NovelToon NovelToon

The Last Sword

Dua Kehidupan : Mimpi dan Penyesalan

Gretta Young duduk di lantai dojo, napasnya terengah-engah setelah latihan intensif yang baru saja dia selesaikan. Wajahnya dipenuhi dengan ekspresi kepuasan, tetapi juga ketegangan yang tak tersembunyi. Dia adalah perempuan berusia 25 tahun yang memiliki semangat juang yang tak tertandingi, telah mengukir namanya sebagai salah satu atlet bela diri karate terbaik di dunia.

Gretta tidak lahir dalam kemewahan atau privasi. Sejak kecil, dia telah mengalami berbagai rintangan dan tantangan yang membuatnya menjadi pribadi yang kuat dan gigih. Ayahnya adalah seorang pekerja pabrik yang

bekerja keras, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang berdedikasi. Mereka tidak memiliki banyak uang, tetapi mereka memiliki keyakinan yang kuat pada anak-anak mereka, terutama pada Gretta.

Dari usia yang sangat muda, Gretta menunjukkan minat dan bakat yang luar biasa dalam seni bela diri. Ketika dia berusia enam tahun, ayahnya membawanya ke dojo lokal untuk pertama kalinya, dan sejak saat itu, dia

jatuh cinta pada latihan yang keras dan disiplin yang diperlukan untuk menjadi seorang atlet bela diri yang sukses. Selama bertahun-tahun, Gretta meraih prestasi demi prestasi dalam kompetisi karate lokal dan regional. Dia tidak pernah puas dengan prestasinya yang sekarang, selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik. Pelatihnya mengakui bakat luar biasanya dan dedikasinya yang tak kenal lelah. Dia melihat potensi besar dalam Gretta, potensi untuk menjadi juara dunia.

Puncak dari perjalanan panjangnya datang pada usia 22 tahun, ketika dia mengikuti kejuaraan dunia karate yang bergengsi. Kompetisi ini adalah ujian nyata dari kemampuan dan mentalnya. Gretta melawan para pesaing

terbaik dari seluruh dunia, menghadapi tantangan yang tak terhitung jumlahnya. Namun, dengan tekad dan keberanian yang tak tergoyahkan, dia berhasil mengatasi setiap rintangan dan akhirnya mendapatkan gelar juara dunia.Kemenangan itu bukanlah akhir dari perjalanan Gretta. Sebaliknya, itu hanya awal dari babak baru dalam kehidupannya. Dia kini menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang berasal dari latar belakang yang sulit. Gretta membuktikan bahwa dengan kerja keras, ketekunan, dan tekad yang kuat, segala sesuatu mungkin tercapai. Saat dia duduk di lantai dojo, merenung tentang perjalanan hidupnya yang luar biasa, Gretta merasa rasa syukur yang mendalam. Dia tahu bahwa di balik kesuksesannya ada kerja keras yang tak terhitung jumlahnya, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak akan pernah berhenti berjuang untuk impian dan ambisinya.

Sejak usia sepuluh tahun, Gretta Young telah terbangun oleh bayang-bayang gadis misterius dalam mimpinya, bernama Sheila Evergreen. Saat matahari terbenam dan malam datang, Gretta akan terlelap ke dalam dunia mimpi, di mana dia dan Sheila tumbuh bersama-sama dalam dua dunia yang berbeda: satu di dunia nyata, dan satu di dunia imajinasi yang penuh dengan keajaiban dan misteri. Di dalam mimpinya, Sheila bukan sekadar seorang gadis biasa. Dia adalah putri kedua dari keluarga Duke Evergreen, keluarga yang dihormati dan terkenal akan ketangguhannya dalam seni pedang. Sebagai anggota keluarga bangsawan, Sheila dilatih dengan keras dalam seni pedang sejak usia muda. Dia belajar memegang pedang dengan keanggunan dan keahlian yang memukau, sementara tetap menjaga kecantikan dan kelembutan seorang putri.

Namun, kehidupan Sheila tidak pernah mudah. Meskipun dikelilingi oleh kemewahan dan keanggunan, dia tumbuh dalam tekanan untuk memenuhi harapan keluarganya. Dia harus membuktikan dirinya sebagai anggota Duke Evergreen, menunjukkan kemampuan dan keberanian yang sesuai dengan reputasi keluarganya. Sheila adalah pekerja keras yang tak kenal lelah. Selain dari latihan pedangnya yang intens, dia juga belajar banyak hal lainnya, mulai dari etiket bangsawan hingga strategi perang. Dia tidak hanya pandai dengan senjata, tetapi juga dengan pikiran dan hatinya. Setiap hari adalah tantangan baru bagi Sheila, dan dia menerima setiap tantangan dengan tekad yang kuat dan semangat yang menyala-nyala.

Di dalam mimpi-mimpinya, Gretta menyaksikan perjuangan Sheila dengan penuh kagum. Dia melihat bagaimana Sheila berjuang melawan rintangan dan keberhasilannya dalam setiap pertempuran. Setiap kemenangan yang diraih Sheila, baik dalam pertarungan fisik maupun dalam melewati perangai bangsawan, menjadi inspirasi bagi Gretta. Kehadiran Sheila dalam mimpi Gretta memberikan warna baru dalam hidupnya. Sheila bukan hanya teman imajiner; dia adalah sumber inspirasi dan kekuatan bagi Gretta. Melalui perjalanan mereka dalam mimpi, Gretta belajar tentang ketabahan, keberanian, dan tekad yang tidak pernah surut.

Saat matahari terbit dan dunia nyata memanggilnya kembali, Gretta membawa dengan dia semangat Sheila, harapan dan mimpi yang mereka bagi bersama. Meskipun keduanya hidup di dunia yang berbeda, kekuatan persahabatan mereka melintasi batas-batas realitas, membawa mereka menuju petualangan yang tak terduga dan kisah yang tak terlupakan.

***

Hari itu adalah titik terendah dalam hidup Gretta Young. Seorang atlet bela diri yang tangguh, dia terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, terikat oleh kabel dan selang yang mengalirkan kehidupan ke tubuhnya yang rapuh. Cederanya parah, menyebabkan dia harus mengucapkan selamat tinggal pada mimpinya sebagai atlet. Namun, itu bukanlah satu-satunya ujian yang harus dia hadapi.

Dokter memberikan diagnosis yang menghancurkan: kanker otak. Cederanya ringan yang diabaikan selama bertahun-tahun akhirnya menghasilkan konsekuensi yang mematikan. Mereka memberinya waktu yang terbatas, prognosis yang suram. Gretta terdiam, terjebak dalam gelombang rasa putus asa dan keputusasaan. Semua impian, semua harapan, tampaknya sirna dalam sekejap.

Di dunia mimpi, Sheila Evergreen juga merasakan beban penderitaan yang tak terbayangkan. Keluarganya yang mulia runtuh di depan matanya, setiap fondasi yang mereka bangun hancur dalam kekacauan. Awalnya adalah kematian tragis Duchess Evergreen, ibu Sheila, yang meregang nyawa karena wabah besar yang melanda kerajaan. Namun, penderitaan itu tidak berhenti di situ. Sang Duke, yang dulu begitu mencintai istrinya, menyerah pada keputusasaan dan kesedihan. Dengan patah hati yang tak tersembuhkan, dia mengakhiri hidupnya dengan mengkonsumsi racun yang mematikan, meninggalkan Sheila dan saudara-saudaranya dalam kekosongan yang menghancurkan. Kakak Sheila, yang seharusnya melanjutkan warisan ayahnya, jatuh ke dalam kegelapan perjudian dan kehidupan yang mewah, menghancurkan segalanya yang telah dibangun oleh generasi sebelumnya. Sementara itu, adik Sheila, yang diharapkan akan menjadi kesatria yang gagah berani, kehilangan tangannya di medan perang, menyisakan dia dengan rasa hampa dan putus asa. Frustrasi dan putus asa menggema di hati Sheila. Melihat segalanya runtuh di sekitarnya, dendam dan kebencian memenuhi pikirannya. Akhirnya, dia menemukan jalan keluar yang gelap: membunuh kakak dan adiknya dengan kejam, membawa mereka ke pintu kematian dengan tangannya sendiri. Dengan hati yang keras dan tekad yang kuat, Sheila mengumpulkan pasukan ksatria yang setia pada Duke Evergreen, membentuk faksi pemberontak yang bertujuan untuk menggulingkan kekaisaran yang kacau dan korup. Dalam kehancuran dan kegelapan, dia menemukan kekuatan yang baru, kekuatan untuk mengubah takdirnya sendiri dan takdir kerajaan.

***

Gretta merasakan kehampaan yang dalam ketika dokter memberikan diagnosis yang mematikan. Setiap hari terasa seperti perjuangan yang tak berujung, baik melawan penyakit mematikan di dalam tubuhnya maupun melawan ketakutan dan keputusasaan yang merayap di pikirannya. Namun, di tengah kegelapan, ada semacam kekuatan yang menggerakkan dirinya untuk bertahan hidup. Meskipun tubuhnya lemah dan terikat oleh rasa sakit, semangat bertahan hidupnya tetap menyala. Dia menolak untuk menyerah pada penyakitnya, menolak untuk menyerah pada keputusasaan. Gretta mulai berjuang, tidak hanya untuk hidupnya sendiri, tetapi juga untuk impian-impian dan aspirasi yang telah dia bina selama bertahun-tahun.

Di antara sesi rehabilitasi yang melelahkan dan terapi yang menyakitkan, Gretta menemukan kekuatan dalam kenangan tentang keberhasilan masa lalunya sebagai atlet. Dia mengingat momen-momen kemenangan, saat dia meraih medali emas dan mendengarkan sorak sorai penonton. Kenangan itu memberinya dorongan untuk terus maju, untuk tidak menyerah pada keadaan yang sulit. Saat hari-hari berlalu, Gretta mulai membangun kembali tubuhnya yang rapuh, langkah demi langkah. Dia menemukan kembali kekuatannya, baik secara fisik maupun mental. Meskipun tantangan masih ada di depannya, dia tidak lagi merasa terikat oleh ketakutan dan keputusasaan. Sebuah api baru menyala dalam dirinya, api yang menyalakan semangatnya untuk bertarung dan

bertahan hidup.

Sementara itu, di dunia mimpi, Sheila Evergreen memimpin faksi pemberontaknya dengan tangan besi. Dia adalah pemimpin yang karismatik dan tak kenal ampun, siap mengorbankan apa pun untuk mencapai tujuannya. Dibawah pimpinannya, pasukan ksatria Duke Evergreen menjadi kekuatan yang tak terhentikan, menaklukkan setiap rintangan yang menghalangi jalan mereka. Meskipun penuh dengan dendam dan kebencian, Sheila juga menyimpan kepedulian yang mendalam terhadap rakyatnya. Dia berusaha untuk memberikan keadilan bagi mereka yang tertindas oleh kekaisaran yang korup, menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi mereka yang percaya padanya.

Namun, kekuasaan tidak datang tanpa harga. Setiap langkah yang dia ambil dihargai dengan pengorbanan dan kehilangan. Dalam kegelapan hatinya, Sheila merasakan rasa bersalah yang terus menderanya, kenangan tentang tindakan kejam yang dia lakukan terhadap saudara-saudaranya. Namun, dia menolak untuk menyerah pada penyesalan, terus maju dengan tekad yang kuat. Dengan setiap kemenangan yang diraihnya, Sheila semakin

dekat dengan tujuannya untuk menggulingkan kekaisaran yang zalim dan mengubah takdir kerajaan. Namun, di tengah perjuangan dan penderitaannya, pertanyaan tetap menghantui pikirannya: apakah harga kekuasaan yang dia bayar terlalu mahal?

Gretta Young terbangun dari mimpi yang gelap, nafasnya terengah-engah dalam kepanikan. Di dalam tidurnya, dia menyaksikan kehancuran yang menghantam dunia mimpi yang dia bagikan dengan Sheila Evergreen. Gadis

itu, yang dulunya merupakan pahlawan yang dihormati, kini telah jatuh ke dalam jurang kegilaan yang mendalam. Dengan ambisi yang membutakan, Sheila menyerang kekaisaran yang seharusnya dilindungi oleh keluarga Evergreen, memutar pedang kekuasaan yang seharusnya menjadi simbol perdamaian menjadi senjata kehancuran. Kekuatan yang harusnya melindungi, malah menjadi ancaman bagi keamanan dan stabilitas

kerajaan.

Di malam yang gelap dan menyeramkan itu, pasukan Putra Mahkota Luke Godwinson berhadapan dengan pasukan Sheila Evergreen dalam pertempuran yang mematikan. Kedua belah pihak mengeluarkan kekuatan penuh

mereka, saling berhadapan dengan tekad yang kuat dan niat yang membara. Peperangan berkecamuk di medan pertempuran, dan darah ditumpahkan di tanah. Banyak korban yang jatuh, ksatria yang gagah berani,

pahlawan yang tak kenal lelah, semuanya menemui akhir mereka di tengah kemarahan dan keputusasaan. Namun, di tengah kekacauan itu, ada dua sosok yang mencapai akhir yang tragis.

Luke Godwinson, dengan hati yang hancur dan mata yang penuh dengan air mata, bertarung dengan Sheila Evergreen, wanita yang dulunya menjadi kekasihnya. Di antara sorakan peperangan dan suara pedang yang bergemuruh, mereka berdua bertatapan dengan tatapan yang penuh dengan kebingungan dan

kesedihan.

Ketika pedang mereka bertemu di udara, keduanya merasakan rasa sakit yang menusuk di hati mereka. Luke meratapi kehilangan cinta yang telah terpisah oleh ambisi dan keputusasaan, sementara Sheila, dengan darah

mengalir deras dari luka di dadanya, hanya mampu mengucapkan permintaan maaf yang penuh penyesalan.

Dengan kekuatan terakhir yang tersisa, mereka menusukkan pedang masing-masing ke dalam jantung yang terluka. Di tengah sorakan peperangan yang mereda, mereka jatuh bersama-sama, mengakhiri pertempuran dengan akhir yang tragis.

Dalam keheningan yang menyedihkan, Luke menatap Sheila yang terluka, mencari jawaban yang tak pernah dia temukan. Dan di antara desisan nafas terakhir mereka, hanya ada harapan yang sederhana: harapan bahwa jika

mereka memiliki kesempatan untuk hidup kembali, mereka tidak akan berakhir dalam kesedihan dan keputusasaan seperti ini. Di tengah keheningan yang terasa berat, Luke Godwinson dan Sheila Evergreen saling bertatapan, mata mereka dipenuhi dengan rasa sakit, penyesalan, dan cinta yang tak terucapkan. Mereka tahu bahwa saat ini adalah saat terakhir mereka bersama, di dunia yang penuh dengan kegelapan dan keputusasaan.

“Sheila... Kenapa kita harus sampai seperti ini?” Ucap Luke, suara nya lirih dan terengah-engah.

“Maafkan aku, Luke... Maafkan aku atas segalanya...” jawab Sheila dengan terengah-engah karena menahan rasa sakit akibat jantung nya di tikam oleh Pedang Edna milik Luke yang merupakan pedang Sihir Naga. Luke pun tidak kalah menahan sakit, tangan nya bergetar karena tenaga nya terasa hilang, dia berdiri dengan goyah, Pedang Es Evergreen tertancap di Jantungnya.

“Tidak, Sheila. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi dengan penyesalan seperti ini,” Dia meraih tangan Sheila yang terluka dengan lembut, “Kita punya begitu banyak mimpi bersama, begitu banyak rencana untuk masa depan kita. Aku tidak bisa kehilanganmu...”

“Luke... Kau adalah cahaya di tengah kegelapan hidupku. Aku... Aku mencintaimu...” Sheila menggenggam tangan Luke dengan lemah.

“Aku juga mencintaimu, Sheila. Dan aku tidak akan pernah melupakanmu...” Mata Luke berkaca-kaca.

Mereka saling bertatapan, merasakan kehangatan dan cinta yang masih terasa meskipun kematian sudah dekat. Di antara keheningan yang tercipta, mereka merasakan kedamaian yang datang dengan menerima akhir yang sudah ditentukan oleh takdir.

Sheila, dengan nafas terakhirnya, “Maafkan aku...” Dia tersenyum lemah, “Dan jika... jika kita diberi kesempatan untuk hidup kembali, aku berharap kita tidak akan kembali seperti ini...”

“Aku juga berharap begitu, Sheila... Aku juga berharap begitu...” Luke meneteskan airmata kesedihan dan penyesalannya akan takdir yang telah membawa mereka seperti ini.

Dalam kesenyapan yang penuh dengan rasa sedih dan penyesalan, Luke dan Sheila melepaskan genggaman mereka satu sama lain, merelakan diri mereka untuk pergi ke arah yang tak terduga. Dengan kepercayaan yang dalam bahwa cinta mereka akan tetap abadi, mereka menutup mata mereka untuk selamanya, meninggalkan dunia ini sebagai sepasang jiwa yang terikat untuk selamanya.

Gretta Young dan Sheila Evergreen

Setelah terbangun dari mimpi yang menyayat hati itu, Gretta Young merasa air mata mulai mengalir tanpa henti dari matanya yang terbuka lebar. Dia merasakan kebingungan dan ketakutan yang mendalam merayap ke dalam pikirannya, menimbulkan gelombang emosi yang tak terkendali di dalam dirinya. Dengan setiap tetes air mata yang jatuh ke pipinya, Gretta merasakan kepedihan yang menyayat hati dari apa yang baru saja dia saksikan dalam mimpi. Dia merasa seakan-akan dia telah kehilangan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Gretta meremas-remas selimut di sekitarnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri dari badai emosi yang melanda. Namun, air mata terus mengalir tanpa henti, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Dalam keheningan malam yang gelap, suara-tangis Gretta bergema di ruangan, menciptakan melodi kesedihan yang menyayat hati. Dia merasa terputus dari dunia luar, tenggelam dalam lautan emosi yang meluap-luap di dalam dirinya.

Dan di tengah-tengah tangisan yang menyedihkan itu, Gretta merasa seolah-olah air mata itu adalah satu-satunya cara untuk melepaskan beban yang begitu berat dari hatinya. Dia merasakan kelemahan yang mendalam, tetapi juga merasa sedikit lega, karena mengetahui bahwa setiap tetes air mata adalah langkah kecil menuju penyembuhan yang dia butuhkan.

Dengan setiap isakan yang keluar dari bibirnya, Gretta merasa seolah-olah dia melepaskan diri dari belenggu yang mengikatnya, membebaskan dirinya untuk merasakan emosi yang sesungguhnya, bahkan jika itu berarti harus menghadapi kesakitan yang tak terkatakan. Keheningan melingkupi ruangan operasi saat tim medis bersiap

untuk melakukan tindakan yang kritis. Gretta Young terbaring di atas meja operasi, tubuhnya yang rapuh tertutup oleh selimut hijau steril. Dia terlihat tenang di antara lampu sorot yang terang dan peralatan medis yang mengelilinginya.

***

Dokter bedah memimpin operasi dengan hati-hati, berusaha mengatasi tumor ganas yang tumbuh di otak Gretta. Tangannya bekerja dengan cermat, memotong kulit dan jaringan untuk mencapai target yang tersembunyi di dalam otak pasien.

Tetapi di tengah-tengah prosedur yang rumit, sebuah ketegangan yang tak terduga menyelinap masuk. Monitor jantung memancarkan bunyi alarm yang membingungkan, menandakan bahwa ada komplikasi yang tidak terduga dalam proses operasi. Tim medis berusaha dengan cepat untuk menstabilkan kondisi Gretta, tetapi upaya mereka sia-sia. Dalam keheningan yang tegang, dokter bedah mengangkat pandangan dari laparoskopi, wajahnya terlihat tegang oleh berita yang dia terima. Dia memandang dengan sedih kepada rekan-rekannya, memberi isyarat bahwa upaya penyelamatan telah gagal.

Di sepanjang ruangan, suasana hening yang tegang merambat, menggantikan harapan dengan kesedihan yang tak terucapkan. Keluarga dan teman-teman yang menunggu di luar ruangan operasi merasakan kegelisahan yang mendalam, menunggu dengan ketakutan yang tidak terkendali untuk berita tentang nasib Gretta.

Dan di dalam ruangan operasi yang sunyi, nyawa Gretta Young perlahan-lahan memudar, meninggalkan dunia ini dengan damai. Meskipun usaha gigih dari tim medis, takdir telah menentukan bahwa hidupnya harus berakhir di meja operasi, meninggalkan kerinduan yang tak terucapkan di hati mereka yang ditinggalkan.

***

Jiwa Gretta yang telah meninggal melayang-layang di tengah padang rumput yang luas, merasakan kehangatan dan ketenangan yang menyelimuti setiap seratnya. Di kejauhan, dia melihat seorang gadis kecil mendekatinya dengan langkah ringan, membawa sebuah buku di tangannya. Gadis kecil itu memiliki penampilan yang cukup unik. Dia memiliki sepasang kuping serigala yang menonjol di atas kepalanya, menambahkan sentuhan magis pada penampilannya. Wajahnya imut dengan senyum ramah yang menghiasi bibirnya. Dia mengenakan baju kodok berwarna biru yang mencolok, kontras dengan warna abu muda dari rambut panjangnya yang terurai hingga ke

pinggang.

Namun, yang paling mencolok adalah mata gadis kecil itu. Mata merah tajamnya memancarkan kebijaksanaan dan kekuatan yang luar biasa, seolah-olah menyiratkan bahwa di balik penampilannya yang lucu, ada kekuatan yang luar biasa tersembunyi di dalam dirinya.

"Gretta," sapa gadis kecil itu dengan suara lembut namun penuh dengan kehangatan. "Aku adalah seorang Dewa."

Gretta tercengang mendengar pengakuan itu. Dia menatap gadis kecil itu dengan penuh keheranan dan kebingungan. Apa yang seorang Dewa lakukan di sini? Dan mengapa dia mengunjungi Gretta di saat-saat seperti ini?

"Dewa?" ucap Gretta dengan suara gemetar. "Apa yang Dewa lakukan di sini?"

Gadis kecil itu tersenyum lembut, memperhatikan kebingungan yang terpancar dari wajah Gretta. "Aku datang untuk membawamu ke tempat yang baru, tempat di mana kisahmu akan melanjutkan perjalanan yang belum selesai. Karena, Gretta, meskipun kehidupanmu di dunia manusia telah berakhir, namun petualanganmu belum berakhir. Ada peran yang harus kamu mainkan dalam cerita yang lebih besar, dan aku di sini untuk membantumu menemukan jalanmu."

"Dapatkah kamu memberitahu saya lebih banyak?" tanya Gretta dengan hati-hati.

Gadis kecil itu mengangguk, senyumnya tetap terukir di wajahnya. "Tentu saja, Gretta. Tetapi pertama-tama, mari kita pergi ke tempat yang baru, tempat di mana petualanganmu akan dimulai."

Dengan hati yang dipenuhi dengan keraguan, Gretta mengikuti Dewa kecil itu ke tempat yang baru, masih mencoba memahami tujuan sebenarnya di balik pertemuan mereka. Namun, semakin mereka berjalan, semakin jelas terbentuk dalam pikiran Gretta bahwa ini bukanlah pertemuan yang kebetulan semata.

Saat mereka mencapai suatu tempat yang sunyi, Dewa kecil itu berhenti dan menatap mata Gretta dengan serius. "Gretta," katanya dengan suara yang kuno dan bijaksana, "Kita berada di hadapan muatan takdir yang luar biasa. Kau, Gretta Young, bukan hanya seorang atlet karate yang ulung, melainkan juga manifestasi takdir seseorang yang sangat penting."

Gretta memandang Dewa dengan kebingungan yang mendalam. "Apa maksudmu, Dewa? Siapa yang saya manifestasikan?"

Dewa mengangguk dengan lembut. "Kamu adalah manifestasi takdir Sheila Evergreen, putri Duke Evergreen yang pernah kuat dan bangga. Namun, takdir Sheila telah terkutuk. Di setiap kehidupannya, takdirnya selalu berakhir dengan tragedi yang menyedihkan. Kematian tragis, kegilaan, kehancuran…itulah yang menantinya, tak peduli berapa kali ia dilahirkan kembali."

Gretta merasa seolah-olah berada di dalam pusaran kegelapan yang tak terbatas. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan. "Apa yang harus saya lakukan, Dewa? Bagaimana saya bisa merubah takdir seseorang?"

Dewa menyentuh pundak Gretta dengan lembut, memberinya kekuatan dan keyakinan. "Kekuatan ada di dalam dirimu, Gretta. Hanya kamu yang dapat memutuskan jalannya. Kau harus melangkah maju, melewati batas-batas yang telah ditetapkan oleh takdir, dan memperjuangkan kebebasan bagi Sheila. Hanya dengan itu, kalian berdua akan dapat mengakhiri kutukan takdir yang telah mengikatmu selama ini."

Dengan tekad yang bulat dan keberanian yang membara, Gretta Young setuju untuk mengambil peran sebagai pemimpin dalam perjalanan epik ini. Dia merasa kekuatan dan semangat mengalir di dalam dirinya saat Dewa kecil itu mengangguk mengerti.

Tanpa sepatah kata pun, Dewa kecil itu mengangkat jarinya dengan anggun, dan dengan jentikan yang lembut, dunia berputar di sekeliling Gretta. Sensasi aneh melanda tubuhnya, seolah-olah dia diseret ke dalam pusaran energi yang tak terlihat.

Ketika semuanya berhenti berputar, Gretta membuka matanya dan menemukan dirinya terbangun dalam tubuh yang tidak dikenal. Dia merasakan kelembutan seprai di bawahnya dan angin sejuk yang menyapu rambutnya. Saat dia bangkit dari tempat tidur, dia menyadari bahwa dia berdiri di dalam kamar yang indah, dikelilingi oleh dekorasi yang mewah. Dia menatap cermin di dinding dan terkejut melihat bayangan yang terpantul di

dalamnya. Itu bukanlah wajah Gretta Young yang dikenalnya dengan baik, melainkan wajah Sheila Evergreen, putri Duke Evergreen yang kuat dan bangga.  Ketika Gretta, yang kini berada dalam tubuh Sheila Evergreen, menatap cermin di dinding kamar, dia melihat bayangan seorang gadis muda yang cantik dan anggun. Sheila memiliki rambut panjang yang lurus dan mengalir, berwarna hitam pekat yang menyentuh bahunya dengan gemulai. Setiap helai rambut terlihat berkilauan di bawah cahaya lembut ruangan, memberinya penampilan yang menawan.

Mata Sheila adalah fitur yang paling mencolok. Mereka memancarkan keanggunan dan misteri dengan warna ungu muda yang memikat. Bulu mata lentiknya melengkapi mata indah itu, menambah pesona yang tidak bisa diabaikan. Menandakan bahwa dara Evergreen mengalir di tubuhnya. Rambut Hitam dan mata ungu muda adalah karakter dari keturunan Evergreen. Kulit Sheila sangatlah lembut dan putih, seolah-olah tidak pernah terpapar sinar matahari secara langsung. Kehalusannya menambah aura kemurnian dan keanggunan pada penampilannya yang mempesona. Bibirnya, berwarna merah merona alami, menambah sentuhan kecantikan yang sempurna pada wajahnya. Senyum lembut yang terukir di bibirnya menghadirkan kesan ramah dan mengundang, sekaligus menunjukkan kekuatan dan keberanian yang terpendam di dalam dirinya. Gretta, atau Sheila sekarang, memandang dirinya dalam cermin dengan penuh kekaguman dan kekaguman.

Saat Sheila, yang sekarang ditempati oleh jiwa Gretta, mengamati dengan seksama kamar di sekelilingnya, dia merasa terkejut oleh kemiripan yang menakjubkan dengan gambaran kamar tersebut dalam mimpi-mimpinya. Semua detail tampak persis seperti yang dia ingat, seolah-olah dia telah menghabiskan waktu di sini sepanjang hidupnya. Dia melihat lemari yang kokoh di salah satu sudut kamar, dengan pintu kaca yang mengkilap menunjukkan barisan pakaian dan aksesori yang tersusun rapi di dalamnya. Lemari itu menghadap ke tempat tidur, dengan bantal-bantal yang disusun dengan rapi di atasnya. Di samping lemari, terdapat meja rias kecil yang dikelilingi oleh berbagai produk kecantikan dan cermin berbingkai emas. Parfum harum menguar dari botol-botol yang terpajang di atas meja, menambah aroma yang menyegarkan di udara. Pada sudut lain kamar, terdapat sebuah jendela besar yang memungkinkan cahaya matahari masuk dengan lembut, memberikan cahaya alami yang hangat ke dalam ruangan. Di dekat jendela itu, terdapat kursi berbingkai kayu yang nyaman, tempat yang sempurna untuk duduk dan menikmati pemandangan luar. Namun yang paling mengesankan bagi Gretta-atau Sheila-adalah vas bunga yang diletakkan di pojok kamar. Vas tersebut terbuat dari keramik putih yang indah, diisi dengan rangkaian bunga-bunga yang segar dan berwarna-warni. Komposisi bunga-bunga itu begitu cantik dan harmonis, seolah-olah menceritakan kisah keindahan dan kehidupan sendiri.

Melihat semua ini, Gretta-atau Sheila-merasa tercengang oleh keajaiban dan keindahan yang mengelilinginya. Meskipun dia berada dalam tubuh yang berbeda, dia merasa seperti rumah di sini, seolah-olah dia telah kembali ke tempat yang selalu dikenalnya.

Dengan mata yang dipenuhi oleh keajaiban dan kerinduan, Gretta-atau Sheila-merasakan air mata yang hangat mengalir di pipinya. Dia merasa begitu terharu dan terharu karena kembali melihat wajah Sheila yang muda, bersemangat, dan penuh dengan harapan masa depan. Air mata itu bukan hanya tanda dari kerinduan akan masa lalu yang tidak bisa dikembalikan, tetapi juga ekspresi dari rasa haru yang mendalam melihat sosok yang belum tersentuh oleh tragedi dan kegilaan yang menantinya di masa depan. Gretta-atau Sheila-menutup matanya sejenak, mencoba menahan gelombang emosi yang melanda dirinya. Dia merindukan saat-saat ketika dunia terasa begitu cerah dan penuh dengan harapan, saat dia tidak tahu akan apa yang menunggunya di depan. Namun, di tengah-tengah kerinduan itu, ada kekuatan yang muncul di dalam dirinya. Kekuatan untuk menghadapi tantangan dan perubahan yang menunggunya di masa depan, dan keberanian untuk mengubah takdir yang telah ditetapkan oleh nasib.

Pemberontakan Count Hastings

Saat Sheila masih merasakan gelombang emosi yang memenuhi hatinya, dia terkejut oleh kedatangan Evelyn, pelayan pribadinya yang setia. Evelyn adalah sosok yang dikenalnya dengan baik, tangan kanan Sheila dalam berbagai urusan penting, baik di dalam maupun di luar istana. Evelyn memasuki kamar dengan langkah ringan, tetapi ekspresi serius tergambar di wajahnya saat dia melihat Sheila yang terlihat terisak. Dia segera menghampiri Sheila dengan cemas.

"Nona, apa yang terjadi? Mengapa Anda menangis?" tanya Evelyn dengan suara yang penuh perhatian.

Sheila mengangkat wajahnya, mencoba menyembunyikan bekas-bekas air mata di matanya. "Ah, tidak apa-apa, Evelyn. Aku hanya sedikit terharu oleh semua perubahan yang terjadi belakangan ini." Evelyn mengamat-amati Sheila dengan penuh perhatian, seolah-olah mencoba membaca pikirannya. Namun, dia mengerti bahwa ada hal yang lebih penting yang harus dibahas saat ini.

"Nona, saya punya kabar penting yang harus  saya sampai kan," kata Evelyn dengan serius. "Ada laporan yang mengkhawatirkan tentang gerak-gerik faksi pemberontak di wilayah kita. Mereka semakin agresif dan tampaknya berencana untuk melakukan serangan besar-besaran.”

Sheila menegakkan tubuhnya, segera berubah dari ekspresi yang murung menjadi serius dan fokus. "Aku mengerti, Evelyn. Kita tidak bisa membiarkan mereka berhasil."

Dengan penekanan yang jelas dalam suaranya, Sheila menyadari bahwa tugas-tugasnya sebagai Evergreen tidak pernah berhenti, bahkan di tengah-tengah emosi dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya.

Evelyn mengangguk setuju.

"Mohon maaf, Nona," ujar Evelyn dengan sopan, tetapi dengan ekspresi yang serius. "Saya tahu Anda sedang dalam momen pribadi, tetapi saya harus memberitahu Anda tentang situasi yang mengkhawatirkan ini."

"Terima kasih, Evelyn.”

Setelah Evelyn memberikan laporan tentang situasi yang mengkhawatirkan, Sheila mengangguk dan menahan diri sejenak sebelum bertanya pada Evelyn, "Evelyn, bolehkah saya bertanya sesuatu? Saat ini, usiaku berapa tahun?"

Evelyn sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi dia segera mengumpulkan pikirannya. "Maaf, Nona, tapi Anda baru saja berusia 18 tahun. Apakah ada yang salah, Nona?"

Sheila menggeleng, mencoba untuk memahami semua yang terjadi. "Tidak, tidak ada yang salah. Aku hanya mencoba untuk memastikan. Terima kasih, Evelyn."

Evelyn mengangguk mengerti, tetapi dia tetap memperhatikan Sheila dengan cermat. "Apakah semuanya baik-baik saja, Nona? Anda tampak agak bingung."

Sheila tersenyum lembut pada Evelyn. "Ya, semuanya baik-baik saja. Aku hanya merasa sedikit... terkejut dengan semuanya. Tapi aku akan baik-baik saja."

Evelyn menatap Sheila dengan perhatian dan kepedulian.

"Saya di sini jika Anda membutuhkan bantuan, Nona. Jangan ragu untuk meminta jika ada yang bisa saya lakukan."

Dalam kebingungan yang mendalam, Sheila, yang sekarang dihuni oleh jiwa Gretta, mengingat kembali momen-momen kritis dalam hidupnya yang lalu. Di usia 18 tahun, dia dipanggil untuk menghadapi tantangan terbesarnya: pertempuran melawan pemberontakan yang digerakkan oleh Count Hastings di wilayah Duchy Evergreen. Di balik kerinduan dan ketidakpastian, ada memori yang tersembunyi di dalam benak Sheila. Dia ingat betul akan bagaimana ketegangan dan kekhawatiran merajalela di antara para penduduk setempat ketika kabar tentang pemberontakan mulai menyebar. Semua orang merasa ketakutan akan masa depan wilayah mereka yang damai dan aman. Namun, di tengah-tengah kekacauan itu, Sheila merasa dorongan yang mendalam untuk berdiri dan melawan kejahatan yang menyerang negerinya. Dia merasa kekuatan dan semangat yang mengalir di dalam dirinya, mendorongnya untuk bangkit dan melawan ketakutan yang mengancam untuk merusak perdamaian yang telah lama dinikmati oleh orang-orang Evergreen.

Gretta mengingat dengan jelas bagaimana dia bersiap untuk pertempuran, mempersiapkan diri secara fisik dan mental untuk menghadapi ancaman yang menanti. Meskipun dia mungkin tidak lagi memiliki tubuh aslinya, keberanian dan tekadnya tetap tidak tergoyahkan. Dengan tekad yang mantap, Sheila-atau Gretta, sekarang-merapikan pakaian dan mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan Duke Evergreen, ayahnya yang perkasa. Meskipun dia sekarang menghuni tubuh yang bukan miliknya, dia memegang teguh keberaniannya untuk menghadapi ayahnya dengan kejujuran dan keberanian. Setelah dirinya rapi dan siap, Sheila pergi ke ruang pertemuan dimana Duke Evergreen menunggu. Ketika dia masuk, dia menemukan ayahnya duduk di meja besar dengan ekspresi serius di wajahnya. Dia merasa tanggung jawab besar membebani pundaknya saat dia mendekati Duke.

"Duke Evergreen," sapa Sheila dengan hormat saat dia menyerahkan laporan terkait pemberontakan yang tengah berkobar. Dia berbicara dengan jelas dan tegas, menyampaikan semua informasi yang dia ketahui tentang gerakan pemberontakan tersebut. Duke Evergreen mendengarkan dengan serius, matanya memancarkan kekhawatiran dan ketegasan.

"Terima kasih atas laporannya, Sheila," ujarnya dengan suara berat. "Kita harus bertindak cepat untuk menghadapi ancaman ini sebelum terlambat."

Setelah menyampaikan laporan, Sheila berpaling untuk meninggalkan ruangan, tetapi sebelum dia melangkah terlalu jauh, Duke Evergreen memanggilnya lagi. "Sheila," katanya dengan suara yang lembut,

"Aku bangga padamu. Kamu telah tumbuh menjadi wanita yang kuat dan bijaksana."

Sheila tersenyum lembut pada ayahnya, merasa terharu oleh kata-katanya. "Terima kasih, Ayah. Aku akan melakukan yang terbaik untuk melindungi Duchy Evergreen."

Setelah pertemuan itu, Sheila merasa lega karena telah dapat menyampaikan laporannya kepada ayahnya. Sementara itu, dia juga merasa berat untuk tidak memiliki Pedang Es Evergreen di usia 18 tahun seperti yang seharusnya. Namun, dia bertekad untuk terus berlatih dan memperbaiki keterampilannya hingga mencapai tingkat Swordmaster, sehingga suatu hari nanti dia bisa membangkitkan pedang kuno itu dan menggunakan kekuatannya untuk melindungi orang-orang yang dicintainya.

***

Di ruang kerjanya yang tenang, Sheila tenggelam dalam bacaan dokumen-dokumen dan laporan terkait pemberontakan. Setiap detailnya dipelajari dengan cermat, mencari petunjuk dan kelemahan lawan yang harus dihadapinya. Namun, kekacauan pikirannya segera terhenti saat pintu ruang kerjanya terbuka, dan Joanna Zeragoza, pengawal pribadinya, masuk dengan sikap tegap dan serius.

"Nona Sheila," sapa Joanna dengan hormat,

"Saya memiliki laporan terbaru tentang pemberontakan yang sedang kita hadapi."

Sheila menoleh ke arah Joanna dengan ekspresi antusias. "Terima kasih, Joanna. Berikan padaku apa yang kamu miliki."

Joanna mendekati meja Sheila dengan langkah mantap, membuka dokumen-dokumen yang dia bawa. Dia dengan cermat menjelaskan setiap detail dari investigasi yang telah dia lakukan, menyajikan bukti-bukti yang menunjukkan

keterlibatan Count Hastings dalam pemberontakan tersebut. Sheila mendengarkan dengan serius, matanya terfokus pada dokumen-dokumen yang dia tunjukkan. Setiap kata yang diucapkan Joanna menimbulkan rasa ketegangan dan kekhawatiran yang semakin membesar di dalam dirinya.

"Saya yakin, Nona," kata Joanna, setelah menyampaikan laporan, "bahwa Count Hastings adalah otak di balik pemberontakan ini. Kami harus bertindak cepat untuk menangkapnya dan mengakhiri ancaman ini."

Sheila mengangguk, meresapi setiap kata yang diucapkan oleh Joanna. "Terima kasih, Joanna. Anda telah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Segera siapkan pasukan kita. Kita harus menghadapi Count Hastings dan mengakhiri pemberontakan ini sekali dan untuk semua."

Joanna memberikan salam hormat sebelum meninggalkan ruangan, meninggalkan Sheila dalam pikirannya yang dalam.

Setelah mendapatkan laporan penting dari Joanna, Sheila segera mengambil tindakan. Dia memanggil Evelyn, tangan kanannya, untuk mempersiapkan kunjungan ke rumah Count Hastings. Evelyn, yang selalu siap

siaga, menyetujui dengan cepat dan mulai mengatur segala persiapan yang diperlukan.

Tak lama kemudian, Sheila, Evelyn, dan Henry Brown, salah satu ksatria terpercaya Sheila, bersiap untuk berangkat ke kediaman Count Hastings. Mereka menaiki kuda-kuda mereka, siap untuk menyeberangi jarak yang memisahkan Duchy Evergreen dengan wilayah Count Hastings. Setelah beberapa jam perjalanan, mereka tiba di depan gerbang megah yang mengawal kediaman Count Hastings. Sheila menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya, sebelum akhirnya memberikan isyarat kepada Evelyn untuk melangkah maju.

Mereka disambut oleh pelayan-pelayan yang tersusun rapi di depan pintu masuk, yang segera mengantarkan mereka ke ruang tamu utama. Di sana, Count Hastings sudah menunggu dengan sikap yang tenang dan angkuh.

"Nona Evergreen," sapa Count Hastings dengan suara yang tenang, tetapi dengan nada yang penuh dengan sindiran. "Apa yang membawa Anda ke rumah saya?"

Sheila menatap Count Hastings dengan mata yang tajam.

"Kami datang untuk mengakhiri pemberontakan yang Anda lakukan, Count Hastings," ujarnya dengan tegas. "Kami memiliki bukti yang cukup untuk menunjukkan keterlibatan Anda dalam tindakan yang melanggar hukum ini."

Count Hastings tersenyum sinis. "Ah, Nona, Anda terlalu naif. Saya takkan percaya pada tuduhan palsu Anda."

Sheila dengan tegas menyajikan bukti-bukti yang jelas tentang keterlibatan Count Hastings dalam pemberontakan, termasuk bukti penyelundupan obat terlarang yang melanggar hukum kekaisaran. Namun, meskipun bukti-bukti tersebut begitu kuat, Count Hastings tetap berkeras dan menolak tuduhan itu dengan angkuh.

"Nona muda," kata Count Hastings dengan suara yang mengejek, "Anda benar-benar berpikir bahwa Anda dapat memenjarakan saya hanya dengan bukti-bukti palsu semacam ini? Anda masih terlalu muda dan naif untuk memahami realitas dunia ini."

Sheila menatap Count Hastings dengan tatapan yang tajam, menahan amarahnya dengan susah payah. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan fokus untuk menghadapi situasi ini dengan bijaksana.

"Saya tidak akan tergoda oleh kata-kata anda, Count Hastings," ujarnya dengan suara yang tenang namun tegas. "Bukti-bukti yang saya miliki sangat jelas. Tidak ada tempat bagi pengkhianat seperti Anda dalam kekaisaran ini."

Meskipun terus-menerus didesak dan dikecam oleh Count Hastings, Sheila tetap teguh pada pendiriannya. Dia menyatakan dengan tegas bahwa kebenaran akan terungkap dan keadilan akan ditegakkan. Count Hastings mungkin terus berkelit dan menolak untuk mengakui kesalahannya, tetapi Sheila tidak akan goyah. Dia siap untuk melanjutkan perjuangan untuk melindungi kekaisaran dan mengakhiri ancaman pemberontakan yang sedang mereka hadapi.

Dalam kilatan kemarahan, Count Hastings melangkah maju dengan niat yang jelas untuk menyerang Sheila. Namun, Sheila, dengan refleks yang cepat, berhasil menahan serangan itu dan dengan gesitnya menjatuhkan Count Hastings ke lantai. Dengan sigap, dia menarik pedangnya dan menunjukkannya pada Count Hastings dengan sikap yang teguh.

"Hukum kekaisaran harus ditegakkan," ucap Sheila dengan suara yang mantap, mata nya berkilat penuh tekad. "Pemberontakan dan pelaku kejahatan harus disingkirkan."

Count Hastings tercengang, terdiam oleh keberanian dan kekuatan Sheila yang tak terduga. Namun, sebelum dia bisa bereaksi lebih lanjut, pintu ruangan terbuka, dan Joanna bersama beberapa pasukannya memasuki ruangan dengan tegas. Mereka membawa beberapa anak buah Count Hastings yang telah melakukan kejahatan atas perintahnya, serta beberapa kotak hasil selundupan obat terlarang yang telah mereka sita.

Dengan kedatangan pasukan Duke Evergreen yang bersenjata, ruang itu seketika menjadi tegang. Count Hastings terpojok, tanpa tempat untuk melarikan diri dari kenyataan akan kejahatan yang telah dilakukannya.

Sheila melihat sekeliling ruangan dengan penuh kepuasan, mengetahui bahwa kebenaran telah terungkap dan keadilan akan segera ditegakkan. Dia memberikan isyarat kepada pasukannya untuk mengamankan semua yang ada di ruangan itu dan memastikan bahwa para pelaku kejahatan dibawa ke pengadilan untuk diadili sesuai hukum kekaisaran. Setelah berhasil mengamankan Count Hastings dan para pelaku

pemberontakan, Sheila, Evelyn, Henry, Joanna, dan pasukan mereka kembali ke Duchy Evergreen dengan perasaan lega dan keberhasilan yang membanggakan. Henry dengan gesit menyeret Count Hastings yang sudah terikat kuat ke penjara Duchy Evergreen, sedangkan Joanna dan pasukannya menyeret para pelaku pemberontakan dan penyelundupan untuk dihadapkan pada hukum.

Di istana Duchy Evergreen, Sheila memanggil Evelyn untuk membuat laporan lengkap tentang penangkapan Count Hastings. Dengan cermat, Evelyn mencatat setiap detail dari kejadian tersebut, mencatat bukti-bukti dan

kesaksian yang menguatkan tuduhan terhadap Count Hastings dan para pelaku kejahatan lainnya.

Sheila duduk di atas sofa di ruang kerjanya dengan perasaan bangga dan lega. Tugas yang berat telah mereka selesaikan dengan sukses, dan kekaisaran kembali dalam keadaan aman dan terlindungi. Namun, meskipun pemberontakan telah dipadamkan, dia tahu bahwa masih banyak kerja yang harus dilakukan untuk memastikan kedamaian dan kestabilan di wilayahnya. Setelah laporan selesai dibuat, Sheila mengucapkan terima kasih kepada Evelyn atas kerja kerasnya dan memintanya untuk menyampaikan informasi tersebut kepada pihak yang berwenang untuk diproses lebih lanjut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!