NovelToon NovelToon

Kamulah Alasan

Perpisahan

Air mata wanita itu sudah tak terbendung. Bagaimana bisa suaminya yang begitu hangat di rumah ternyata mempunyai wanita lain di luar sana? Pria itu bahkan jelas-jelas mengakui kini telah menghamilinya.

Apakah karena dirinya masih belum bisa memberikan keturunan selama 5 tahun ini, menyebabkan suaminya menyerah dan mencari wanita lain di luar sana? Apa sedangkal itu cinta yang dirasa, hingga begitu mudahnya ia berbalik arah?

"Kita cerai saja. Aku sudah tidak ingin meneruskan pernikahan ini denganmu," ucap pria itu pelan.

Dengan mudahnya kamu mengatakan itu padaku? Dengan mudahnya ... Apa 'rubah' itu telah merubahmu menjadi manusia yang tak punya hati seperti ini? Atau, keberadaan wanita itu di sini untuk menguatkanmu agar bisa mengusirku dari rumah ini?

Nasti menatap tak percaya pada suaminya dengan air mata berlinang deras. Kenapa kau tega ....

"Ah, sudah drama-dramaannya. Capek aku nunggunya nih! Suruh wanita itu membereskan barang-barangnya, biar aku bisa pindah ke sini secepatnya," gerutu wanita cantik dengan perut membuncit itu dan ia sudah mulai gelisah duduk di kursi sofa.

Ia kemudian bergesek ke arah pria bule itu dan melingkarkan tangannya di lengan kokoh pria itu. "Mas, ayo dong. Usir saja istri mandulmu ini dan gak usah banyak bicara. Aku 'kan jadi cemburu ...," ucap wanita itu lagi dengan gaya manjanya.

"Kamu itu ...." Nasti dengan gemas berdiri hendak memarahinya tapi dihentikan suaminya.

"Nasti!"

Wanita di samping Gerald tersenyum sinis pada Nasti.

"Kenapa kau membelanya?!" Nasti hampir tak percaya kenyataan ini.

Pria itu menghela napas panjang. "Karena aku ingin menikahinya dan aku tidak ingin punya istri dua." Nada suaranya mulai sedikit keras walau berusaha ditahannya.

"Tapi wanita ini menghancurkan pernikahan kita, Mas."

"Nasti, sadarlah! Sudah tidak ada pernikahan karena aku ingin menyudahinya!" Terlepas juga suara keras itu.

"Kenapa sekarang kau kasar padaku, Mas?" Nasti mulai menangis lagi. "Kau dulu tidak begini ...."

"Sudah, jangan bicara masa lalu lagi. Aku tidak ingin mengingatnya." Gerald mulai pusing bila mendengar seorang wanita menangis, terutama seorang wanita yang akan menjadi mantan istrinya kelak, ia tak mau berdebat.

"Mas ...." Nasti menatap nanar pada suaminya.

"Sudah deh! Kalau sudah dibuang, jangan ngemis-ngemis."

Nasti melirik kesal pada selingkuhan suaminya itu.

"Nasti, sebaiknya kau pergi. Aku takut kandungan kekasihku bermasalah gara-gara kita bertengkar. Tolong, Nasti. Aku tidak ingin dia stres."

Astaghfirullah alazim. Kenapa Mas Gerald lebih mengkhawatirkan selingkuhannya daripada istrinya sendiri? Di mana akal sehatnya?

"Aduh, cepat dong. Aku udah gak tahan ini, ingin istirahat di kamar. Aku lelah." Rubah itu mulai mencari gara-gara.

"Iya, Sayang. Kamu kalau sudah lelah, istirahat di kamar saja dulu." Tanpa izin, suami Nasti membawa wanita itu ke lantai 2. Ke arah kamar mereka! "Ayo, Nasti. Cepat ambil barang-barangmu sebelum kekasihku mengamuk dan membuang seluruhnya keluar jendela."

Betapa teriris hati Nasti melihat kenyataan ini. Suaminya membela wanita selingkuhan terang-terangan di depannya. Sudah tak ada lagi Gerald yang dulu. Pria bule yang lembut yang telah membuatnya jatuh cinta dengan hebatnya. Pria itu kini sudah asing. Pria yang kasar dan tidak mengenal belas kasihan.

Perlahan tapi pasti, Nasti mengekor mereka. Gerald menurunkan koper dan Nasti mengisinya dalam gegas. Di dalam kamar yang luas itu dadanya terasa sesak, terutama melihat wanita itu kini berbaring di atas tempat tidur mereka dengan nyamannya. Rubah itu ....

Tak lama Nasti keluar dari rumah itu dibantu seorang pembantu rumah tangganya. Dua buah koper besar kini telah berada di sampingnya. Untung saja, taksi cepat datang hingga ia bisa dengan segera angkat kaki dari rumah itu.

Rumah yang merupakan tempat ternyamannya kini telah menjadi neraka. Rumah yang mirip rumah bordir karena kini menyimpan selingkuhan suaminya di sana.

Nasti kembali menangis di dalam taksi. Bukan menangis karena telah meninggalkan rumah mewah itu tapi karena pernikahannya dengan Gerald selama 5 tahun itu ternyata sia-sia. Pria itu tidak sesabar ucapannya hingga belum lama mereka menikah, sudah tak tahan ingin mencari pengganti. Cukup sudah penderitaannya. Ia tak mau lagi berurusan dengan laki-laki. Mulut manis mereka tidak setimpal dengan luka yang mereka torehkan.

Nasti menghentikan tangisnya agar orang tuanya tidak lebih menderita lagi melihat ia hancur seperti ini.

-----------+++-----------

"Nasti, kamu kenapa, Nak?" Ibu melihat putrinya keluar dari kamar mandi dengan wajah sedikit pucat.

Wanita itu mengusap mulutnya yang basah sehabis muntah dan kepalanya sedikit pening. "Gak tau, Bu gak enak badan. Nasti tidur dulu, Bu." Ia naik ke atas tempat tidur sedang ibunya menghampiri dengan duduk di tepian.

"Apa kamu mau ke dokter?"

"Tidak usah, Bu. Mungkin hanya masuk angin saja."

"Bagaimana kalau kau hamil?"

Nasti yang baru akan menarik selimutnya, kini menatap ibunya, terkejut. "Hamil?"

"Kamu seperti orang hamil, Nak. Ibu lihat belakangan kamu suka sekali rujak. Itu ciri-ciri orang hamil, Nasti."

"'Kan tidak selalu."

"'Karena itu kamu harus periksa." Ibu melihat keraguan di wajah anaknya. "'Kan tidak ada salahnya mencoba, iya 'kan? Ayo, ibu temani."

Nasti akhirnya turun dari tempat tidur.

------------+++---------

"Kira-kira sudah berapa bulan ya, dok?" tanya ibu pada dokter itu.

"Sebenarnya sudah hampir 4 bulan tapi perutnya masih terlihat langsing ya?" Dokter itu sampai terlihat iri.

Nasti melongo, tapi ibu membesarkan hatinya. "Nasti, Ayah pasti senang karena rumah kita akan ramai. Anak ini pasti bahagia karena dibesarkan bersama kedua kakek neneknya." Ibu menggenggam tangan putrinya.

Nasti menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Ibu mengangguk seraya tersenyum lebar.

------------+++---------

Nasti membaca surat itu dan tersenyum simpul. Surat dari pengadilan yang menyatakan ia telah bercerai, ia terima dengan lapang dada. Ia sudah tak mau mengingat-ingatnya lagi.

Itu sudah masa lalu dan ia ingin hidup di masa depan dengan kehidupan baru yang menantinya. Sebuah bayi mungil di dalam perutnya.

"Nasti." Ibu datang dari dapur ke meja makan. "Kapan kau akan beri tahu Gerald tentang anak kalian."

"Ini anakku, Bu. Gerald tidak menginginkannya."

"Bagaimana kalau Gerald mau kembali padamu setelah tahu ia memiliki anak darimu?"

"Apapun yang terjadi, aku tak mau lagi kembali padanya! Aku sudah sakit hati, Bu dan aku tidak akan pernah memberitahunya karena anak ini adalah anakku! Dia milikku!" Nasti begitu berapi-api ketika ibu menyebut nama Gerald. Ia masih begitu emosi.

Ibu hanya bisa menghela napas panjang. Biarlah untuk sementara ia tidak menyebut nama mantan suami anaknya itu untuk waktu yang lama, sampai Nasti bisa berpikir jernih, sebab biar bagaimanapun Gerald berhak tahu bahwa ia punya anak dari Nasti.

Anaknya baru bercerai dan perubahan hormon saat hamil menyebabkan wanita itu begitu emosional. "Iya iya, maaf. Ibu salah bicara."

Nasti memeluk Ibunya. "Maafkan Nasti, Bu. Nasti salah, marah-marah sama Ibu."

___________________________________________

Halo reader. Ketemu lagi dengan author ingflora di sini. Ini novel terbaruku berjudul Kamulah Alasan. Jangan lupa tekan subscribe untuk menandakan reader akan mengikuti novel ini. Jangan lupa juga vote, like, komen, dan hadiah sebagai apresiasi pekerjaan author menulis. Ini visual Nastiti Akmal, single parent/orang tua tunggal pekerjaan keras yang sederhana. Salam, ingflora. 💋

Marriage With(Out) Love

Author: MinNami

Elnara wanita cantik yang begitu pandai hingga dikagumi oleh banyak orang terutama kaum Adam. Sayangnya, kecantikan dan kepintaran Elnara tidak bisa menaklukan hati Zayan. Segala cara Elnara lakukan demi bisa menikah dengan Zayan, termasuk menggunakan kekuasaan keluarganya agar Zayan mau menikah dengannya.

Mampukan Elnara menaklukan hati Zayan? Atau justru Elnara memilih menyerah dan membebaskan Zayan dari belenggu pernikahan tanpa cinta?

Bian

3 tahun kemudian.

Terdengar suara langkah kaki seorang anak kecil berlari mendekat. Nasti segera melangkah ke arah pintu dan bersembunyi di baliknya.

"Mama. Mama ...."

"Ba!" Wajah Nasti muncul di balik pintu membuat bocah kecil itu terkejut dan tertawa.

Bocah itu mengangkat tangannya minta digendong tapi dengan tubuh yang kotor membuat Nasti tertawa melihatnya.

Ada beberapa bagian di tangan dan di pakaian, putih terkena sesuatu. Wajah dan juga rambutnya terkena serbuk, membuat penampilannya tampak kacau.

Nasti membungkuk. "Nah, habis mainin tepung Nenek lagi ya?"

Bocah laki-laki itu tersenyum menampilkan deretan giginya yang belum lengkap.

"Ini kamu nakal ya? Sudah Mama bilang berkali-kali jangan mainin tepung Nenek, kamu masih saja tidak dengar. Kasihan 'kan, Nenek mau masak tepungnya habis."

"Ma, Mama ...." Bocah itu mulai membujuk dengan wajah manjanya.

"Apalagi, mmh?" Nasti menjepit hidung mungil bocah bule itu dan menggoyang-goyangkannya hingga membuat wajah bocah itu bergerak-gerak mengikuti gerakkan tangan ibunya.

"Aku cuma main-main," ucapnya dengan tata bahasanya yang sedikit kacau.

"'Kan mainanmu ada, kenapa mainin tepung Nenek?"

"Bosan," jawab bocah kecil itu bersandar pada kaki ibunya.

"Mmh, alasan!" Nasti menarik hidung mungil itu membuat bocah itu tersenyum lebar. Ia kemudian menggendong anaknya dan membawanya ke kamar mandi.

Tak lama, wanita itu membawa bocah itu keluar dengan balutan handuk. Baru saja kaki kecil itu menjejakkan kakinya di lantai, ia segera berlari menjauh dengan tubuh telanjang.

"Eh, sini. Badan kamu masih basah itu ...."

Bocah itu menurut. Ia kembali. Nasti mengeringkan rambut bocah itu yang masih basah, ketika mendekat.

"Kamu nanti bilang minta maaf sama Nenek ya?"

Tak ada suara.

"Bian!"

"Iya."

"Gitu dong. Anak Mama kalo ditanya, jawab."

"Iya, Ma."

Nasti mengambil pakaian di rak baju dan memakaikannya pada bocah itu. Setelah itu, ia menyisir rambut anaknya yang berwarna sedikit kecoklatan itu dengan cepat.

Bocah bermata biru itu tersenyum. "Udah, Ma?"

"Mmh."

Bocah itu kembali berlari ke luar kamar.

"Eh, tapi jangan main kotor-kotor lagi ya?" Terlambat, Bian sudah lebih dulu keluar kamar. Entah bocah itu mendengarkan atau tidak ucapannya, anak itu telah menghilang. Nasti kemudian ikut keluar kamar.

Di sana, di depannya, kembali Nasti tersenyum simpul melihat anaknya Bian kini berhadapan langsung dengan neneknya. Bocah itu meminta maaf sementara neneknya memasang wajah pura-pura garang.

Tangan bocah itu terkumpul di depan dan menunduk. "Maaf Nek, Bian cuma main-main."

"Lain kali jangan main ke dapur lagi ya? Nanti Nenek pukul tangannya, Nenek cubit!" Ibu memperagakannya pada tangan sendiri.

Bocah kecil itu melongo melihat neneknya membuat Nasti kembali tersenyum.

"Sini, peluk Nenek." Nenek yang sedang duduk di kursi, sedikit membungkuk.

Bocah itu mendekat dan Ibu memeluknya dengan hangat. "Jangan nakal-nakal lagi ya, Sayang."

"Iya, Nek."

Nasti pun mendekati mereka berdua. Ia membungkuk mengusap pucuk kepala putranya. "Jangan nyusahin Nenek terus ya?"

Ibu yang gemas, menciumi pipi cucunya yang sedikit gembil. Bian sedikit menghindar karena merasa geli.

"Nah, sekarang Mama mau potong semangka."

"Mau, mau mau!" Bian meloncat-loncat.

Tak lama Nasti meletakkan sepiring potongan semangka dingin di atas meja. Mereka bertiga makan bersama-sama.

Bian duduk dipangku ibu. Kakinya bergoyang-goyang seiring ia mengunyah semangka.

"Tuh, sebentar sudah basah lagi bajunya terkena air semangka," ucap Ibu lagi.

"Tidak apa-apa, Bu. Nanti tinggal diganti saja. Anak kalau aktif biarkan saja, tandanya dia sehat. Asal jangan nakal berlebihan saja, baru dilarang."

"Tapi kamu jadi sering cuci bajunya Bian."

"Tidak juga, Bu. Nanti cuci pas waktunya cuci saja, 'kan gak ada baunya dan noda membandel."

"Tapi kamu jadi harus koleksi baju Bian banyak, padahal anak seumur Bian cepat besarnya. Sayang 'kan, belum lama dipakai harus beli lagi," terang ibu pada putrinya.

Nasti terdiam sejenak. "Aku ingin bekerja, Bu." Ia menghentikan makannya sedang Bian dengan lahap masih mengunyah semangka yang airnya tak henti-henti membasahi baju dan celana.

"Kenapa?"

"Aku tak enak membebani Ibu dan Ayah."

"Kamu 'kan anakku satu-satunya, masa itu disebut beban."

"Tapi 'kan aku harus memikirkan Bian, Bu."

"Ayah masih sanggup membiayai Bian sampai sekolah."

"Tapi itu tanggung jawabku, Bu. Bagaimana kalau ia kuliah nanti?"

Ibu menghela napas pelan. Ia menatap Bian yang masih sibuk mengunyah semangka. Wanita paruh baya itu mengambil serbet dan mengusap mulut bocah itu dan juga pakaiannya. "Lalu siapa yang akan menjaganya nanti? Dia masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal, Nasti."

"Apa ibu tidak bisa membantu menjaganya?"

Ibu diam sejenak. Rasanya berat melepas anaknya bekerja. Ia tahu putrinya walaupun seorang wanita, tapi sangat bertanggung jawab dalam melakukan tugas, hanya saja nasib malang mengharuskan ia menjadi orang tua tunggal di saat ia butuh pendamping.

Padahal ia lebih memilih anak perempuannya itu di rumah mengurus anak daripada bekerja di kantor, tapi mau bagaimana? Nasib berkata lain. "Baiklah. Asal dia tidak rewel, saat tahu ibunya tidak ada."

"Terima kasih, Bu." Nasti memeluk leher ibunya, tinggal Bian terkejut, tak tahu ada apa.

"Mmh."

Beberapa hari kemudian, tetangga menginformasikan ada perusahaan yang membutuhkan tenaga marketing yang letaknya tak jauh dari rumah. Setelah melewati beberapa tahapan seleksi, Nasti akhirnya diterima bekerja di sana dan berniat tinggal di mess kantor.

-----------+++----------

Seorang pria dengan rambut gondrong dan berbaju kaos santai masuk ke kantor direksi. Semua orang di ruangan itu menoleh padanya. Bukan, bukan karena pria itu tidak menaati peraturan dengan berpakaian baju kantor tapi karena parasnya yang tampan dengan wajah oriental.

Ia menghadap sekretaris direktur. "Direktur memanggil Saya?"

Sekretaris yang cantik itu memandang sebelah mata, tapi kemudian ia berdiri dan melangkah ke arah ruang kerja direksi. Ia membuka pintu. "Maaf, Pak. Iwabe sudah datang."

"Mmh." Seorang pria paruh baya dengan rambut sedikit memutih di samping kedua keningnya, meletakkan berkas-berkas di atas meja dan menatap ke arah pintu.

Pria Indo Jepang itu kemudian masuk dan sekretaris itu menutup pintunya.

"Kunci pintunya, Be."

Pria itu kemudian mengunci pintu.

"Besok akan ada 2 pegawai wanita baru di kantor ini. Salah satunya akan tinggal di mess kantor."

"Ya, tinggal datang saja, apa susahnya?"

"Masalahnya dia membawa anak kecil."

"Anak kecil? Janda?"

"Iya."

"Ah, Ayah, ada-ada saja. Nanti kalau dia bekerja, siapa yang akan mengurus anak kecil itu, Yah?"

"Oh, kamu tidak perlu khawatir. Rumah orang tuanya tidak jauh dari mess kantor, jadi kau tidak perlu menjaganya karena wanita ini akan menitipkan anaknya pada orang tuanya."

Iwabe masih cemberut.

"Kenapa lagi?" ledek pria paruh baya itu melihat wajah anaknya.

"Yang kosong, kamar di sebelah kamarku itu, Yah. Pasti kalau anak kecil, berisiknya itu yang gak tahan."

"Ya kamu bikin peraturan lah. Biar tertib."

"Ck, Ayah kayak gak tahu anak kecil saja ... anak kecil mana bisa dikasih peraturan."

Direktur itu tertawa. "Aku yakin kamu bisa memgurusnya, Be."

Iwabe masih merengut sebentar lalu kembali melihat ayahnya. "Sudah?"

"Apa kamu melihat ada yang mencurigakan dari para pegawai, Be sebab akhir-akhir ini data di gudang sedikit mencurigakan. Ayah sudah curiga tapi Ayah belum bicara pada siapapun. Ayah sudah menandai orang-orang yang kemungkinan terlibat dengan pencurian di gudang ini."

Iwabe mengerut kening.

____________________________________________

Halo reader, masih awal-awal pengenalan karakter. Jangan lupa kirimi author dengan like, vote, komen dan hadiah. Ini visual Iwabe, pria lajang yang senang hidup santai. Salam, ingflora 💋

Secret Wedding ( Jimmy & Alisa )

Author: sendi andriyani

Perjodohan antara dua keluarga yang membuat Jimmy harus menikahi gadis bernama Alisa, teman sekelasnya.

Jimmy pria dingin, cuek, acuh dan datar harus di hadapkan dengan Alisa yang berkepribadian terbalik dengan Jimmy.

Meski awalnya Jimmy sangat menentang perjodohan itu karena dia masih sekolah, tepatnya kelas 3 SMA, namun pada akhirnya dia mulai bisa menerima Alisa sebagai istrinya.

Berkenalan

"Aku tidak memperhatikan karyawan satu-satu, Yah. 'Kan banyak di mess, dan supir antar jemput juga bukan aku saja."

"Kalau begitu, tolong perhatikan karyawan mess mulai hari ini. Siapapun dia, hal kecil apapun yang dilakukannya, karena bisa berakibat fatal."

"Iya, baiklah. Aku tahu."

"Mmh."

Iwabe melihat mimik Ayahnya yang sedikit beda. "Iya, apalagi?"

"Jangan lupa tengok ibumu, dia sudah kangen padamu."

"Iya, iya."

Iwabe dan direktur perusahaan itu, Sastra Dirga, tidak mirip. Itu karena Iwabe berwajah seperti ibunya, yang asli Jepang dan direktur itu sebagai ayahnya berwajah Jawa.

Tentu saja, Iwabe yang berusaha menyembunyikan identitasnya demi memeriksa pegawai-pegawai nakal di perusahaan itu, merasa nyaman dengan posisinya sekarang ini sebagai pengurus mess dan sopir antar jemput karyawan. Bahkan, sekretaris ayahnya pun tak tahu, ia adalah putra direktur.

Ia bisa dengan mudah tahu, pegawai mana yang 'menjilat' atasannya, dan mana yang jujur.

Ya sudah, Yah. Aku balik dulu."

"Be ...." Direktur itu menyodorkan kartu hitamnya. "Ini, kau pegang untuk kebutuhanmu."

"Sudah, tidak apa-apa, Yah. Gajiku cukup kok, buat diri sendiri. Nanti saja kalau Abe nikah." Pria gondrong itu menepuk bahu ayahnya, menenangkannya.

"Carikan ayah menantu yang cantik ya?"

Iwabe tergelak. Ayah dan anak itu memang sangat akrab.

Baru saja pria itu keluar dari ruang kerja ayahnya, ia bertemu CEO Nathan.

"Eh, kamu gak ada pekerjaan 'kan?" ujar pria itu tanpa basa basi.

"Apa?!"

"Kau menggantikan supirku yang sakit hari ini."

"Tapi aku harus kembali ke mess."

"Kamu tidak tahu aturan sekali ya? Ini 'kan jam kantor. Urusan mess nanti setelah jam pulang kantor. Apa kamu tidak tahu itu?" omel CEO itu.

"Tapi ada yang ...."

"Kamu denger gak sih, perintahku? Mau aku pecat?"

Iwabe tak bisa berkata-kata karena kesal. "Iya, Pak." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibirnya agar bisa menyelamatkan semuanya.

"Ya sudah, tunggu di tempat parkir sana! Aku mau bicara dulu dengan Pak Direktur." Pria itu kemudian masuk ke ruang direktur diantar sekretaris direktur.

"Nye, nye, nye, nye, ...." Iwabe menirukan kecerewetan pria itu karena dongkol.

----------+++---------

Iwabe mendatangi kamarnya dan terkejut. Seorang wanita dan seorang bocah laki-laki duduk di kursi di depan kamarnya.

Tentu saja kedatangan keduanya sudah diketahui, tapi ada yang berbeda. Bocah laki-laki itu ... bule sementara ibunya orang Indonesia.

Iwabe mendekat, fokus menatap bocah itu sedang wanita itu fokus menatap Iwabe yang wajahnya beda dari orang Indonesia. "Ini ...."

Wanita itu, segera sadar. "Oh, ini anak Saya."

"Anakmu?" Iwabe mengangkat alis. Paling, tidur sama bule terus ditinggal. Sekarang, karena malu dia pakai jilbab. Huh, munafik! Pasti belum pernah nikah. Kalau ditanya pasti pernah, tapi kalau suruh tunjukkan surat nikah, pasti banyak alasannya. Ya sudahlah, bukan urusanku juga.

Wanita seperti ini pasti mengejar bule-bule yang banyak duitnya, padahal, wajahnya tidak jelek juga. Malah cenderung manis.

Pria itu berdehem karena terlalu lama mematung. "Saya Iwabe, pengurus mess di sini. Kebetulan kalian duduk di depan kamar Saya."

"Oh, iya. Saya diberi tahu pegawai di sini, jadi Saya kemari. Lagipula, yang punya kursi di beranda, hanya Bapak saja seorang jadi pastinya Bapak pengurus mess di sini." Nasti menurunkan Bian dari pangkuan dan berdiri.

"Mmh. Oya, maaf Saya telat karena ada urusan kantor tadi."

"Eh, tidak apa-apa."

"Eh, oh, ya. Kamu di sebelahku kebetulan, kamarnya."

Nasti menoleh ke arah mana Iwabe menunjuknya. "Oh, oh, itu. Syukurlah."

Iwabe mengerut kening. Maksudnya?

"Ah, ternyata tidak perlu jauh-jauh bawa kopernya."

Awas aja kalo berani godain aku di sebelah, batin Iwabe. Kamar Iwabe berada di perbatasan mess untuk perempuan dan laki-laki agar ia bisa mengawasi siapa saja yang melewati batas yang tidak boleh dilewati karena di tempat itu dilarang pacaran.

"Ayo, Nak kita masuk. Eh kuncinya?" Nasti berbalik ke arah pria itu.

"Oya, sebentar." Iwabe kemudian pergi ke kamar mengambil kunci dan membuka kamar di sampingnya.

"Ini, kamarnya."

Nasti kemudian masuk dan melihat fasilitas yang ada. Hanya ada spring bed di lantai, lemari, meja kecil dan kamar mandi. "Oh, alhamdulillah, lengkap juga ternyata."

Bocah itu berlarian di dalam kamar dan arahnya tak tentu membuat Iwabe sedikit pusing melihatnya.

"Anakmu ini dititipkan saat kerja 'kan?" tanya pria itu memastikan.

"Oh, iya. Rumah orang tuaku ...."

"Ya, aku hanya memastikan saja, karena aku juga bekerja saat itu. Tidak ada orang di sini kecuali satpam dan orang sakit," ucap pria itu dengan lugas.

"Kalau masak?"

"Tidak boleh masak di kamar ya? Ada ruang masak di gedung serba guna di belakang, juga lemari es. Kau boleh masak di sana."

"Oh, iya."

"Sudah mengerti 'kan? Kalau ada pertanyaan kau bisa mendatangi kamarku di sebelah," ucap pria itu dengan wajah datar.

"Oh, iya. Terima kasih, Pak."

"Mmh." Tanpa basa basi ia keluar dan masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu.

Aneh juga, wanita itu seperti habis menculik anak orang bule. Sama sekali tidak mirip dengan ibunya, batin pria itu.

Sedang Nasti tersenyum simpul mendapati pengurus mess adalah orang Jepang yang bahasa Indonesianya sangat lancar, seakan ia memang dibesarkan di Indonesia.

--------+++--------

Saat Iwabe berbaring, ia bisa mendengar sayup-sayup suara wanita itu berbicara dengan anaknya. Memang berisik sekali.

"Bian, kamu jangan lari-lari berputar terus apa gak pusing kamu, Nak?"

"Mama, Mama ...."

"Ayo, kosmetik Mama jangan dibongkar gitu ...."

"Bian, jangan loncat-loncat di atas tempat tidur, Sayang. Ini sudah waktunya tidur."

Anehnya, suara berisik itu sama sekali tidak mengganggu pria itu karena suara Nasti yang lembut pada anaknya.

"Ayo, Bian. Tidur."

Pria itu bahkan tersenyum mendengarnya. Wanita itu ... eh, aku lupa tidak tahu namanya. Pria itu mengetuk keningnya. Kenapa aku lupa menanyakan namanya?

-----------+++----------

"Siapa namamu?"

"Nasti." Wanita itu menggandeng Bian.

"Oh."

"Kenapa?"

"Aku lupa menanyakan namamu kemarin."

"Oh ...."

Iwabe melirik wanita itu. Mmh. Pasti ge-er.

Nasti merapikan baju anaknya dan tas di punggung si kecil. "Nanti jangan nakal ya? Jangan main di dapur lagi."

"Iya, Ma." Kemudian Nasti menarik anaknya pergi.

"Eh, kamu tidak naik bus?" tanya pria itu.

Nasti berhenti dan menoleh. "Tapi aku takut tidak bisa tepat waktu datang ke sininya. Lebih baik berangkat saja dulu karena aku masih belum mengerti arah jalannya."

"Eh, bagaimana kalau aku antar kamu ke rumah orang tuamu?"

"Apa?"

Orang-orang yang berada di atas bus ribut, membuka jendela dan ikut bicara.

"Apa gak terlambat ini, pergi ke kantornya?"

"Gila, jam berapa sampai kantornya?"

Nasti pun terlihat bingung. "Tapi ...."

"Orang tuamu tinggal di mana?"

"Cipelangi."

Orang-orang di bus kembali ribut.

"Deket sih."

"Tapi lawan arah."

"Ya sudah, aku antar." Pria itu memutuskan.

Namun orang-orang di bus kembali ribut.

"Wah, enak bener ya?"

"Nanti kalau terlambat bagaimana?"

Iwabe menatap penumpang busnya satu-satu. "Yang protes boleh keluar dan ganti bus lain," tegasnya.

Seketika bus senyap.

___________________________________________

Makin seru kan reader? Baca terus ya dan beri semangat authornya dengan memberi like, komen, vote atau hadiah. Ini visual Bian, si bocah aktif. Salam, ingflora. 💋

Intip yuk novel teman author yang lain.

Pernikahan Rahasia Anak SMA 2

Author: LichaLika

Zara Adelia, gadis cantik dan juga seorang Nona muda yang masih duduk di kelas 12 SMA, terpaksa menjalani pernikahan rahasia dengan seorang pria yang lebih dewasa darinya. Ia dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pria dari kalangan sederhana, kedua orang tua Zara sangat yakin jika pria tersebut bisa membuat Zara bahagia. Pria tersebut tak lain adalah guru olahraga sekaligus guru BP nya di sekolah. Sedari dulu Zara sangat tidak menyukai guru olahraga nya itu.

Akankah Zara bisa hidup bahagia bersama pria yang bukan pilihannya? Nyatanya sehari-hari Zara harus berhadapan dengan suami sekaligus guru olahraga nya di sekolah. Mungkinkah cinta mulai bersemi di antara mereka?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!