Pagi ini di kelas nya, Niscala Rescha sedang duduk menghadap ke tembok, mengintip scrapbook buatan tangan nya yang ada di dalam tas. Rencana nya scrapbook itu hari ini akan dia berikan pada kakak kelas yang di taksir nya, Kaivan, dengan tujuan memberi sinyal perasaan nya.
Echa masih mengintip scrapbook nya sambil senyum senyum saat tiba tiba saja sepasang tangan hinggap di kedua bahu nya, mendorong Echa ke depan sampai kepala nya terbentuk ke tembok dengan keras.
JDUG!
"Aishh." Echa meringis dan menggosok dahi nya, cara menghilang kan nyeri yang konyol. Memberantak kan poni sih iya.
"Gawat Cha!"
Suara itu terdengar membuat Echa berbalik, melihat dengan sinis pada Elzia yang tampak panik, seolah ada bom waktu yang terpasang di badan nya dan alan meledak.
"Apa yang lebih gawat dari ke mungkinan geger otak karena kepala gue baru lo jedotin ke tembok?" Echa bersungut sungut dengan kesal. Kemudian menyingkir kan poni tipis nya, memperlihat kan jidak nya pada Elzia. "Merah gak."
Elzia, gadis yang berambut panjang nya suka di kuncir kuda itu menggeleng cepat, masih panik. "Tau gak sih, dua hari lagi Bu Dewi bilang kalau ada murid baru di kelas kita?"
Echa berdecak. "Iya, ada murid baru, terus?"
"Tadi gue liat di ruang Guru. Ada Giv--"
"Giv?" tanya Echa, jantung nya berdegub. "Siapa?"
Echa berharap bukan, tapi harap nya pupus begitu saja saat mendengar teman sebangku nya itu berkata. "Givandra Galaxy."
DEG!
Mendengar nama lengkap nya membuat waktu di kepala Echa berputak ke tujuh tahun yang lalu. Jantung nya berdebar kencang.
Bukan sedang jatuh cinta, bukan.
Debaran itu di iringi hawa dingin yang menyapu ke seluruh tubuh nya, membuat bulu kuduk Echa berdiri. Tepat seperti baru saja terdengar nama arwah yang masih gentayangan di sebut.
Berlebihan. Tapi, rasa nya semenggigil itu Echa saat mendengar nama Givandra Galaxy.
"Jangan bilang murid baru nya dia?" ketus Echa dengan kesal.
"Jangan bilang, jangan bilang. Ini udah iya banget Cha, gue liat dia berdiri di meja Bu Dewi, wali kelas kita. Apa lagi kalau bukan Givan masuk kelas ini?" seru Zia sambil memukul bahu Echa sekali sampai membuat Echa merasa jiwa nya ikut jatuh tenggelam ke dasar sepatu.
"Ah, sialan!" Echa menabrak kan punggung nya dengan suka rela ke tembok. Kaki nya memukul mukul lantai dengan keras. Givan, cowok sialan itu, kenapa harus jadi murid baru di kelas nya?
Zia duduk di kursi sebelah Echa, melihat Echa yang tampak kesal dan masih belum menerima kenyataan. "Gimana dong musuh bebuyutan kita. Eh, buka kita sih, musuh bebuyutan lo pindah ke sini?"
Echa berdecak. "Ya gimana lagi? Sekolah bukan punya gue juga, yang penting dia duduk nya bukan di--" tunggu, Echa baru saja akan mengatakan 'yang penting Givan tidak duduk di dekat nya' saat padangan Echa tertuju pada bangku kosong yang tepat berada di depan.
Sekali lagi. Tepat di depan Echa.
Satu satu nya bangku yang baru di tinggal kan penghuni sebelum nya yang memutus kan home schooling karena masalah kesehatan.
Sudah di pasti kan bangku itu yang akan di isi Givan, bukan?
"Wah, wah, wah, dia dateng Cha!" desis Zia sambil menepuk nepuk paha Echa. Tatapan nya tertuju pada pintu di mana Bu Dewi baru saja masuk bersama dengan sosok cowok tinggi yang.... tampan di belakang nya. Tapi, tidak tersenyum.
Jantung Echa berdebar lagi. Tidak, bukan berdebar lagi sekarang. Kali ini jantung nya seperti sedang menabrak nabrak pada dinding dada nya di dalam sana, memberontak untuk meloncat keluar.
Mengetahui Givan sudah masuk kelas nya dan sedang mengedar kan padangan ke seluruh penjuru kelas, Echa menunduk dalam, membiar kan rambut nya menutupi lebih dari separuh wajah. Meski begitu, dia masih mencuri curi padang pada Givan yang sedang berdiri di depan sana.
Sekilas tentang Givandra Galaxy.
Laki laki terakhir kali Echa melihat nya adalah tujuh tahun lalu, saat kelas tiga SD. Dulu rumah Givan ada tepat di depan rumah nya dan mungkin sekarang juga Givan tinggal di sana lagi.
Karena jarang sekali berbicara, Echa pernah menjuluki Gavin si beruang kutub, maksud nya cowok dingin. Echa pikir, Givan tidak pernah peduli dengan itu, sampai suatu hari!
Pada saat pertemuan orang tua, murid murid kelas tiga SD seketika di bebas kan di luar ruangan. Tanpa ada peringatan, tiba tiba saja Givan menghampiri Echa yang sedang berkumpul bersama teman teman nya di pinggir lapangan, tanpa basa basi meminta Echa berdiri. Kemudian, Givan melempar wajah Echa dengan bola futsal.
BUGH! Echa masih ingat bagai mana bola itu mendarat ke wajah nya dan menghantam keras.
Echa menangis, tentu saja. Sakit dan malu.
Zia yang sudah menjadi teman dekat Echa saat itu langsung bertanya pada Givan, kenapa Givan melempar bola futsal nya ke Echa?
Lalu, apa yang Givan jawab?
...Bersambung......
Givan bilang. "Karena wajah anak itu kayak Tweety." Iya, karakter kartun berwarna kuning yang berasal dari Amerika Serikat. Lucu, sebenar nya. Tidak ada yang salah. Memang nya Givan ada dendam apa sih sama Tweety?
Untung nya Givan pindah sekolah tak lama kejadian itu, sekaligus pindah rumah ke Jakarta karena keluarga nya memulai bisnis di sana. Tapi, dampak nya bagi Echa begitu membekas. Dia jadi di juluki Si Tweety sampai lulus SD.
Lalu, sekarang Givan kembali?
"Pagi anak anak semua, hari ini Ibu datang bersama teman baru kalian." kata Bu Dewi dengan senyum riang nya, tidak tau kalau ada dua gadis yang sedang ketar ketir di pojok kan, baris paling kiri jajaran ke empat. "Silah kan perkenal kan diri kamu."
Bu Dewi tersenyum pada Givan, yang hanya di balas dengan anggukan singkat dan senyum tipis. Tipis sekali, tidak sampai ke mata dan tidak terlihat tulus.
"Hallo gue----- saya Givandra Galaxy."
Hanya itu yang keluar dari mulut nya, tapi Geng Cewek Centil di pojokan kanan menyambut nya dengan sorak kan. "Wuihhh."
"Pindahan dari mana dong kalo boleh tahu, ganteng." celetuk Yuyun, salah satu dari Geng Cewek Centil itu.
"Jakarta," jawab Givan singkat.
"Baik. Perkenalan nya di cukup kan. Mm Givan duduk di sana ya." kata Bu Dewi sambil menunjuk bangku kosong yang ada di depan dua gadis yang sama sama tertunduk.
Givan mengangguk dan berjalan ke sana.
Di bangku kosong itu ada laki laki yang menyambut nya dengan senyum lebar, yang senang karena dia mendapat teman sebangku lagi.
"Hai, gue Alkana," kata nya sambil memperkenal kan diri dan menyodor kan tangan.
Senyum Alkana terlalu lebar untuk berhadapan dengan tatapan Givan yang terlalu datar. Givan tidak menyambut uluran tangan itu, lama kelamaan membuat Alkana kikuk juga.
"Gue bisa baca name tag lo." kata Givan dengan dingin membuat Alkana mengerjap.
"Oh iya," Alkana meraba dada nya, tempat name tag itu terpasang. "Iya juga." lalu Alkana mempersilah kan Givan untuk duduk ke bangku mereka, duduk di kursi dekat tembok. Sekali lagi, dekat di depan Echa.
Setelah duduk Givan melihat ke bangku belakang, mengernyit melihat kedua gadis yang sama sama tertunduk, lalu kembali menghadap ke depan dan memutus kan tidak peduli. Memusat kan fokus nya pada Bu Dewi yang sudah memulai pembahasan hari ini.
Sementara di bangku belakang, Echa dan Zia mengatur nafas nya setenang mungkin.
Merasa aman sekarang karena Givan keliatan nya tidak mengenali mereka, tapi tidak tahu nanti.
***
Selesai jam pelajaran Bu Dewi, Echa dan Zia buru buru meminta permisi untuk ke toilet pada Alkana, yang merupakan ketua kelas mereka.
Begitu di izinkan, mereka melewati bangku Givan sambil berlomba lomba menyembunyi kan wajah lalu lari terbirit keluar kelas.
Menahan gugup dan cemas sedari tadi ternyata membuat kedua gadis itu melepas kan hormon adrenalin. Memacu ginjal nya menjadi lebih aktif hingga bekerja lebih dan berujung ingin buang air kecil.
Setelah selesai dengan urusan nya masing masing, di wastafel depan bilik kamar mandi mereka bertemu, menghela nafas lega sambil bercuci tangan.
"Si Beruang Kutub itu-----"
"Bukan Beruang Kutub lagi Cha," kata Zia merevisi umpatan yang hendak di lontar kan Echa. "Julukan nya berubah pas udah dia lempar bola futsal dan manggil lo Tweety. Lo lupa harus panggil dia apa?"
"Bocah Tengil!" Echa mengatakan nya dengan kesal. Tangan nya mengepal sambil menatap tajam pantulan diri nya di cermin. "Kenapa dia harus balik lagi sih?" Echa merajuk.
"Jangan jangan dia pindah ke depan rumah lo?" kata Zia membuat Echa ingin mencak mencak.
"Bunda udah bilang sih, kalo rumah depan bakal di isi setelah tujuh tahun kosong. Ya, gue pikir gak dia balik juga."
Sekarang Echa mulai frustrasi. Percuma juga kalau hari ini mereka mati matian menghindar kalau pagi atau besok lusa, Echa bertemu secara tidak sengaja di depan rumah.
"Alasan dia waktu itu lempar bola futsal ke lo dulu gak jelas kan? Maksud gue, selain bilang lo kayak Tweety." Zia malah mengungkit itu membuat Echa menghela nafas dan mengangguk. "Ada kemungkinan dia lempar bola ke lo lagi gak sekarang?"
"Aishh!" Echa menginjak lantai dengan keras, itu yang Echa khawatir kan, tapi Echa berusaha optimis. "Gak lah. Gila! Udah gede masa mau lempar lempar bola kayak anak kecil."
"Ya kali aja, dia punya dendam terselubung." Zia malah menakut nakuti.
"Tau ah." Echa tak ingin memikirkan nya. "Kelas yuk, bentar lagi masuk jam pelajaran Pak Adam."
Zia mengangguk mengikuti Echa keluar toilet dengan langkah mantap. Namun, saat sampai di ambang pintu keluar mereka terhenti serempak.
Terkejut.
Di depan mereka sekarang, ada sosok laki laki tinggi yang berdiri bersandar di dinding. Tatapan nya datar dan---- tampan juga, ya? Kalau di lihat lihat lebih dekat.
Tapi, sebentar! Bukan waktu nya mengagumi sekarang.
Itu Si Bocah Tengil yang baru saja mereka bicarakan.
Givandra Galaxy.
"Hai Echa." sapa Givan tanpa senyum membuat Echa langsung merasa ke sulitan bernafas seketika. "Gue ada urusan sama lo," tambah nya.
Wah! Tahu apa yang ada di kepala Echa saat ini?
Urusan apa? Urusan dari tujuh tahun yang lalu?
Atau itu merupakan bahasa halus yang arti nya, Givan akan melempar bola futsal lagi ke arah wajah Echa sekarang.
"Ayo," kata Givan sambil memiring kan kepala nya.
TIDAK! Echa sangat ingin pura pura mati saja sekarang.
Kenapa sih?
Kenapa ini harus terjadi?
Kenapa Echa harus belajan di samping Givan yang dangat ingin dia hindari sekarang? Tak hanya berjalan tanpa tujuan, mereka harus berkeliling di SMA Nusa Bhakti yang sangat luas ini.
Kata nya menurut penjelasan Givan -yang di jelas kan dengan sesingkat singkat nya, tadi selepas Echa meninggal kan kelas bersama Zia, Bu Dewi kembali datang ke kelas dan meminta Echa menjadi tour guide dadakan dengan menemani Givan keliling sekolah.
Secara khusus Echa gitu?
Itu yang membuat Echa melakukan nya, mengerjakan urusan nya bersama Givan. Sedang kan Zia, berhasil lolos ke kelas seorang diri.
...Bersambung......
"Ini Lab Sains, tapi kita gak akan ke sini. Kita anak IPS," jelas Echa sambil menunjuk pintu yang jelas tulisan nya Laboratorium.
"Mm." Givan hanya mengangguki nya saja. Melihat sebentar kemudian fokus nya kembali tertuju pada ponsel, membuat Echa merasa apa yang di lakukan nya sekarang terasa sia sia.
"Barang kali lo gak tahu ada di kelas IPS berapa. Kita anak sebelas IPS satu," tambah Echa lagi saat mereka melewati lorong panjang yang di kanan dan kiri nya merupakan jajaran ruang kelas sepuluh. "Lo tahu gak nama kelas nya apa kalau di singkat?"
Givan tampak tidak tertarik, dia tak menoleh. Tapi Givan menanggapi nya, "Apa?"
"Kelas SESAT," kata Echa. "SEbelas sosial SATu," jabar nya. Kemudian mengecek exspresi wajah Givan. Tertawakah laki laki itu saat mendengar singkatan nama kelas nya yang sedikit konyol?
Tidak.
Tidak tertawa.
Hanya ada anggukan, lalu tidak ada suara apa apa lagi.
Echa jadi malu sendiri. Dia merutuki diri nya.
'Harus nya diem aja deh, gak usah banyak bacot.'
Di depan dua pintu besi berwarna abu, Echa segera menunjuk nya. "Ini lapang indoor, lapang outdoor nya... tadi udah kita lewatin kan?"
"Udah," ucap Givan tanpa melihat nya.
Echa mengangguk. "Di sana bisa main futsal, ada bola lengkap sama gawa nya." Jadi, sekira nya mau tendang tendangan di sana jangan ke wajah gue.
Echa hanya berani mengata kan kaliamat terakhir dalam hati nya.
Kemudian lama ke lamaan Echa merasa resah sendiri. Melihat Givan yang tampak tidak tertarik dengan tour ini. Echa ingin bertanya, apa tour nya sudah cukup atau belum? Tapi, dia agak tidak berani.
"Ada yang mau lo tanyain?" Echa memperhalus nya.
Langkah Givan terhenti membuat Echa ikut berhenti juga. Mereka bertatapan selama beberapa saat kemudian, Echa yang menjadi pertama memutus kan tatap dengan melempar padangan ke arah lain.
"Lo tetangga depan rumah gue, kan?" tanya Givan seraya mengambil satu langkah maju, membuat Echa refleks mengambil satu langkah mundur.
Punggung nya menempel pada tembok.
"Iya," jawab Echa dengan gugup.
"Niscala Rescha?" Givan mengangkat sebelah alis nya. "Itu nama lo?"
Echa mengangguk lagi.
"Bebek kuning?" tanya Givan lagi.
Ha? Apa? Echa mengerjap sekali.
Sementara Givan melihat nya dengan mata menyipit, "Tweety?"
Lalu, ada senyum samar di wajah Givan yang tampak aneh. Sebelum akhir nya Givan kembali menegak kan tubuh dan memasuk kan tangan nya ke saku.
Echa baru sadar kalau sejak tadi Givan mencondong kan tubuh ke depan nya. Pantas saja, Echa merasa mereka sangat dekat tadi. Echa kira koridor yang menyempit.
"Lo yang pernah gue melempar pake bola futsal, dulu?" tanya Givan lagi, membuat Echa tak berkutik.
Pertanyaan ini, harus di jawab seperti apa oleh Echa?
"Hei, kalian sedang apa di luar kelas?"
Suara sentakan itu membuat Echa terlonjak. Baik Echa mau pun Givan sama sama menoleh ke sumber suara, mereka melihat seorang guru laki laki berkemaja biru muda melangkah mendekat, Pak Ridwan.
"Ini Pak, saya kan lagi----" penjelasan Echa tidak tuntas. Karena tangan nya di tarik tiba tiba oleh Givan, lalu di bawa lari.
Kaki Echa terus bergerak sementara wajah nya memasang ekspresi bingung, kok mereka harus berlari sih?
"Mau ke mana kalian?" teriak Pak Ridwan yang semakin jauh di belakang nya, masih mengejar dan berteriak teriak.
Echa tidak menjawab karena tidak tau mau ke mana juga, dia hanya ikut berlari saja, masih dengan bingung. Lalu tangan nya di tarik Givan menaiki tangga, belok di kiri sekali dan berhenti di depan sebuah pintu dengan tulisan. 'Gudang.'
"Mau apa----"
Lagi lagi perkataan Echa tidak tuntas, Givan membuka pintu nya dan mendorong Echa masuk lebih dulu. Lalu diri nya ikut masuk kemudian. Saat Echa akan bertanya lagi, mulut Echa di bungkam oleh tangan Givan. Sementara mata Givan bergerak menujuk ke pintu.
Suara derap langkah terdengar bersama dengan teriakan Pak Ridwan. Echa melihat nya sedikit lewat jendela, Pak Ridwan melintasi gudang dan pergi menjauh.
Baru setelah itu, Givan menjauh kan tangan nya dari mulut Echa. Givan melihat poni Echa yang berantakan karena tadi dia bawa berlari. Tanpa sadar, tangan Givan terangkat untuk----
"Udah boleh nanya nih?"
Suara Echa membuat Givan kembali sadar, mengepal kan tangan lalu memasuk kan kembali tangan nya ke saku celana sambil mengangguk. "Sure,"
"Kenapa lo ajak gue lari?" tanya Echa pertama. Belum pertanyaan itu di jawab, Echa sudah mengajukan pertanyaan lagi. "Kenapa kita masuk ke sini?"
"Lari kerena guru tadi ngejar. Kita masuk ke sini, karena guru tadi ngejat. Sama alasan nya."
Echa berdecak, jawaban macam apa itu? Mengerti tidak sih Givan dengan konteks pertanyaan?
"Maksud gue----"
BRAK
Pintu terbuka tiba tiba membuat kedua nya terperanjat. Ada Pak Ridwan yang berdiri di sana, melihat mereka dengan tatapan tajam sambil memukul mukul kan penggaris kayu ke tangan nya.
"Kalian, ikut saya ke ruang BK!"
***
Sialan!
Echa ingin meneriak kan kata itu keras keras.
Jadi begini. Bu Dewi tidak pernah kembali ke kelas setelah Echa dan Zia pergi ke toilet. Apa lagi meminta Echa menjadi tour guide sekolah untuk Givan.
Itu semua adalah kebohongan Givan!
Pantas saja, itu terasa janggal!
Pak Ridwan mengejar? Jelas, karena mereka kedapatan membolos saat jam pelajaran nya.
Setelah masuk ruang BK dan mendengar wejangan dari Pak Ridwan sekitar sepuluh menit, Echa dan Givan mengayun kan langkah nya ke lapangan upacara.
Untuk apa? Tentu saja untuk menjalani hukuman.
Sekarang di sana lah mereka berada. Berdiri bersebelahan di bawah terik matahari yang hampir berada di atas kepala, sambil menghormat kepada bendera yang menginbar di atas sana.
Echa mencuri lirik ke samping, melihat sinis Givan yang belum mengatakan apa apa sejak kebohongan nya di bongkar di ruang BK. Echa sedang menunggu, Givan meminta maaf atau menjelas kan sesuatu, tapi tidak ada tanda mulut laki laki sialan itu akan terbuka.
"Heh!" Echa menyenggol nya sedikit dengan siku. Berhasil membuat Givan terusik dan melihat nya.
"Apa?"
Echa melirik sekitar, memasti kan tidak ada yang mengawasi. Kemudian Echa menurun kan tangan yang menghormat untuk mendorong sedikit bahu Givan sampai laki laki itu berhadapan dengan nya.
"Apaan sih maksud lo?" suara Echa meninggi.
Mana Echa yang ketar ketir tadi pagi?
Lenyap. Ke kesalan nya membuat Echa berani.
Namun, tidak peduli setajam apa tatap Echa, Givan masih membalas menatap nya datar. Masih. Givan masih belum terlihat menyesal karena sudah membuat mereka di hukum.
"Maksud apa?" tanya Givan.
...Bersambung... ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!