Ini tentang Jeffrico Rasendria Dirgantara. Seorang pria dewasa berusia 29 tahun yang tengah pusing menghadapi orang tuanya yang ingin segera menimang cucu. Jeff hanya bisa mengurut pelipisnya karena sudah pengang mendengar ocehan sang mama. Bahkan dari tadi mamanya masih belum mau berhenti untuk mengomel.
"Jeff! Jeffrico Rasendria Dirgantara! Kamu dengan Mama tidak, sih?" Sentak Mona sang mama.
"Saya dengar, Ma. Saya pasti menikah tapi tidak sekarang," jawabnya lembut.
"Terus kapan?! Kamu mau jadi perjaka tua? Mama sudah malu ya, Jeff. Setiap arisan ditanya 'Jeng, anaknya kapan menikah? Dia tidak homo sexual, kan?' Mama malu!" Omelnya lagi.
"Ma, Saya normal."
"Ya buktikan atuh kesayangan Mama, kecintaannya Mama, gantengku, sayangku, cintaku. Mana sok calonnya bawa ke sini," racau Mona dengan logat khas sundanya.
"Ya nanti akan saya cari."
"Astagfirullah, Jeff. Kamu ini gimana, nanti dicari di mana? Kalau tidak sekarang kapan Mama akan menimang cucunya? Mencari jodoh tidak semudah membalikan telapak tangan. Ayok atuh dicari sekarang."
"Itu Mama tau kalau tidak mudah, jadi biarkan saya menikmati pekerjaan dulu, Ma sambil menanti jodoh," ucapnya enteng.
"Ah sudahlah gimana kamu saja, Jeff. Mama capek dengan pola pikir kamu yang tidak berubah. Bisa habis suara Mama kalau kelamaan di sini. Mama kasih waktu kamu 1 tahun lagi, kalau tidak menemukan calon biarkan Mama memilih calon menantu Mama sendiri!" Tegas Mona seraya melenggang pergi dari ruang kerja putranya.
Jeffrico semakin frustrasi dengan itu. Baginya satu tahun adalah waktu yang sebentar untuk memilih calon pendamping hidup.
"Harus cari di mana calon istri?" Gumamnya.
Jujur saja Jeff menjadi tidak fokus dengan pekerjaannya. Hingga satu jam pun berlalu, tiba-tiba Jeff teringat akan sesuatu. Dia membuka laci di belakang kursi kerjanya. Laci yang dia pakai untuk menempatkan beberapa barang berharga agar tidak tersentuh siapapun.
Perlahan dia menemukan apa yang dia cari, sebuah kertas lusuh berusia 10 tahun. Dengan senyum mengembang dia mengambil ponsel untuk menghubungi asisten pribadinya.
"Tolong carikan info tentang orang yang sedang saya cari."
"..."
"Detail. Saya akan kirimkan namanya."
Setelah menutup panggilannya Jeff tersenyum. Bukan karena hanya dia akan menuruti keinginan orang tuanya. Tapi dia akan menemui gadis yang dia temui 10 tahun lalu. Tidak sulit untuk seorang Jeff mendapatkan informasi siapapun.
.
.
.
Ini tentang Aphrodite Mikaella Disera. Setelah selesai mengikuti ujian nasional, Mika memilih untuk fokus bekerja. Sekolah sudah tidak mewajibkan murid kelas 12 untuk selalu hadir karena tinggal menunggu ijazah saja.
Bukan apa-apa, menjadi seorang anak yatim piatu yang harus bertahan hidup, membuat Mika harus bekerja keras demi kehidupannya sendiri. Sudah banyak kesusahan yang dia alami kemarin-kemarin untuk membiayai uang sekolahnya. Bahkan kadang dia sampai harus rela menahan lapar karena keterbatasan.
Untung saja kedua orang tuanya meninggalkan rumah, kalau tidak mungkin Mika akan lebih sulit karena harus menyewa rumah.
"Mik, meja sebelah sana kotor. Tolong dibersihkan ya?" Ucap sang manajer yang hari ini turut turun tangan di lapangan.
"Siap, Buk." Setelah selesai membersihkan kaca, Mika segera berlari menghampiri meja yang perlu dia bersihkan.
Mika adalah salah satu pegawai terbaik di sebuah cafe kecil di pinggir kota. Semangatnya tidak pernah hilang dari raut wajahnya. Tak heran jika dia selalu mendapat pujian dan juga bonus. Karena orang di sekelilingnya pun tau kalau Mika sangat hebat sudah berjalan sejauh ini.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Sudah waktunya dia pulang.
"Mik, kemari," panggil Bu Yesi.
Mika yang merasa terpanggil pun segera menemui Yesi di ruang kerjanya dan setelah dipersilahkan duduk barulah dia berani untuk duduk.
"Ada apa ya Ibu memanggil saya ke sini? Apa saya melakukan kesalahan hari ini, Bu?" Tanya Mika.
Yesi terkekeh. "Bukan, bukan kok."
Yesi memberikan paper bag besar di hadapan Mika. "Ini buat kamu."
Mika bingung, dia sebenarnya senang jika diberi hadiah. Namun, dia selalu merasa tidak enak dengan karyawan lain. Sejujurnya dia hanya takut dianggap sebagai karyawan kesayangan dan menimbulkan beberapa permasalahan di sana.
"Emm saya sebenarnya berterima kasih, Buk. Tapi saya tidak bisa menerimanya. Saya takut kalau nanti banyak orang yang mengira saya selalu di anak emaskan."
"Tidak apa-apa. Ini berisi bahan pokok, pakaian baru dan juga sembako. Ini juga bukan hanya dari saya, tapi juga karyawan lain yang ingin membantu kamu. Kamu kan paling kecil di sini, jadi banyak yang sayang kamu," ucap Yesi perhatian.
Jujur, Mika sangat terharu mendengarnya. Bagaimana pun dia masih remaja, dia sangat butuh kasih sayang sebenarnya. Jadi Mika tentu bersyukur sekaligus senang karena mendapat perhatian lebih dari teman-teman dan lingkungannya.
.
.
.
Keesokan harinya Mika sedang berjalan keluar gerbang sekolah bersama kedua temannya Tessa dan Caca. Penggambaran apa yang tepat untuk Mika?
Dia gadis cantik, cukup pintar dan bahkan mendapat ranking 1 di kelasnya. Namun bisa dibilang Mika bukan murid kalem, dia bisa dikategorikan bar-bar. Bahkan satu sekolah segan padanya.
Bukan karena dia kasar, tapi dia tangguh dan berani. Meskipun dia miskin tapi dia tidak akan membiarkan siapapun menginjak harga dirinya.
"Eh rencana setelah lulus kalian mau ngapain?" Tanya Caca.
"Gue kayanya mau kuliah deh," jawab Tessa.
"Gue ya kerja lah, apalagi? Kalau kuliah kayanya gak akan sanggup. Biaya sekolah aja kadang gue gak makan, apalagi biaya buat kampus?" Ucap Mika blak-blakan.
"Bokap gue tuh mau biayain kuliah lo tau, Mik. Tapi lo nolak, gimana pun kan bokap gue juga udah anggap lo anak sendiri," kata Caca.
"Gue gak mau bergantung sama orang, Ca. Bokap lo juga punya anak, jadi biar fokus aja sama lo. Gue masih bisa menanggung hidup gue, mungkin setelah gue mapan dan merasa cukup barulah gue kuliah," jelas Mika.
"Menurut gue keputusan Mika bener tau, Ca. Lo tau sendiri Mika gimana. Yang terpenting apapun keputusan dia, kita sebagai sahabat harus terus dukung dia."
Caca menatap ke arah Tessa. Ya mungkin benar, dia juga tidak bisa memaksakan kehendaknya sekarang. Sebagai sahabat Mika dia memang harus selalu mendukungnya, bukan?
Setelah berbincang panjang lebar dengan teman-temannya, seperti biasa Mika menunggu angkutan umum di halte sekolah. Hari ini nampak begitu panas, namun paras cantiknya sama sekali tidak pernah luntur. Bahkan keringat saja sepertinya enggan membasahi wajahnya.
Sesaat Mika mengangkat wajahnya karena melihat sebuah mobil mewah yang berhenti di hadapannya. Dia bertanya-tanya ada apa orang ini menghentikan mobilnya di depan halte? Menghalangi saja.
Mika melihat ke arah seseorang yang turun dari mobil itu dengan dengan di dampingi asisten pribadinya. Sepertinya dia om-om, itu pikir Mika. Tapi ada apa? Kenapa mereka seperti menghampirinya?
"Aphrodite Mikaella Disera?" Tanya Gerda, sang asisten.
"I-iya? Ada apa ya, Om?' Tanya Mika to the point.
"Sekarang tolong ikut bersama kami, silahkan masuk ke mobil," ucap Gerda sembari melangkahkan kaki untuk membuka pintu belakang.
"Hah, tapi untuk apa?" Tanya Mika kaget.
"Kamu punya hutang pada saya," ucap Jeff yang mencoba menjaga imagenya.
"Tunggu-tunggu, Om. Kayanya Om salah orang. aku gak pernah berhutang sama siapapun jadi aku tegasin kalian salah orang. Permisi," pamit Mika yang melenggang pergi meninggalkan keduanya. Namun ya percuma, karena dengan sigap Jeff menahan lengannya.
"Ehh!! Om apa-apaan sih, kenapa pegang-pegang? Om itu mau culik aku ya?!"
"Kamu punya hutang sama saya!" Tegas Jeff.
"Apaan sih, Om. Dibilang aku gak pernah berhutang kenapa maksa banget, mana buktinya?!" Sungut gadis berkuncir kuda itu.
"Sebaiknya kamu ikut bersama kami dulu, baru kami jelaskan," ucap Gerda menengahi.
Sejenak Mika menatap Jeff dengan tajam, kemudian dia terdiam. Dia memikirkan apa orang tuanya memiliki hutang pada Om-Om yang ada di hadapannya ini? Kalau benar tamatlah sudah riwayat Mika, bagaimana dia harus melunasinya?
Jadi daripada dia semakin ditekan akhirnya dia memilih untuk menurut saja dan mengikuti mereka sambil terus berdoa kalau dia akan baik-baik saja.
Sepanjang perjalanan Mika sesekali melirik ke arah pria yang ada di sebelahnya. Dia nampak begitu cuek dan tidak bicara apa-apa. Mika berharap mendapat kejelasan namun sepertinya pria itu memang tidak ingin membicarakannya saat diperjalanan.
"Om, kenapa gak di sini aja sih Om bilangnya? aku harus kerja sekarang." Akhirnya Mika memberanikan diri untuk bicara.
"Kamu tidak perlu bekerja hari ini," ucapnya.
"Nanti aku dikeluarkan Om!"
"Saya tidak peduli."
"Loh kenapa? Nanti aku dipecat gimana Om? Om kenapa bisa bilang begitu? Aku tau kalau Om orang kaya tapi aku itu bergantung sama pekerjaan aku, kalau aku gak kerja nanti gimana aku bisa bertahan hidup. Kalau-"
"Kamu tidak akan dipecat, saya sudah membeli tempat itu jadi stop it!" Tegas Jeff.
"Jangan ngaco, Om! Bahkan Om aja gak tau kan aku kerja di mana?!"
"Caffe de Almond."
Mika melongo, bagaimana mungkin? Semudah itukah pria ini membeli sebuah caffe? Tapi untuk apa? Dia benar-benar mau gila rasanya.
"T-tapi-"
"Stop! Kuping saya mau pecah rasanya," keluh Jeff.
Gerda melirik ke belakang, dia cukup paham dengan posisi gadis yang di bawa oleh boss-nya. Namun dia juga tidak bisa berbuat apa-apa, bisa-bisa dialah yang akan kehilangan pekerjaan.
Beberapa menit pun berlalu, mereka sampai di sebuah mansion besar milik keluarga Dirgantara. Untuk beberapa detik Mika mengagumi keindahan di sini, terlihat sangat bagus, ditambah suasana sejuk dari pohon-pohon yang tertanam di sini.
Tanpa aba-aba kini Jeff menggenggam tangan Mika dan mengajaknya masuk ke dalam. Tentu itu membuahkan protes dari sang empu. "Om, kenapa harus dipegang sih tangannya, bisa jalan sendiri!"
Jeff tidak menjawab, dia tetap membawa gadis itu tanpa melepas tangannya. Lama-lama Mika kesal juga, selain cuek dan berwajah datar, ternyata pria itu juga menyebalkan.
Jeff mengedarkan pandangannya dan mencari keberadaan orang tuanya. Netranya menatap tepat saat melihat mama dan adiknya sedang duduk di meja makan sambil berdiskusi.
"Assalamualaikum," ucap Jeff.
"Waalaikumsalam ganteng." Mona langsung menerima salam dari Jeff dan mencium kedua pipi putranya, meskipun Jeff sangat tidak suka dicium tapi hal yang lumrah untuk mamanya melakukan itu.
"Mika?"
"Kak Elang?" Mika kaget, mati. Bagaimana bisa Elang ada di sini? Sudah lama mereka tidak bertemu, Elang adalah mas crushnya di sekolah. Ahh bisa benar-benar gila Mika sekarang.
"Ngapain sama Kak Jeff?" Elang menatap mereka dengan bertanya-tanya.
Mika menggeleng pelan dan raut wajahnya seolah meminta pertolongan pada Elang.
"Eh ini teh siapa?" Tanya Mona yang kini terpaku pada pembicaraan putra keduanya.
"Ini calon menantu mama," ucap Jeff santai.
"HAH?!" Teriak ketiganya kaget.
"Loh kok ini anaknya kaget juga?" Tanya Mona.
"A-aku gak tau Tante, Om-Om ini culik aku dari sekolah!" Adu Mika cepat.
Mona menatap putra sulungnya itu dengan cepat, apa lagi yang sedang diperbuat putranya ini?
Jeff berdecak, setelah itu dia menyuruh semua orang duduk. Kini posisi Jeff dan Mika berhadapan dengan Mona dan Elang.
"Jelaskan apa maksud dari semua ini, Jeff? Kamu teh gila nyulik anak orang sembarangan? Kumaha kalau orang tuanya nyariin terus kamu di penjara?"
"Dia yatim piatu."
Mika kembali kaget, bagaimana bisa pria itu tau semua hal tentang Mika? Ini baru tempat kerja dan keluarganya, apalagi yang dia tau?
"Ya kalau dia yatim piatu bukan berarti kamu bisa culik sembarangan, Jeffrico!"
"Saya mau menikah dengan dia karena dia punya hutang," jelas Jeff.
"Om! Om aja belum jelasin loh aku punya hutang apa. Sumpah, Tan. Mika walaupun gak punya uang tapi gak pernah berhutang, Om-Om ini salah orang tapi masih ngotot," ucap Mika pada Mona.
"Kamu punya hutang, Mika." Jeff kembali menekankan.
"Hutang apa? Mama papaku yang berhutang? Kalau gitu ya sebutkan aja, Om. Nanti aku berusaha lunasin kalau orang tua aku punya hutang sama Om. Gak perlu bawa aku kesini terus bilang calon menantu ke mamanya Om!" Kesal Mika.
"Kamu yang berhutang."
Mika menghela napasnya, dia benar-benar tidak merasa berhutang apapun tapi kenapa pria itu tetap kekeh? Mona juga merasa bingung dengan apa yang terjadi di hadapannya ini. Andai suaminya masih ada, Mona memilih menyerahkan permasalahan Jeff pada suaminya.
"Mending lo jelasin, Kak. Ini kenapa, kasian Mikanya," bela Elang yang tak tega melihat raut wajah Mika. Bagaimana pun Elang tau bagaimana kehidupan Mika, meskipun mereka tidak terlalu dekat.
"Ger," panggil Jeff dengan suara barithonnya.
Gerda datang, dia sudah paham dengan apa yang dipinta oleh Jeff. Jadi dia langsung saja membawa berkas-berkas yang tadi dititipkan oleh Jeff sendiri.
"Kamu lupa ingatan? Biar saya ingatkan sekarang."
Jeff mengeluarkan surat yang sudah dia simpan selama 10 tahun itu dan menaruhnya di hadapan Mika. Mika memperbaiki posisi duduknya dan melihat rentetan kalimat yang berada di sana.
- Flashback On -
Jeff merasa frustrasi setelah kehilangan ayahnya. Dia putra sulung yang kini dipaksa dewasa di usianya yang baru 19 tahun. Asisten kepercayaan Ayahnya meminta Jeff untuk menjalankan perusahaannya sejak dini. Sungguh itu bukan keinginan Jeff.
Hari ini, banyak pekerjaan yang harus dia kerjakan. Di saat seharusnya dia menikmati waktu menongkrong bersama teman-temannya, kini dia tidak ada waktu. Perusahaannya mengalami kerugian karena langkahnya sendiri dalam mengambil keputusan, walaupun tidak besar tapi tetap saja itu adalah sebuah beban.
Mamanya depresi karena kehilangan suami, Jeff benar-benar menanggung itu sendirian. Tidak ada yang bisa diajak berdiskusi, tidak ada yang bisa diajak berbagi, semuanya kalut dengan kesedihan masing-masing.
Jeffrico lelah, dia benar-benar butuh ayahnya di sini. Sekarang dia menghisap sebuah rokok di pinggir mobil sambil menatap jalanan. Entah apa yang Jeff pikirkan, namun dia kini malah melangkahkan kakinya ke tengah jalan.
Dia tidak peduli bagaimana cara mobil menghantamnya, dia tidak bisa menanggung semuanya. Dia ingin mengakhiri hidupnya sekarang juga.
"KAKKK AWAS!!" Saat mobil akan mendekat, seorang gadis belia dengan berani mendorong tubuh Jeffrico sampai akhirnya mobil itu tidak sampai menabrak seorang manusia.
Entah karena gadis kecil itu begitu kuat atau karena tubuh Jeff yang sedang melemah, tapi gadis kecil itu berhasil menyelamatkannya.
"Argghtt!" Geram Jeff.
Gadis kecil itu menatap Jeff dengan lekat. "Kakak kok marah? Aku udah keren jadi polisi, kan?" Tanya gadis itu polos.
Jeff melirik sekilas ke arah gadis kecil itu. "Kamu kenapa tolongin saya?!" Kesal Jeff sambil berdiri dari posisinya. Bahkan gadis kecil itu sangat pendek. Benar-benar gadis kecil pemberani.
"Ya kan aku mau jadi polisi. Sama-sama, Kak."
Jeff menghela napas. Akhirnya dia menyerah, tidak ada gunanya juga berdebat dengan anak kecil. Bahkan gadis itu nampak ceria saja karena merasa telah menyelamatkan Jeff. Dasar bocil.
"Mana orang tua kamu?" Tanya Jeff.
"Aku baru pulang sekolah, Kak. Biasanya papa jemput aku di sini, tapi belum datang," jawabnya.
"Nama kamu siapa?" Tanya Jeff lagi.
"Nama aku Mika, Kak. Aku sembilan tahun," jawabnya sambil tersenyum.
Jeff lagi-lagi menghela napasnya, bisa-bisanya orang tua gadis kecil ini membiarkan anaknya dipinggir jalan raya sendirian.
"Yaudah, kakak tungguin sampai orang tua kamu datang." Jeff menuntut gadis kecil itu dan menyeberang mendekati mobilnya.
Jeff tidak tega juga jika meninggalkan Mika sendirian, ya meskipun dia kesal karena diselamatkan anak kecil. Jadi dia memutuskan untuk menemani Mika sampai dia dijemput.
- Flashback On -
Jeff dan Mika duduk di pinggir trotoar, Jeff sedari tadi memperhatikan gadis kecil itu yang tengah asik berceloteh tentang cita-citanya menjadi seorang polisi, ya hiburan juga untuknya. Sekiranya ada orang yang bisa dia ajak bicara untuk sekarang.
"Kakak kenapa tadi gak lari kalau mau ketabrak? Papa bilang ke Mika katanya jangan main di tengah jalan nanti ketabrak. Terus kenapa Kakak mainnya di tengah jalan?" Tanya Mika.
"Ya biar ketabrak."
"Emangnya kakak mau jadi hantu? Kalau ketabrak nanti katanya jadi hantu, rawrr," ucap gadis kecil itu menakut-nakuti.
"Itu suara macan. Kalau gitu kamu gak takut jadi hantu? Tadi kamu selamatin saya juga bisa tertabrak."
"Takut, tapi papa bilang jangan jadi penakut. Kalau mau jadi polisi harus tolongin orang banyak-banyak." Mika menatap pria yang ada dihadapannya ini, nampak sangat jelas sepertinya sedang sedih. Ayahnya selalu mengajarkan bagaimana caranya mengetahui ekspresi seseorang.
"Kakak lagi sedih ya?" Tanya Mika.
Jeff mengangguk. "Sedikit." Gadis itu mengeluarkan permen dari saku seragamnya dan memberikan pada Jeff.
"Kata mama kalau Mika sedih mam permen aja biar sedihnya jadi manis. Kakak jangan sedih ya?"
Jeff terhenyuk, dia menerima permen itu perlahan. Dia merasa gadis kecil itu beruntung karena memiliki kedua orang tua yang utuh. Dia masih bisa berbagi masalahnya dan menceritakan hari-harinya.
"Kamu tunggu di sini sebentar," ucap Jeff.
Jeff dengan cepat berjalan ke arah mobil, mengambil pulpen dan juga kertas, dia juga mengambil sebuah kotak dan kembali ke arah gadis kecil itu.
"Bisa nulis?" Tanya Jeff.
Mika mengangguk dan itu membuat Jeff tersenyum. Jeff menaruh papan dada dengan selembar kertas di pangkuan gadis kecil itu. "Coba kamu tulis apa yang saya ucapkan." Jeff lalu mengulurkan pulpen ke arahnya.
Mika dengan senang hati mengangguk. "Tulis apa, Kak?"
"Tulis kaya gini. Sebentar, nama lengkap kamu siapa?"
"Mika ... Oh salah. Aphrodite ... Mikaella ... Disera," ucapnya.
Jeff menganggukkan kepalanya. "Tulis. Saya Aphrodite Mikaela Disera." Jeff mulai mendikte dan Mika mengikuti arahan dari Jeff.
"Berjanji."
"Ber ... Jan ... Ji."
"10 tahun lagi akan menikah dengan Jeffrico Rasendria Dirgantara. Janji ini tidak bisa dibayar oleh apapun."
Mika kembali menulis dengan polosnya, membuat Jeff tersenyum melihat gadis pintarnya itu.
Setelah selesai Mika menunjukkan hasil tulisannya pada Jeff. Ya cukup rapi untuk ukuran anak kelas 3 atau 4 SD ini menurut Jeff.
Setelah puas Jeff mengambil materai dan cap dari kotak yang dia bawa. Jeff menempelkan materai di kertas itu dan menuntun Ibu jari Mika ke tinta cap.
"Kamu tempelin Ibu jarinya di sini," ucap Jeff sembari menunjuk di atas materai.
Mika kembali menurut dengan senang, menurutnya ini menyenangkan. Memang gadis kecil yang polos.
Jeff mengusap puncak kepala Mika. "10 tahun lagi kita menikah ya!"
"Menikah itu apa, Kak?" Tanya Mika tak paham.
"Teman dekat," jawab Jeff.
"Oke, Kak! Nanti kita menikah!"
Jeff terkekeh, gadis kecil ini memang pintar dan cantik. Mari kita lihat 10 tahun ke depan.
- Flashback Off -
Mika mencoba mengingat kembali tentang ini, dia ingat. Tapi samar-samar. Jantungnya berdebar dengan kencang.
"Kamu sudah ingat? Janji sama dengan Hutang," tegas Jeff.
"T-tapi ini kan aku nulisnya di bawah umur, gak berlaku berarti," protes Mika.
"Berlaku untuk saya."
"Oooomm!" Kesal Mika.
Elang dan Mona menatap surat yang sudah usang itu dengan seksama. Ya memang tidak ada artinya, Mika menulis ini masih di bawah umur dan tidak berlaku di mata hukum.
"Kak, lo jangan aneh-aneh. Lo sama aja pemaksaan. Dia nulis waktu masih kecil."
"Saya tidak peduli."
"Jeff ... " Mona menghela napasnya.
Mona memang ingin putranya menikah tapi tidak seperti ini caranya. Itu sama saja merusak kehidupan orang lain.
"Aku gak mau!" Tolak Mika yang beranjak dari tempat duduknya, namun Jeff menahan lengannya dan memaksa untuk tetap duduk.
"Kamu suka melanggar janji ya?" Tanya Jeff.
"Tapi Om itu kan aku belum tau artinya menikah, Om aku bayar aja deh terserah berapapun yang Om mau, tapi dicicil," pintanya dengan amat memohon.
"Kamu tidak baca? Janjinya tidak bisa dibayar oleh apapun."
"Jeff jangan begitu loh, kalau begitu Mama tidak jadi memaksa agar kamu menikah," ucap Mona mengalah.
"Kalau begitu saya tidak akan menikah seumur hidup."
Mona menganga, ya tidak begitu juga maksud Mona. "Maksud mama gak gitu, Jeff."
"Saya mau menikah hanya dengan gadis pilihan saya dan dia yang sudah berjanji pada saya," balas Jeff tukuh.
"Yasudah kalau begitu begini saja. Jika Mika bisa menjawab pertanyaan mama dan dia lulus, mama merestui kamu menikah dengan Mika. Kalau tidak ya mama tidak akan merestui."
"Ya silahkan." Jeff tidak takut, tentu Mika akan bisa menjawab karena dia gadis yang pintar. Sementara Mona yakin kalau gadis seusia Mika ini belum matang kalau soal pernikahan.
"Tante ..."
"Yaudah kamu jawab dulu aja, Sayang," ucap Mona lembut.
"Nama kamu siapa?" Tanya Mona.
"Aphrodite Mikaela Disera."
"Umur?"
"19."
"Orang tua kamu sejak kapan meninggal?" Tanya Mona.
"Waktu aku menginjak kelas 10 SMA, mereka mengalami kecelakaan beruntun tragedi di pekalongan."
Mona terhenyuk, kasian sekali ternyata gadis ini. Pasti diusianya sekarang sangat berat melewati masa remaja tanpa adanya orang tua lagi.
"Kamu bisa memasak, bersih-bersih, mengurus keperluan suami?" Tanya Mona.
Mika mendapat akal sekarang bagaimana caranya dia terbebas dari Jeff. "Gak bisa, Tan. Yang instan lebih gampang, kalau masak suka gosong, kalau ngepel juga males.
"Jangan bohong, kamu kerja di caffe sebagai pelayan. Merangkap sebagai cook helper," ucap Jeff.
Mika melirik ke arah Jeff, kenapa Om-Om itu ikut campur, sih? Apa sebegitu inginnya dia menikahi daun muda? Dasar pedofil! Rutuk Mika dalam hatinya.
Mona menghela napasnya. "Lalu prestasi kamu di sekolah apa?"
"Gak ada, Tan. Aku gak pinter, bukan anak baik juga. Aku bar-bar, bisa tanya sama kak Elang."
Mona terkejut dengan pengakuan Mika. Tentu dia ingin calon menantunya baik, Bukan? "Elang?"
"Setau Elang emang Mika disegani di sekolah, tapi itu karena dia tegas dan berani. Bukannya kamu juara kelas terus, Mik?"
"Engga, Kak," sanggah Mika.
"Bohong, kamu pernah ikut lomba kejuaraan sains dan mendapatkan juara kedua dengan hadiah 2 juta rupiah," sela Jeff.
"Om ini nguntit aku kah?!" Kesal Mika.
"Jawab yang benar, saya tau semua tentang kamu."
"Kalau begitu kamu anak yang baik, dong? Ya tante setuju saja. Ayok terima saja tawaran Jeff, Sayang. Tante janji akan menyayangi kamu seperti anak sendiri."
Jeff sedikit tersenyum kemenangan, tentu tidak ada yang bisa menghalanginya.
"Gak mau, Tan. A-aku bukan cewek baik-baik. Aku suka ke club malam sama Om-Om."
"Saya juga Om-Om, nanti saya ajak kamu ke bar."
Mika kaget, jelas dia ketar-ketir. Dia berusaha memukul mundur Jeff tapi kenapa malah dia yang terjungkal?
"Aku juga suka morotin orang, Tan! A-aku juga pernah deketin kak Elang karena dia kaya. Iya kan, Kak?"
"Saya tau kamu suka sama saya, tapi karena saya menganggap kamu adik jadi tidak bisa. Tapi selama ini kamu tidak mendekati saya lebih dan meminta apapun. Kakak saya kaya, kalaupun iya dia tidak akan keberatan kamu porotin," jawab Elang yang memang senang saja kalau kakaknya menikah dengan adik kelasnya itu.
Elang ini memang tidak bisa berbohong dan kejujuran adiknya ini sangat membantu Jeff untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
"Kakkkkkk!"
"Saya benar, Kan?"
Mika berpikir lagi, apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia tidak mau sampai harus menikah dengan Om-Om tidak jelas itu.
"Aku juga suka ciuman sama stranger! Aku suka godain cowok biar mau tidur sama aku, a-aku udah gak perawan!" Akhirnya Mika memberanikan diri untuk bicara seperti itu.
Mona menutup mulutnya tak menyangka. "Benar seperti itu?"
"I-iya bener, Tan. Semuanya aku lakuin demi uang."
Jeff tersenyum miring. "Masalah keperawanan bukan tolak ukur. Kamu suka ciuman dengan orang asing? Mari kita lakukan setelah ini."
"H-hahh?! Gak mau! Gakkk!" Tangan Mika gemetar, bukan ini yang dia harapkan.
"Kenapa? Karena semua yang kamu ucapkan itu kebohongan. Jadi seberapa banyak hal buruk yang akan kamu karang selanjutnya?"
Mika tertegun sambil menggigit bagian bawah bibirnya. Sekarang dia harus melakukan apa lagi?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!