NovelToon NovelToon

Mencintai Pengobat Luka

Si Pengobat Luka

Si Pengobat Luka

Rouli masih sibuk membersihkan luka di tubuh seorang pria tak berdaya di hadapannya. Dia tidak tahu kalau mata laki-laki itu sedikit terbuka dan, bisa melihat apa yang tengah dilakukannya. Namun hanya sebentar, sebelum matanya kembali terpejam.

“Tenanglah, Tuan. Kau pasti selamat, aku sudah melakukan pertolongan pertama! Kau pasti baik-baik saja!” Begitu kata Rouli beberapa kali, dia bicara memberi semangat, sambil sesekali membenarkan kain penutup wajahnya yang tertiup angin.

Dia menemukan pria itu terkapar bersimbah darah, dengan pakaian yang terkoyak akibat hantaman keras dari kejatuhannya. Dia berusaha menyelamatkan diri dengan kursi pelontar, setelah tahu baling-baling pesawat kecil yang dinaikinya bermasalah.

Namun, naas, tali parasutnya putus hingga dia terjatuh di tempat itu, setelah tersangkut beberapa saat di atas pohon yang menjulang tinggi.

Pria itu bernama Nakha, dia menyesal sudah mempercayakan semua perawatan pesawatnya pada Juli, pria kepercayaan Deni—Kakaknya sendiri.

Nakha hampir saja berpikir jika Deni berniat membunuhnya dengan cara halus, seolah-olah murni kecelakaan. Apalagi sebelumnya Deni mengajaknya makan bersama keluarga kecilnya, di Hotel Pandawa. Setelah itu dia muntah-muntah dan sakit perut.

Kakak tirinya itu sengaja mengadakan jamuan makan, karena baru saja mengangkat seorang anak kecil yang lucu dan menggemaskan, bernama Bimbim. Deni sudah delapan tahun menikah dengan Sita, tapi, tidak juga mendapatkan keturunan.

Sekarang, di sinilah Nakha berada, di tepi hutan yang tidak pernah dia kenal sebelumnya. Beberapa bagian tubuhnya terkoyak oleh dahan dan ranting sebelum terhempas ke tanah. Dia tidak bisa bergerak sedikitpun karena luka itu bahkan, darah segar mengalir tanpa bisa dicegah.

Rouli dengan cekatan mengoleskan cairan antiseptik alami yang, dibuatnya dari daun sirih. Dia tidak tahu kalau pria yang ditolongnya, sudah melihat wajah buruknya, tapi, dia terus saja sibuk megobati beberapa luka baik di bahu, dada, paha, tungkai dan juga lututnya.

Dia terus berkata lirih memberi semangat, dengan napas yang tersengal, setelah berhasil melakukan cpr padanya.

Setelah selesai mengolesi semua luka dengan tanaman herbal yang, ditumbuk halus lalu di campur dengan minyak kelapa asli buatannya sendiri, dia pun bernapas lega.

“Sudah selesai, Tuan. Sekarang apa yang harus aku lakukan padamu?” katanya lagi.

Lalu, dia memotong beberapa pelepah dan kulit pohon pisang yang disatukan dengan tali, hingga menjadi sebuah rakit. Dia menggeser sedikit demi sedikit, untuk meletakkan tubuh laki laki itu di atasnya, lalu menyeretnya ke tepi jalan.

“Maaf, aku hanya bisa menolong sampai di sini, aku tidak kuat mengakat tubuhmu, aku hanya berharap ada orang yang membawamu ke rumah sakit!” kata Rouli lagi sambil melihat ke sekelilingnya.

Dia mengusap wajah laki-laki yang tidak jelas itu, dengan lembut. Di pipinya ada gambar bendera negaranya bercampur dengan warna coklat kehitaman di sekelilingnya. Corak yang biasa digunakan oleh para tentara untuk menyamar.

Rouli terus berada di sana, bersimpuh di sisi tubuh pria yang bisa mendengar dan merasakan semuanya, tapi tidak berdaya. Seluruh kulitnya yang terluka itu terasa hangat, ada sedikit rasa perih tapi tidak sakit. Seandainya dia bisa lari, maka dia akan lari karena wajah wanita itu begitu mengerikan.

“Apa kau seorang tentara dan sedang berlatih, bagaimana kau bisa jatuh di sana?” tanya Rouli yang tentunya tidak akan mendapatkan jawaban.

Tak lama setelah itu, tampak dari jauh, ada sebuah kendaraan yang mendekat, di saat yang sama, Rouli pergi menghindar agar orang lain tidak menemukannya. Dia yakin, orang-orang pasti akan takut melihat wajahnya.

Setelah meninggalkan pria yang terluka itu, dia kembali ke dalam hutan dengan perasaan lega, setelah melihat sepasang manusia sang pemilik mobil menghampiri dan mengangkat pria itu ke dalam kendaraan mereka.

Rouli merasa senang, dia sudah melakukan yang seharusnya dilakukan sebagai sesama manusia, saling menolong dan melakukan semampu yang dia bisa.

Tiga bulan kemudian, setelah peristiwa itu terjadi, Nakha kembali ke rumah sakit tempat pertama kali dia di bawa oleh Rano dan anak perempuannya, Mentari, yang kala itu kebetulan tengah melintas dan menemukannya tergeletak di sisi jalan.

Rumah sakit tempat dia dirawat saat itu adalah, tempat yang cukup bagus dan bonafit. Dua orang yang menolongnya termasuk orang berada dan terpandang di sana. Sudah sepatutnya dia bersyukur dengan keadaannya yang baik-baik saja.

“Apa lututmu masih sakit? Sepertinya kau harus menemukan pengobat lukamu itu biar cepat sembuh!” kata Andre, seorang dokter yang menanganinya itu tengah berseloroh.

Kebetulan mereka saling mengenal, hingga terlihat akrab dan kini tengah berada di ruang konsultasi tempat Andre bertugas.

“Ck! Kalau aku tahu siapa dia!”

“Kau harus mencarinya untuk berterima kasih, kalau bukan karena pertolongan pertamanya juga ramuan yang dia oleskan pada lukamu, mungkin kau tidak bisa secepat ini untuk sembuh! Aku penasaran dengan bahan apa saja yang ia digunakan? Aku tidak melakukan apa pun pada beberapa luka dan memar di tubuhmu tapi, dalam semalam luka itu menutup dengan sempurna.”

“Jadi, kau tidak tahu? Kalau begitu percuma saja aku mendatangimu!”

“Jangan begitu, beberapa ramuan herbal memang ada yang ampuh bila langsung dioleskan pada luka baru tetapi, aku memang kurang mengerti tentang itu karena aku tidak mempelajarinya.”

“Jadi, kau pun perlu mencarinya untuk menanyakan hal itu padanya, dan aku harus mencarinya hanya karena berhutang nyawa!”

“Bagaimana aku bisa mencarinya ... wajah dan ciri-cirinya saja kau tidak tahu!”

“Baiklah, tidak perlu mencarinya, lagi pula aku sudah mengucapkan terima kasih pada Tuhan!”

“Ada seorang gadis yang ikut menyelamatkan dan membawamu ke sini, sama saja kau berhutang budi padanya, apa kau akan menikahinya sebagai balas jasa?”

“Entahlah, sekarang kita bukan di negeri dongeng, mana ada seorang pria menikahi wanita yang telah menyelamatkannya, tapi, akan aku pikirkan nanti!”

Setelah Nakha mendapatkan perawatan pada lutut yang harus diobati secara berkala, dia tidak langsung kembali ke rumah, tetapi, menepikan mobil Toyota Bought 89 di sisi jalan, untuk melihat kerumunan dan sebuah atraksi seorang penari akrobatik yang sempat membuat kamacetan.

Disaat bersamaan, melintas dua orang wanita di depan mobilnya. Salah satu wanita menarik perhatiannya karena kalung yang melingkar di lehernya.

“Bukankah itu kalungku?” gumamnya lirih, sambil menatap gadis itu dengan tatapan yang penuh selidik, sesaat kemudian dia sudah membidikkan kamera ponselnya.

“Atau hanya mirip,” katanya sambil menggelengkan kepalanya dan menginjak pedal gas lalu, pergi.

Di dekat kerumunan, dua orang wanita tengah mengobrol dan memesan es buah di kedai pinggir jalan.

“Aku membayangkan bagaimana gigihnya mereka berlatih hingga mahir beratraksi seperti itu!” kata Rouli pada Niet, dia adalah teman sesama terapis akupunktur.

“Ya! Aku perlu berlatih sebulan penuh sampai menghabiskan empat puluh jarum hanya untuk titik meredian pada ginjal!” Sahut Niet sambil mengaduk minumannya.

“Akh, kau luar biasa, aku jadi ingat laki-laki yang pernah ku-tolong, dia punya masalah ginjal saat kuperiksa telapak tangannya. Kalau saja aku membawa jarum waktu itu ....”

“Sudahlah, seharusnya kau ikut dengan mobil itu dan mengatakan kalau kau yang sudah meyelamatkannya!”

“Tidak perlu, aku tidak akan pernah mengenalinya, sebab kita bukan di negeri dongeng putri duyung ... mana ada seorang pria ingin menikahi wanita yang telah menolongnya.”

“Oh, Ya! Ru, aku pernah melihat bendera organisasi yang gambarnya mirip seperti kalungmu, apa kau bagian dari mereka?”

“Bukan! Aku menemukan dekat pohon randu setelah aku kembali dari menyelamatkan orang itu, aku pikir ini kalung ini lucu!”

“Oh, aku kira kau anggota mereka, aku hanya khawatir, pemilik kalung itu bagian dari organisasi yang tidak bagus!”

“Baiklah, aku tidak akan memakainya lagi, ngomong-ngomong, organisasi apa itu?”

“Aku juga tidak tahu!”

“Mungkin hanya mirip.”

“Ya, bisa saja.”

Bersambung, Jangan lupa like!

❤️❤️❤️👍🙏❤️❤️❤️

Bimbim

Bimbim

Niet dan Rully belum menghabiskan minuman segarnya saat telepon genggam mereka berbunyi secara bersamaan.

Rully dihubungi oleh sang ayah yang memintanya untuk pulang, karena sudah tiba waktu bagi perawatan tubuhnya untuk yang terakhir kali.

Sementara Niet dihubungi oleh kekasihnya dan mengajak bertemu di suatu tempat. Wanita itu adalah sahabat baik Ruli, tubuhnya mungil dan kulitnya putih tidak cocok dengan rambutnya yang dipotong pendek mirip seperti laki-laki, hingga dia terkesan tomboy padahal, Niet adalah wanita yang lemah lembut dan keibuan.

“Ayo! Habiskan minumanmu, aku harus pulang sekarang!” Kata Rully dan Niet mengangguk sambil menyedot minuman di hadapannya.

Kedua sahabat itu mencari taxi yang berbeda, karena mereka pergi ke arah yang berlawanan, sesuai tujuan masing-masing. Niet mendapatkan taxi lebih dahulu dan Rully masih sempat menikmati aktraksi sebentar. Namun, tatapan matanya teralihkan pada seorang anak yang berumur sekitar sembilan tahun. Dia Bimbim, sedang bersama dengan seorang wanita berusia matang. Wajah wanita itu oval, hidungnya mancung dan rambut sebahunya sangat cocok dengan busana mahal yang dikenakannya, dia bertubuh tinggi dan berkulit putih, tampak sekali aura dewasa dari kematangan usianya.

“Bimbim!” kata Rully sambil berjalan mendekati anak itu.

“Ru! Kau di sini?” sahut anak kecil bertubuh montok itu.

“Ya! Aku baru pulang dari Sinse! Bagaimana kau bisa ada di sini? Apakah dia Ibumu?” Rully bertanya sambil melirik wanita di sebelah anak itu, dia tahu bahwa beberapa pekan yang lalu, Bimbim sudah tidak lagi di panti karena sudah ada sebuah keluarga yang mengadopsinya. Saat itu dia hanya berharap jika keluarga barunya bersikap baik dan menganggap anak itu seperti anaknya sendiri.

Rully cukup senang melihat anak itu sekarang karena harapannya benar.

“Oh ya! Aku sekarang punya Ibu!” kata Bimbim sambil menoleh pada Sita, wanita cantik di sebelahnya, “Kenalkan, dia Ibuku! Kau harus mampir ke rumah kami!”

Rully mengulurkan tangan, sambil tersenyum pada Sita, wanita yang lebih muda beberapa tahun dari ibunya. Kemudian mereka saling berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing. Dia sedikit membungkuk hormat pada wanita yang terlihat elegan dan anggun, sambil berpikir jika ibu angkat Bimbim bukan orang sembarangan.

“Hai, Ru!” kata Sita, “Apa kau sudah mengenal Bimbim?”

“Ya! Kami berteman di panti asuhan!” kata Rully sambil melihat pada Bimbim, untuk memastikan bahwa bocah itu tidak marah saat menyebutkan tempat asalnya.

“Apa kau juga tinggal di sana?” tanya Sita.

“Tidak, kebetulan rumah kami dekat! Aku sering bermain dengan mereka,” sahut Rully.

“Bermain? Bukankah usiamu jauh lebih dewasa dibandingkan dengan anak-anak di sana?” tanya Sita lagi sambil melihat anak angkatnya.

“Ya! Kau benar!” kata Rully sambil tertawa, “Sebenarnya aku ke sana hanya untuk mengajar anak-anak tentang alam atau mengantarkan madu hutan saja!”

“Akh! Kau penjual madu hutan rupanya?” Sita berkata sambil mengangguk.

“Ya! Bisa dikatakan begitu,” kata Rully sambil tersenyum. Menjadi pedagang bukanlah hal yang memalukan walaupun, Sita menatapnya dengan pandangan merendahkan.

Tiba-tiba Bimbim tersedak sesuatu, hingga dia sesak napas. Rully tahu kebiasaan anak kecil itu bila makan akan sering tersedak. Gadis itu segara membalik tubuh Bimbim dan memeluknya dengan kuat dari belakang, sambil menekan dadanya kuat-kuat beberapa kali hentakan, hingga sesuatu keluar dari mulutnya dan pria kecil itu bisa bernapas dengan lega, dia lemas untuk sebentar, bahkan ada air menggenang di pelupuk matanya.

“Terima kasih!” kata Bimbim sambil tersenyum tipis.

Sita yang semula panik, kini sedikit lega, hingga dia tanpa sengaja memijit tombol darurat pada ponselnya. Dalam sekejap beberapa pengawal berkata mata hitam datang mendekat. Namun, karena tidak ada yang mencurigakan, mereka menjadi heran.

Salah satu dari bodyguard itu pun bertanya, “Apa yang membahayakan di sini, Nyonya?”

“Tidak ada, tadi anakku tersedak, tapi dia sudah menghentikannya!” kata Sita sambil menunjuk Rully.

Rully tercengang sesaat, tapi, dia kembali bersikap tenang setelah para pengawal itu menjauh lagi.

“Dia sering begitu, Nyonya ... kalau nanti terjadi lagi, lakukan seperti caraku tadi!”

“Ya!” kata Sita.

“Ibu, izinkan dia ke rumah kita, biar sewaktu-waktu dia bisa mengunjungiku!”

“Baiklah, apa kau ingin pulang sekarang?” tanya Sita.

“Ya! Ayo! Ru, ikutlah dengan kami!”

“Tapi, aku harus pulang, Ayah mencariku!” elak Rully.

“Bilang saja pada Ayah kau menemukanku, dia pasti tidak marah! Ayolah!” Bimbim merengek seperti anak bayi saja.

Akhirnya Rully mengikuti keinginan Bimbim dan mereka pergi dalam satu mobil, dengan Sita. Sepanjang perjalanan, anak itu menceritakan pengalaman dan perasaannya sejak pindah rumah. Memiliki banyak mainan, pakaian bagus, makanan enak dan berada di lingkungan orang yang menyayanginya, itu paling penting.

Rully pun ikut senang karena temannya hidup dalam kecukupan, lebih baik dari saat berada di panti asuhan. Memang seperti itulah harapan semua anak yang diadopsi bahwa, mereka akan hidup lebih bahagia.

Tibalah mereka di sebuah mansion mewah yang memiliki gerbang tinggi dan beberapa penjaga di dalamnya. Sebuah tempat yang biasa ditinggali kalangan atas.

Rasa takjub di hati Rully terus ada sampai akhirnya mobil berhenti di depan teras dekat pintu masuk. Dia bukan orang yang kuno sampai tercengang melihat rumah itu, dia sering melihat mansion mewah dan tahu tentang orang-orang seperti apa yang biasa tinggal di dalamnya. Yang membuatnya takjub adalah nasib baik sahabat, yang dulu tinggal di panti asuhan kini mendapatkan keberuntungan, menjadi salah satu penghuninya.

“Ru! Ayo turun!” kata Bimbim setelah sopir membukakan pintu untuknya, Rully pun ikut turun. Namun, dia menarik tangan Bimbim saat anak itu akan masuk.

Rully membungkuk, agar bisa sejajar dengan tinggi tubuh anak itu untuk bicara dengannya. Semua di saksikan oleh Sita yang hanya diam saja dengan wajah tanpa ekspresi.

“Bim! Cukup sampai di sini saja, aku sudah tahu di sini rumahmu sekarang, aku janji akan ke mari lagi kapan-kapan! Maafkan aku tidak bisa bermain untuk saat ini, lihat langit sudah mendung!” kata Rully sambil menengadah ke langit.

“Kau pasti bohong!”

“Tidak! Percayalah! Aku pasti datang lagi!”

“Kau janji?”

“Ya!” Rully berkata sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, lalu memberikan kalung yang tadi dia lepaskan.

Di saat yang bersamaan, ada seorang pria muda keluar dari dalam rumah yang pintunya sudah terbuka.

❤️❤️❤️

Terima kasih sudah membaca, jangan lupa like dan dukung dengan subscribe

Lebih Egois Dari Orang Biasa

Lebih Egois Dari Orang Biasa

Rully melirik ke arah pintu sebentar, karena kemunculan pria itu sedikit mengalihkan atensinya.

“Simpan ini, suatu saat aku akan datang untuk mengambilnya lagi!” kata Rully sambil menyelipkan kalung itu langsung di telapak tangan Bimbim.

“Ini ...” gumam anak itu, sambil melihat benda di telapak tangannya.

“Ya, kau tahu kan, aku menyukai kalung itu, makanya ... Suatu saat aku pasti datang untuk mengambilnya lagi!” Rully berkata sambil tersenyum. Bimbim pun mengangguk, sambil memasukkan kalung itu ke dalam saku celananya.

Ruli berpamitan dengan Sita, sambil membungkuk dan mengucapkan terima kasih karena sudah diperkenankan untuk singgah. Namun, matanya sempat beradu tatap untuk sekilas dengan Nakha yang berdiri tak jauh dari mereka. Dia merasakan tatapan Nakha begitu tajam ke arahnya.

Jarak antara rumah dan pintu gerbang sedikit jauh, membuat Rully berjalan lebih cepat dari biasanya, hari sudah hampir sore di tambah lagi mendung bergelayut di atas kepala hingga wanita itu semakin terburu-buru.

“Butuh tumpangan?” kata seorang pria dari jendela mobil yang terbuka.

Rully melihat ke sumber suara, si pemilik kendaraan mewah yang berjalan pelan di sampingnya.

“Tidak, terima kasih, Tuan!” jawabnya, lalu, kembali melihat ke depan.

Laki-laki itu menekan klakson mobilnya kuat-kuat membuat Rully terkejut dan menoleh kesal.

“Naiklah!” kata Nakha saat Rully melihat padanya.

Seketika Rully bisa menyimpulkan jika pria yang berada di dalam mobilnya adalah orang dengan tipe temperamen dan kasar. Dia diajarkan bersikap tenang dalam berbagai kondisi, apalagi marah dan membalas perbuatan orang lain dengan cara yang sama sangat tidak dianjurkan bagi asisten terapis dan pengobat seperti dirinya.

“Saya tahu Anda orang baik, pasti tidak akan memaksa orang lain bukan? Apalagi kita tidak saling mengenal wajar kalau saya menolak!” kata Rully dengan sopan dan tenang, bahkan dia sedikit membungkuk, untuk menunjukkan rasa hormat kepada Nakha sebab orang yang mempunyai kedudukan dan banyak kekayaan, cenderung lebih egois dari orang biasa.

Mendengar ucapan Rully, Nakha menghentikan mobil, sambil mengulurkan satu tangan kanannya ke arah gadis itu dan menyebutkan namanya, sambil tersenyum tipis.

“Namaku Nakha Safero Hau, panggil saja Nakha!”

Rully melihatnya dengan rekening yang berkerut mau tidak mau dia menerima uluran tangan itu dan menyebutkan namanya juga.

“Rully Datau! Aku biasa dipanggil Ruli!”

“Nah, sekarang kita sudah berkenalan dan kita teman, naiklah!”

Rully berjalan memutar, membuka pintu mobilnya sendiri dan kemudian duduk di kursi penumpang depan, di samping Nakha. Pria itu melirik Rully sekilas. Dalam otaknya memikirkan gadis yang sama dengan orang yang dilihatnya saat melintas di jalanan, berulang kali dia menyamakan wajahnya pada gambar dalam ponsel, bedanya, wanita itu tidak mengenakan kalung warisan keluarga Hau.

Dia melihat Rully merupakan gadis sempurna seperti idamannya, baik bentuk tubuh yang tinggi kulit yang eksotis dan rambutnya yang bergelombang, sangat pas dengan wajahnya. Mirip sekali dengan gadis yang pernah hadir dalam mimpinya beberapa bulan yang lalu, hanya saja gadis itu lebih cantik.

Namun belum sempat pria itu menjalankan kendaraannya kembali, sebuah mobil lain menghadang dan berhenti tepat di depannya.

Dua orang pria keluar dengan wajah serius cenderung gelap karena kesal. Dia adalah Deni—kakak tiri Nakha dan July—asisten pribadi keluarganya. Sementara Nakha, hanya melongokkan kepalanya ke luar jendela lalu, menyeringai dan mengusap ujung hidung dengan punggung tangan.

“Minggirlah! Kalian menghalangi jalanku!” teriak Nakha.

“Kau mau pergi ke mana? Bukankah sudah kubilang untuk menungguku?” kata Deni, dia pria berkulit coklat dan tubuhnya sedikit kurus, rambutnya lurus, memiliki fitur wajah yang tegas tapi cukup menarik.

Berdiri di sampingnya, seorang pria bertubuh tinggi besar dan berambut cepak, terlihat sangat cerdas dengan kaca mata yang bertengger di hidungnya. Dia adalah July, pria yang tidak disukai oleh Nakha, tapi sangat setia pada keluarga Hau. Kulitnya kuning Langsat, kalau bukan karena luka melintang di pipinya, wajah pria itu pasti sangat tampan.

“Kau lama sekali, aku sudah menunggu di rumah itu lebih dari satu jam lamanya, tahu?” sahut Nakha kesal.

“Sekarang aku sudah datang ... Kembalilah! Kita perlu bicara dan kali ini kau tidak bisa lagi menuduhku soal kecelakaan pesawat itu! Aku punya buktinya!”

“Aku akan pulang nanti malam, aku akan mengantar dia pulang dulu!” kata Nakha sambil melirik Rully.

“Keluar kataku!” Deni terlihat tidak sabar dan dia membuka pintu mobil secara paksa. Sedangkan July tetap berdiri di depan moncong mobil untuk mencegah Nakha kabur lagi dari mereka.

Deni dan July sudah kesal dengan ulah Nakha yang sulit sekali di atur dan selalu menuduh jika kecelakaan yang menimpanya adalah perbuatan mereka.

Sementara Rully yang merasa tidak berhak ikut campur dan tidak mengenal siapa mereka, merasa tidak enak. Dia berinisiatif turun dan keluar dari mobil termasuk dari masalah yang melibatkan tiga laki-laki itu.

“Kau mau ke mana?” tanya Naka ketika Rully membuka pintu.

Rully menoleh dan menjawab, “Aku akan pulang sendiri, sepertinya aku hanya mengganggu urusan kalian saja, apalagi aku bukan siapa-siapa Jadi untuk apa aku tetap ada di sini?”

“Bukan kamu yang harus mengalah, tapi mereka!” kata Nakha sambil menggenggam pergelangan tangan Rully mencegahnya untuk pergi.

Rully merasakan sesuatu yang berbeda pada tangan Nakha, sebab ada aliran energi negatif yang mengalir pada genggaman tangannya yang membuat pria itu sedikit gemetar. Bahkan dia merasakan denyut nadi yang tidak teratur. Dia kemudian membalikkan badannya dan menepuk punggung tangan Nakha dengan lembut, berusaha untuk menenangkannya. Dia terbiasa menenangkan pasien yang diterapi dan gelisah seperti ini.

“Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Cepat selesaikan masalahmu lebih dulu dengan mereka ... setelah itu baru pikirkan aku, oke?” kata Rully dengan lembut suaranya begitu merdu di telinga Nakha.

❤️❤️❤️

terima kasih sudah membaca, jangan lupa like dan dukung dengan subscribe

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!