NovelToon NovelToon

Petrus Samyang (Pepet Terus Sampai Sayang)

1. Hari Yang Sial

"Ibu. Astaga Ibu aku akan terlambat masuk kantor. Ya Tuhan ini adalah hari pertama aku kerja dan aku terlambat. Oh tidak, ini tidak baik untuk reputasiku. Ibu kenapa nggak bangunin aku? Aku, kan sudah berpesan untuk membangunkan aku jam enam. Aku masuk kantor jam delapan, Bu. Aku jadinya dandan nggak maksimal, kan?" Baby terus berceloteh seraya memasukkan roti yang sudah ditumpuk dengan selai ke dalam kotak bekalnya.

Bekal yang seharusnya berisi makan siang, kini digantikan oleh sehelai roti yang seharusnya ia buat sarapan.

"Jangan nyalahin Ibu terus, kamu yang susah dibangunin. Ibu udah bangunin kamu dari jam enam. Bahkan alarm kamu juga udah bunyi, kamu hidup cuman matiin alarm terus balik lagi merem. Heran, kamu tidur kayak orang koma."

"Nggak sekalian aja kayak orang mati, aku berangkat. Bye!" Baby berlari keluar rumah.

"Salim Baby!" teriak Bu Nur, selaku ibu Baby.

"Salimnya besok aja kalau nggak telat."

Dengan kecepatan super, Baby yang sudah ahli dalam mengendalikan motor memutar gas dengan kencang. Ia meliuk-liukkan setir motornya dengan lihai bak pembalap.

Cittt!

Baby yang mengendarai motor dengan kecepatan penuh menekan rem di tangannya dalam-dalam. Sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengerem motornya, tapi tetap saja ban motornya menubruk mobil yang berhenti karena lampu lalu lintas merah menyala.

"Astaga, mampus gue. Belum juga kerja, masa iya gue harus ganti rugi kerusakan mobil orang? Nyusahin Ibu lagi, deh gue. Nggak-nggak, harus kabur sih gue ini. Bisa dijual Ibu ke juragan tanah kalau gue minta uang buat ganti rugi."

Di saat Baby melihat pintu mobil hampir terbuka, lampu hijau menyala. Baby bernafas lega, semesta kali ini mendukungnya. Dengan kecepatan yang sama seperti sebelumnya, Baby meninggalkan tempat itu dengan senyum sumringah.

Jarak tempuh antara kantor dan rumahnya yang seharusnya memakan waktu lima belas menit, hanya di tempuh lima menit saja.

"Aduh, hari pertama kerja jelek banget gue. Rambut acak kadul, bedak tipis sebelah, warna lipstik menor banget. Ya Gusti, gue kerja buat nyari duit sama nyari jodoh. Kalau diatur begini, dapet jodoh kagak, dapet kang julit, iya," gerutu Baby menyisir rambutnya dengan ke lima jarinya.

Di detik-detik yang tersisa, Baby masih sempat-sempatnya membenarkan lipstik dan juga bedaknya. Setelah di rasa sudah cukup, ia mengukir senyum di bibirnya lalu turun dari motor dan berjalan dengan anggun.

Kakinya yang tak biasa memakai hells membuat Baby merasa kesulitan berjalan. Beberapa kali ia hampir terjatuh, untunglah tak sampai nyusruk ke tanah.

Mata ****** Baby bekerja dengan baik, ia melirik ke sana dan kemari, ia berpikir barangkali ia bisa menggaet salah satu karyawan di sana. Tapi yang ia dapat justru satpam yang berada tak jauh darinya sedang tebar pesona dengan memainkan rambutnya.

"Hai karyawan baru, ya? Namanya siapa?" tanya satpam yang masih terlihat muda.

"Baby."

"Oh iya honey," jawab satpam itu dengan terkejut sekaligus malu.

"Namaku Baby. Bukan manggil kamu baby," jawab Baby lalu pergi dari sana.

Baby berjalan masuk ke dalam kantor dan duduk di meja kerjanya yang sebagai staf biasa. Ia berada di ruangan terbuka dengan staf lainnya. Hanya ada skat dari kayu yang tingginya hanya sebatas pundak orang dewasa. Mereka tinggal berdiri jika ada pertanyaan atau ada yang mereka obrolkan pada staf lainnya.

Ia datang tak terlalu terlambat. Tepat pukul delapan gadis itu sudah duduk di kursinya. Gadis petakilan itu celingukan ke sana dan kemari. Perutnya yang begitu lapar sejak tadi sudah tak tahan ingin di isi. Ia merasa cacing di perutnya sedang megap-megap karena menghadapi sakaratul mautnya.

"Ya Tuhan. Hari apa, sih ini? Apes banget gue perasaan. Kotak bekal gue ketinggalan di motor. Aduh, mudah-mudahan nggak ilang, bisa-bisa gue dibikinin adek lagi sama Ibu, warisan bagian gue makin dikit. Warisan nggak seberapa masa dibagi-bagi sama tiga orang anaknya. Udah cukup gue punya adik satu yang bikin gue ubanan sebelum waktunya." Baby kembali beranjak keluar dari mejanya dan berjalan dengan tergesa-gesa.

Belum sempat sampai di teras kantor, langkah Baby terhenti karena ada seorang pria muda yang berjalan begitu berwibawa ke arahnya. Ada seorang pria lagi yang berjalan mengikuti pria tampan itu.

Jangan-jangan itu CEO perusahaan ini. Ya salam, ganteng banget. Ini nih yang gue cari. Ibu pasti seneng dapet mantu bening begini, bisa beli tuppercare banyak-banyak. Jangankan tuppercare, pabriknya juga mampu dia beli. Oke, lo gue tandain, Pak.

Sedetik kemudian, Baby mengibaskan rambutnya ke belakang lalu berjalan kembali dengan seanggun mungkin. Ia berdoa dalam hati agar tak terjatuh di depan pria yang nampak dingin dan galak itu.

Tap tap tap

Bunyi hentakan sepatu hells Baby dan dan pria yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya itu terdengar menggema. Baby semakin dekat dengan pria itu, detak jantungnya seakan semakin berani berdetak lebih kencang dari yang ia kira.

"Selamat pagi, Pak," sapa Baby dengan suara yang dibuat begitu halus dan lembut.

"Hm. Mau ke mana kau di jam kerja seperti ini?" tanya pria itu tanpa menoleh padanya.

"Ambil bekal saya yang ketinggalan di motor, Pak."

"Ambil di jam istirahat."

"Hanya ambil saja, Pak. Saya akan kembali dengan cepat."

"Kembali ke meja! Tidak ada satu pun orang yang bisa keluar masuk dengan bebas di jam kerja. Kembali ke meja, atau tetaplah keluar dan jangan kembali!"

Baby yang berada di belakang pria itu hanya mencibir. Terpaksa ia kembali ke mejanya dengan kondisi cacing yang mungkin akan semakin kurus karena menahan lapar.

Untung ganteng.

Hening sesaat.

Tak berselang lama, pria itu terdengar kembali melanjutkan langkah. Dengan keadaan perut yang kosong Baby terpaksa menundukkan kepala menatap kertas yang penuh dengan deretan huruf.

Beberapa jam berlalu.

Sedang fokus dengan pekerjaannya, tak sengaja bola matanya menangkap sosok pria yang tadi berjalan dengan pria dingin yang tak ia ketahui namanya.

Baby memperhatikan pria itu berjalan, melihatnya terus berjalan ke arah teras kantor membuat ia mendapatkan ide cemerlang.

"Hey, Pak. Kau yang berjalan ke arah teras, berhentilah!" teriak Baby berlari menuju pria itu.

Baby bisa berlari dengan hells? Tentu saja tidak, ia berlari tanpa alas kaki. Sejak duduk di meja kerjanya tadi, ia memang sengaja melepas hellsnya, Baby yang terbiasa petakilan merasa tak nyaman jika terus menerus memakai hells.

Merasa menjadi satu-satunya manusia yang berjalan ke arah teras, Dandi refleks berhenti dan menoleh ke belakang. Pria yang menjabat menjadi asisten pribadi pria dingin itu memiliki sifat yang humble dan humoris, sangat berbanding terbalik dengan atasannya.

"Kau memanggilku?" tanya Dandi begitu Baby sampai di depannya dengan nafas ngos-ngosan.

"Iya, memang siapa lagi yang bejalan ke arah teras selain kau? Boleh aku minta tolong?"

"Apa? Ambilkan bekalmu?"

Baby seketika menunjukkan deretan gigi putihnya seraya mengangguk semangat.

"Kau lapar?"

"Banget. Aku terlambat bangun tadi, jadi nggak sempat sarapan."

"Sayangnya nggak boleh makan di jam kerja. Entah makan makanan ringan ataupun berat. Kau bekerja di sini, harus mematuhi peraturan di sini."

"Astaga, aku janji aku akan tetap fokus bekerja sambil makan. Aku nggak bisa konsetrasi kalau lapar." Wajah Baby yang memelas nampak memucat. Gadis itu tak terbiasa menahan lapar.

Tak berselang lama dari setelah itu, kepala Baby terasa berputar, ia merasa pening mendadak. Rasanya sangat sulit untuk membuka mata karena pusing di kepalanya dan apapun yang ia lihat mendadak buram.

"Kau kenapa? Hey kau tidak apa-apa?" tanya Dandi yang sedikit menelengkan kepalanya melihat wajah Baby.

"Tidak, aku baik-baik saja. Aku kembali ke meja saja."

Baby kembali ke meja kerjanya, dengan pelan dan sedikit sempoyongan karena menahan pusing di kepalanya. Tiba-tiba saja apapun yang ia lihat nampak semakin tidak jelas dan sedetik kemudian semua terasa gelap.

Baby merasa ada seseorang yang membuatkan melayang, ia sadar ia seperti di gendong seseorang, tapi matanya begitu sulit untuk ia buka.

2. Hari Sial Apa Keberuntungan?

Baby dengan perlahan membuka mata, ia sedikit mengerjap begitu matanya terbuka lebar. Berada di dalam ruangan yang asing membuat Baby bingung ia berada di mana. Ia seketika terduduk dan melihat pakaiannya yang masih  lengkap. Ia bernafas lega.

"Hai lo sudah sadar? Maaf tadi lo tinggal sebentar buat makan siang. Lo pingsan lama banget. Lo sakit?" tanya seorang gadis yang kira-kira seusia Baby.

"Ha? Ini udah jam makan siang? Gue pingsan berjam-jam dong?"

"Iya. Aneh makanya, kan. Biasanya orang pingsan cuman beberapa menit aja. Lo udah kayak orang mati aja."

"Ini gue hidup lagi, mati suri dong berarti. Kenalin, gue Baby. Kayaknya lo yang duduk di sebelah gue, ya?"

Baby menyodorkan tangannya.

"Iya kita duduk sebelahan, gue Mira. Ini gue ada makan siang buat lo."

Mata Baby seketika berbinar melihat bungkusan kertas minyak yang ada di tangan Mira. Tak perlu mengucapkan kalimat perintah itu dua kali, Baby seketika merebut bungkusan itu dan membukanya lalu memakannya dengan lahap. Perutnya benar-benar lapar, mungkin cacing di perutnya sekarang sudah mati kelaparan.

"Lo tahu? Gue pingsan karena gue menahan lapar. Tadi bangun terlambat dan tidak sempat sarapan. Gue sebenarnya tadi membawa bekal, tapi bekalnya tertinggal di motor. Gue mau ambil, tapi nggak boleh sama..." ucapan Baby terhenti.

"Gue nggak tahu namanya dia siapa. Lo tahu, kan tadi yang ngelarang gue buat ambil makanan?" tanyanya seraya memasukkan nasi kuning itu banyak-banyak ke dalam mulutnya.

"Tahu. Itu CEO di perusahaan ini, namanya Pak Cakra. Kalau yang sama Pak Cakra tadi itu asisten pribadinya namanya Pak Dandi."

Menyebutkan kedua nama orang itu membuat Baby teringat akan ingatannya yang terasa dibopong oleh seseorang.

"Lo tahu nggak siapa tadi yang gendong gue? Gue tadi tuh ngerasa kayak ada yang gendong, tapi gue nggak bisa buka mata."

"Lo beruntung banget di hari pertama kerja, lo bisa digendong sama Pak Cakra. Gue dengar bisik-bisik dari para senior nggak ada satupun orang yang bisa menyentuh Pak Cakra di perusahaan ini selain asisten pribadinya dan lo benar-benar luar biasa, Baby." Mira sampai tepuk tangan saking kagumnya pada teman barunya itu.

Mendengar dirinya digotong oleh Pak Cakra membuat Baby tersedak seketika. Nasi kuning yang sudah ia telan hingga tenggorokan seakan tidak mau masuk lebih dalam. Cacing-cacing di perutnya seakan menolak nasi kuning itu.

"Lo nggak lagi bohongin gue, kan? Lo lagi nggak nge-prank gue, kan? Lo jangan bohong, Mira. Bukannya gue tadi itu bicara sama Pak Dandi, ya? Kenapa jadi bisa Pak Cakra yang gendong gue?"

"Kan lo sempat menjauh dari Pak Dandi. Lo mau balik ke meja, kan. Jadi pas lo balik itu, Pak Cakra lagi jalan ke arah berlawanan sama lo. Tiba-tiba lo pingsan pas Pak Cakra mau melewati lo."

Baby menepuk-nepuk pipinya pelan. Memastikan apakah dirinya ini sedang bermimpi atau tidak. Baru saja ia mengagumi sosok Cakra di dalam hati, dan tubuhnya sudah berada dalam gendongan pria itu. Jadi ini kesialan atau keberuntungan?

"Buruan dihabiskan makanannya, keburu habis jam istirahatnya."

Baby kembali makan dengan lahap, hatinya begitu berbunga. Meskipun ia digendong dalam keadaan tak sadarkan diri, tak apa, yang penting ia bisa merasakan sentuhan Cakra yang tidak sembarang orang mendapatkannya. Ia berencana tidak akan mencuci blezer yang ia kenakan sekarang, pasti bau tangan Cakra masih menempel dengan lekat di sana, begitu pikir Baby.

"Astaga, Mir. Gue lupa, bekal gue masih di motor. Gue ambil dulu, nanti hilang ribet urusannya." Baby menenggak sebotol air mineral dan berlari ke luar ruangan kesehatan.

"Baby, nggak usah diambil, kan lo udah makan!" teriak Mira ikut berlari mengikuti langkah Baby.

"Bukan masalah isinya!" Baby tak kalah berteriak.

Dengan nafas tersengal-sengal Baby sampai di parkiran motor dan jantungnya terasa mencelos saat melihat motornya. Ia melihat gantungan motor bagian depan yang nampak kosong. Tubuhnya yang baru saja di isi asupan dan seharusnya mendapat tenaga, kini malah terasa lemas.

Bagaimana tidak? Anak kesayangan ibunya hilang tak berbekas. Bahkan hilang beserta kantong kreseknya.

"Astaga, anak kandung Ibu hilang!" ujar Baby lirih.

"Lo bawa adik ke kantor?" tanya Mira yang baru saja sampai di parkiran dan mendengar kalimat terakhir Baby.

"Tuppercare Ibu hilang, Mir. Bisa diusir dari rumah gue," jawab Baby kalut.

"Yaelah, nanti kalau gajian diganti. Udah masuk dulu, yuk. Waktunya kerja kita. Karyawan baru jangan bikin ulah dulu, ntar aja kalau udah senior."

Mira manggeret tangan Baby agar segera mengikutinya masuk kantor. Yang diseret hanya menunjukkan wajah bingungnya.

Baby kembali berkerja dengan tidak terlalu fokus. Sebelah pikirannya memikirkan pekerjaan, dan sebelahnya lagi hilang bersama dengan tuppercare yang membuat dirinya merasa menjadi anak tiri ibunya.

Baby merasa bingung, kenapa ia harus dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sedikit aneh dari keluarga yang lain? Jika orang lain pasti menyayangi anak kandungnya melebihi segalanya, tidak dengan kedua orang tuanya yang lebih menyayangi benda-benda yang tidak memberikan mereka uang.

Ibunya yang terlalu fanatik dengan benda-benda bermerek seperti tuppercare, dan juga berbagai jenis merk lainnya yang berada di dapur, belum lagi aksesorisnya yang berupa jam tangan dan juga tas yang semua juga tak kalah bermerek.

Sedangkan ia mempunyai satu Ayah yang juga tak kalah anehnya. Ayahnya sudah mempunyai burung di dalam sarung, namun ia juga mencintai burung yang berada di luar sarung.

Belum lagi adik laki-laki satu-satunya yang ia miliki. Adiknya itu lebih mencintai motornya yang sudah masuk bengkel berkali-kali daripada dirinya sendiri. Di antara mereka berempat hanya Baby yang memiliki sifat normal seperti manusia lainnya, tidak fanatik terhadap apapun kecuali oppa-oppa Korea.

"Siapa pemilik kotak bekal ini?" tanya Dandi

Mendengar kata kotak bekal, Baby yang tadinya menundukkan kepala seketika mendongak. Ia berdiri begitu melihat kotak bekal berwarna pink. Lalu berjalan ke arah Dandi yang sedang menjereng kotak bekal itu.

"Itu punya saya, Pak. Kenapa bisa ada di Bapak?"

"Ke ruangan Pak Cakra sekarang!" titah Dandi berjalan lebih dulu ke ruangan atasannya.

Baby yang tak tahu menahu ada persoalan apa tentu saja celingukan bingung. Ia menatap Mira sebelum pergi mengikuti Dandi.

3. Kau Memang Milikku

Entah mengapa Baby merasa perjalanan dari meja kerjanya ke ruangan Cakra begitu lama. Entah sudah berapa lama ia berjalan di belakang Dandi, namun pria itu tak kunjung berhenti. Kakinya terasa pegal karena sejak tadi dibuat berjalan dan berlari.

Bruk!

"Aduh, Pak. Maaf saya kira Bapak masih jalan tadi." Baby berujar sungkan karena tak sengaja menubruk punggung lebar Dandi.

"Masuk!" teriak Cakra dari dalam.

Baby masih setia berjalan di belakang Dandi. Perasaannya tiba-tiba saja tak enak ketika kakinya ia gunakan untuk menapak lantai ruangan Cakra.

Begitu kotak bekal itu berada di tangan Cakra, Dandi meninggalkan Baby dengan Cakra di ruangan yang sama.

"Kau pemilik kotak bekal ini?"

"Iya, Pak. Apa kotak bekalku diambil oleh maling dan Bapak menyelamatkannya? Kalau memang benar begitu, terima kasih banyak karena sudah menyelamatkan hidup saya, Pak."

Baby berucap panjang lebar berharap mendapatkan respon yang baik dari Cakra, justru pria itu malah tetap menatapnya dengan ekspresi dan wajah yang sama dinginnya seperti tadi pagi.

"Kotak bekal buruk rupa begini mana ada maling yang ambil?" celetuk Cakra yang membuat Baby membola seketika.

Sabar Baby, barangkali dia sedang menguji kesabaran kamu sebagai karyawan baru. Bersabarlah, suatu saat buatlah dia tak bisa hidup tanpamu.

"Kau tahu kenapa benda ini ada padaku?"

Baby menggeleng lemah. Ia sedikit menggerakkan kakinya karena terasa lelah berdiri. Tega sekali pria itu membiarkan Baby berdiri dengan hells setinggi tujuh centi.

"Aku melihat ini ketika ada seseorang yang menabrak mobilku dari belakang."

Baby masih sibuk dengan kakinya, belum mencerna dengan baik apa yang diucapkan oleh Cakra. Hingga beberapa detik berikutnya, barulah Baby tersadar dengan ucapan yang ia dengar.

Baby seketika mendongak menatap wajah Cakra yang tampannya berlebihan namun, nampak garang. Melihat wajah tampan itu seketika ia mendadak amnesia hendak mengatakan apa.

"Pak, maaf sebelumnya. Apa Bapak akan membiarkan saya berdiri seperti ini? Jika obrolan kita masih butuh waktu lama, maka biarkan saya meletakkan bokong saya, Pak. Saya tidak biasa memakai hells, jadi kaki saya terasa lelah."

"Apa peduliku? Katakan kenapa kau lari setelah membuat mobilku rusak!"

"Bapak, kan tahu tidak lama setelah insiden itu lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. Kalau hijau, kan tandanya kita harus jalan. Bukan maksud saya untuk tidak mau tanggung jawab, saya juga takut terlambat datang ke kantor. Lagipula Bapak orang kaya, masa iya minta tanggung jawab ganti kerusakan. Uang Bapak, kan pasti lebih banyak."

"Bukan perkara uang. Tapi, tanggung jawab."

"Ya, kan tanggung jawabnya pasti berupa uang. Emang bisa mobil Bapak di perbaiki dengan ganti kotak bekal yang Bapak bawa?"

Cakra tak bisa menahan amarahnya lebih lama. Ia berdiri dengan kilatan emosi yang membuncah, hal itu terlihat dari sorot matanya yang merah. Tak berselang lama setelah ia berdiri, meja yang sejak tadi menjadi pembatas antara dirinya dan Baby jadi pelampiasan amarahnya.

Baby terlonjak dari tempatnya ketika tangan Cakra menggebrak meja dengan keras. Bunyi yang ditimbulkan tangan Cakra begitu nyaring di telinga.

"Tanggung jawab tidak hanya perkara uang. Apa mulutmu tidak bisa mengucap maaf? Aku juga tidak butuh uangmu. Aku yang memberimu gaji di sini. Untuk apa aku minta uang untuk memperbaiki mobil?"

Baby menelan ludahnya kasar. Ingin balas membentak, tapi Cakra terlalu tampan untuk di bentak. Jika ingin membalas menggebrak meja, ia takut Cakra jantungan dan meninggal di tempat.

"Iya, Pak. Saya bisa kok mengucap maaf. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya karena sudah merusak mobil Bapak. Saya tidak sengaja melakukannya."

"Siapa namamu?"

"Baby."

"Nama lengkap?"

"Baby Clarissa."

"Kembali ke tempat kerjamu."

"Apa saya dipanggil hanya untuk minta maaf?"

"Kau pikir?"

Mendapat tatapan Cakra membuat baby sedikit menciut.

"Baik, saya akan kembali. Permisi." Baby memutar tubuhnya dan berjalan keluar ruangan. "Dasar manusia gila hormat," gumam Baby sangat pelan.

"Tunggu!" ujar Cakra begitu Baby menyentuh gagang pintu. "Milikmu." Cakra berdiri dari kursi kebesaranya dan berjalan ke arah Baby.

"Iya, kau memang milikku," jawab Baby berjalan kembali ke tempat semula dan mengambil kotak bekal miliknya.

"Apa kau bilang?" tanya Cakra memindahkan posisi kotak bekal itu menjadi di balik punggungnya.

"Bapak ingin saya mengulanginya lagi? Sepertinya Bapak suka mendengar kalimat tadi? Ba..."

Belum selesai Baby mengucapkan sebuah kalimat, Cakra tiba-tiba menyodorkan kotak bekal dan menyuruhnya untuk pergi dari ruangan. Cukup dengan sekali gerakan tangan, Baby meninggalkan ruangan atasannya itu dengan memberikan satu kedipan di sebelah matanya.

Baby cekikikan begitu menutup pintu. Entah kenapa ia merasa terlalu berani untuk melakukan hal itu pada seorang atasan yang tidak bisa tersenyum itu.

"Kenapa kau senyum-senyum?" Dandi yang akan kembali ke ruangan Cakra heran mendapati Baby yang menutup pintu dengan suara cekikikan.

"Nggak apa-apa, Pak senyum, kan ibadah yang paling gampang dan murah."

"Tapi bukan berarti senyum sendiri. Oh, ya roti yang ada di kotak bekalmu aku makan, di suruh sama Pak Cakra. Takutnya kau kembali berulah dengan makan di jam kerja."

"Bukan masalah yang besar."

Ganteng juga.

Baby kembali ke meja kerja begitu percakapan singkat itu berakhir. Tidak normal kalau tidak ada yang kepo soal apa yang terjadi padanya, kenapa ia harus dipanggil Cakra di hari pertamanya bekerja.

Mira, salah satu teman barunya itu adalah perwakilan dari kang kepo dan kang julit di saat bersamaan.

"Ngapain Pak cakra manggil lo?"

"Cuman mau kembalikan kotak bekal ini."

"Ha? Ngapain dia susah payah mengembalikan kotak bekal sialan itu? Kan tadi udah dibawa Pak Dandi. Gimana sih, perkara kotak bekal ribet amat."

"Ngapain sih, julit amat lo jadi orang. Udah sana balik kerja, mau lo dipecat sama calon laki gue?"

"Ih najis. Mana mau Pak Cakra sama perempuan modelan begini."

"Pasti mau lah, lo salah satu saksi hidup yang melihat dengan mata kepala sendiri kalau gue di gendong sama Pak Cakra. Itu adalah cara Tuhan buat ngasih kode ke lo semua kalau gue adalah wanita yang paling beruntung bisa di sentuh oleh Pak Cakra. Lo sendiri yang bilang begitu, kan?"

Tanpa mereka sadari, ada tatapan tak suka yang diarahkan pada Baby. Tatapannya begitu tajam seolah menyiratkan kebencian yang besar.

Masih bocah udah belagu, gue akan tunggu lo sampai lo diam. Kalau nggak bisa diam, jangan salahkan gue kalau gue bertindak. Semuanya tahu siapa gue di sini.

Wanita yang sempat menghentikan langka di dekat meja kerja Baby dan Mira kembali menautkan heels nya dengan lantai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!