NovelToon NovelToon

(Bukan) SUAMI PURA-PURA

Duniaku

Jalanan yang mulai macet dan padat oleh kendaraan roda empat dan roda dua membuat seorang wanita berusia 26 tahun itu berdecak kesal beberapa kali. Sesekali ia memperhatikan benda lingkaran kecil yang melilit di pergelangan tangannya, ia sudah terlambat 30 menit dan mobilnya sama sekali tidak bergerak.

Tangan kirinya mulai meraih ponsel yang ia letakkan di dalam tas tote bag bermerk kenamaan dan mengeluarkannya. Ponsel lipat terbaru keluaran merk Korea Selatan. Ia menekan angka satu cukup lama hingga panggilan cepat terhubung ke sebuah nama.

"Halo," sapa suara lelaki di ujung sana.

"Halo, Daren. Aku terjebak macet dan akan terlambat. Apakah acaranya sudah dimulai?"

"Belum. Masih menunggu sutradara yang sedang dalam perjalanan. Kamu langsung masuk saja nanti, bilang pada penjaga di pintu depan bila kamu adalah tamu Daren."

"Oke. Baik. Aku usahakan secepatnya datang!"

"Bye. Hati-hati, Ann!"

Tit.

Sambungan telefon itu terputus. Ia melemparkan ponselnya ke dalam tas dan kembali fokus pada kemudi. Perlahan-lahan laju kendaraan mulai bergerak. Di jam pulang kantor seperti ini, terlebih di pusat kota yang memiliki banyak bangunan kantor, hiburan dan pusat perbelanjaan, sudah pasti macet adalah makanan sehari-hari.

Wanita berambut cokelat ikal dengan poni yang ia biarkan menutupi sebagian dahinya itu membiarkan rambutnya di ikat ponytail kali ini. Daren, kekasihnya, sangat menyukai penampilan rambutnya yang diikat ke belakang persis ekor kuda.

Wanita bernama Annastasia Caroline Winata itu telah 3 tahun menjalin hubungan backstreet dengan Daren yang merupakan selebritis ibukota. Sejak awal Daren meniti karier di dunia gemerlap hiburan sebagai aktor figuran, Ann adalah satu-satunya wanita yang mensupport keputusannya itu. Ya, Daren selalu bermimpi untuk menjadi seorang aktor terkenal dan ia berhasil mewujudkannya.

Keputusan untuk menjalani hubungan secara diam-diam murni demi menjaga popularitas Daren di depan fansnya. Sejak awal memutuskan serius menapaki dunia artis, Ann sudah paham dengan segala resiko kekasihnya. Mereka selalu berkencan diam-diam di cafe yang sepi atau di apartemen Daren.

Tiga puluh menit kemudian, Ann tiba di sebuah pusat perbelanjaan dan memarkir mobilnya di VIP parking agar bisa segera menghadiri premiere film laga kekasihnya. Usai mematikan mesin mobil, sedikit terburu-buru Ann menarik tasnya dan keluar dari mobil. Ia tak sadar bila ponsel yang tadi dilempar ternyata tak masuk ke dalam tas dan teronggok di kursi.

Ann naik lift ke lantai paling atas tempat gedung bioskop. Ia mengangkat pergelangan tangan kirinya dan memperhatikan jarum panjang di arloji mahalnya. Jam 6 sore. Ann menghembuskan nafasnya lega saat perlahan lift mulai naik.

Tting.

Terburu-buru Ann keluar dari lift dan berlari memasuki gedung bioskop menuju studio 3 tempat Premiere film Daren berlangsung.

"Saya tamu atas undangan Daren Thomas!" ucap Ann pada seorang penjaga di pintu masuk.

Lelaki itu mengangguk sopan dan membukakan pintu untuk Ann. Ia mempersilahkan tamunya masuk.

Ann melangkah ragu ke dalam gedung bioskop yang jarang sekali ia datangi. Terdengar suara percakapan dari film yang di putar.

"Duduklah deretan bangku panjang di belakang, agar aku bisa melihatmu dari bawah!"

Ann memperhatikan deretan kursi yang dimaksud oleh Daren tempo hari. Ini adalah kali ke empat Ann datang ke bioskop, bila bukan karena untuk mendukung kekasihnya, ia tak akan sudi datang dan berkerumun dengan orang-orang asing seperti ini. Dengan ragu Ann melangkah ke kursi paling belakang dan duduk di sana. Daren benar, kursi belakang pasti sepi karena semua fans pasti memilih untuk duduk di kursi paling depan agar bisa lebih dekat dengan sang idola. Ann tersenyum lirih dan mulai menonton film yang dibintangi oleh kekasihnya yang sudah dimulai.

Dua jam berikutnya. Di sebuah cafe yang tak begitu ramai, Ann menunggu Daren. Setiap kali premiere film, ia dan Daren akan berakhir kencan di cafe ini. Pemiliknya adalah sahabat Daren, jadi rahasianya aman bila berkencan di tempat ini.

"Hai, Ann! Lama tak melihatmu!"

Ann menoleh, seorang lelaki tinggi besar dengan pakaian necis sudah berdiri di sampingnya.

"Oh, hai, Jacob!" balas Ann seraya tersenyum lebar.

Jacob adalah sahabat Daren, owner dari Cafe berkonsep American Tropis ini.

"Sedang menunggu Daren?" tanya Jacob sambil menoleh ke sekelilingnya.

Ann mengangguk. "Iya, tapi sepertinya dia masih kewalahan melayani fans dan para media."

Jacob tertawa, matanya yang sipit semakin menipis. "Resiko berkencan dengan artis. Hebat sekali kamu bisa bertahan dengannya selama hampir empat tahun ini Ann!"

Ann tersenyum sumbang. Tentu saja, bila bukan karena kesabaran dan rasa cintanya pada Daren yang luar biasa, sudah pasti hubungan mereka tak akan bertahan selama ini.

"Hai, Beb!"

Ann dan Jacob menoleh ke pintu. Daren muncul dari sana sambil tersenyum lebar dan melepas topinya. Ann tersenyum lega melihat pujaan hati yang sedari tadi ia tunggu akhirnya datang.

"Hai, Tuan Artis! Kau tambah keren, Dar!" Jacob selalu menyapa Daren dengan sebutan 'Dar'.

Daren semakin lebar tersenyum dan menepuk bahu Jacob begitu ia sudah berdiri di sampingnya. "Tentu saja, Jac. Keren adalah kunciku bertahan di tangga popularitas!"

Ann mencebik dan membuang muka.Daren tertawa dan mendekat ke tempat kekasihnya.

"Dan support darinya juga pastinya!" Daren mencubit dagu Ann dengan gemas.

"Ah, mataku perih melihat kalian berdua. Ya sudah, aku pergi dulu. Kalian bersantailah!" Jacob mengibaskan tangannya dan berlalu tanpa memperdulikan tawa Ann dan Daren.

Jacob selalu risih bila melihat Daren memperlakukan Ann dengan mesra.

Daren beralih menatap Ann dengan intens. "Terima kasih sudah datang, Beb!" ucapnya lirih berbisik sambil menggenggam jemari Ann.

"Your welcome. It such a great movie."

"Oh, ya? Kamu suka peranku?"

Ann mengangguk cepat. Daren terlihat sangat macho saat memerankan seorang sniper di film terbarunya.

"Tidak sia-sia aku ngegym dua bulanan ini. Otot-otot seksiku akhirnya bisa dipamerkan!" Daren mengangkat lengan dan memamerkan otot bisep dan trisepnya.

Ann tertawa, ia mencubit lengan itu dengan gemas membuat Daren meringis kesakitan dan membalas perbuatan kekasihnya itu dengan mengecupnya mesra.

"Ih, Daren! Kalo ada yang lihat gimana?!" keluh Ann syok sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Aman, Beb. Jacob sudah membuat cafe ini menjadi tempat teraman bagi kita untuk bermesraan!"

"Tapi tetap saja, kamu harus berhati-hati. Kita nggak pernah tahu bila dinding pun bisa memilki telinga!"

Daren terkekeh, ia menarik ice lemon tea milik Ann dan meminumnya. "Tadi aku sempat berselisih dengan salah satu media. Menjenggelkan!" keluhnya muram.

"Memangnya ada apa dengan mereka?"

"Pertanyaan mereka selalu menyudutkanku. Mereka membahas kesalahan-kesalahanku hanya demi menaikkan rating. Bukan sekali dua kali mereka menjelek-jelekkanku, sih! Tapi yang tadi sudah benar-benar keterlaluan."

"Memangnya mereka menjelekkanmu bagaimana?" tanya Ann heran. Ia tak pernah mengikuti berita dunia infotaiment.

"Mereka bertanya tentang rumorku yang beredar yang menyatakan kalo aku seorang gay dan sering melayani tante-tante!"

Ann terbelalak, namun detik berikutnya ia tertawa lepas.

"Mereka belum tahu saja bila aku sudah memiliki kekasih secantik dewi yunani," puji Daren sambil mengawasi kekasihnya lekat-lekat.

Ann tersipu, wajahnya memerah seperti buah strawberry.

"Aku serius! Kamu yang tercantik."

*****************

Duniamu

Pria berusia di ujung tiga puluhan yang sedang berhenti di sebelah citycar keluaran Inggris itu membuka kaca helmnya dengan gerah. Ia sedang dalam perjalanan menuju Stasiun Televisi tempatnya bekerja. Hari ini kebagian shif malam, jadi ia harus standby di sana sampai besok pagi. Namun belum juga sampai ke tempatnya bekerja, tubuhnya sudah berkeringat karena hawa jalanan yang panas oleh mesin-mesin kendaraan yang macet.

Kiandro Bagaskara. Demikian nama yang tertulis di seragam hitam yang ia kenakan. Tahun ini usianya 30 tahun dan masih betah hidup sendiri di sebuah kontrakan kecil yang jauh dari tempatnya bekerja.

Hampir tiga puluh menit kemudian. Kian, demikian ia biasa disapa, tiba di Stasiun Tivi Nasional yang cukup populer. Ia memarkir motor maticnya di tempat parkir khusus karyawan di belakang gedung dan bergegas mencangklong tas ranselnya. Sedikit berlari, Kian memasuki gedung utama dan naik lift menuju ruang departemen tempatnya bernaung.

Camera Departement.

Kian mendorong pintu utama ruangan menuju kantor departemennya. Beberapa orang teman yang satu shif dengannya kali ini sudah standby di kubikel masing-masing menunggu perintah dan wish list dari produser.

Saat Kian tiba, selembar kertas wish list sudah ada di mejanya. Ia menyampirkan tas ranselnya di belakang kursi dan menarik lembaran itu. Kian membacanya dengan seksama, ia akan bertugas mengambil video sebuah acara reality show baru di Stasiun Televisi tempatnya bekerja. Bukan acara live, jadi Kian harus segera memberikan hasil rekamannya pada editor. Ia pun bergegas merapikan mejanya sebentar dan berdiri untuk pergi ke ruangan cam store.

"Mas Kian, kamu ngeshoot acara baru ya?"

Kian menoleh pada asal suara. Teman satu divisi dengannya yang bernama Risa sudah berdiri dan bersiap menyusul langkahnya.

"Iya, Ris." Kian tersenyum dan kembali melangkah saat Risa sudah berjalan di sampingnya.

"Kalo ngshoot acara taping tuh enak nggak dikejar waktu, bisa bereksplorasi sesuka hati kita. Aah, kapan aku kebagian ngeshoot acara taping!" sungut Risa tak bersemangat.

"Mau tuker denganku?"

"Emangnya boleh?"

Kian terdiam sesaat, ia belum pernah melakukan tukar tugas acara sebelumnya.

"Sudah ku duga pasti nggak boleh!" lanjut Risa lesu.

"Nanti aku coba tanyakan sama Pak Hendri, barangkali kita bisa tukeran!" janji Kian.

Senyum Risa tersungging. "Terima kasih, Mas Kian!" ucapnya berbinar.

Kian mengangguk dan membuka pintu ruangan Cam Store yang tertutup rapat.

"Selamat malam kalian berdua!" sapa seorang wanita yang menjaga ruangan Cam Store.

"Selamat malam, Mbak Ninis!" sapa Kian.

"Sering banget kalian satu shif bareng. Hati-hati cinlok, loh!" goda Mbak Ninis sambil tersenyum genit.

Kian tertawa kecil, ia mengambil kamera yang ia butuhkan dan memeriksa kelengkapannya.

Risa yang berdiri tak jauh hanya melirik seniornya itu dengan keki. Memang sudah sejak lama ia menyukai Kian, hanya saja lelaki itu tak kunjung peka dan lebih memilih untuk menjaga jarak. Risa jadi gemas sendiri melihatnya!

"Aku cabut dulu, ya!" Kian membawa kameranya dan bersiap untuk pergi.

"Mas Kian, tunggu! Nanti kalo sudah selesai kabarin aku, ya!?"

Kian mengangguk dan tersenyum. Ia menarik handle pintu dan keluar dari ruangan Cam store.

"Hmmm, Risa! Kayanya kamu harus mencoba lebih keras lagi buat naklukin Mr. Ice itu," goda Mbak Ninis terkekeh.

Risa tersenyum dan mengawasi Kian yang berjalan cepat menuju lift. Ia mendesah pelan.

"Iya, Mbak. Aku curiga jangan-jangan Mas Kian nggak suka sama cewek!"

"Hush. Kian nggak begitu, kok!" bela Mbak Ninis tak terima.

Risa memeriksa kelengkapan kameranya sambil menghembuskan nafasnya berat. Setidaknya ia tak memiliki saingan, jadi usahanya menaklukkan Kian terasa lebih mudah.

Di tempat berbeda.

Kian sudah selesai mengatur setelan kameranya dan bersiap untuk shooting. Acara kali ini adalah Reality Show berjudul "My Path". Sebuah acara dengan  bintang tamu Artis atau pejabat yang menceritakan pengalamannya dari awal mula berkarier hingga sukses.

"Camera one, stand by!" perintah Director dari headphone yang Kian kenakan di kepalanya.

Kian mulai fokus dan melaksanakan komando, mengarahkan kamera pada objek yang sudah bersiap di stage.

Beberapa jam setelahnya, di Green Area tempat para crew beristirahat usai melaksanakan tugas masing-masing, Kian duduk sendiri menatap keluar jendela gedung yang terbuat dari kaca. Ia sudah mengirim pesan pada Risa sejak tiba di Green Area. Mungkin gadis itu masih belum selesai dengan pekerjaannya di Studio 5 tempat acara live di adakan.

Kiandro Bagaskara. Ia hidup sebatang kara di kota besar ini. Sejak kepergian neneknya dua tahun silam, ia jadi semakin kesepian. Anak tunggal yang tak jelas di mana ayah dan ibunya. Di usia lima tahun, orang tua Kian bercerai dan meninggalkannya di rumah Neneknya. Hidup di kota besar yang keras membuat Kian menjadi sosok yang tangguh. Namun sejak Nenek Sofia meninggal, ia merasa hidupnya tak lagi berarti. Tidak ada yang menginginkan dirinya lagi di dunia ini.

"Mas Kian!"

Kian tersentak. Nafasnya tertahan untuk beberapa saat, lamunannya buyar seketika.

"Ngelamun apa sih, sampai nggak sadar aku berdiri di sini dari tadi!" Risa terkekeh sambil menarik kursi di samping Kian.

"Sudah beres acaramu?" tanya Kian mengalihkan topik.

Risa mengangguk beberapa kali. Ia sudah membawa segelas kopi yang tadi ia ambil di vending mechine.

"Besok Mas Kian libur, kan?"

Kian mengangguk masih dengan senyumnya yang khas.

"Temenin aku ke suatu tempat, yuk!"

"Ke mana?"

"Ada, deh! Mas Kian, besok nggak ada acara?"

"Nggak ada."

"Oke, aku jemput jam 2, ya! Udah bangun kan jam segitu?"

Kian mengangguk. Meski tinggal seorang diri namun ia terbiasa bangun pagi dan bersih-bersih. Hidup sebatang kara mau tak mau mengharuskan Kian melakukan segala hal seorang diri, termasuk memasak dan mencuci. Meskipun ia masuk malam sekalipun.

"Mas Kian sudah makan?"

"Sudah tadi pas mau berangkat," sahut Kian singkat.

"Ini sudah jam 1 malem, loh! Emangnya Mas Kian nggak laper lagi?"

Kian menggeleng, ia membuang tatapannya keluar jendela. Gemerlap pemandangan kota yang menentramkan hati membuat Kian sangat menyukainya.

"Besok aku mau ajak Mas Kian kenalan sama orang tuaku."

Kian terkesiap, ia menolehi Risa dengan cepat.

"Tenang aja, orang tuaku udah meninggal, kok! Mereka nggak akan tanya macem-macem sama Mas Kian!" terang Risa terkekeh.

"Meninggal?"

Risa mengangguk. "Iya. Papa sama Mamaku positif covid dua tahun yang lalu. Dan meninggal di waktu yang hampir bersamaan."

Kian menatap Risa dalam, jadi gadis di depannya ini juga yatim piatu sepertinya?

"Besok aku jemputnya tepat jam 2 siang, ya! Nggak usah makan siang, biar nanti aku bawakan bekal dari rumah."

"Oke, Ris!"

*************************

Kabar Mengejutkan

Weekend adalah hari yang paling di nanti oleh Ann. Setiap weekend, ia akan menghabiskan waktunya dengan tidur sepuasnya, merawat diri di salon favorit, nonton bioskop atau sekedar window shopping seorang diri.

Ann memanfaatkan waktu libur dua hari itu dengan sebaik mungkin. Setelah lima hari sibuk dengan berbagai urusan di Perusahaan, sabtu-minggu adalah hari yang tidak bisa di ganggu gugat oleh siapapun. Siapapun, kecuali Papanya!

Dan saat masih terlena dalam buaian mimpi, ponselnya yang bergetar di meja nakas di samping ranjang mau tak mau membuat Ann membuka mata. Tangan mungilnya mulai meraba meja seukuran 50 cm berwarna putih itu untuk mencari benda pipih miliknya. Saat ponselnya terjamah, Ann membuka penutup mata bermotif leopard yang ia kenakan.

Papa Angry Bird is calling...

"Halo, Pa!"

"Ann, bangunlah! Temani Papa sarapan di bawah."

"Pa, masih jam berapa iniiii," sungut Ann seraya memperhatikan jam dinding di atas meja kerjanya. Jam 10 siang. Ann terbelalak.

"Ada yang ingin Papa bicarakan denganmu, cepatlah turun!"

"Ck, Papa, ih! Ya udah, Ann mandi dulu!"

Ann memutuskan sambungan telefon dan melempar ponselnya ke sembarang arah di ranjang berukuran king size miliknya. Ia bergegas turun dari ranjang berseprai putih itu dengan sedikit kesal. Awas saja kalo Papa memaksanya menikah lagi kali ini!

Tepat satu jam kemudian, Ann turun ke lantai satu melewati tangga utama. Ia sedikit mengulur waktu agar Papanya segera pergi dan urung membicarakan hal penting itu. Ann sudah tahu pasti apa yang akan Papanya bicarakan.

"Selamat pagi, Putriku Annastasia!" sapa Jonathan begitu melihat Ann berjalan pelan ke meja makan.

Ann tak menyahut, wajahnya sudah terlipat dan kusut sejak Papanya membangunkan tidur nyenyaknya tadi.

"Sini, sini. Sarapan dulu," titah Jonathan seraya berdiri dan menarikkan kursi untuk Putrinya dengan sumringah.

Ann duduk di kursi itu dan menarik selembar roti yang tersaji di tengah meja.

"Kalo Papa mau ngomongin soal nikah itu lagi, Ann beneran akan kabur dari rumah!" ucap Ann seraya mengolesi roti di tangannya dengan selai coklat favoritnya.

"Oh, ya? Sayangnya Papa memang akan membahas hal itu denganmu!"

Ann menatap tajam ke arah Jonathan.

Jonathan tersenyum dan balik membalas tatapan Ann dengan tajam.

"Menikah bulan depan, atau kamu akan Papa coret dari ahli waris Papa."

"Pa!!"

"Ann, Papa semakin tua. Tidak ada yang tahu kapan Papa akan meninggal. Bisa saja Papa meninggal sebelum melihatmu menikah dan punya anak!"

"Papa nggak akan meninggal secepat itu! Papa sudah mendapat donor ginjal, kan. Jangan terlalu overthingking, Pa!"

"Please, Ann. Turuti permintaan terakhir Papa atau kamu tidak akan mendapatkan apapun dari Papamu ini!"

Ann berdecak. Ia meletakkan roti yang sudah ia lumuri dengan selai dan tak lagi berselera untuk makan.

"Papa tega! Papa tahu sendiri, kan, kalo Daren nggak bisa menikah dalam waktu cepat!"

"Siapa yang bilang kamu harus menikahi dia? Papa sudah punya calon ideal untuk kamu!"

Ann terbelalak tak percaya. Untuk sesaat ia menahan nafasnya yang sedari tadi menderu karena emosi.

"Maaf, Ann, semua ini demi kebaikan kamu."

"No. Papa egois! Papa nggak pernah mau memahami keadaanku!"

"Papa semakin tua, Ann. Mengertilah!" sentak Jonathan keras.

Ann terhenyak. Bila Papanya marah maka ia harus mengalah.

"Kamu satu-satunya yang Papa miliki. Papa rela kehilangan semua harta ini asalkan bisa melihat kamu bersama orang yang tepat. Papa mohon, tidak ada lagi yang Papa inginkan selain melihatmu menikah." Jonathan meraih tangan Putrinya yang terkepal marah, suaranya mulai melunak.

"Tapi Ann nggak mau menikah dengan siapapun selain Daren, Pa!" rintih Ann sedih. Ia tak bisa membayangkan akan seperti apa hidupnya tanpa Daren di sisinya.

"Silahkan menikah dengan Daren, asalkan bulan depan kalian sudah harus siap menikah. Bila tidak, maka Papa tidak punya pilihan lain selain menjodohkanmu dengan kenalan Papa."

"Tapi—"

"Bicarakanlah dulu berdua dengan Daren. Bila dia mencintaimu, maka dia akan bersedia menikah denganmu kapanpun itu!" tukas Jonathan menasehati.

Ann termanggu di tempat duduknya. Ia tahu pasti, Daren sudah terikat kontrak dengan agency-nya selama lima tahun ke depan. Terlebih popularitasnya pasti akan anjlok dengan pernikahan yang tiba-tiba seperti ini, nama baiknya pasti akan semakin tercoreng dengan berita yang buruk tentang pernikahan yang terjadi dalam waktu yang mendadak. Ann benar-benar terjebak di situasi yang genting sekarang. Desakan Papanya bukan hal yang main-main, ia tahu benar Papanya bisa melakukan apapun demi keinginannya bisa tercapai.

"Baik, nanti sore aku akan menemui Daren di apartemennya," putus Ann sendu.

Jonathan tersenyum lebar, ia melepas genggaman tangannya dan kembali melahap sereal yang sudah di siapkan oleh juru masak yang sudah berkoordinasi dengan ahli gizi yang mengatur semua menu makanannya. Sejak menderita hipertensi hingga berakhir harus cuci darah rutin, Jonathan mulai merubah pola makannya menjadi makanan sehat. Beruntung ia masih diberi kesempatan untuk hidup lebih lama setelah mendapat donor ginjal dari orang baik.

"Biar nanti Pak Halim mengantarmu. Apapun hasilnya, sampaikan pada Papa besok pagi."

Ann mengangguk, ia mengambil roti yang sedari tadi teronggok di piring dan melahapnya dengan tak berselera. Apapun hasilnya nanti, ia yakin bila Daren tak akan mau menikah secepat ini.

Di kamarnya, Ann mengirim pesan pada Daren agar segera menghubunginya bila tak sibuk. Dan satu jam kemudian, ponselnya berdering tepat di saat Ann baru keluar dari kamar mandi.

Love is calling...

Ann tersenyum senang. "Halo!" sapanya cepat.

"Hai, Beb. Lagi apa? Nggak ke salon?"

"Rencananya sih gitu. Kamu hari ini ada waktu kosong, nggak?"

"Hmmm, jam 3 nanti aku ada syuting lagi, sih! Memangnya Pak Halim nggak bisa nganter?"

Ann mendesah sedih. "Syutingnya sampai malam?"

"Nggak, kok. Nanti jam 7 sudah free."

"Aku jemput kamu, ya?!"

"Hmm, boleh. Tapi tunggu di tempat biasa, ya! Biar anak-anak agency nggak ngeliat kita."

"Oke, siap, Bos!!" sahut Ann senang. "Kamu sudah makan?" lanjutnya.

"Belum, nih! Mas Diki dari tadi belum dateng beli makan siang. Mana perut udah keroncongan!" keluh Daren lemas.

"Hmm, kasian Bebebku. Nanti aku bawain makan malam, ya!"

"Boleh. Kamu yang masak, ya!"

Ann tertawa, memasak adalah hal yang paling ia benci.

"Kok malah ketawa, sih!"

"Habisnya, kamu minta hal yang nggak mungkin aku lakukan! Sebelum masuk dapur, kompor panci dan kawan-kawannya pasti udah kabur duluan kalo lihat aku datang!" seloroh Ann.

Daren tertawa mendengar candaan kekasihnya. "Ya, ya, ya. Menyuruhmu ke dapur seperti memintamu menenggak racun, Beb!" godanya.

"Dari pada dapur kebakaran, mending aku menjauh aja sekalian!" kilah Ann membela diri.

"Hahahaha ... baiklah, itu Mas Diki sudah dateng, lanjut nanti ya, Beb! I love you," bisik Daren lirih.

"I love you too."

***************

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!