NovelToon NovelToon

Wanita Tawanan Tuan CEO

Part - 001

"Ayah, aku rindu ayah. Kenapa ayah harus pergi secepat ini? Aku dan ibu selalu kesepian tiap malam. Apa ayah juga rindu dengan kebersamaan kita? Hiks ..."

Seorang gadis remaja berusia 15 tahun, duduk di samping tanah makam yang masih basah. Diusapnya nisan yang bertuliskan nama sang ayah, Adam Mirza. Sedangkan gadis itu, Disha Maharani namanya.

Disha baru saja kehilangan sang ayah untuk selamanya. Ia masih belum bisa merelakan kepergian Adam yang mendadak. Bulir bening yang terus saja mengalir dari sudut mata, langsung ia seka dengan punggung tangan.

"Ayah, aku akan terus mencari siapa pelakunya! Aku tidak rela, jika orang yang bersalah, bebas berkeliaran!" Ucap Disha tegas, dengan sorot mata tajam.

Lalu, Disha bangkit, dan pergi meninggalkan makam ayahnya. Langkahnya gontai, kala ia sudah sampai di gerbang pemakaman. Ia masih ingin menceritakan berbagai hal pada mendiang sang ayah. Namun, ia juga tak boleh melupakan sekolahnya.

Disha menarik napas dalam, sebelum akhirnya, ia benar-benar meninggalkan area TPU. Tanpa Disha sadari, ada seorang pemuda yang diam-diam mengamatinya sedari awal ia keluar dari rumah, hingga menuju ke TPU.

***

Hari begitu cepat berlalu, membuat Disha perlahan-lahan bisa menerima ketiadaan sang ayah. Ia disibukkan dengan kegiatan les tambahan, dan belajar kelompok. Menduduki bangku kelas tiga SMP, membuatnya harus lebih giat belajar, agar ia bisa lulus dengan nilai tinggi dan menjadi yang terbaik di sekolah.

Pagi ini, Disha sedang menali sepatunya. Usai sarapan, ia bersiap untuk berangkat ke sekolah. Kemudian, ia mencari keberadaan Maryam, ibunya, yang masih ada di dapur. Ia hendak berpamitan pada Maryam, karena sudah waktunya untuk pergi menuntut ilmu.

"Ibu, aku berangkat dulu ya!"

Disha mengambil tangan Maryam, untuk diciumnya dengan takzim. Namun, Disha melihat Maryam seperti habis menangis. Lalu, Disha duduk disamping Maryam, dan dengan lembut, Disha mengusap naik turun punggung ibunya. Ia mencoba untuk menenangkan sang ibu yang sedang bersedih.

Ibunya yang duduk di amben dapur, matanya terlihat sembab dan tangannya basah. Disha tahu, Maryam pasti habis menangis. Karena, itu terlihat dari mata dan hidung ibunya yang memerah.

"Ibu, kenapa menangis? Apa Ibu rindu pada ayah, hm?"

Mendengar pertanyaan seperti itu dari Disha, hati Maryam bak tersayat sembilu. Memang benar, Maryam sedang merindukan mendiang Adam. Sebelum kepergian Adam, Maryam selalu dibantu memasak oleh Adam. Maryam meracik bumbu, sedangkan Adam memotong sayurannya. Pun kalau menggoreng lauk, Maryam meracikkan bumbu, Adam yang menggorengnya. Kata Adam, "Bu, tiap goreng lauk pasti ada percikan minyak yang keluar bebas dari penggorengan ke tangan dan wajahmu. Sini, biar ayah saja yang menggantikan ibu menggoreng lauk!"

Mata Maryam kembali mengembun, teringat kenangan bersama Adam. Ia memeluk Disha, sembari mencurahkan semua isi hatinya. Maryam hanya bisa berbagi pada putrinya, karena anak sulungnya sedang ada di tanah rantau. Entah kenapa, sudah beberapa bulan ini anak sulungnya sulit untuk dihubungi.

"Nduk ... Ibu rindu sekali dengan ayahmu. Manalah tiap hari ayahmu itu selalu menyempatkan waktu untuk membantu Ibu di dapur. Padahal, ayahmu juga masih harus bekerja."

Disha yang mendengar penuturan sang ibu, seketika langsung ikut meneteskan air mata. Sosok Adam begitu istimewa bagi istri dan anak-anaknya. Lalu, Disha pun merenggangkan pelukannya, meraup kedua pipi Maryam, dan mengatakan kalau ia akan berusaha terus untuk mencari pelaku tabrak lari ayahnya. Ia berpesan juga pada Maryam, untuk tidak selalu menangis.

Meski pengganti ayahnya sedang berada di tempat jauh, Disha harus bisa menguatkan Maryam. Ya, walaupun Disha sendiri terkadang masih sangat rapuh, tapi ia harus bisa menguatkan ibunya. Disha menjadi semakin terbakar emosinya, karena bahu Maryam kembali berguncang. Lagi, Disha memeluk Maryam, dan mengusap punggung sang ibu. Bisa Disha rasakan, betapa kehilangannya Maryam akan separuh napasnya, Adam.

"Ibu, tenanglah. Sebentar lagi, mas Hamzah pasti pulang. Mas Hamzah tentu bisa mengobati rasa rindu kita pada ayah. Jangan menangis lagi ya, Bu! Disha akan berusaha terus, untuk mencari tahu siapa yang menabrak ayah dan lari dari tanggung jawab. Mau dia orang kaya atau orang dengan jabatan tinggi sekalipun, aku tak takut! Berikan do'amu padaku, Bu!"

Maryam menarik diri dari pelukan, dan menatap tajam pada putrinya. Maryam juga ingin tahu siapa pelaku tabrak lari pada hari sebelum suaminya dinyatakan kritis. Ia pun mengenggam tangan Disha dan berjanji, akan selalu berdo'a untuk putra-putrinya. Maryam ingin keadilan atas kematian Adam.

"Do'a Ibu selalu mengiringi langkah Hamzah dan kamu, Nduk! Kamu benar, kita tak perlu takut kalau pelaku yang menabrak ayahmu punya jabatan tinggi. Karena, semua di mata Allah itu sama."

Maryam menjeda ucapannya, karena ia memperbaiki posisi duduknya. "Tuntutlah ilmu sampai ke perguruan tinggi nanti. Kalau perlu, jadilah seorang pengacara, agar kamu bisa membantu orang yang tak mendapat keadilan seperti kita ini. Biayanya, nanti akan Ibu carikan, dan kamu tak perlu ikut berpikir soal biaya!

Entah kenapa, hukum di negeri kita ini masih lemah, dan mudah dibayar dengan beberapa gepokan rupiah. Ibu merasa kasihan pada nasib kita, dan juga pada orang-orang yang tak mendapat keadilan, seperti kita ini. Hah ...."

Maryam membuang napas di akhir kalimat. Disha yang melirik jam di tangan kirinya, langsung berpamitan pada Maryam, karena takut terlambat sampai sekolah. "Bu, Disha akan belajar dengan giat dan sungguh-sungguh, agar harapan Ibu padaku, bisa aku wujudkan. Aku pamit dulu, Bu! Assalamualaikum."

Maryam mengangguk dan tersenyum penuh pada putrinya. Diusapnya pipi Disha dengan lembut. Lalu, Maryam menjawab salam dari putrinya, "Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Nduk!"

Disha langsung bangkit dengan semangat baru, yang ia dapatkan dari sang ibu. Dengan langkah mantap, ia pergi menuju tempatnya menuntut ilmu. Ya, sekolah yang tak jauh dari rumahnya. Hanya sekitar lima menit, jarak dari rumah Disha ke sekolah. Hari ini, ia sedang menjalani ujian menuju kelulusannya.

***

"Bagaimana sekolahmu hari ini, Dek?"

Disha yang baru saja melangkahkan kaki keluar dari gerbang sekolah, menoleh pada sumber suara dan berseru, "Mas Iyan!"

Rona bahagia, terpancar dari wajah Disha, karena ditemui sang pujaan hati, Erwin Septian . Disha lebih suka memanggilnya 'Iyan'.

"Gimana hari ini, ujiannya?" Iyan mengambil tas milik Disha, dan memindahkan benda itu ke pundaknya. Disha yang sudah biasa mendapat perlakuan tersebut, hanya bisa tersenyum bahagia, karena merasa di istimewakan.

"Alhamdulillah lancar, Mas Iyan. Mas Iyan kok jam segini sudah pulang sekolah?"

Pertanyaan Disha membuat Iyan semakin gemas padanya. Iyan mengacak rambut Disha pelan, dan menjawab, "Belum pulang, Dek. Mas, ada praktek mengemudi di luar sekolah. Jadi, Mas mampir ke sini saja dulu, biar pujaan hati Mas ini senang."

Pipi Disha langsung bersemu merah. Lalu, ia naik ke atas motor yang dibawa Iyan untuk menjemputnya. Iyan memang selalu menjemput Disha saat jam pulang sekolah. Namun, kali ini Iyan memang harus ijin ke guru otomotifnya, dengan alasan ingin membeli obat di apotik untuk temannya yang mendadak sakit.

Bila tidak sedang praktek mengemudi mobil di luar sekolah, sudah pasti ia tak diijinkan sang guru. Motor yang Iyan pakai adalah motor milik jasa ojek pangkalan yang kebetulan sedang berada tak jauh dari tempat Iyan praktek. Iyan rela membayar lebih pada si pemilik motor, demi bisa menemui Disha.

Dalam perjalanan pulang, Iyan sengaja membawa motor dengan pelan. Keduanya, Iyan dan Disha, berbicang diatas motor.

"Mas, apa nggak apa-apa, kalau Mas Iyan ketemu aku terus?"

"Kenapa tanya begitu? Kalau ada apa-apa, 'kan nggak mungkin sampai sekarang, Mas masih suka jemput kamu."

"Tapi, apa orang tua Mas Iyan sudah tahu, kalau aku sering dijemput sama panjenengan?"

"Hahaha. Kamu ini, dasar random!"

Disha ikut tertawa mendengar kata 'random' dari Iyan. Disha hanya merasa khawatir, kalau orang tua Iyan marah padanya. Keluarga Iyan adalah orang kaya dan terpandang. Disha tak mungkin bisa berharap lebih pada Iyan.

"Kamu, memikirkan keluarga Mas ya, Dek?"

Disha terkejut karena Iyan bisa tahu, apa yang sedang ia pikirkan tentang Iyan.

"Lho? Mas Iyan kok tahu? Jangan-jangan ...."

Mendengar jawaban Disha, Iyan pun menimpali, "Kita jodoh! Amin."

Disha langsung tertunduk malu, dan tak berkata apa-apa lagi. Sesampainya di jalan setapak menuju rumah, Iyan menepikan sepeda motor. Iyan heran, tumben sekali Disha tak mau diantar hingga depan rumahnya. Rupanya, Disha tak ingin Iyan terlambat kembali ke tempat prakteknya. Iyan pergi, setelah beberapa kali Disha membujuknya.

Dari kejauhan, sesosok pria dengan setelan ala detektif, tengah memantau Disha dari jauh. Ia memotret beberapa kali, saat Disha sedang berbincang dengan Iyan waktu menepi tadi. Lalu, ia menelepon seseorang, yang ia panggil 'Tuan Muda'.

Note :

Amben \= Ranjang

Panjenengan \= Kamu

Nduk \= Sebutan untuk anak perempuan

Part - 002

Disha pulang dengan perasaan lega dan bahagia. Lega, karena ia berhasil melewati ujian pertamanya. Bahagia, karena diantar pulang sang pujaan hati, tanpa ia memintanya. Padahal, Disha belum memberi tahu pada Iyan, akan pulang jam berapa hari ini. Itulah sebabnya, Disha merasa sangat di istimewakan oleh Iyan.

Saat ini, Disha tengah membantu Maryam melipat baju. Semenjak kepergian Adam, Maryam menjadi tukang cuci pakaian. Jasanya dipakai para tetangga yang dekat dengan rumah Maryam. Ada yang hanya sekadar mencuci baju, ada pula yang mencuci dan menyetrika.

Disha menatap sang ibu, yang tak pernah luntur senyumnya. Wajah ayu yang sudah termakan usia, tak membuat kecantikan Maryam berkurang. Mengetahui Disha sedang memperhatikannya, Maryam pun berkata, "Ibumu memanglah cantik, Nduk. Makanya, kamu juga cantik. Begitu pula dengan Hamzah."

Disha tertawa lirih mendengar perkataan Maryam. Lalu, Disha pun bertanya, "Maksud Ibu, mas Hamzah cantik, begitu? Hahaha." Disha tak dapat menahan tawanya lagi.

Maryam menggelengkan kepalanya, sembari terus melipat baju yang tinggal sedikit lagi akan selesai. Maryam menjelaskan pada Disha, tentang maksud dari ucapannya ... "Maksud Ibu, kamu cantik kayak Ibu. Kalau Hamzah, ya sudah jelas. Dia mirip Ayahmu, Nduk. Tapi, watak Hamzah, persis dengan Ibu. Kalau kamu, tak beda jauh dengan mendiang ayahmu."

Tawa Disha terhenti saat Maryam menyebut wataknya, sama dengan mendiang Adam. Disha terdiam beberapa saat, hingga akhirnya Maryam menepuk bahunya. Maryam tahu, Disha masih teringat pada mendiang Adam.

Belum lah genap satu bulan kepergian Adam, pasti masih sulit bagi Disha untuk melewati hari-hari tanpa ayahnya. Namun, Maryam selalu berusaha untuk menguatkan Disha, bagaimanapun caranya. Hanya satu yang belum bisa Maryam lakukan, yaitu menghubungi anak sulungnya, Hamzah.

Merasa khawatir dengan keadaan Hamzah, Maryam menyuruh Disha untuk menelepon sang kakak. Ponsel Disha yang masih jauh dari kata modern, hanya bisa untuk mengirim sms dan melakukan panggilan suara.

"Bu, ini tersambung. Tapi, belum diangkat-angkat sama mas Hamzah."

"Tunggu saja, Nduk! Yang penting sudah tersambung."

Dering panggilan tersambung pun berubah ....

"Halo, assalamualaikum."

Ya, Hamzah kali ini menjawab telepon dari Disha, setelah beberapa bulan ini, ponselnya rusak. Disha pun langsung mencecar Hamzah dengan berbagai pertanyaan.

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah, mas Hamzah dari mana saja? Kenapa susah sekali dihubungi dari kemarin, mas? Apa mas Hamzah tidak rindu pada keluarga di kampung, hm?"

"Tenang, dek, tenang. Coba kamu tanyanya satu-satu."

Disha menghela napas. Lalu ... "Baiklah. Mas Hamzah apa kabar?"

"Kabar baik, alhamdulillah. Kamu dan orang tua kita apa kabar? Mas rindu sekali dengan kalian."

Disha menjauhkan ponselnya, ia menitikkan air mata, mendengar pertanyaan dari Hamzah. Maryam pun mengusap punggung Disha. Maryam berbisik lirih di telinga Disha, "Jangan katakan apapun dulu. Bilang pada mas mu, kita semua di sini baik-baik saja. Tanyakan padanya, kapan dia akan pulang?"

Disha menganggukkan kepalanya. Lalu, Disha kembali meletakkan ponselnya ke telinga, dan ia pun menjawab, "Kabar baik, mas. Mas Hamzah, kapan pulang?" Sebisa mungkin Disha berucap dengan nada biasa saja. Ini ia lakukan, agar Hamzah tak menaruh rasa curiga.

"Lusa, dek. Lusa, mas pulang ke kampung. Kalau sekarang, mas belum ada ongkos untuk pulangnya. Hehehe."

"Ya sudah, mas. Yang penting selalu ngabarin aku, ya! Ini, Ibu juga mau ngomong sesuatu sama mas Hamzah."

Disha menyerahkan ponselnya pada Maryam. Maryam menerima ponsel Disha, dan meletakkan benda pipih itu ke telinga kirinya.

"Nang, ndang mulih o!"

(Nak [untuk anak laki-laki], cepat lah pulang!)

"Nggih, sendiko kanjeng ibu."

(Iya, siap kanjeng ibu.)

"Kamu sedang apa sekarang, nang?"

"Ini, baru saja selesai makan, bu. Ibu sedang apa?"

"Baru selesai beres-beres rumah, nang. Ya sudah, kamu lanjutkan aktivitasmu lagi saja. Ibu, masih ada beberapa yang harus dibereskan."

Maryam sengaja berbohong, karena tak ingin kelepasan berbicara pada anak sulungnya itu. Maryam masih belum ingin Hamzah tahu, tentang kabar Adam yang sebenarnya. Ia tak ingin membuat Hamzah bersedih di perantauan.

Lalu, percakapan di telepon pun terputus. Maryam mengembalikan ponsel milik Disha. Keduanya lalu berpelukan, saling menumpahkan air mata.

***

Dua hari kemudian ....

"Assalamualaikum ...."

Disha dan Maryam yang tengah menjemur baju di halaman belakang rumah, langsung berhenti dari aktivitasnya dan menuju ke pintu utama. Dibukanya pintu oleh Maryam, sedangkan Disha berada di belakang ibunya.

"Waalaikumsalam. Ya Allah ... Sulungku. Alhamdulillah ...."

Maryam memeluk anak sulungnya dan mencium kedua pipi, serta kepala Hamzah. Hamzah tersenyum bahagia mendapati perlakuan tersebut. Setelahnya, Hamzah mencium takzim punggung tangan sang ibu.

Disusul oleh Disha yang tak kalah senang mendapati Hamzah yang tiba-tiba datang tanpa memberi kabar, meskipun sudah memberitahu Disha sebelumnya. Bahwa Hamzah akan pulang lusa. Disha mencium takzim punggung tangan sang kakak, dan memeluknya. Disha tak kuasa menahan air matanya.

Hamzah yang sudah rindu pada adiknya, membelai rambut Disha dan mengusap punggungnya.

"Kenapa, Disha? Kok kayak sedih banget sih?" Tanya Hamzah, merasa heran dengan adiknya yang tiba-tiba menangis dalam pelukannya.

Disha mengusap air matanya dan menjawab, "Nggak apa-apa, Mas Hamzah. Sudah yuk, masuk dulu! Sini, Disha bantu bawakan tasnya."

Disha mengambil tas milik Hamzah, yang sudah diletakkan di bawah. Lalu, ketiganya, Maryam, Disha, dan Hamzah masuk ke rumah. Maryam langsung menemani Hamzah duduk di ruang tamu. Sedangkan Disha langsung menuju dapur, setelah meletakkan tas ke kamar Hamzah.

"Disha, tolong buatkan teh hangat untukku, ya!" Seru Hamzah, saat Disha tengah berjalan menuju dapur.

Disha pun menyahut, "Baiklah, Mas. Akan aku buatkan. Mas, duduk saja dulu, sambil ngobrol sama Ibu."

Beberapa menit kemudian, Disha membawa nampan yang berisi dua cangkir teh hangat, dan sepiring ubi rebus. Senyum Hamzah mengembang, manakala mendapati suguhan dari Disha. Pun dengan Maryam, ia ikut tersenyum melihat akurnya kakak-adik itu.

"Bu, ayah mana?"

Pertanyaan Hamzah, sukses membuat senyum Maryam yang bahagia, menjadi senyum lesu. Maryam bingung harus menjawab bagaimana. Ia menatap Disha yang baru saja ikut duduk.

"Mas, diminum dan dimakan dulu, teh juga ubi rebusnya."

Hamzah menoleh pada Disha, "Iya, Dek. Mas minum dan makan dulu, deh."

Hamzah menyeruput teh yang dibuat oleh Disha. Lalu, ia mengambil satu potong ubi rebus, dan memakannya. Maryam dan Disha saling tatap, merasa bingung bagaimana menjelaskannya pada Hamzah.

Disha mendekati Maryam dan berbisik pelan, "Bu, nanti biar aku yang bicara pada mas Hamzah. Ibu tenang saja, aku akan membawa mas Hamzah jalan-jalan ke luar."

Maryam menatap sendu pada Disha. Disha menganggukkan kepala, untuk meyakinkan sang ibu. Lalu, Maryam pun menganggukkan kepalanya pelan.

"Alhamdulillah ... Teh dan ubi rebusnya mantap jiwa, Dek!" Puji Hamzah, sembari mengacungkan kedua jari jempol tangannya. "Kalau bisa kasih empat jempol, akan Mas kasih deh, Dek. Hahaha," sambung Hamzah.

"Ah, Mas Hamzah ini. Yuk Mas, kita jalan-jalan!"

"Ke mana? Mas 'kan baru sampai ini, lho."

Maryam pun menimpali, "Nduk, biarkan Mas mu istirahat dulu. Ini masih terlalu pagi juga. Hamzah, istirahatlah di kamar!"

Hamzah meledek Disha, dengan menjulurkan lidahnya. Disha yang tak terima, langsung menghampiri sang kakak, untuk mencubitnya. Merasa akan dijahili oleh Disha, Hamzah pun langsung berlari menuju kamar, dan menutup pintu.

"Mas, buka pintunya! Baru pulang udah ngeledekin aku aja, ish!" Gerutu Disha, sembari mengetuk dengan keras, pintu kamar Hamzah.

Hamzah tertawa melihat tingkah adiknya itu. Lalu, ia pun menjawab, "Nyenyenyenye! Nanti aku aduin ke Iyan, malu kamu, Dek! Hahaha."

"Huu ... Beraninya ngadu, cemen!"

Pintu kamar terbuka, karena Hamzah tak terima dengan ejekan Disha. Disha langsung mencubit lengan Hamzah berkali-kali. Maryam yang menyaksikan hal itu, menggelengkan kepalanya dan tersenyum.

Sesaat kemudian, Maryam kembali sedih, mengingat Adam yang sudah tiada. Sedangkan Hamzah belum tahu akan hal itu.

"Bentar bentar, Dek. Ayah ke mana sih, Dek?"

Disha berhenti tertawa, dan langsung terdiam mematung. Hamzah yang melihat adiknya bergeming, langsung mengguncang pelan bahu Disha. "Dek, kenapa malah melamun? Ke mana ayah, Dek? Jawab!"

"Mas, ayah sudah tinggal di rumah baru, yang jauh lebih indah. Insya Allah ...." jawab Disha, dengan suara yang mulai terdengar parau. Ya, Disha sedang menahan tangisnya, agar tidak tumpah di hadapan kakaknya.

Hamzah mengerutkan keningnya. Hal itu membuat alisnya bertaut. "Apa maksud ucapan kamu, Dek?" Hamzah merasa bingung dengan jawaban Disha, dan terus bertanya.

Kemudian, Disha mengambil tangan Hamzah, dan menggenggam jemari tangan sang kakak. Sebelum mengucapkan kebenarannya, Disha menatap Maryam terlebih dulu. Lalu, Maryam menganggukkan kepalanya.

Disha menatap lekat wajah Hamzah. Ia menutup matanya sebentar, lalu berkata ... "Mas, ayah sudah meninggalkan kita. Ayah telah berpulang kepada-Nya."

Setelah mengucapkan kebenaran tentang kematian Adam, bulir bening yang sedari tadi Disha tahan, mulai jatuh tanpa ijinnya. Disha tertunduk lesu, dan menangis pilu.

Sedangkan Hamzah, ia syok mendengar ucapan adiknya. Tangannya gemetar dan terlepas dari genggaman adiknya.

"Bagaimana mungkin, Dek? Kamu bohong 'kan, Dek?"

Hati Hamzah bak tersayat sembilu, perih ... mendengar ucapan adiknya. Disha lalu memeluk Hamzah yang terduduk di lantai, dan mulai menangis. Maryam pun ikut menghampiri kedua anaknya yang sedang terisak. Maryam merangkul keduanya, Hamzah dan Disha. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mereka. Hanya suara isak tangis yang terdengar.

Hingga beberapa menit kemudian, Hamzah mulai bertanya pada Maryam, tentang penyebab kematian ayahnya. Lalu, Maryam pun menceritakan semuanya pada Hamzah. Disha yang harus kembali mendengar kronogi tabrak lari yang menimpa ayahnya, sudah lebih bisa tenang, dan tidak menangis lagi.

"Dek?" Hamzah menggenggam erat jemari Disha.

Disha pun langsung menatap Hamzah. "Iya, Mas?"

Hamzah menarik napas dalam sebelum berkata ... "Dek, kita harus berjuang bersama, untuk menemukan siapa pelakunya!"

Melihat Hamzah begitu kuat tekadnya, Maryam memegang pundak kedua anaknya, "Berjuanglah kalian berdua. Doa Ibu, selalu mengiringi usaha kalian, putra-putriku."

Disha dan Hamzah menatap Maryam bersamaan. Kemudian, tatapan kakak-adik itu beradu sejenak, dan di akhiri dengan anggukan kepala mantap, dengan sorot mata penuh keyakinan. Ketiganya kembali berpelukan, untuk saling menguatkan. Kali ini, Maryam merasa jauh lebih baik, setelah kepulangan anak sulungnya.

"Dari mana kita memulai pencarian pelakunya, Mas?" tanya Disha setelah melepaskan diri, dari pelukan.

"Untuk hal itu, nanti kita bisa minta bantuan dari orang yang bisa kita percaya, Dek."

"Baiklah, Mas. Semoga kita bisa bertemu dengan orang yang memiliki kriteria tersebut."

"Sepertinya Ibu tahu, Nang ... Nduk, siapa orangnya yang tepat," sela Maryam pada percakapan kedua anaknya.

"Siapa itu, Bu?" jawab Hamzah dan Disha bersamaan.

"Dia adalah ...."

Part - 003

Esoknya, Maryam yang baru saja selesai menghidangkan sarapan pagi ke meja makan, mendengar suara ketukan pintu. Lalu, Maryam pun setengah berlari menuju pintu. Setelah pintu terbuka, Maryam tak melihat siapa pun. Padahal, tadi jelas-jelas Maryam mendengar suara pintu diketuk.

"Bu, ada apa?" Hamzah berjalan menghampiri Maryam yang masih bergeming di ambang pintu.

"Itu, tadi ada yang mengetuk pintu, Nang. Tapi, kok ya pas dibuka pintunya, nggak ada siapa-siapa."

"Begitu? Coba, biar Hamzah lihat dulu ke luar, Bu."

Hamzah melihat ke sekitar rumah untuk memastikan, siapa yang tadi mengetuk pintu. Lalu, Hamzah menemukan sebuah bungkusan. Lekas, Hamzah mengambil bungkusan tersebut dan membukanya. Hamzah membuka bungkusan itu dengan hati-hati.

Ia mengernyitkan kening begitu melihat isi bungkusan tersebut. Ternyata, ada sepucuk surat di dalamnya.

Kepada Ibu Maryam.

Saya adalah anak dari penabrak suami Anda. Saya turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Tuan Adam, dan saya tidak membenarkan sama sekali perilaku tabrak lari yang ayah saya lakukan. Saya sungguh meminta maaf atas tindakannya yang tidak bertanggung jawab tersebut. 

Sebagai ungkapan duka cita, saya menyertakan kartu ATM berisi sejumlah uang yang bisa Anda akses. Saya tahu sekali bahwa uang tidak akan bisa menggantikan rasa kehilangan suami Anda. Namun, setidaknya hanya ini yang bisa saya lakukan. Harap diterima.

Selesai membaca surat, Hamzah mengecek kembali, isi dari bungkusan itu. Dan benar saja, ada kartu ATM di dalamnya, selain surat tadi.

"Bu! Kemarilah, Bu!" Seru Hamzah.

Maryam yang mendengar suara Hamzah, langsung berlari keluar, tepatnya ke samping rumah. Hal itu membuat napas Maryam sedikit tersengal.

"Ada apa, Nang?"

"Bu, ada yang kirim surat. Dia bilang ...."

"Bilang apa, Nang?"

"Mmm ... Anu ... Itu, Bu," jawab Hamzah yang mendadak jadi gagap.

"Anu apa sih, Nang?!"

"Ibu, baca surat ini saja, ya?"

Hamzah menyerahkan surat tadi pada Maryam. Lalu, Maryam pun membacanya. Hingga pada saat surat tersebut selesai dibaca, Maryam langsung menangis. Hamzah yang melihat Maryam menangis, langsung memeluk ibunya.

"Bu, tenanglah ... Jangan menangis lagi. Mungkin, orang itu ingin menebus kesalahannya pada keluarga kita, Bu."

"Nang ... Apakah kita harus menerima bantuan darinya?"

"Bu, untuk saat ini, kita memang butuh banyak biaya 'kan? Tenanglah, Bu. Ibu gunakan kartunya, saat benar-benar butuh saja. Tapi, semoga Ibu tak perlu memakainya. Aku akan mencari pekerjaan lain, Bu."

"Nang, semoga kamu bisa segera mendapat pekerjaan baru, ya! aamiin."

"Aamiin ...."

Hamzah melepas pelukan, mengambil kembali surat yang dikirim oleh si penyebab kematian ayahnya. Hamzah merangkul Maryam, dan menuntunnya untuk kembali masuk rumah. Surat dan ATM yang masih ada dalam genggaman Hamzah, tak sengaja terlihat oleh Disha.

Disha yang baru saja selesai mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah, berjalan mendekati Hamzah dan bertanya, "Mas, Ibu kenapa? Kok, Ibu kayak habis nangis?"

"Nggak apa-apa kok, Dek. Tadi, Ibu hanya dapat surat dari sudara Ibu. Jadi, Ibu merasa terharu."

Hamzah menatap Maryam, yang masih ada dalam rangkulannya. Maryam pun mengangguki ucapan Hamzah. Lalu, Disha meminta untuk membaca surat itu. Tapi, Maryam menolak permintaan Disha, dan menyimpan amplop tersebut ke kamar.

"Mas, benarkah itu surat dari keluarga jauh ibu?" tanya Disha, saat Maryam sudah berlalu ke kamar.

Hamzah mengangguk. "Iya, kenapa? Kamu curiga?"

Disha langsung menggelengkan kepalanya. Lalu, Hamzah mendaratkan pukulan kecil ke kepala Disha. Hal itu membuat Disha meringis sakit dan menggerutu, "Ihh! Mas Hamzah ini, lho! Aku bilangin ke pacarnya Mas Hamzah nanti!"

"Apa? Kamu bilang apa? Aku nggak dengar. Eh, tapi ... Emang ada yang ngomong ya? Kok, nggak kelihatan orangnya sih? Ihh, serem ...!"  Hamzah bergidik, meledek sang adik yang mulai mengerucutkan bibirnya.

Disha melipat tangannya ke depan dada. Mulutnya mulai komat kamit membalas ledekan Hamzah. Kemudian, Hamzah mencubit gemas pipi Disha dan berkata, "Dek, kalau nanti Mas nikah, kamu nggak kesepian 'kan?"

"Nggak tahu, aku mau tempe aja!" Disha langsung berbalik badan dan berlalu meninggalkan sang kakak. Ia masuk ke kamar, menangis setelah mendapat pertanyaan dari kakaknya itu. Ya, Disha tentu akan merasa kesepian tanpa kakaknya. Tapi, ia juga tak mau terlihat lemah di depan kakaknya.

***

Beberapa tahun telah berlalu. Kini, Disha sudah menduduki bangku kelas tiga SMA. Ia masih menjalin hubungan dengan Iyan. Bahkan, Iyan masih sering mengantar dan menjemput Disha, dari rumah ke sekolah.

Pagi ini ... Disha yang sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya, tengah menunggu sang pujaan hati, untuk mengantarnya ke sekolah. Hamzah ... Ia sudah punya kerjaan baru, yaitu menjadi karyawan di salah satu toko bangunan. Ponsel Disha yang tadinya jauh dari kata modern, kini sudah berganti menjadi ponsel pintar. Pun dengan Hamzah.

Baru saja, Disha mendapat pesan dari Iyan untuk segera menunggu di depan rumah. Karena Iyan sudah hampir sampai di rumahnya. Disha yang masih duduk di dalam kamar, bergegas keluar dan menghampiri Maryam yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang.

"Bu, Disha berangkat sekarang, ya! Mas Iyan sebentar lagi akan segera sampai."

Maryam tersenyum, dan menjawab, "Iya, Nduk. Sekolah yang benar! Dengar dan perhatikan setiap pelajaran dari guru-gurumu, ya!"

"Siap, Kanjeng Ibu!"

Kemudian, Disha mencium punggung tangan Maryam, dan memeluk ibunya sebentar. Lalu, Disha keluar untuk menunggu Iyan. Ternyata, Iyan sudah sampai, dan tengah menanti Disha keluar.

"Lho, Mas Iyan ini kok cepet amat sampainya?"

"Kebetulan, tadi habis mampir ke rumah teman, Dek. Ibu mana?"

"Ada di belakang, lagi jemur pakaian. Kenapa, Mas?"

"Masa kamu lupa? Kan, tiap Mas antar jemput kamu, selalu pamit dulu."

"Owalah ... Iya, Mas. Sebentar."

Disha kembali masuk, dan memanggilkan Maryam untuk Iyan. Beberapa saat kemudian, Disha dan Maryam keluar bersama. Iyan pun langsung menghampiri Maryam dan berpamitan.

"Hati-hati di jalan, Nak Iyan!" peringat Maryam pada Iyan, setelah Iyan mencium takzim punggung tangannya.

"Nggih, Bu," jawab Iyan dengan tersenyum ramah.

Setelahnya, Disha dan Iyan pun pergi. Menempuh perjalanan sekitar lima belas menit, mereka sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah. Disha turun dari motor sport yang mengantarnya. Lalu, ia tersenyum manis pada Iyan.

"Mas Iyan, semangat kuliahnya, ya!"

"Pasti dong, Dek. Kamu juga semangat belajarnya. Biar cepet lulus, terus kita nikah. Hehehe."

"Ish! Mas Iyan ini ada-ada sa—"

Ucapan Disha terjeda, karena ada suara yang memanggilnya. Ternyata, teman sebangku Disha baru saja turun dari mobil, dan menyapa Disha dengan antusias, "Pagi, Disha!"

Ia adalah Sisca, Alexa Fransisca. Teman sebangku Disha, sedari awal masuk SMA.

"Pagi, Sisca!"

"Dek, Mas pergi dulu, ya! Nanti kabari ke Mas, pulang jam berapa? Siapa tahu, Mas bisa jemput. Oke?" pamit Iyan pada Disha.

"Hu-um, Mas. Hati-hati di jalan! "

Iyan kembali menyalakan motornya, dan melaju meninggalkan Disha yang masih menatap padanya.

"Pacar kamu, Sha?" tanya Sisca, yang menyadari kalau tatapan Disha masih tertuju ke arah perginya Iyan.

"Eh, iya, Sisca. Emm ... Yuk, kita masuk!"

Keduanya, Disha dan Sisca pun masuk ke sekolah. Sesampainya di kelas, Sisca masih terus bertanya-tanya tentang hubungan Iyan dan Disha, pada Disha.

"Wah, semoga kalian berdua bisa sampai ke pelaminan ya, Sha! Kalian serasi banget lho," puji Sisca, yang berhasil membuat kedua pipi Disha merona merah.

"Iya, Sisca. Semoga saja bisa sampai ke pelaminan. Aamiin."

Disha mengikuti mata pelajaran dengan penuh semangat dan konsentrasi. Hingga tak terasa, jam pulang sekolah pun tiba. Lalu, saat ia sudah berdiri di gerbang sekolah, tak sengaja ia melihat Sisca, sedang mengobrol dengan pujaan hatinya, Iyan. Tanpa pikir panjang, Disha pun menghampiri keduanya.

"Kalian, ngobrolin apa? Oh iya, Mas Iyan kok nggak ngabarin aku, kalau sudah sampai di depan sekolah?"

"Kami ngobrol tentang kamu, Sha. Kebetulan, kita 'kan teman sebangku. Jadi, yang aku tahu tentang kamu, aku beritahu padanya," jawab Sisca, sembari menunjuk Iyan dengan menoleh sekilas pada Iyan.

"Ah, iya. Maaf, Dek. Mas lupa, nggak ngabarin kamu. Ya sudah, ayo kita pulang!" timpal Iyan, yang kemudian menyerahkan helm pada Disha.

"Sisca, aku pulang duluan ya! Kamu, semoga jemputannya segera datang."

Sisca menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, dan menjawab, "Iya, Disha."

Kemudian, Disha dan Iyan pun pulang. Sementara Sisca, ia masih berdiri di tempatnya tadi, menunggu mobil jemputannya. Sisca bermain ponsel, dan kemudian ia mengirim pesan pada seseorang. Tak lama setelahnya, mobil yang menjemput Sisca pun tiba. Segera Sisca masuk ke mobil, dan pulang.

Sisca : I Love You!

Sisca mengirim pesan pada seseorang yang ia anggap istimewa bagi dirinya. Senyum bahagia terbit dari bibirnya. Lalu, sang supir yang melihat majikannya tersenyum sendiri pun bertanya, "Non, sedang bahagia ya?" Sang supir melirik sekilas ke arah spion yang ada di atas dashboard mobil dan tersenyum.

"Eh, Pak Marwan tahu saja. Hehehe."

"Tahu lah, Non. Soalnya, Non jarang tersenyum begitu."

Keduanya mengobrol sepanjang perjalanan. Hingga tak terasa, telah sampai di tujuan. Saat Sisca akan turun dari mobil, ponselnya berbunyi, yang menandakan adanya pesan masuk dari aplikasi hijau.

***

Di rumah Maryam ....

"Bu, aku mau ganti baju dulu, ya! Nanti aku bantu Ibu lagi."

Disha yang tengah melipat baju bersama Maryam, merasa risih karena belum ganti baju. Maryam pun mengangguki ucapan putrinya itu. Sesampainya di kamar, Disha mengecek ponselnya, karena tadi sempat berbunyi.

Disha mengernyitkan kening, ketika ia membaca sebuah pesan di ponselnya. "Padahal 'kan, aku nggak kirim pesan apa-apa. Kenapa tiba-tiba, dia kirim pesan begini?" Disha bergumam lirih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!