NovelToon NovelToon

Terjerat Pesona Istri

Surat Cerai

1

"Kenapa surat cerai ini belum ditanda tangani?"

Azka menajamkan mata melihat Yura yang baru tiga bulan menjadi istrinya. Ia tidak menduga wanita bertubuh mungil itu punya nyali besar melawannya. Berkas-berkas perceraian dan surat perjanjian sebelum menikah ia hempaskan begitu saja di atas meja.

"Tanda tangani. Setelah itu hubungan kita selesai," tutur pria itu lagi. Azka sangat marah saat pengacaranya mengatakan kalau Yura tindak mau membubuhkan tanda tangan sebelum bertemu dengannya.

Kehadiran Azka di apartemen untuk pertama kalinya disambut Yura dengan baik. Tidak sia-sia Yura mengecoh pengacara Azka dan meyakinkan Azka sampai mau datang menemuinya. Hidangan lezat sengaja ia siapkan untuk menjamu suaminya tersebut.

"Kenapa marah-marah? Sini, makan dulu." Yura tidak menggubris apa yang dikatakan Azka, ia dengan santainya menyiapkan makan malam untuk suaminya itu.

Azaka berkacak pinggang, ia berusaha meredam emosi yang selalu menguasai diri jika bicara dengan Yura. Sikap Yura yang menyebalkan seperti ini berhasil membuat darahnya mendidih.

"Berapa mamaku membayarmu sampai kamu setuju menikah denganku? Apa uang yang diberikan perempuan tua itu masih kurang sampai kamu nggak mau pernikahan konyol ini berakhir?"

Azka mengusap wahah gusar, ia masih tidak bisa menerima pernikahannya dengan Yura. Hidupnya baik-baik saja dan sangat menyenangkan sebelum Yura datang di kehidupannya. Namun, semua berubah setelah mamanya mengambil Yura dari panti asuhan untuk dijodohkan dengannya.

Azka yang sudah memiliki kekasih terpaksa harus menerima perjodohan aneh yang dibuat keluarganya. Jika tidak orang yang paling berpengaruh di rumah akan menghapus namanya dari kartu keluarga.

Yura menunjuk kursi di seberang meja tepat di hadapannya. "Aku nggak mau menjawab apapun kalau kamu tetap berdiri di situ! Kita bahas setelah selesai makan. Nggak baik menganggurkan makanan yang aku masak untuk kamu, suamiku."

"Jangan panggil seperti itu, aku geli mendengarnya!" Dengan kesal Azka menarik kursi dan mendudukan bokongnya di sana. Namun, ia tidak berniat menyentuh makanan yang tersaji di depan matanya. Ia hanya fokus melihat Yura yang sedang asik menyantap makan malamnya.

"Kenapa manatapku seperti itu? Tenang saja nggak ada racun yang aku campur di makanan kamu. Setelah ini kamu bisa sampaikan tujuan kamu datang menemuiku."

Lesung pipinya terlihat jelas kala Yura tersenyum, ia sengaja memancing emosi Azka agar suaminya itu khilaf dan menyentuhnya. Tiga bulan menyandang gelar sebagai seorang istri, tapi Azka sama sekali belum menyentuhnya. Jika tetap seperti itu sampai batas waktu perjanjian kontrak pernikahan yang telah mereka sepakati maka itu artinya Yura tidak berhasil menunaikan janji kepada mama Azka.

Mulut Azka tentu menolak tawaran yang dilontarkan Yura, tapi perutnya tidak sejalan dengan ego dan otaknya. Akhirnya dengan setengah hati Azka memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya. Jika diingat lagi ini yang pertama kali Azka mencicipi masakan Yura dan rasanya tidak terlalu buruk.

Suara sendok dan garpu yang berdenting saat bergesekan dengan piring mengisi ruangan yang diisi dua manusia dewasa itu. Yura dan Azka tidak terlibat percakapan lagi selain menikmati makan malam pertama bagi mereka. Yura tentu senang melihat Azka menghabiskan makanannya, sementara Azka tidak mau memuji. Lapar menjadi alasan mengapa ia betah duduk di sini.

Yura membersihkan piring kotor di wasetafle. Sementara Azka duduk menopang dagu di sofa memerhatikan setiap sudut ruangan yang tersusun rapi. Jika seperti ini mereka terlihat seperti pasangan suami istri sungguhan.

"Yura, jangan pura-pura sibuk di sana. Kamu menyita waktuku saja," kesal Azka, ia hampir lupa tujuannya datang ke sini. Padahal, ia punya janji dengan kekasihnya.

Yura menggulung rambutnya asal hingga memperlihatkan lehernya yang jenjang. Ia menyusul Azka di ruang tamu.

"Masih mau membahas perceraian? Bukannya kontrak pernikahan kita sampai satu tahun? Ini baru tiga bulan, loh."

Yura duduk bersilang kaki, tidak ada sedikit pun rasa takut menghadapi Azka. Padahal, sedari tadi wajah pria itu sangat dingin. Ucapannya pun seperti semburan api.

"Nenekku sudah meninggal dan itu artinya pernikahan kita berakhir. Tidak perlu menunggu satu tahun seperti yang sudah kita sepakati. Tanda tangan saja biar pengacaraku yang mengurus semuanya!"

Azka menyerahkan bolpoin dan menunjukkan di mana saja Yura harus menggoreskan tinta tersebut.

Yura menghela nafas dalam mencoba tetap tenang menghadapi Azka. Janjinya dengan mama Azka belum terwujud, tapi sekarang Azka malah ngotot berpisah darinya.

Yura nemutar otak mencari cara untuk mengurungkan niat Azka.

"Kenapa bengong? Jangan-jangan kamu udah mulai jatuh cinta sama aku," ucap Azka, ia tersenyum meremehkan Yura. "Udah sadar 'kan kalau kamu sulit menolak pesonaku? Tapi sayangnya hatiku nggak mudah berpaling dari kekasihku."

"Narsis ... kamu pikir cuma kamu yang punya kekasih? Aku juga punya," jawab Yura tidak mau kalah.

Azka mengepalkan tangan di atas meja, ia merasa tertipu karena selama ini Yura mengaku tidak punya kekasih.

"Kalau gitu tunggu apa lagi? Aku nggak tahu apa perjanjian mu dengan mama ku, aku juga nggak tahu berapa mama membayarmu. Aku hanya tahu aku mau menikahi kekasihku. Akan aku buktikan sama semua orang kalau Agata jauh lebih baik darimu. Jadi, mari kita akhiri pernikahan ini."

Yura menegakan punggung menatap Azka. Ia tidak akan membiarkan Azka lolos kali ini.

"Baik, aku akan tanda tangani semuanya seperti yang kamu mau."

"Bagus!" Azka mengepalkan tangan di udara menyoraki kemenangan. Setelah ini ia akan berlari ke pelukan Agata dan membawanya ke hadapan sang mama.

"Tapi ... satu tanda tangan untuk satu malam. Apa Anda setuju, Suamiku?" tanya Yura seraya menaikkan sebelah alisnya. Sungguh, hanya ini satu-satunya cara yang terlintas di benaknya.

"Kamu bercanda? Mana mungkin aku bermalam di sini denganmu!" Azka berdecih, ia tidak habis fikir Yura bisa bicara omong kosong seperti itu padanya.

"Kenapa tidak? Kita sepasang suami istri yang sah. Selama ini kamu saja bisa sesuka hatimu bermalam di rumah kekasihmu itu, kenapa tidak denganku?"

"Agata adalah wanita yang aku cintai. Sedangkan kamu tidak. Pernikahan kita hanya sementara dan aku ingin akhiri semuanya malam ini juga!"

"Terserah, keputusan ada di tangan kamu." Yura beranjak dari duduknya, ia sengaja memberikan ruang untuk Azka berfikir. Namun, pria itu menarik tangannya hingga mereka beradu pandang.

"Jangan lewati batasanmu, Yura. Jangan sekali-kali memancingku. Aku bisa membuatmu merintih dan mendes ah sepanjang malam. Tapi aku nggak akan lakukan itu. Jadi, anggap ini peringatan pertama untukmu!"

Pandangan Azka lebih menajam dari sebelumnya. Ia mencengkeram erat lengan Yura lalu mengecup sekilas leher istrinya itu. Awalnya Azka bermaksud memberikan peringatan kepada Yura, tapi aroma wangi yang menguar dari tubuh Yura membuatnya sulit melepaskan wanita itu.

Satu Malam

Selama menikah Azka tidak pernah berniat sedikit saja melirik atau menyentuh Yura. Baginya Yura adalah perempuan materialis yang mengedepankan uang dan harta. Buktinya, wanita itu dengan senang hati menerima pernikahan mereka, tentu sudah diiming-imingi uang oleh mak lampir yang tidak lain adalah ibu kandungnya sendiri.

Azka yang hanya berniat memberikan peringatan dengan mencium leher Yura malah terjebak dalam permainan yang ia ciptakan. Bahkan, inti tubuhnya yang tersembunyi di balik celana tiba-tiba saja bereaksi. Terasa mengeras dan sesak seperti memberontak minta di keluarkan. Satu hal yang tidak pernah ia rasakan ketika bersama Agata.

Hubungannya dengan Agata memang sudah terjalin cukup lama. Ciuman dan meraba sudah menjadi hal yang biasa mereka lakukan. Tapi, untuk berhubungan badan tidak pernah mereka lakukan. Sebab, Azka tidak mau berhubungan intim dengan wanita yang belum sah menjadi istrinya.

"Nggak terlalu buruk." Yura pura-pura berkikap tenang dan biasa saja, padahal jantungnya hampir mau luruh hingga mata kaki. Pertama kali bagi Yura dikecup hingga membuat sekujur tubuhnya meremang. Yura berusaha tetap tenang agar usahanya menjerat Azka berhasil.

Azka memicingkan mata dan berdecih, "Kamu nggak akan bisa mendapatkan apa yang kamu mau." Sialnya, rasanya bibir ini ketagihan hingga ingin mencium Yura lagi. Azka tidak tahu pesona apa yang dimiliki Yura hingga bisa membuat tubuhnya bereaksi lain.

Yura mengangguk paham. "Itu artinya, kamu juga nggak akan bisa mendapatkan apa yang kamu mau." Yura tersenyum meremehkan Azka.

"****! Kamu cari masalah dengan orang yang salah!" Mata Azka menyalang merah. Pancaran amarah terlihat di sana. Dirinya paling tidak suka diremehkan apa lagi oleh seorang wanita kecil seperti Yura. Dengan amarah Azka meraih dagu Yura lalu menyatukan bibir mereka.

Yura tersentak ketika benda kenyal milik Azka terasa dingin di bibirnya. Ciuman yang dilakukan Azka dengan tergesa-gesa membuat Yura kesulitan bernafas. Yura dengan refleks memukul dada Azka agar pria itu berhenti menciumnya.

"Azka.... " Nafas Yura tesenggal. Dadanya berdebar. Jujur ini ciuman pertama untuknya. Azka telah berhasil meresapi permukaan bibirnya.

"Kamu ... udah nggak bisa mundur lagi." Senyum jahat dan kepuasan terpancar di wajah Azka. Nafasnya menderu bersama nafsu yang minta dilepaskan. "Ayo, kita mulai kesepakatan kita." Pria itu menarik tangan Yura hingga tubuh Yura menempel di badannya. "Malam ini... serahkan tubuhmu padaku seperti yang kamu mau kita nikmati malam ini."

Hembusan nafas keduanya saling bertemu. Baru kali ini Azka mengamati wajah Yura dengan jarak sedekat ini. Ibu jari Azka meraba bibir Yura lalu kembali merampas rasa manis yang dihasilkan bibir Yura.

"Gimna ini... aku harus gimana?" batin Yura bertanya, ia pun takut malam ini akan menjadi malam pertamanya dengan Azka, tapi mengingat perjanjian dengan mama Azka membuat insting ikut bergerak. Tanpa ragu lagi Yura membalas ciuman Azka yang terkesan kasar.

Azaka tidak bisa menahan diri lagi. Tangannya tanpa ragu meraba dua gundukan yang tersembunyi di balik piyama berbahan kain satin yang dipakai Yura. Dan itu berhasil membuat nafsunya semakin memuncak. Azka tidak sadar kalau dirinya telah jatuh dalam perangkap Yura.

Sentuhan yang diberikan Azka berhasil membuat Yura mendesah. Bagaimana tidak? Gerakan tangan pria itu begitu menggebu meraba bagian tubuh Yura tanpa melepaskan tautan bibir mereka.

"A-azka tu-

Meskipun Azka telah mengakhiri ciuman mereka, tapi Azka tidak membiarkan Yura bicara. Pria itu langsung memungkas ucapan istrinya tersebut.

"Ya, sebut namaku sepanjang malam. Ayo kita tuntaskan kesepakatan kita malam ini. Aku butuh tanda tangan dan kamu butuh kepuasan dariku. Tenang, Yura... aku turuti kemauan kamu. Kamu merindukan sentuhan, bukan?"

Giliran Azka tersenyum meremehkan Yura. Ia berfikir jika wanita ini pasti tidak perawan lagi. Hingga begitu ngotot minta disentuh olehnya. Ya, tiba-tiba saja pikiran itu hinggap di benak Azka.

Jujur saja Yura merasa canggung dan tidak siap jika harus menyerahkan tubuhnya kepada Azka, tapi Yura sebaik mungkin mencoba agresif agar Azka tidak berubah pikiran. Dengan penuh percaya diri Yura melingkarkan kedua tangannya di leher Azka hingga ia bisa melihat kilatan nafsu di wajah Azka.

"Malam ini aku milikmu," ucap Yura lirih. Percayalah, rasanya ingin sekali Yura mengutuk dirinya sendiri yang tampak seperti wanita penggoda.

"Ya, nikmati apa yang akan aku berikan untukmu. Ingat ini baik-baik hingga kamu akan memintanya lagi dan lagi."

Azka menghempaskan kemejanya ke sembarangan arah, lalu melakukan hal yang sama dengan Yura. Ia tarik secara kasar piyama Yura hingga bisa melihat bagian menyembul yang tadi telah digenggam.

Yura sudah tidak punya jalan untuk mundur. Sebenarnya Yura bersedia menikah dengan Azka bukan karena uang dan kepuasan seperti yang dituduhkan Azka padanya. Semua itu ia lakukan demi anak-anak panti yang harus ia selamatkan. Yura hanya bisa pasrah ketika Azka menatapnya penuh nafsu. Ya, Yura tahu itu tapi ia juga tahu Azka tidak akan mengakuinya. Yura membuang muka ketika Azka satu-satunya pengait yang ada di balik punggungnya.

Azka berulang kali menelan ludahnya sendiri. Apa yang ia lihat ini sungguh indah dan menggairahkan hingga ia merasakan di bagian bawahnya terasa sangat sesak. Sial sekali, ia bahkan hampir tidak berkedip melihat tubuh putih polos milik istrinya itu. Wanita yang halal untuk ia sentuh. Tanpa mau membuang waktu lebih lama lagi. Azka mulai menghujani wajah Yura dengan ciuman, kali ini pria berambut cepak itu melakukannya dengan lembut seolah ingin menikmati setiap permukaan bibir Yura.

"Azka.... " Tubuh Yura semakin meremang, sentuhan Azka berhasil membuat ia lemas.

"Ya, seperti itu. Sebut namaku di setiap desahanmu."

Perlahan Azka menggiring Yura hingga wanita itu berbaring di tempat tidur. Tidak lupa Azka melepaskan celana Yura dan celananya sendiri hingga tubuh keduanya nyaris polos.

"A-Azka, kamu ngapain?" Yura merapatkan kedua pahanya saat Azka mendekatkan wajahnya di sana. Pria itu tidak menjawab sepatah katapun malah melanjutkan aktifitasnya hingga Azka berhasil melepaskan kain tipis yang menutup bagian inti tubuhnya. Yura memejamkan mata saat Azka menatap aset pribadinya itu. Malu dan gelisah yang ia rasakan kini.

Perlahan Azka naik ke kasur dan mengungkung Yura dengan tangan yang menahan tubuhnya. Ia cium lagi bibir Yura yang rasanya masih manis meskipun sudah berulang kali ia resapi.

Malam pertama setelah pernikahan hari itu dengan Yura yang tidak diinginkan Azka kini dilakukan juga. Azka bahkan begitu lihai meninggalkan jejak-jejak merah di beberapa bagian tubuh Yura.

"Azka, pelan-pelan saja. " Yura meringis merasakan sakit ketika Azka mulai menyatukan tubuh mereka. Ia bahkan mencakar lengan Azka demi menepis rasa sakit yang mencabik-cabik tubuhnya.

Pertama Kali

Kelopak mata yang dihiasi bulu mata lentik alami miik Yura perlahan mulai terbuka. Dan ia mendapati tubuhnya terbaring tanpa pakaian hanya ditutupi selimut tebal warna putih. Wanita berparas ayu itu merasakan tubuhnya sakit seperti baru saja ditimpa reruntuhan. Yura tentu tahu apa yang menjadi penyebabnya.

"Azka...." Yura bergumam ketika mendapati suaminya masih terpejam di sampingnya. Jika pria itu tidur seperti ini kelihatan tampan sekali, tidak sangar dan tidak menyebalkan seperti biasanya.

"Kita sudah melakukannya... benar-benar sudah. Aku sudah menyerahkan semuanya sama kamu."

Yura bicara lirih, ia tatap wajah teduh Azka yang saat itu menghadapnya. Yura masih ingat betul bagaimana Azka memperlakukannya dengan lembut. Pria itu bahkan berulang kali menghujam tubuhnya.

Aku nggak akan menyesali semuanya, Azka. Sampai sekarang, pertemuan pertama kita dulu tidak pernah aku lupakan. Meskipun di pertemuan kedua kamu nggak ngenalin aku, tapi aku tetap bahagia melihat kamu baik-baik aja. Azka... andai kamu tahu selama ini aku menunggu kamu, selama ini aku berharap kamu datang untuk menepati janjimu, selama ini aku nggak pernah sedikit pun melupakanmu, mungkin kamu nggak akan mengacuhkan aku. Azka... andai kamu masih ingat kalau di masa lalu kita pernah bertemu, mungkin cerita kita tidak akan seperti ini. Azka, aku harus memendam semuanya, sebab sudah ada wanita lain yang mengisi hatimu.

Yura membatin dan memejamkan mata, kepingan-kepingan masa lalu ketika ia bertemu dengan Azka ketiks mereka masih kecil masih terbayang. Ya, Yura berusia 8 tahun saat itu. Sedangkan Azka terpaut dua tahun di atasnya. Sayang, Azka melupakan semua itu.

Dengan tertatih dan menahan perih Yura masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tidak tahu sekacau apa penampilannya saat ini ia tetap memerhatikan tubuhnya di depan cermin. Beberapa bercak merah tampak jelas di tubuhnya. Yura tersenyum getir mengingat alasan Azka mau menyentuhnya.

"Demi tanda tangan agar kamu bisa secepatnya terbebas dariku." Yura mendesahkan nafas yang terasa sesak, ia bingung dengan langkah selanjutnya. Di satu sisi ada perjanjian dengan mama Azka, di lain sisi Azka ingin mereka berpisah. Sedangkan hati ini... masih menyimpan nama pria itu. Ya, hanya Yura yang tahu ada setitik cinta di hatinya untuk Azka.

Setelah urusannya di kamar mandi selesai Yura langsung bergegas menyiapkan sarapan pertama untuk suaminya itu. Dia keluar tanpa membabgunkan Azka yang masih terlelap di atas ranjang yang menjadi saksi bisu saat Azka menguasai tubuhnya.

***

Silau cahaya matahari yang masuk dari jendela kamar yang memang tidak tertutup sempurna membangunkan Azka dari tidurnya. Pria berusia 25 tahun itu tidak lantas bangkit dari tempat tidur. Azka mengamati kamar asing yang berhasil membuat tidurnya nyenyak sepanjang malam.

"Ternyata bukan mimpi. Aku memang ada di apartemen Yura." Figora foto Yura menjadi pusat matanya saat ini. Ia sekilas memejamkan mata untuk mengingat apa yang sudah ia lakukan dengan Yura malam tadi. Bekas cakaran di punggungnya menjadi bukti memang telah terjadi pergumulan antara dirinya dan Yura.

"Sebenarnya apa yang dipikirkan Yura? Mengapa begitu mudahnya dia menyerahkan kesuciannya padaku? Sekarang, kemana dia pergi?"

Azka merasa terhina dan dicampakan. Meskipun ia mengakui Yura luar biasa, tapi Azka tidak suka wanita itu pergi tanpa membangunkan dirinya. Hanya meninggalkan bercak merah yang telah mengering.

Setelah nyawanya terkumpul, pria itu membersihkan diri di kamar mandi, lalu bergegas mencari Yura. Aroma harum nan lezat dari dapur menarik kakinya untuk pergi ke sana.

"Aku sudah menepati janjiku. Surat cerai yang kamu siapkan sudah aku tanda tangani," ucap Yura saat Azka sudah mendudukkan bokongnya di kursi tepat di balik pantry.

Azka terkesiap mendengarnya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas saat memperhatikan Yura. Dan ntah mengapa hatinya merasa keberatan.

Setelah apa yang kami lakukan malam tadi, dia masih bisa membicarakan tentang perceraian. Apa tidak ada yang membekas di ingatannya? Batin Azka, sepertinya pria itu lupa kalau dirinya sendiri yang menginginkan perpisahan ini.

"Nanti kita bicarakan kalau perutku ini sudah terisi. Aku nggak tahu kenapa bisa selapar ini setelah melahapmu!" ucapan Azka membuat mata Yura mendelik menatapnya. "Kenapa? Apa aku salah bicara?" tanyanya tanpa dosa, ia memasukkan sosis goreng ke dalam mulutnya. Lalu meletakkan benda pilihnya di meja.

yura meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Azka. "Makanlah, setelah itu cepat pergi dari sini," ucapnya sebelum akhirnya ikut duduk di hadapan pria itu. Menatapnya penuh canggung. "Urusan kita udah selesai."

Azka berdecih, "Ngusir? Sepertinya ada yang lupa kalau apartemen ini milikku juga."

"Tapi hanya aku seorang yang menempatinya dan aku pikir kamu nggak pernah berniat tinggal di sini, " jawab Yura, ia sengaja menimpali ucapan Azka agar pria itu tidak menyingging malam pertama mereka.

"Tapi, aku pikir gak ada salahnya kalau mulai sekarang kita tinggal bersama."

Ucapan Azka membuat Yura tersedak, ia cepat-cepat menelan segelas air putih hingga tenggorokannya kembali lega.

"Aku nggak ada waktu untuk ngeladeni kamu. Mending kamu pergi sekarang aku karena aku ada urusan lain."

"Pengangguran kayak kamu punya urusan apa? Oh, mau menghabiskan uang mak lampir itu?"

Yura menggelengkan kepala. "Kamu bisa lebih sopan lagi, gak? Mama Ina itu udah ngelahirin kamu. Harusnya kamu bisa menghormati mama."

"Terserah aku mau manggil apa!" Kali ini Azka bicara tanpa melihat Yura, ia menyantap makanan yang disiapkan Yura untuknya. "Pinter masak juga kamu."

"Tumben muji."

"Terpaksa!"

Yura mengumpat dalam hati, kalau seperti ini terus Azka bisa membuat dirinya darah tinggi, setelah itu mereka makan dalam hening. Sesekali Azka melirik Yura dan mendapati Yura juga melihatnya.

"Aku nggak bisa nungguin kamu lebih lama lagi di sini. Untuk hari ini kamu boleh di sini selama yang kamu mau. Tapi, aku harap kamu udah pergi kalau aku pulang nanti."

Dering handpone di atas meja mengurungkan niat Azka untuk bicara. Bahkan, perhatian Yura juga tertuju pada benda pipih miliknya. Tertera nama Agata di sana.

"Pergilah, kekasihmu sudah menunggu," Seutas senyum terlukis di wajah Yura, seperti biasa ia tidak terusik dengan kisah asmara Azka dan Agata. Selama ini anak-anak panti sudah sedikit bisa membuat Yura melupakan perasaannya pada pria itu.

Tanpa kata Azka menjauhi Yura dan menjawab panggilan dari Agata di sana. Sementara Yura pun bersiap untuk pergi. Yura tidak tahu apa yang dibahas Azka dan Agata hingga wajah pria itu tampak menegang.

"Iya, nanti aku datang."

Samar-samar Yura mendengar ucapan Azka ketika ia melintasi pria itu menuju pintu. Namun tiba-tiba Azka menahan tangannya hingga Yura tidak bisa pergi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!