulang-ulang kali, tapi tak ada yang menyahut sebab mama masih di luar rumah sepertinya sedang menunggu tukang sayur yang biasa mangkal di seberang jalan.
"Dira! Jangan berlagak gak denger gitu dong! Dipanggil dari tadi juga sampai suaraku serak begini bukannya nyahutin malah membisu!" sentak Mbak Nadin sembari melempar kemeja dan rok panjang hitamnya. Aku hanya melirik sekilas lalu kembali menikmati nasi dengan telur ceplok yang ku masak sendiri.
"Dira! kamu budeg ya?" bentak Mbak Nadin lagi membuatku mendongak ke arahnya.
"Kamu nggak lihat aku lagi makan, Mbak? Tadi sudah aku jawab sekali, tapi kamu masih aja heboh manggil-manggil. Kenapa sih selalu gadu seperti ini tiap pagi?" Aku mulai kesal dibuatnya.
Biasanya aku tak pernah membantah apapun yang dikatakannya. Aku tahu karakter Mbak Nadin, dia nggak akan pernah mau mengalah jadi, tak apalah aku mengalah asal keributan tak berkepanjangan. Aku malas berdebat dan ribut dengannya apalagi saat aku akan berangkat kerja begini.
Namun entah mengapa, sejak kulihat kedekatannya dengan Mas Hansel kemarin, moodku benar-benar berantakan. Aku tak bisa mengontrol lidahku untuk tak menjawab bentakannya. Kekesalan itu pun kini mulai kutunjukkan padanya.
Apa aku cemburu melihat kedekatan mereka? Mungkin iya sebab aku memiliki rasa lebih dari sekadar sahabat pada Mas Hansel. Hanya saja aku sadar diri hingga tak mungkin menunjukkan rasa ini padanya.
🥀🥀🥀
Terima kasih kakak-kaka sudah mau mampir dan baca ceritaku,mohon maaf jika ada salah kata🙏🏻😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!