Aku Farah Mesya, perempuan berumur 24 tahun yang diam-diam mencintai Gibran, kakak kelasku dulu.
Aku meninggalkan kampung halamanku untuk mengadu nasib di kota besar Jakarta.
Disaat yang bersamaan, tanpa sengaja atau ini keajaiban Tuhan, entahlah, aku bertemu dengan Gibran, kakak kelas yang aku sukai dulu bahkan sampai saat ini.
"Kamu Farah kan?" Tanya Gibran pada pertemuan yang tidak sengaja ini.
Aku yang begitu pangling melihat sesosok laki-laki yang menjadi idaman hati hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata. Jantung ini begitu nakal hingga debarannya membuatku sulit bernafas. Aku mencoba mengatur nafasku berulang-ulang dengan sellow. Semoga Gibran tidak menyadarinya.
"Apa kabar? Kamu makin cantik ya setelah bertahun-tahun gak ketemu."
Aaaaaa..
Rasanya aku pengen teriak sekeras-kerasnya mengekspresikan betapa bahagianya hati ini. Aku hanya menunduk tersipu malu mendengar perkataan Gibran.
"A-Aku ba-baik," gugup dong pastinya. Sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengan Gibran. Ini kali pertama pertemuan kami setelah lama tak bersua. Dan Gibran menanyakan kabarku, lalu memujiku. Ah, rasa senang ini cukup aku dan Tuhan yang tahu.
"Ngapain ke jakarta?"
"A-aku nyari kerjaan," jawabku masih dengan nada gugup.
"Tepat sekali, kebetulan di kantor masih membutuhkan karyawan untuk divisi pemasaran. Gimana kalo kamu aja?!" Tawarnya.
"Tapikan Kak Gib, aku cuma lulus SMA, mana mungkin bisa masuk ke perusahaan besar," ucapku padanya.
Gibran tersenyum. Ah, senyuman itu yang selalu aku rindukan, aku mimpikan, manis sekali. Ya Allah, izinkan aku memilikinya. Aku benar-benar dibuat salah tingkah dengan senyuman Gibran yang menunjukkan gigi gingsulnya.
"Tenanglah, perusahaan itu milik keluargaku. Kamu cukup interview saja, biar aku yang atur semuanya."
Gibran menjadi dewa penyelamatku. Belum satu hari keberadaanku di Jakarta, tetapi aku sudah mendapatkan pekerjaan. Terlebih lagi aku akan bekerja di sebuah perusahaan besar yang sebenarnya ijazahku tidak masuk nominasi. Tetapi berkat Gibran, aku bisa mencicipi pekerjaan itu.
"Besok datanglah ke kantor jam 7 pagi. Berikan ponselmu!" Gibran mengulurkan tangannya meminta sesuatu dariku.
Aku mengambil ponsel dari dalam tas dan memberikannya pada Gibran. Terlihat jari-jemari Gibran mengetik sesuatu di ponselku.
"Aku sudah menyimpan nomorku di ponselmu. Hubungi aku saat sudah sampai kantor. Aku pergi dulu, sampai jumpa besok," Gibran pergi berlalu. Sementara aku? Aku masih terbengong menatap punggungnya yang mulai menjauh.
Aku menarik sudut bibirku, kemudian melihat ponselku dan mengecek nomor milik Gibran.
Cowok Ganteng
Senyumku semakin melebar saat melihat nama yang Gibran tulis sebagai tanda bahwa itu adalah nomor ponselnya.
Aku memeluk ponselku saking bahagianya. Inikah yang dinamakan jatuh cinta?
Setelah mendapatkan nomor Gibran, aku kembali ke kost-anku yang sudah aku tempati sejak dua jam yang lalu.
Aku mengedit foto Gibran saat SMA dulu dan disandingkan dengan nomor ponselnya. Dengan begitu, aku bisa melihat foto cowok ganteng sekaligus nomor miliknya. Entah kenapa aku tidak bisa berhenti memandangi ponselku, lebih tepatnya foto yang sudah ku edit barusan.
***
Aku bangun pagi sekali, mengingat hari ini adalah hari pertamaku melakukan interview sekaligus hari pertama bekerja. Aku tidak ingin mengecewakan Gibran, dengan memesan ojek online, aku langsung pergi menuju kantor Fernanda Corp.
Hanya butuh waktu sekitar 30 menit, aku sudah sampai di kantor megah dan menjulang tinggi. Segera aku menelfon Gibran sesuai permintaannya akan menghubungi saat aku sudah sampai di kantornya.
Gibran memintaku untuk masuk dan bertemu dengan Dimas, sekertaris pribadi Gibran.
"Apakah kamu Farah?" Sesosok laki-laki berjas hitam dengan tegapnya berdiri di depanku.
"Iya, pak."
"Ikuti saya!" Pintanya.
Aku membuntuti pria kaku itu dengan berjalan di belakangnya. Entah dia akan membawaku kemana sampai harus menaiki lift dengan tujuan lantai 13.
Liftpun berhenti bergerak, pintunya terbuka, dengan langkah lebar pria kaku itu melangkah keluar dan aku hanya pasrah mengikutinya dari belakang.
"Masuklah! Itu ruang HRD," titahnya.
"HRD apaan pak?" Tanyaku polos. Masa bodo dengan pria kaku ini, aku bertanya sesuai apa yang membuat rasa keingintahuanku memberontak.
Dimas terlihat mengeryitkan dahinya dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mungkin dalam hatinya ia mengumpatiku yang tidak tau arti HRD.
"Human resource development, perekrutan karyawan salah satunya," jawabnya.
"Tempat interview maksudnya?" Pria kaku itu mengangguk.
"Bilang kek dari tadi, gak usah hanuman-hanuman segala."
"Human!" Ralatnya.
"Ya pokoknya itu. Makasih sudah diantar sampai sini," ucapku ramah, tetap saja pria kaku itu hanya mengangguk.
Kurang lebih 30 menit aku berada di ruangan hanuman apalah itu, ya pokoknya itu. Aku diperbolehkan untuk langsung bekerja hari ini juga. Pasti Gibran deh yang memerintahnya.
Aku berkenalan dengan karyawan satu divisi denganku, yaitu divisi pemasaran.
"Gue Riana, lo?"
"Aku Farah," jawabku.
"Selamat bergabung Farah, semoga betah ya? Kalo ada apa-apa gue siap ada buat lo," ucapnya tersenyum padaku.
Mulai dari sinilah perkenalanku dan Riana yang pada akhirnya kami menjadi sahabat sangat dekat dan ada untuk satu sama lain. Bahkan aku tidak sungkan-sungkan berbagi cerita tentang perasaanku yang sejak SMA menyukai Gibran yang kini menjadi bos kami.
***
"Ststttt, idaman lo lewat tuh," bisik Riana.
"Apaan sih, malu tau," aku hanya berucap dengan salah tingkah.
"Cie-cie yang salting dapet senyuman dari Pak Gibran, ehemmm kayaknya ada yang lagi berbunga-bunga nih," Riana terus saja menggodaku.
Aku melihat Gibran dan parahnya dia nunjukin senyum manisnya itu. Ya Allah, pengen pura-pura pingsan rasanya, biar Gibran gendong aku hehe.
"Kamu diminta ke ruangan pak Gibran sekarang!" Pria kaku bernama Dimas itu menghampiriku dan Riana, namun tatapannya fokus padaku.
"Ada apa pak Gib tiba-tiba manggil saya? Bukannya berkas yang dibutuhkan sudah saya berikan tadi?"
Pria kaku itu menggeleng dan kemudian pergi
"Kak Gibran betah banget sih punya sekertaris batu, heran deh," gumamku namun masih terdengar di telinga Riana.
"Apa? Kak Gibran? Cie panggilan mesra."
"Sudahlah diam, Ria!" Protesku kesal.
"Oke gue diem, mending lo langsung ke ruangan pak Gibran deh, takutnya penting ya kan?"
"Bener juga."
Aku beranjak dari kubikelku menuju ruangan Gibran.
Tok..
Tok..
Tok..
"Masuk!" Terdengar suara Gibran dari dalam.
"Pak Gibran manggil saya?" Aku berucap dengan bahasa profesional mengingat saat ini kami tengah berada di kantor.
"Gak usah tegang gitu Rah. Oh ya, nanti malem ada acara gak?"
"Gak ada kak, kenapa?"
Gibran mendekatiku, menatapku dengan intens. Tatapan yang sulit diartikan, senyum manis yang selalu membuatku meleleh terukir di bibirnya. Dia berbisik,"Aku mengajakmu kencan malam ini!"
Kyaaaaaaa...
Seperti es tersiram susu, manisss syekalii rasanya. Cie yang mesem sendiri🤭
TBC.
Sesuai janji Gibran yang akan mengajakku kencan malam ini, tepat pukul 19.00 Gibran datang ke kost-anku dengan mobilnya.
Aku sendiri tidak menyangka hal ini akan terjadi. Dengan tiba-tiba Gibran mengajakku berkencan. Sangat mustahil cowok tampan seperti dirinya tidak punya pacar, hanya itu yang selalu aku pertanyakan pada diriku sendiri.
Aku sudah siap dengan pakaianku, aku menemui Gibran yang sejak tadi menunggu di luar kost'an.
"Aku udah siap kak," ucapku saat melihat Gibran tengah sibuk dengan ponselnya.
Gibran menatapku hingga tak berkedip. Apa ada yang salah dari penampilanku?
Tapi satu kata yang masih kudengar dari bibirnya meskipun samar.
"Cantik."
"Kak Gib!"
"Ah, iya ayo!" Gibran mendadak salah tingkah, ia lebih dulu melangkahkan kakinya ke mobil dan aku hanya bisa menggeleng tersenyum melihat tingkahnya yang menggemaskan.
Aku tidak tau Gibran akan membawaku kemana, raut wajahnya menampakkan rasa ketidaksabaran.
Hingga mobilnya berhenti di parkiran sebuah kafe. Namun sayangnya aku tidak melihat satu pengunjung pun disana. Apa makanan disini tidak enak? Kenapa sepi sekali? Itulah yang pertama melintas di otakku saat memasuki kafe.
"Kak Gib, apa makanan disini gak enak? Kok gak ada pengunjung satu pun selain kita," Tanyaku pada Gibran. Rasa penasaran sangat amat menyelimuti hingga terus saja berbisik untuk mempertanyakan.
Bukannya menjawab, Gibran malah tersenyum dan memanggil salah satu waiters yang bertugas di sana. Ah, kenapa harus senyum sih kak Gib, adek gak tahan bang, pengen cepet dihalalin hehe
Jantungku sudah bergemuruh nakal dengan deg-degan akan berkencan dengan Gibran.
Waiters terlihat membawa nampan yang isinya sudah tertutup rapi dengan bunga mawar merah di sampingnya.
"Terimakasih Mbak," Ucap Gibran setelah Mbak-Mbak waiters itu meletakkan pesanan Gibran di atas meja.
"Selamat menikmati, semoga suka dengan hidangannya," ucap Mbak Waiters.
"Mbak, kenapa sepi sekali?" Tanyaku yang amat penasaran.
"Iya Mbak, karena kafe ini sudah dibooking sama pacar Mbak. Saya permisi dulu," pamitnya undur diri.
Aku menatap Gibran tidak percaya. Dia membooking kafe ini hanya untuk kencan denganku? Tapi kenapa?
Gibran rupanya mengerti arti tatapanku, ia menyuruku mencicipi hidangan di kafe itu.
"Nanti aku jelasin, makan dulu ya!" Aku mengangguk patuh.
"Coba deh buka yang itu!" Pinta Gibran padaku membuka tutup yang ada di atas nampan.
Aku menganga dengan mata yang melotot, aku melihat cincin berlian berada di kotak hati yang sangat amat istimewa.
"K-kak, I-ini?"
Gibran bangkit dari duduknya dan mengambil cincin itu.
"Farah, mungkin kamu akan terkejut mendengar apa yang akan aku katakan, tapi serius ini tulus dari hatiku, aku menyukaimu Rah, maukah kamu menjadi calon istri dan ibu dari anak-anak kita nanti?"
Ya Tuhan..
Tidak ada kebahagiaan selain harapan yang nyata terjadi. Aku menatap Gibran tidak percaya, benarkah dia mencintaiku? Membalas perasaan yang sudah lama aku miliki?
Aku mengangguk,"Aku mau!"
Tidak perlu berpikir lama, aku langsung menerima perasaan Gibran. Akhirnya rasa yang selama ini aku anggap mustahil, nyatanya terjadi seperti yang selalu aku harapkan.
Gibran tersenyum, ia memakaikan cincin itu di jari manisku. Dilanjut dengan mencium tanganku.
Angin sepoi-sepoi menambah suasana keromantisan semakin terasa. Aku tidak ingin waktu cepat berlalu, aku masih ingin berada di posisi dan waktu saat ini, saat Gibran menyatakan perasaannya kepadaku.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Malam ini hatiku dibuat mabuk kepayang dengan sikap romantis Gibran.
"Aku sudah mencintaimu sejak lama kak, sejak kita SMA dulu," ucapku.
"Benarkah? Kenapa gak bilang?"
"Kalo aku bilang, memangnya kak Gib saat itu mau menerimanya?"
"Ya mungkin gak sih, karna..
"Karna Ayu kan?"
Ayu adalah pacar Gibran saat SMA dulu. Ayu adalah gadis supel, wajar saja jika banyak cowok yang mengantri untuk menjadi pacarnya, termasuk Gibran.
"Sudahlah semua itu cuma masa lalu."
"Tetep aja aku cemburu," ucapku sedikit kesal.
Gibran tersenyum,"Sekarang aku hanya mencintaimu, dan kamu bukan cuma pacarku tapi juga calon istriku. Aku akan menikahimu secepatnya, bila perlu minggu depan," ucap Gibran berhasil membuatku membulatkan mata.
"Gimana bisa secepat itu," ucapku tidak percaya.
"Kenapa tidak? Tinggal sebutin mau maharnya apa, aku siap apapun itu," jawabnya.
"Tapi kan kak..
"Aku mau kita nikah minggu depan!"
Kata-kata Gibran begitu mutlak hingga aku tidak bisa lagi bernegosiasi dengannya.
Permasalahan cinta memang terkadang menjadi sebuah hal yang pelik tatkala hinggap pada muda-mudi yang merasa sudah cukup umur, utamanya bagi sekelompok orang yang sudah paham agama, sudah istiqomah ngaji dan enggan ikut arus mainstream dengan budaya pacaran. Maka tak ayal jika topik tentang cinta ini menjadi sebuah topik yang cukup sakral di kalangan mereka, seakan bahan ngobrol dan guyonan terasa hambar jika topik cinta ini tak masuk ke dalam bahasan. Seolah ada pelampiasan yang melegakan ketika perbincangan sudah mengarah ke masalah cinta apalagi sampai masuk ke ranah tentang pernikahan.
Memang kalau bicara cinta afdholnya adalah juga bicara tentang pernikahan. Mengapa? Karena memang begitulah agama Islam ini mengajarkan tentang bagaimana memperlakukan kesucian cinta itu dengan benar. Cinta tanpa pernikahan adalah omong kosong. “Kalau anda cinta ya nikahilah!”, begitulah mungkin yang acapkali kita dengar dari sebagian orang. Mereka memegang teguh prinsip, “Seseorang yang membiarkan pasangannya menunggu terlalu lama, sesungghnya dia itu tidak cinta!”. Dari pernyataan-pernyataan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa orang-orang pada umumnya adalah memegang kaidah “menikahi orang yang dicintai”.
Orang yang mencintai akan cenderung melakukan apapun untuk orang yang disayang dan menghindari hal-hal yang memicu pertengkaran, walaupun hal tersebut akan selalu ada.
Sedangkan jika perempuan lebih mencintai akan ada kemungkinan untuk diselingkuhi, ditinggalkan, hingga dimanfaatkan. Menurut beberapa pengalaman tersebut, ternyata banyak juga yang menyatakan bahwa mereka merasa lebih bahagia setelah menikah dengan orang yang mencintainya setelah memiliki hubungan dengan orang yang yang membuatnya tergila-gila. Walapun demikian perlu kamu kenali dirimu sendiri juga apakah benar cinta datang karena terbiasa berlaku pada dirimu selama ini.
Walau terdengar klise namun pernyataan bahwa pernikahan tak hanya bisa berlandaskan rasa cinta ternyata benar adanya. Perlu ada logika yang digunakan sebelum memutuskan komitmen jangka panjang ini karena bukan hanya perkara menikahnya itu sendiri tapi juga tentang bagaimana untuk stay married. Nah, kalau menurut para Readersku sendiri gimana? hehe
TBC.
Kata-kata Gibran seolah mengandung sihir hingga aku selalu dibuat mati kutu tak berdaya dengan perkataannya.
Seperti biasa, pagi sekali aku sudah bersiap dengan pakaian kerjaku. Namun kali ini ada yang berbeda, aku tidak lagi memesan ojek online untuk mengantarku sampai kantor, tetapi Gibran sendiri yang akan mengantar jemputku setiap hari. Calon suami yang baik hehe
Terdengar suara deru mobil di depan kost'an, sudah pasti itu Gibran yang akan menjemputku.
"Ayo!"
Aku mengangguk, sedikit canggung rasanya harus berangkat ke kantor bareng dengan Gibran, apa lagi dia adalah bos, gimana pandangan karyawan lain yang melihatku datang bersama Gibran.
"Gak perlu takut, cepat atau lambat mereka akan tau. Tanpa mereka tau, aku juga akan mengumumkan rencana pernikahan kita. Biar gak ada satu laki-laki yang mendekatimu kecuali aku!"
Aku tersenyum lega. Hingga tak terasa kami mengobrol, mobil sudah berhenti di pelataran Kantor Fernanda Corp. Benar saja, banyak pasang mata yang melihatku turun dari mobil Gibran, bahkan Gibran dengan sengaja menggandeng tanganku.
Cukup risih sih, menjadi pusat perhatian semua orang. Tetapi dengan begini kesempatanku untuk menikah dengan orang yang sudah lama kucintai semakin besar dan nyata.
Dan terakhir sepasang mata yang amat sangat dekat denganku, Riana. Dia melihatku dengan tatapan penuh tanya. Pasalnya, aku memang tidak menceritakan padanya tentang Gibran yang mengajakku kencan dan mengutarakan cintanya padaku.
"Gue gak salah liat kan Rah, lo harus ceritain ke gue semuanya!" Begitu Riana yang jiwa keponya mendadak tersulit api.
"Jangan suka kepo, nanti tumbuh uban mendadak," jawabku sekenanya.
"Bodo amat, gue penasaran. Kok bisa lo dateng bareng pak Gibran, pake gandengan tangan segala lagi. Lo harus ceritain semuanya!"
"Iya-iya, aku bakal ceritain semuanya. Kak Gibran semalem ngajak aku kencan dan dia nyatain perasaannya bahkan mengajakku menikah minggu depan," ceritaku.
"Minggu depan?!" Riana terkaget-kaget.
"Ih, jangan kenceng-kenceng."
"Sorry. Tapi seriusan minggu depan?" Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Cie yang mau jadi istrinya si bos, ehemm. Gue turut seneng dengan kebahagiaan lo Rah. Karena ternyata perasaan yang sudah lama hadir itu berbuah manis."
"Aku pikir juga gitu heheh."
Riana terus saja menggodaku. Tiba-tiba saja Gibran dan sekertaris kakunya itu datang.
"Perhatian semuanya, pak Gibran ingin menyampai sesuatu pada kalian," ucap Dimas pembuka acara hehhe.
"Saya mengerti dengan pertanyaan yang timbul di otak kalian setelah melihat saya dan Farah tadi. Saya akan jelaskan kepada kalian semua, bahwa Farah adalah canlon istri saya, dan kami akan menikah dalam waktu dekat ini."
Banyak karyawan yang berbisik turut bahagia karena bos mereka tidak lama lagi akan melepas masa lajangnya. Namun tidak sedikit yang kecewa karena merasa kesempatan untuk mendekati Gibran telah pupus.
Aku menunduk malu saat Gibran mengumumkan hubungan kami di depan semua karyawannya.
***
Saat jam makan siang, aku diminta Dimas keruangan Gibran. Ada apa?
"Ada apa kak?"
"Kok lesu gitu?" Tanya Gibran yang melihatku tidak semangat.
"Gimana gak lesu, setelah Kak Gib mengumumkan hubungan kita, gak sedikit karyawan kakak yang jealous. Bahkan sampai memakiku," aku bercerita dengan kesal saat kepergian Gibran setelah mengumumkan hubungan kami.
Beruntung ada Riana yng selalu membelaku. Jadi tidak begitu berlebihan mereka menghinaku.
"Ya udah jangan ngambek gitu. Belum makan siang kan?" Aku menggeleng.
"Ayo makan siang bareng!"
"Dimana?"
"Disini aja, asal sama kamu, calon istri," ucapnya sambil tersenyum.
Entah kenapa? Sikap Gibran selalu membuatku makin meleleh layaknya es yang mencair.
"Pulang nanti, mampir ke rumah dulu ya?!"
"Kenapa kak?"
"Mama sama Papa mau ketemu kamu!"
"Oke kak," Aku sudah mengenal siapa mereka. Karena dulu rumah Gibran dan aku hanya terhalang tiga rumah saja. Namun saat Gibran lulus SMA, mereka pindah ke Jakarta dan Gibran pun melanjutkan sekolahnya di sana.
Benar saja, saat jam kantor telah selesai, Gibran membawaku bertemu Tante Rani dan juga Om Danu.
"Assalamualaikum, Tante, Om," sapaku yang menghampiri mereka di ruang keluarga.
"Waalaikumsalam. Ya ampun ini Farah kan? Tetangga dulu di kampung,"
Kedatanganku di rumah Gibran disambut baik oleh orangtuanya.
"Iya tante ini Farah."
"Ya ampun, kamu makin cantik ya setelah dewasa. Ayo duduk Rah!" Pintanya dan aku mengangguk.
"Gibran sudah ceritakan semuanya sama Om dan Tante, dan kami setuju. Karena menurut tante, kamua adalah calon istri yang baik untuk Gibran."
"Terima kasih tante, om." mereka mengangguk.
Aku mengobrol panjang lebar dengan sesekali tertawa. Sangat beruntung kehidupan Gibran jauh kebih baik dari di kampung dulu. Dan aku cukup merasa beruntung karena terpilih sebagai calon istri dari Gibran.
Setelah makan malam dengan keluarga Gibran, aku memutuskan untuk pulang mengingat tubuhku sangat lengket karena beraktifitas seharian dan perlu disiram dengan air.
"Makasih kak Gib."
"Buat?"
"Buat semua yang sudah kak Gib kasih untukku. Aku sangat bahagia bisa memiliki calon cuami sepertimu."
"Dan aku juga bahagia dengan hadirnya kamu sebagai calon istri dari Gibran Fernanda."
"Aku masuk dulu ya kak, kakak pulang hati-hati."
Gibran mengangguk. Namun saat aku ingin menghilang dari balik pintu, tiba-tiba Gibran memanggilku.
"Rah.."
Aku menoleh seketika, dan kaget karena Gibran sudah ada di belakangku. Entah sejak kapan posisinya begitu sangat dekat.
...Cup......
Satu kecupan mendarat di bibir ranumku. Mataku membulat sempurna.
"Sampai jumpa besok, calon istri."
Gibran berlalu pergi dengan mobilnya. Sementara aku, aku masih terbengong dengan tangan yang memegangi bibir.
Gi-Gibran menci-ciumku..
Kyaaaaaaa....
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!